Tuesday, 25 April 2017

Makalah Tafsir, Ta'wil, Tarjamah

FAHAM, TAFSIR, TA'WIL DAN TARJAMAH

A.   PENDAHULUAN
Al-Qur'an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas (QS. 2:185) yang mengeluarkan ummat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang (QS. 14:1). Di antara ayatnya menjelaskan, bahwa manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wahidatan). Tetapi karena lajunya perkembangan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan baru yang menjadikan manusia berselisih. Karena itu Allah Swt. Mengutus Para Nabi-Nya serta menurunkan al-Kitab untuk menyelesaikan perselisihan dan menemukan jalan keluar dari problem itu (QS. 2:213).
Agar al-Qur'an berfungsi sebagai mana yang digambarkan di atas,  al-Qur'an memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahami ayat-ayatnya, sehingga mereka – melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat ataupun tersirat – dapat menemukan cahaya yang terang benderang itu.
Usaha untuk memahami al-Qur'an telah berlangsung berbarengan dengan saat diturunkannya. Upaya ini dilakukan pertama kali oleh Rasulullah Saw., sebagai yang mendapatkan amanat secara langsung dari Allah Swt. untuk menjelaskannya (QS. 16 : 44 ), kemudian diiringi oleh para shahabat dan generasi-generasi berikutnya setelah mereka tidak menemukan penjelasan Rasulullah Saw. Usaha-usaha yang dilakukan oleh mereka di atas disebut tafsir.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia dan masuknya pengaruh dari dunia ilmu pengetahuan, maka di samping istilah tafsir di atas terdapat pula istilah lain yang memiliki fungsi yang sama, yaitu faham, ta'wil dan tajamah.

