Tuesday, 24 March 2020

Bahasa, Sastra dan Hermeneutika


A.    Bahasa, Sastra dan Hermeneutika
Bahasa dalam kamus besar Bahasa Indonesia merujuk pada suatu system lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.[1] Sementara dalam Bahasa Inggris Bahasa sendiri dikenal dengan istilah Language yang mempunyai arti the method of human communication, either spoken or written, consisting of the use of words in a structured and conventional way (metode yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, baik dalam ucapan atau tulisan, yang terdiri dari penggunaan kata yang lazim/biasa di dalam sebuah struktur) dalam artian mengerucut kamus ini pula lebih memilih menerjemahkan Bahasa sebagai A system of communication used by a particular country or community (sebuah system komunikasi yang digunakan oleh sebuah negara khusus atau sebuah komunitas).[2]
            Dalam Bahasa sendiri terdiri dalam dua unsur, yakni, bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Pertama, dalam segi bentuk (arus ujaran) yang merupakan bagian yang dapat diserap oleh unsur panca indra (membaca dan menulis). Bagian ini terdiri dari dua sub unsur yakni segmental dan suprasegmental. Unsur segmental secara hierarkis dari segmen yang paling dasar sampai yang terkecil, yaitu wacana, paragraph, kalimat, frasa, kata, morfem, dan fonem. Unsur suprasegmental terdiri dari intonasi. Unsur-unsur intonasi adalah; tekanan (keras, dan lembut ujaran), nada (tinggi rendah ujaran), durasi (panjang pendek waktu pengucapan), dan perhentian (yang membatasi arus uajaran).
            Kedua, dalam segi makna, makna sendiri berarti isi yang terkandung dalam segi unsur bentuk diatas. Secara hierarkis dari yang terbesar yaitu, makna morfemis (makna imbuhan), makna leksikal (makna kata), makna sintaksis (makna frasa, klausa, dan kalimat), serta makna wacana yang disebut tema.
Sementara pengertian Kata hermeneutika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan” atau “menginterpretasi”.Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar masih dalam koridor makna aslinya, yaitu mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan.[3]
Dalam bahasa Inggrisnya adalah Hermeneutics. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literature dalam peninggalan Yunani Kuno, seperti yang digunakan Aritoteles dalam sebuah risalahnya yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran).Selain itu, sebagai sebuah terminology, hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup (world view) dari para penggagasnya.[4]
Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan – pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa – dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi symbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.[5]
Oleh Karena itu, hemeneutik pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutika dalam pandangan klasik mapun dalam  pandangan modern.
Dalam definisi lain Habermas menyatakan hermeneutika sebagai suatu seni memahami makna komunikasi linguistic dan menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.[6]
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu : bahwa kata – kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata – kata yang kita tulis adalah simbol dari kata – kata yang kita ucapkan itu.
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam semua tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuein, yaitu :[7]
1.             Mengungkapkan kata – kata, misalnya, “to say”,
2.             Menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi;
3.             Menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing.
Ebeling membuat interpretasi yang banyak dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan Hermes. Proses tersebut mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar yaitu: 1) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata – kata sebagai medium penyampaian; 2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih samar – samar sehingga maknanya dapat dimengerti; dan 3) menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai pembaca. Tiga pengertian tersebut yang terangkum dalam pengertian “menafsirkan” (interpreting, understanding)[8]
Komponen pokok dalam kegiatan penafsiran dengan metode hermeneutika yakni teks, konteks, dan kontekstualisasi. Keberadaan konteks dan seputar teks tidak bisa dinafikan jika kita ingin memperoleh pemahaman yang tepat terhadap teks. Sebab, kontekslah yang menentukan makna teks, bagaimana teks tersebut harus dibaca, dan seberapa jauh teks tersebut harus dipahami. Dengan demikian, teks yang sama dalam kurun waktu yang sama dapat memiliki makna yang berbeda di mata “penafsir” yang berbeda; bahkan seorang penafsir yang sama dapat memberikan pemahaman teks yang sama secara berbeda – beda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. [9]
Ada tiga pemahaman yang dapat diperoleh dari perbincangan hermeneutika yaitu pertama, hermeneutika dipahami sebagai teknis praksis pemahaman atau penafsiran. Kedua, hermeneutika dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Ketiga, hermeneutika dipahami sebagai filsafat penafsiran[10]    