B.     FAHAM, TAFSIR, TA'WIL DAN TARJAMAH

Pengertian Faham, Tafsir, Ta'wil dan Tarjamah
Secara teoritis belum banyak para ahli yang mendeskripsikan tentang istilah pemahaman (al-fahm), lain halnya dengan istilah tafsir, ta'wil dan tarjamah. Dengan sangat ringkas Ibn Mandzhur (1999 : 343) dalam Lisan al-'Arab menjelaskan, bahwa Faham (al-fahm)معرفتك الشيئ بالقلب (pengetahuanmu berdasarkan penilaian hati tentang sesuatu). Dan ungkapan rajulun fahimun, maknanya seseorang sangat cepat pemamahannya.  Demikian pula al-Jurjani (1405 : 148) mengungkapkan, fahm  adalah تصور المعنى من لفظ المخاطب menggambarkan makna dari sesuatu yang diungkapkan oleh pihak kedua / mukhathab (Al-Jurjani, 1405 : t.p.). Memahami (fahm) al-Qur'an berarti suatu upaya untuk menggambarkan makna ayat al-Qur'an. Untuk lebih jelasnya di bawah nanti akan dikemukakan perbedaannya dengan tafsir.
Tafsir adalah suatu istilah yang diambil dari bahasa Arab, yakni al-fasr, yang artinya menurut al-Dzahabi (1976 : 13) adalah al-idlah wa al-tabyin (penjelasan dan keterangan) seperti terungkap dalam QS. 25:33. Penulis Lisan al-'Arabi, Ibn al-Mandzhurmemaknakannya dengan al-bayan (menjelaskan) dan kasyf al-mughaththa (menyingkapkan sesuatu yang masih tertutup). Dan yang dimaksud adalah menjelaskan suatu maksud dari lafal ayat yang sulit difahami (Al-Dzhabi, 1976 : 13).
Abu Hayyan dalam kitabnya, al-Bahr al-Muhith mengungkapkan, bahwa tafsir adalah :
علم يبحث عن كيفية النطق باللفاظ القران, و مدلولاتها, و احكامها الافرادية و التركيبية, و معانيها التي تحمل عليهاحالة التركيب و تتمات لذلك
Ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur'an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri ataupun ketika tersusun, makna-makna yang dikandungnya ketika tersusun dan hal-hal lain yang melengkapinya (Al-Dzahabi, 1976 : 13).
Demikian pula al-Zarkasyi memberikan pengertian
علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبييه محمد صلعم و بيان معانيه و استخراج احكامه و حكمه.
Ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammadi Saw., menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya (Al-Dzahabi, 1976 : 13).
Al-Zarqani (t.th. : 3) juga memberikan ta'rif, bahwa yang dimaksud tafsir adalah
علم يبحث فيه عن القران الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية.
Ilmu yang membahas al-Qur'an al-Karim dari segi dalalahnya terhadap apa yang dimaksud oleh Allah Swt. sesuai kadar kemampuan manusia.
Ahmad Asy-Syirbashi (1985 : 5) mengungkapkan, bahwa secara global ulama mempunyai dua pengertian tentang tafsir,    yaitu :
1.   Penjelasan atau keterangan tentang firman Allah Swt. yang dapat memberikan pengertian mengenai susunan kalimat yang terdapat dalam al-Qur'an;
2.   Merupakan bagian dari ilmu badi'  sebagai salah satu cabang dari ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan kalimat.
Masih banyak pengertian lain tentang tafsir yang telah dikemukakan ulama, yang masing-masing berbeda dalam penekannya. Pertama menekankan tafsir sebagai alat dan kedua menekankan tafsir sebagai tujuan. Menurut Dr. Abd. Muin Salim semua pengertian itu dapatlah dikompromikan dan paling tidak terkandung tiga konsep, yaitu : pertama tafsir merupakan kegiatan ilmiah yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kandungan ayat al-Qur'an, kedua tafsir sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan  untuk melakukan kegiatan ilmiah tersebut dan ketiga tafsir sebagai ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kegiatan ilmiah di atas. Ketiga konsep ini dapat disimpulkan, bahwa tafsir itu sebagai proses, alat dan hasil (Abd. Muin Salim, 2005 : 28).
Istilah tafsir terkadang pula disamakan dengan ta`wil. Karena itu do'a Rasulullah untuk Ibn 'Abbas – Ya Allah ! semoga engkau memberikan pemahaman yang mendalam tentang agama kepadanya (Ibn 'Abbas) dan semoga pula mengajarkan kepadanya ta`wil, yakni tafsir. Tetapi selain itu ada yang menganggap, bahwa ta`wil itu lain dengan tafssir.
Al-Dzahabi (1976 : 13) mengutip apa yang dikemukan oleh penulis Lisan al-'Arab, bahwa ta`wil secara bahasa berakar kata dari al-'aul yang semakna dengan al-ruju' (kembali). Selain dari itu ada pula yang menilai, bahwa ta`wil berakar kata dari al-iyalah yang artinya al-siyasah (mengendalikan). Orang yang memberikan ta`wil berarti mengendalikan ucapan dan meletakkan makna menurut yang semestinya.
Ulama salaf terbagi pada dua kelompok dalam memahami ta`wil. Pertama menurut mereka, bahwa ta`wil sinonim dengan tafsir dan kedua ta`wil itu esensi kalam (ucapan). Ulama Mutaakhkhirin (yang tergabung di dalamnya ahli fiqih, ahli kalam, ahli tasauf dll) memaknakan ta`wil
صرف اللفظ عن المعنى الراجح الى المعنى المرجوح لدليل يقترن به
Memalingkan suatu lafad dari maknanya yang jelas pada makna yang tidak jelas karena ada dalil yang membarenginya (Al-Dzahabi, 1976 : 17-18).
Dua pengertian tentang ta`wil di atas memberikan dampak yang berbeda pula terhadap sikap ulama. Ulama salaf merasa keberatan melakukan pena`wilan al-Qur'an dalm arti mengungkap esensinya dan memalingkan dari makna yang jelas pada yang tidak jelas. Imam Malik – misalnya - enggan membenarkan seseorang berkata, "langit menurunkan hujan", karena menurutnya, bahwa sesungguhnya Allahlah yang menurunkan hujan itu. (Quraish Shihab, 1992 : 97).
Quraish Shihab, (1992 :109-110) mengistilahkan ta`wil dengan penjelasan metaforis. Menurutnya, bahwa ulama salaf  merasa puas dengan mengungkapkan Allah a'lam bi muradih (Allah Maha mengetahui maksud-Nya). Tetapi hal ini sebenarnnya tidak memuaskan banyak pihak apalagi pada dewasa ini. Karena itu sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dari penjelasan literal (tafsir) beralih pada penjelasan metaforis (ta'wil). Dan pada kenyataannya tafsir seringkali mempersempit makna, berbeda dengan ta`wil dapat memperluas makna dan tidak menyimpang.
Di samping istilah-istilah di atas yang berfungsi untuk menjelaskan al-Qur'an ada pula istilah lain yang disebut tarjamah. Al-Dzahabi (l976 : 23) menyebutnya sebagai tafsir dengan yang bukan bahasanya. Tarjamah menurut bahasa ungkap al-Dzahabi mencakup pada dua makna, pertama memindahkan suatu bahasa pada bahasa lain dengan tanpa ada penjelasan makna asal yang diterjemahkan dan kedua menafsirkan (menerangkan) suatu ucapan serta menerangkan maknanya dengan bahasa yang lain.
Tarjamah dalam tataran praktisnya terdapat dua bagian, yaitu tarjamah harfiyah dan tarjamah tafsiriyah. Tarjamah harfiyah, baik menurut al-Dzahabi (1976 : 23-24) ataupun menurut  al-Qaththan (1973 : 313) adalah memindahkan suatu ucapan dari suatu bahasa (pertama) ke bahasa yang lain (kedua) dengan tetap sesuai dengan struktur dan susunan bahasa asalnya (pertama)serta terpenuhi semua maknanya. Tarjamah harfiyyah bagi al-Qur'an ada dengan cara bi al-misl, yaitu menterjemahkan al-Qur'an sesuai dengan kosa kata dan uslubnya dan ada pula dengan cara bi ghair al-misl, yakni menterjemahkan al-Qur'an sesuai dengan kemampuan dan keluasan bahasa penterjemah. Al-Dzahabi menilai (1976 : 25) , bahwa tarjamah harfiyah walaupun mungkin dapat digunakan untuk kalam manusia, tetapi tidak boleh bagi al-Qur'an, sebabdapat merusak makna.
Tarjamah tafsiriyah atau disebut pula tarjamah ma'nawiyah menurut al-Qaththan (1973 : 313) adalah menjelaskan suatu ucapan dengan bahasa yang lain dengan tanpa teikat pada susunan dan struktur bahasa asalnya. Tarjamah tafsiriyah/ma'nawiyah  mempunyai dua makna, yaitu ada yang memiliki makna asli (primer), artinya makna yang difahami secara sama oleh setiap orang yang mengetahui pengertian  lafad, baik secara mufrad atau secara murakab.  Dan ada yang memilki makna tsanawi (skunder), yakni makna yang khusus bagi susunan suatu kalimat yang dapat menjadikan perkataan itu berkualitas tinggi.
Tarjamah tafsiriyah yang bermakna tsanawi tidak mudah untuk dilaksanakan, sebab sulitnya menemukan padanan suatu bahasa dengan bahasa Arab (al-Qur'an) yang dalalah lafad-lafadnya terhadap makna-maknanya menurut ahli bayan memiliki khawash al-tarkib (keunikan susunan). Dan yang paling mungkin dilakukan untuk menterjemahkan al-Qur'an adalah dengan terjemah tafsiriyah yang bermakna ashli, sebab jika tidak demikian pesan al-Qur'an untuk orang 'ajam tidak bisa sampai.

Perbedaan antara  Faham, Tafsir, Ta'wil dan Tarjamah

Roni Nugraha ketika menjelaskan perbedaan antara tafsir dan fahm dalam kertas kerjanya mengutip penjelasan yang disampaikan Nurwajah. Perbedaan antara faham dan tafsir terletak pada karakteristik dan tujuannya. Karakter tafsir bersifat objektif dan faham bersifat subjektif. Tujuan dalam penafsiran adalah untuk mengungkapkan dan menjelaskan maksud-maksud Allah dalam al-Qur'an (al-kasyf wa al-bayan 'an murad Allah) sedang tujuan pemahaman al-Qur'an adalah terikat pada tujuan si pemaham al-Qur'an.
Perbedaan antara tafsir dan ta'wil, Al-Dzahabi (1976 : 19-22) menginpentarisasi beberapa pandangan ulama, yaitu :
1.   'Abu 'Ubaidah  dan yang segolongan dengannya menilai, bahwa tafsir sinonim dengan  ta'wil itu, yakni satu makna.
2.   Menurut al-Raghib al-Ashfahani, bahwa tafsir itu lebih umum dari pada ta'wil. Ta'wil banyak digunakan untuk memahami lafad sedang ta'wil banyak digunakan untuk memahami makna. Ta'wil banyak digunakan dalam pembahasan masalah ketuhanan sedang tafsir selain digunakan dalam pembahasan ketuhanan juga digunakan pula dalam pembahasan lainnya. Tafsir banyak digunakan untuk memahami kosa kata, sedang ta'wil banyak digunakan dalam jumlah (kalimat). Ta'wil banyak digunakan untuk memahami lafad-lafad yang gharib dan memahami makna yang terkandung dalam qishah sedang ta'wil adakalnya memaknakan suatu lafad secara umum dan adakalanya secara khusus dan pula untuk memahmai makna lafad musytarak.
3.   Al-Maturidi menjelaskan, bahwa tafsir menetapkan secara pasti maksud kata itu sedang ta'wil hanya membenarkan salah satu di antara beberapa kemungkinan makna, tanpa menetapkan secara pasti mana yang paling benar.
4.   Abu Thalib al-Tsa'labi menegaskan, tafsir adalah penjelasan mengenai pengertian suatu kata baik secara hakiki atau majazi, sedang ta'wil adalah tafsir mengenai apa yang tersirat dalam kata/kalimat.
5.   Al-Baghawi sejalan pula dengan al-Kawasyi menjelaskan, bahwa ta'wil memalingkan ayat pada makna yang dikandungnya, baik sesuai dengan ungkapan sebelumnya ataupun sesudahnya dengan tetap tidak menyalahi al-Kitab dan al-Sunnah dengan dengan jalan beristinbath, sedang tafsir adalah uraian tentang asbab al-nuzul ayat dan persoalan-persoalannya serta kisah-kisahnya.
6.   Menurut sebagian yang lain, bahwa tafsir ditempuh dengan pendekatan riwayah sedang ta'wil ditempuh dengan pendekatan dirayah.
7.   Selain itu pula ada yang berbendapat, bahwa ta'wil  merupakan penjelasan makna secara 'ibarah sedang ta'wil merupakan penjelasan makna secara isyarah.
Untuk mendapatkan gambaran yang konkrit tentang perbedaan antara tafsir, ta'wil dan faham, Prof. Dr. Nurwajah Ahmad Eq dalam kuliah tentang Ulumul Qur'an tanggal 17 Februari 2008 menjelaskan sebagai berikut :


SEGI-SEGI
TAFSIR
TA'WIL
FAHAM




Tujuan
Pengungkapan dan penjelasan maksud Allah.
Pengambilan makna ayat sesuai dengan tujuan pelaku
Pengambilan makna ayat sesuai dengan tujuan pelaku.
Metode
Al-tahlili, maudlui', muqarani dan ijmali.
Tarjih al-ma'na, dari yang rajih pada yang marjuh.
Nalar
Sumber
Al-Qur'an, al-Hadits dan qaul shahabi.
Bahasa Arab.


Informasi kebahasaan dan kemampuan-kemampuan manusia.
Alat
Ulum al-Qur'an dan kemampuan-kemampuan manusia.
Ilmu bahasa Arab
Kekuatan akal dan ilmu bahasa.
Satuan Kajian
Ayat-ayat atau lafad-lafad (kosa kata) yang terikat pada satu kesatuan utuh sistema redaksioanal al-Qur'an.
Kalimat (jumlah) yang terikat pada satu kesatuan utuh sistema redaksioanal ayat al-Qur'an.
Bisa saja lepas dari ikatan
kesatuan sistema redaksional.
Sikap (gaya) Pelaku/Subjek
Apresiatif dan aktif dalam mencari maksud Allah.
Apresiatif dan aktif dalam mencari maksud Allah.
Secara umum interventif dalam
menuntaskan tujuannya.
Perlakuan subjek terhadap al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk (hudan) sekaligus pembicara (mutakallim) otoritatif dalam tema yang diajuikan pada al-Qur'an.
Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk (hudan) sekaligus pembicara (mutakallim) otoritatif dalam tema yang diajuikan pada al-Qur'an.
Al-Qur'an sebagai sumber untuk tujuan pemahaman



Tafsir juga berbeda dengan tarjamah (tafsiriyah). Menurut al-Dzahabi (1976 : 28), bahwa perbedaan diantara keduanya dapat ditinjau dari dua segi, pertama Tafsir dan tarjamah masing-masing berbeda dalam penggunaan bahasa, tafsir menggunakan bahasa aslinya sedangkan tarjamah menggunakan bahasa lain (yang bukan aslinya). Kedua seseorang yang membaca dan memahami tafsir dimungkinkan akan memperhatikan susunan dan dalalah bahasa aslinya lalu jika ia menemukan kesalahan akan segera mengoreksinya. Berbeda seorang yang membaca tarjamah tidak memperhatikan hal itu, karena ia tidak mengetahui susunan dan dalalahsuatu bahasa (al-Qur'an).
Perbedaan lainnya, ketiga bahwa pada terjemah tidak terdapat lagi bahasa aslinya, sedang pada tafsir bahasa aslinya masih tetap ada dan dikutip kembali; keempat  pada tarjamah tidak boleh ada perluasan makna, sedang pada tafsir perluasan makna merupakan suatu keharusan.; kelima  pada terjemah harus terpenuhi maksud dan makna bahasa aslinya karena itu sipenterjemah dapat dikatakan telah berhasil dalam melakukan penterjemahan, berbeda halnya dengan tafsir,  tidak harus terpenuhi semua maksud dan makna bahasa yang ditafsirkan dan bahkan pengakuan mengenai keberhasilannya pun relative.