B.     Hermeneutika Dan Bahasa
Pada dasarnya hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa.; kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan sesuatu bahasa pun berkomunikasi dengan seni – seni yang lainnya juga dengan menggunakan bahasa. Semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual (misalnya patung, dll) juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa. Bagaimana kita mengungkapkan kenikmatan dan kebosanan kita saat mendengarkan musik klasik ciptaan W.A Mozart atau J.S. Bach? Atau mengungkapkan kekaguman kita saat melihat lukisan karya Michael Angelo ataupun Da Vinci dan memperbandingkannya dengan karya Affandi atau Picasso? Hanya melalui bahasa[11].
Dengan kata lain, memahami bahasa memungkinkan kita untuk berpartisipasi pada pemakaian bahasa di masa – masa yang akan datang. Bahasa adalah perantara yang nyata bagi hubungan umat manusia. Tradisi dan kebudayaan kita, segala warisan nenek moyang kita sebagai suatu bangsa, semuanya itu terungkap di dalam bahasa, baik yang terukir pada batu prasasti maupun yang tertulis pada daun lontar.
Sependapat dengan pernyataan Nasr Hamid Abu Zaid yang mengutip pendapat al-Qadi Abdul Jabbar bahwa: “Bahasa mengekspresikan kebermaknaan yang ada secara praktis diantara sesuatu. Manusia sebenarnya tidak menggunakan Bahasa, tetapi Bahasa itulah yang berbicara melalui manusia. Alam terbuka bagi manusia melalui Bahasa. Karena Bahasa adalah bidang dan lahan pemahaman dan penafsiran, maka alam mengungkapkan dirinya kepada manusia melalui berbagai proses pemahaman dan penafsiran yang berkesinambungan. Bukan manusia memahami Bahasa, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa manusia memahami lewat Bahasa. Bahasa bukan perantara alam manusia, tetapi ia merupakan penampakan alam dan pengungkapannya setelah sebelumnya ia tersembunyi, karena Bahasa adalah pengejawantahan eksistensial bagi alam.”[12]
 Dan dalam hal Bahasa dan pemahaman lebih lanjut Nasr Hamid mengutip al-Jahiz dengan konsep 5 bentuk kode komunikasi untuk memahami pemilik makna, yaitu; 1) kata, lafdz, 2) tanda atau isyarat. 3) konvensi, ‘aqd. 4) kondisi tertentu, hâl, dan 5) nisba.[13]   
C.    Hermeneutika Sebagai Suatu Pendekatan
1.      Wilayah Pendekatan Hermeneutika
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, sasaran operasional hermeneutika sebenarnya selalu berhubungan dengan proses pemahaman (understanding), penafsiran (interpretation) dan penerjemahan (translation). Karena itu, pada dasarnya wilayah yang dapat didekati dengan Hermeneutika adalah teks yang tertulis. Karena itu, pada dasarnya wilayah yang dapat didekati dengan hermeneutika adalah teks yang tertulis. Tapi kemudian muncul persoalan ketika pemahaman dilakukan pada teks tanpa tuan, apakah pemahaman hanya terbatas pada teks yang Nampak atau mesti melibatkan aspek psioko – histiris penulisnya. Disinilah muncul dua aliran mazhab, yaitu mazhab hermeneutika transendental dan historis psikologis. Yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan sebuah kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan dengan pengarangnya karena sebuah   kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Yang kedua berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporal semata dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representative dalam teks.Mazhab inilah yang diperjuangkan oleh Schleiermacher dengan teorinya grammatical understanding (pemahaman gramatikal) dan psychological understanding (pemahaman psikologis)[14].
Tapi dalam perkembangan selanjutnya, wilayah hermeneutika tidak lagi terbatas pada dua mazhab di atas, akan tetapi telah diintegrasikan dalam berbagai disiplin ilmu. Para ilmuan seperti sosiolog, antropolog, ekonom, sejarahwan, teolog, filosof dan para sarjana agama menggunakan hermeneutika dalam disiplin ilmunya[15].
Semakin meluasnya wilayah pendekatan hermeneutika, maka klasifikasi studi hermeneutika juga menjadi terbagi, yaitu:
a)      Exegesis (tafsir atas bible).
b)      Philology (interpretasi atas berbagai teks sastra kuno),
c)      Technical hermeneutics (interpretasi atas penggunaan dan pengembangan kaedah – kaedah bahasa).