C.     METODE DAN CORAK PENAFSIRAN


Pada masa-masa awal pertumbuhan tafsir, metode penafsiran didasarkan pada sumbernya, secara global terdapat dua macam metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-riwayah (bi al-ma'tsur) dan tafsir bi al-dirayah (bi al-ma'qul / bi al-ra'y). Dari dua metode ini kemudian berkembang dan lahir metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudlui'.
Menurut al-Qaththan (l973 : 347), bahwa yang dimaksud tafsir bi al-riwayah adalah tafsir yang disandarkan pada nash-nash yang dinukil secara shahih dan tartib, seperti tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, dengan al-sunnah, dengan atsar shahabat kemudian dengan qaul tabi'in.
Jika merujuk pada pengertian di atas, maka ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-riwayahPertama al-Qur'an yang dipandang sebagai penafsir yang terbaik bagi al-Qur'an; kedua al-Sunnah yang berfungsi sebagai mubayyin al-Qur'an; ketiga shahabatyang dianggap paling mengetahui tentang penafsiran al-Qur'an dan keempat tabi'in sebagai orang yang bertemu dengan shahabat (Rosihon Anwar, 2001 : 182). Karena otoritas-otoritas ini, Ibnu Katsir (1970 : 7) menilai tafsir bi al-riwayah sebagai tafsir yang paling baik. Namun demikian ungkap Quraisy Shihab (1992 :84), dalam tafsir ini tidak terlepas dari adanya keistimewaan-keistimewaan dan kelemahan-kelemahan.
Kelebihan-kelebihannya adalah pertamamenekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur'an; kedua memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya dan ketiga mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Kelemahan-kelemahannya dapat diperhatikan pada kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini. Pertama para mufassir terjerumus pada uraian kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur'an menjadi kabur; kedua sering konteks turunnya ayat kurang diperhatikan, sehingga seolah-olah ayat-ayat itu turun di tengah-tengah masa yang hampa budaya. Di samping itu pula ketiga dalam kitab tafsir bi al-riwayah tidak tersaring dari riwayat-riwayat yang dla'if dan maudlu.
Sedang tafsir bi al-dirayah adalah tafsir yang penjelasan-penjelasannya disamping disandarkan pada al-Qur'an, al-Sunnah, atsar shahabat dan tabi'in juga menggunakan ijtihad dan akal yang berpegang pada qaidah-qaidah bahasa, adat-istiadat dan keilmuan lainnya (Hasbi ash-Shiddieqie, 1974 : 203).
Tafsir bi al-dirayah walaupun di kalangan ulama telah terjadi perdebatan mengenai kebolehannya, namun tafsir bi al-dirayahsebenarnya tafsir dengan ijtihad, yang Rasulullah Saw. sendiri sempat kagum dan menyetujui Mu'ad ibn Jabal ketika menetapkan hukum melalui ijtihad setelah ia tidak menemukan pemecahan langsung dari al-Qur'an dan al-Sunnah.
Metode ijmali adalah metode penafsiran al-Qur'an secara ringkas dan global. Penafsirannya disusun berdasarkan ayat-perayat mengikuti susunan di dalam mushaf  dan menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga dapat diterima oleh masyarakat intelktual (al-Farmawi, 1976 : 18). Karakteristik dari tafsir ijmali ini adalah :
1.   Makna ayat diungkapkan secara ringkas dan global, tetapi cukup jelas sehingga tidak sulit untuk menangkap maknanya;
2.   Tidak menutup kemungkinan, tafsir ijmali juga mengambil rujukan dari  hadits-hadits Rasulullah Saw., pendapat ulama salaf, sejarah, asbab al-nuzul dan qaidah-qaidah  bahasa.
Metode tahlili (analisis) atau disebut pula metode tajzi'iy adalah suatu metode yang para mufassir berusaha menerangkan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur'an sebagai mana yang tercantum dalam mushaf. Berbagai segi yang dianggap perlu oleh mufassir yang berpegang pada metode ini antara lain kosa kata, asbab al-nuzul, munasabah dan lainlain.
Tafsir tahlili walaupun dinilai sangat luas dan dapat meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur'an, namun tidak terlepas pula dari kekurangan-kekurangan, anatara lain :
1.   Tafsir tahlili tidak menyelesaikan pokok bahasan secara tuntas, karena suatu bahasan yang terdapat  dalam suatu ayat diteruskan bahasannya di ayat lain;
2.   Baqir al-Shadr menilai, bahwa bahwa metode ini telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam;
3.   Mufassir dengan metode ini berusaha menemukan dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur'an;
4.   Bahasan-bahasan tafsir dengan menggunakan metode ini dirasakan mengikat generasi berikutnya (Quraisy Shihab, 1992 :86).
Ditinjau dari segi kecenderungan para mufassir dan pendekatan yang digunakannya, maka metode tahlili mempunya beberapa corak penafsiran  yang beragam, antara lain (1) al-riwayah; (2) al-dirayah; (3) al-isyarah; (4) al-shufi; (5) al-fiqh; (6) al-falsafi; (7) al-'ilmi; (8) al-adab al-ijtimai' (9) al-bayani; dll.
Metode tafsir maudlui' mempunyai dua bentuk kajian. (1) penafsiran mengenai satu surat dalam al-Qur'an secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga kesemua persoalan kait mengait bagaikan satu kesatuan persoalan; (2) menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an dari berbagai surat yang membahas satu masalah tertentu, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut sebagai jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan (Quraisy Shihab, 1992 :117).
Perbedaan antara tafsir tahlili dan maudlu'i adalah sebagai berikut :
Tafsir Tahlili
Maudlu'i


1.
Sesuai urutan ayat dan surat dalam mushaf.
1.
Tidak sesuai dengan urutan ayat dan suratdalam mushaf, tetapi tergantung pada tema.
2.
Tema ditentukan ketika penafsiran berlangsung.
2.
Tema ditentukan lebih dahulu sebelum melakukan penafsiran.
3.
Sistematika sesuai urutan ayat/surat.
3.
Sistematika sesuai kehendak al-Qur'an.

Metode tafsir muqaran (komparasi / perbandingan) penafsiran al-Qur'an dengan cara membandingkan : (1) ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama; (2) ayat-ayat al-Qur'an dengan hadits-hadits Nabi Saw. yang nampaknya bertentangan; (3) pendapat ulama tafsir mengenai penafsiran suatu ayat al-Qur'an (Quraisy Shihab, 1992 : 118).

D.     KESIMPULAN

Al-Qur'an sebagai suatu kitab hudan li al-nas menuntut orang yang menjadikan pegangan sebagai pedomannya untuk difahami dan dimengerti, sehingga ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya dapat direalisasikan dalam kehidupan guna menempuh kebahagiaan yang hakiki.
Upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap makna al-Qur'an dilakukan sesuai dengan kapasitas pengetahuannya, yakni melalui jalan pemahaman (faham), penafsiran (tafsir), pena'wilan (ta'wil) dan penterjemahan (tarjamah) . Kesemua istilah ini masing-masing memiliki persamaandan perbedaan sebagai mana telah diuraikan di atas.
Penafsiran dapat dilakukan dengan mengambil metode baik   klasik atau baru. Yang klasik meliputi metode riwayah dan dirayah. Dan yang baru ditempuh dengan metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudlui'.
Tafsir Tahlili memiliki corak yang berbeda-beda, yaitu : (1) al-riwayah; (2) al-dirayah; (3) al-isyarah; (4) al-shufi; (5) al-fiqh; (6) al-falsafi; (7) al-'ilmi; (8) al-adab al-ijtimai' (9) al-bayani; dll.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad EQ, Prof. Dr. NurwajahMA., dalam kuliah Ulumul Qur'an pada Program Paxcasarjana Institut Agama Islam Darussalam, Ciamis tanggal 17 Februari 2008.

Al-Dzahahabi, Dr. Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Beirut, t.p., 1976.

Al-Jurjani, 'Ali ibn Muhammad ibn 'Ali, al-Ta'rifat, Beirut, Dar al-Kitab al-'Arabi,1405.

Al-Qaththan, Manna', Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, t.t., Mansyurat al-'ashr al-hadits, 1973

Al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Jilid II, t.t., 'Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, t.th.

Anwar, Drs. Rosihon, M.Ag., Samudera al-Qur'an, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2001.

Ash Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an/Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1980.

Asy-Syirbashi, Ahamad, Sejarah Tafsir al-Qur'an, terjemahan bahasa IndonesiaJakarta, Pustaka Firdaus, 1985.

Ibn al-Mandzhur, al-'Aalamah, Lisan al-'Arab, Jilid X, Beirut, Dar al-Fikr, 1999.

Ibn Katsir, al-Imam al-Jalil al-Hafidzh 'Imad al-Din Abi al-Fida` Isma'il, Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, Beirut, Dar al-Fikr, 1970.

Salim, Prof. Dr. Abd. Mu'in, MA, Metodologi Ilmu Tafsir, Sleman, Teras, 2005.

Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan al-Qur'an, Bandung, M izan, 1992

Syarh hadis, fiqh hadis, fahm hadis


Pengertian Syarh Hadis


A.Pendahuluan


Seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa hadist Rosulullah Saw. itu sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan dan hukum-hukum yang masih bersifat umum yang kemudian tidak ada perincian setelahnya dari ayat-ayat al-Quran, maka hendaklah dicari penyelesaiannya di hadist. Dan hadist nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Terlebih orang arab sangat menyukai hafalan, maka tidak heran jika para sahabat terbiasa menghafal apa-apa yang Rosulullah ucapkan, lakukan dan mereka mengisahkannya kembali. Setiap waktu hadist mengalami perkembangan.


Sunnah Nabi bagi mereka sangat terlampau penting untuk tidak dilengahkan atau dilupakan. Dan hal ini sangat terlihat sebagai bukti terkuat dalam sejarah Islam dan menggagalkan setiap usaha untuk merusaknya baik secara religius maupun historis.


Karena itu sebab dan penjelasan tentang hadist selalu menarik untuk dikaji sejalan dengan perkembangan nalar manusia yang semakin kritis. Dan tidak heran jika kemudian banyak pihak yang ikut nimbrung dalam mengkritik hadits meskipun mereka tidak faham ilmunya.


Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang ilmu syarh al-hadist, fiqh al-hadits, serta sejarah perkembangannya.



B.Pengertian Syarh al-Hadits


Kata syarah (syarh) berasal dari bahasa Arabشرح – يشرح - شرحا yang artinyamenerangkan, membukakan, danmelapangkan.[1] Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadits, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan),tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedangkan istilah syarah (syarh) meliputi hadits (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain.[2]


Sedangkan secara istilah definisi syarah hadis adalah sebagai berikut:


شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَعَانِي الْحَدِيْثِ وَاسْتِخْرَاجُ فَوَائِدِهِ مِنْ حُكْمٍ وَحِكْمَةٍ


Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.


Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan definisi syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya, adalah sebagai berikut:


شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَايَتَعَلَّقُ بِالْحَدِيْثِ مَتْنًاوَسَنَدًا مِنْ صِحَّةٍ وَعِلَّةٍ وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ اَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.


Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[3]


Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarah hadis secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut,


1)Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari sisi sanad maupun dari sisi matan, dan baik global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para periwayatnya, serta analisis matan dari sisi kaidah-kaidah kebahasaan.


2)Menguraikan makna dan maksud hadits. Hal ini meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan.


3)Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbat terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadits, baik yang tersurat maupun yang tersirat.[4]


Syarah hadits juga berarti meneliti, kemudian menjelaskan setiap komponen yang terdapat pada sebuah hadits. Secara umum, para ulama hadits menjelaskan ada dua komponen yang terdapat pada sebuah hadits yakni sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Sedangkan matan adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.[5]






C.Sejarah Perkembangannya


Sejarah perkembangan syarah hadis, tentu sangat mengikuti perkembangan hadits. Artinya, perkembangan syarah muncul setelah perkembangan hadits sudah mengalami beberapa dekade perjalanan. Dengan dasar ini sehingga para ulama terkadang berbeda dalam menentukan lahirnya syarah hadits. Di antaranya Hasbi al-Shiddieqy yang memposisikan perkembangan syarah hadits pada periode ketujuh, periode terakhir dari periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits yang dibuatnya.


Ketujuh periode yang dibuat Hasbi al-Shiddieqy adalah sebagai berikut: 1) Kelahiran hadits hingga Rasulullah wafat; 2) Pembatasan riwayat; 3) Perkembangan periwayatan dan perlawatan mencari hadits, sejak 41 H sampai akhir abad ke-1 H; 4) Pembukuan hadits, selama abad ke-2 H; 5) Penyaringan dan seleksi hadits, selama abad ke-3 H; 6) Penghimpunan hadits-hadits yang terlewatkan, sejak awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H; 7) Penulisan kitab-kitab syarah, kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ketujuh Hijriah.[6]


Selain Hasbi al-Shiddieqy, terdapat ulama lain yang relatif objektif dalam memposisikan syarah hadits dalam preodisasi perkembangan hadits dan ilmu hadits, yaitu Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia membaginya menjadi lima periode, dan periode terakhir adalah sistematisasi, penggabungan, dan penulisan kitab syarah sejak abad ke-4 Hijriah.[7]


Sedangkan penulis yang melakukan periodisasi sejarah perkembangan ilmu hadits adalah Nuruddin ‘Itr. Ia membagi sejarah perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh tahap, yaitu: 1) kelahiran ilmu hadits, sejak masa sahabat hingga tahun 100 H; 2) Penyempurnaan, sejak awal abad kedua hingga awal abad ketiga Hijriah; 3) pembukuan ilmu hadits secara terpisah, sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah; 4) penyusunan kitab-kitab induk ilmu hadits, sejak pertengahan abad keempat sampai abad ketujuh Hijriah; 5) Pematangan dan penyempurnaan pembukuan ilmu hadits, sejak akhir abad ketujuh sampai abad kesepuluh Hijriah; 6) Kebekuan dan kejumudan, abad kesepuluh sampai abad keempat belas Hijriah; 7) kebangkitan kedua, abad keempat belas dan seterusnya.[8]


Akan tetapi karena kegiatan mensyarah hadits sebenarnya secara praktis telah terjadi pada saat kelahiran hadits itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah secara lisan dan dilanjutkan pada masa sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah perkembangan syarah hadits tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah hadits secara lisan sering dilakukan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Bila demikian, periode sejarah perkembangan syarah hadits secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu syarah hadits pada masa kelahiran hadits (fi ‘ashr al-risalah), syarah hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits (fi ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin), dan syarah hadits setelah pembukuan hadits (ba’da al-tadwin).


a.Syarah Hadits pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Ashr al-Risalah)


Masa kelahiran hadits sama dengan masa turunnya al-Qur’an, atau selama Nabi Muhammad mengemban risalah yaitu sejak diangkat menjadi nabi dan rasul hingga ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan bayan kepada umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap ucapan Nabi dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu secara langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan syarah hadits telah terjadi pada masa kelahiran hadits itu sendiri, dan pensyarahnya adalah Rasulullah.[9]


b.Syarah Hadits pada Masa Periwayatan dan Pembukuan Hadits (Fi ‘Ashr Al-Riwayah wa al-Tadwin)


Yang dimaksud dengan hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits adalah kegiatan syarah hadits yang dilakukan secara lisan atau tulisan sejak masa sahabat hingga memasuki masa penulisan kitab-kitab syarah, yaitu dari dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga akhir abad ketiga Hijriah. Periode ini dinamai masa periwayatan dan pembukuan hadits karena kedua kegiatan tersebut tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya selama batas waktu tersebut periwayatan dan pembukuan hadits berjalan seiring, karena periwayatan hadits juga berlangsung berdasarkan hafalan dan tulisan. Apabila periode ini diakhiri dengan munculnya kitab syarah, maka periode ini dapat berakhir pada akhir pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah Shahih al-Bukhari yang tertua berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H).[10]


c.Syarah Hadits Pasca Pembukuan Hadits (Ba’da al-Tadwin)


Yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan adalah berakhirnya penulisan-penulisan kitab-kitab hadits yang termasuk kategori al-Mashadir al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil pencarian dan penelusuran hadits oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri, bukan kumpulan kutipan-kutipan hadits dari berbagai kitab, bukan himpunan di antara dua kitab atau lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang lain. Dasar pemikiran dari pembatasan awal periode ini adalah karena berakhirnya pembukuan hadits, maka penulisan syarah terhadap hadits tidak lagi tercakup dan menyatu dengan matan hadits seperti pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kitab hadits yang terakhir disusun, maka periode ini berawal pada pertengahan –bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah, yaitu dengan disusunnya al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqiy (w. 458 H). Namun, apabila dilihat dari munculnya kitab syarah, boleh jadi periode ini berawal sejak pertama kali munculnya kitab syarah yang dikenal dengan sebagai kitab syarah tertua yaitu A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H), yaitu syarah terhadap shahih al-Bukhari. Hal ini sesuai dengan periodisasi menurut al-Khuli di atas.[11]


D.Pengertian Fiqh al-Hadis


Fiqh al-Hadits terdiri dari dua kata yaitu: fiqh dan al-Hadits.


a)Fiqh adalah العلم بالشيء و الفهم له ( mengetahui sesuatu dan memahaminya). Al-Fairuz Abadiy mendefinisikan kata ini dengan العلم بالشيء والفهم له والفطنة وغلب على الدين لشرفه (mengetahui sesuatu dan memahaminya, kecerdasan, dan pengetahuan itu menguasai ilmu agama karena kemuliannya).[12]


b)Kata al-Hadits secara literatur berarti informasi atau komunikasi yang bersifat umum. Ini sesuai dengan ungkapan Ibn Manzhur kata al-Hadits berasal dari حدث- يحدث-حدثا yang berarti kabar atau berita yang banyak atau yang sedikit.[13]


Sedangkan secara terminologi al-Hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, bentuk fisik, sifat, serta sejarah hidup yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik setelah diutus maupun sebelumnya.


Sedangkan kata fiqh al-hadits menurut Abu Yasir al-Hasan al-Ilmy adalah:[14]


فقه الحديث النبوي معناه فهم مراد النبي صلى الله عليه و سلم من كلامه.


Fiqh al-Hadits al-Nabawiy artinya adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw.


Sedangkan menurut pendapat lain adalah[15]:


فقه الحديث هو فهم مراد النبي من كلامه واستخراج معناه.


Fiqh al-Hadits adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw. dan mengeluarkan maknanya.


Jadi makna yang diungkapkan ini bukanlah makna fiqh yang dikenal oleh kalangan fuqaha’. Makna yang di kemukakan oleh Abu Yasir adalah makna yang mencakup semua sunnah Rasulullah Saw. dan makna inilah yang dimaksud oleh ulama-ulama hadis seperti al-Bukhariy, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dll.


Berdasarkan penjelasan definisi tersebut baik secara bahasa ataupun istilah, maka dapat dipahami bahwa kata fiqh al-Hadits berarti memahami maksud dari perkataan Nabi Saw. namun pengertian fiqh al-Hadits secara bahasa menurut penulis lebih mencapai target yang dituju dari pembahasan ini karena yang dituju oleh pemahaman ini bukan hanya perkataan Nabi Saw. saja, tetapi juga perbuatan dan ketetapannya yang diungkapkan oleh sahabat. Selain itu dari definisi yang dikemukakan oleh Thasy Kubra Zadah, pemahaman yang dituju hanya seputar hadis-hadis yang bersifat syar’i, dalam hal ini terlihat pembatasan pemahaman hadis hanya yang terkait dengan bidang hukum saja, padahal yang perlu dipahami oleh umat tidak hanya seputar wilayah hukum, karena Rasulullah Saw adalah teladan bagi umat manusia, sehingga segala sesuatunya yang muncul dari perilaku Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sikap hidupnya dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi pedoman bagi manusia. Selain itu bertujuan agar umat tidak salah dalam menerapkan hadis Nabi Saw, karena tidak semua hadis tersebut harus dilakukan oleh umat terutama hal yang dikhususkan untuk Nabi Saw.


Jadi Fiqh al-Hadits menurut penulis berarti pemahaman terhadap ucapan, perbuatan, sifat, ketetapan, dan juga sejarah hidup Nabi Saw. yang disampaikan oleh sahabat.


E.Sejarah Perkembangannya


Perkembangan dan Sejarah fiqh al-Hadits dapat di perhatikan sebagaimana berikut ini, yaitu:


1)Pada masa Nabi Saw.


Pada masa ini, para sahabat telah melakukan usaha untuk memahami perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Saw, baik itu ketika menghadiri majelis Nabi Saw, maupun dalam kesehariannya. Salah satu usaha yang dilakukan oleh para sahabat adalah dengan menanyakan nya langsung kepada Nabi Saw. Ini dapat dibuktikan dengan pertanyaan sahabat kepada Nabi Saw terhadap apa yang tidak mereka pahami dari apa yang telah disampaikan oleh Nabi Saw. Contohnya adalah perkataan Nabi Saw., yang di riwayatkan oleh al-Tirmidziy berikut ini;[16]


عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ « الْمُتَكَبِّرُونَ »


Artinya : ... Dari Jabir Bahwa Rasulullah Saw. bersabda; Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan orang yang paling dekat dengan majelisku di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sesungguhnya orang yang paling benci kepadaku dan paling jauh dari majelisku di hari kiamat adalah orang yang cerewet, orang-orang yang malas bicara, lalu sahabat bertanya siapakah al-Mutafayyiqun itu? Rasul menjawab yaitu orang-orang yang sombong.


Dalam hadis ini terlihat bahwa sahabat meminta atau menanyakan langsung kepada Nabi Saw. terhadap kata-kata yang tidak dimengerti atau tidak dipahami oleh sahabat maknanya. Ini adalah diantara salah satu bentuk pemahaman terhadap hadis dengan mengetahui makna dari kata asing yang terdapat dalam hadis Nabi Saw., atau dengan mengetahui Asbab al-Wurud al-Hadits, Nasikh dan Mansukhnya, penguasaan para sahabat terhadap biografi kehidupan Nabi, atau dengan kondisi-kondisi lain yang mendukung pemahaman terhadap hadis Nabi Saw. tersebut.


2)Pada masa Sahabat


Setelah Nabi Saw. wafat, para sahabat merupakan tempat bertanya bagi masyarakat, karena para sahabat merupakan orang yang pernah hidup bersama Nabi Saw, dan mereka sahabat merupakan pewaris dari Nabi Saw. Jika ada persoalan agama pada umumnya, khususnya hadits masyarakat lansung bertanya kepada sahabat.


Dimasa sahabat, Fiqh al-Hadits belum dirumuskan secara terperinci. Namun, usaha untuk mencari pemahaman yang benar dari hadis tetap dilakukan oleh para sahabat, apalagi kondisi ini didukung oleh tersebarnya Islam ke luar wilayah Arab.


Masa sahabat menampakkan perbedaan dari masa Nabi karena pada sahabat telah mengarahkan perhatiannya terhadap pengumpulan dan pembukuaan al-Qur’an serta juga usaha untuk mentadabbur (meneliti dan memahami ) sunnah. Hal ini terlihat dalam usaha mereka mengikuti Umar dengan sedikitnya meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. Menurut Umar, jika periwayatan telah banyak maka orang akan menjadi lalai, sehingga akan terabaikan pemahaman dan dirayahnya, sedangkan jika periwayatan sedikit maka orang akan berusaha untuk memahami dan menjaganya. Ibn Abd al-Bar berpendapat bahwa hal ini terjadi karena mereka takut akan terjaadi kedustaan terhadap Rasulullah dan takut umat akan sibuk untuk mentadabbur (meneliti dan memahami) sunnah dari pada al-Qur’an.[17]


Setelah itu para sahabat juga telah berupaya mengistinbathkan (mengambil ketetapan) hakum dan mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sunnah, tetapi di sisi lain mereka tidak menyibukkan diri untuk mengetahui kaidah-kaidah bahasa dan cara-cara untuk menetapkan dalil karena itu adalah sesuatu yang mudah bagi mereka.


3)Pada masa Tabi’in dan sesudahnya


Islam semakin berkembang dan umatnya tersebar di berbagai penjuru negeri. Perkembangan Islam sesuai dengan perkembangan zaman, ini menuntut pemeliharaan dan pemahaman yang benar terhadap hadis Rasulullah SAW. Kondisi ini dilatar belakangi oleh terjadinya pemalsuan hadis Nabi SAW dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Untuk menghindari pemahaman yang tidak benar dan ke tidak otentikkan sebuah hadis, maka para tabi’in setelah sahabat melakukan berbagai upaya pemeliharaan terhadap hadis dan membuat karya-karya yang mendukung untuk memahami hadis yang menjadi sumber kedua dari Hukum Islam. Diantara usaha yang dilakukan oleh para tabi’in adalah dengan menyusun karya yang berkaitan dengan ilmu hadis, dan pemahaman hadis (fiqh hadits) seperti ditulis oleh Imam Malik dengan karya al-Muatha’.


Menurut Abu Yasir bahwa kondisi fiqh al-Hadits pada masa Tabi’in ini cukup berkembang, ini terlihat dari usaha yang telah melakukan upaya-upaya untuk dapat memahami hadis dengan baik dan benar, sehingga hadis Nabi SAW dapat dipahami kandungan dari hadis apakah hadis tersebut bersifat hukum atau tidak. Secara ringkas dapat di katakan bahwa ini didukung oleh:


a.munculnya keinginan untuk menggunakan kaidah fiqh al-Hadits


b.meluasnya permasalahan khilafiyah dalam memahami hadis


c.berkembangnya pembukuan terhadap sunnah atau hadis.


F.Kesimpulan


Dari uraian diatas maka dapat disimpulakan bahwa syarh al-hadis dan fiqh al-hadis memiliki kaitan yang sangat erat sekali, dimana syarah hadis merupakan hasil Transformasi dari Fiqh hadis atau pemahaman terhadap hadis.[18] Fiqh Hadis lebih bersifat konseptual dan dalam penjelasanya bersifat lisan. Sedangkan istilah Syarah bersifat kongkrit operasional yang berwujud tulisan dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan ulama dari hasil pemahaman mereka terhadap suatu Hadis.


Syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu hadis, juga disebut dengan syarah. Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti syarahShahîh al-Bukhârî, syarah Alfiyyah Al-`Irâqî, dan syarah Qurrat al-`Ayn, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadis” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatu hadis tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah Saw. beserta sanadnya.


G.Daftar Pustaka


Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah wa Tanzilan, Disertasi: t.tp, t.th


al-Jawābī, Muhammad Thāhir, Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, Tunisia, t.th


al-Khatib, Ajaj, Ushul al-Hadits, Jakarta: GMP, 2007


al-Khulli, Muhammad ‘Abd al-‘Aziz, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th


al-Mishri, Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Jilid II, Beirut: Dar Shadir, t.th


Ali, Nizar, (Ringkasan Desertasi)Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis, Yogyakarta, 2007


Nurkholis, Mujiono, Metodologi Syarah Hadist, Bandung: Fasygil Grup, 2003


‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1979






[1]Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t), Jilid II, hlm. 497-498


[2]Nizar Ali, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), h. 4


[3]Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003), h. 3


[4]Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, h. 4


[5] Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Jakarta: GMP, 2007), h. 12


[6] Hasbi al-Shiddieqy, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang , 1980, hlm. 46-47. Akan tetapi berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis sejak abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi al-Busti (319-388 H).


[7] Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khulli, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.t, hlm. 12


[8] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979) h. 36-72


[9] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 35-36


[10] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 40


[11] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 45


[12] Muhammad ibn al-Mukarram ibn Manzhûr,Lisân al-‘Arab, (Bairut: Dar Lisan al-‘Arab, {t.th}), juz.III. h. 1120


[13] Majd al-Din Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadiy, Al-Qamus al-Muhith, (Bairut: Dar al-Jail, t.th), Juz 4, h. 291


[14] Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah wa Tanzilan, (Disertasi: t.tp, t.th), h.14


[15] Ungkapan ini dikutip oleh pemakalah dari Kitab Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, h. 128


[16] Al-Tirmidziy, Sunan al-Tirmidziy (Aplikasi Lidwa)


[17] Abu Yasir dari kitab Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlihi, untuk lebih jelas lihat Abu Yasir, Op. Cit, h. 21


[18] Muhammad Thāhir al-Jawābī, Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, Tunisia, t.th, h. 129