d)      Philosophical Hermeneutics (interpretasi atas sebuah pemahaman esensial).
e)      Social Hermeneutics (interpretasi atas perilaku manusia baik individu maupun sosial)[16]
2.      Langkah – langkah Pendekatan Hermeneutika
Dibandingkan dengan metode fenomologi yang mencoba mengungkapkan dan mendeskripsikan hakekat agama, maka metode hermeneutika mencoba memahami kebudayaan melalui interpretasi. Karena pada mulanya metode ini diterapkan untuk menginterpretasikan teks – teks keagamaan, maka tidak heran jika tradisi tekstualitas masih tetap melekat, dalam arti masih mendudukan teks sebagai perhatian sentral. Sehingga langkah – langkah yang perlu diikuti dalam melakukan penelitian dengan pendekatan hermeneutic adalah sebagai berikut:[17]
1)      Telaah Atas Hakekat Teks
Di dalam Hermeneutika, teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari pengarangnya, waktu penciptanya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu diciptakan.Karena wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa, maka yang menjadi pusat perhatiannya adalah hakekat bahasa.Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat penyampaian sesuatu.Sebagai akibatnya, terdapat hubungan antara ‘alat penyampaian’ dan ‘apa yang disampaikan’. Tujuan dari metode ini adalah mengerti tentang apa yang disampaikan dengan cara menginterpretasikan alat penyampaiannya, yaitu teks atau bahasa tulis.
2)      Proses Apresiasi
Proses ini sesungguhnya adalah bentuk ketidakpuasan atas kebenaran tekstual. Karena itu, proses ini mencoba mengapresiasikan secara historis penulis atau pengarang teks. Menurut Dilthey, sebuah teks mesti diproyeksikan kebelakang dengan melihat tiga hal: a). Memahami sudut padang atau gagasan para pelaku sejarah yang berkaitan dengan teks. b). Memahami makna aktivitas mereka pada hal yang berkaitan langsung dengan teks.c). Menilai peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat teks tercipta[18]
Dengan demikian, seorang pembaca atau peneliti tidak dibiarkan tenggelam dalam lautan teks, tetapi juga harus menyelam ke dunia di mana teks diciptakan.
3.      Proses Interpretasi
Inilah bnetuk terakhir dari proses pengkajian dengan pendekatan hermeneutika. Ketika berhadapan dengan teks maka pembaca dinyatakan dalam situasi hermeneutika, yaitu berada pada posisi antara masa lalu dan masa kini, atau antara yang asing dan yang tak asing. Masa lalu dan asing karena tidak mengetahui masa lalu teks dan masa kini dan tak asing karena mengetahui teks yang sedang dihadapi.
Sebagai seorang yang menempati posisi antara, maka ia harus menjembatani masa lalu dan masa kini melalui interpretasi. Pembaca atau peneliti harus mampu menghadirkan kembali makna – makna yang dimaksudkan ketika teks diciptakan di tengah – tengah situasi yang berbeda.
Agar benar – benar memperoleh interpretasi yang benar (sesuai dengan pencipta teks), maka pembaca atau peneliti juga dituntut memiliki kesadaran sejarah, karena salah dalam memahami sejarah maka proses hermeneutika akan menjadi keliru.

D.    Hermeneutika Sebagai Sebuah Metode Penafsiran
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga bentuk atau model.
a)      Hermeneutika Objektif yang dikembangkan tokoh – tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Batti. Menurut model ini penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan pembaca melainkan diturunkan dan bersifat instruktif[19].
b)      Hermeneutika Subjektif yang dikembangkan oleh tokoh – tokoh modern khususnya Hans – Georg Gadamer dan Jacques Derida. Menurut model ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri[20].
c)      Hermeneutika Pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh – tokoh Muslim Kontemporer khususnya Hasan Hanafi dan Farid Esack. Menurut model ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi[21].

E.            TIPE – TIPE DAN VARIAN HEREMENEUTIKA
Tipe – tipe hermeneutika menurut Palmer (1999), selain Gadamer, terdapat dua belas filsuf yang pemikiran dan karyanya berkorelasi dengan hermeneutika yakni[22]:
a)        Plato (metode dialogis yang dikembangkannya dari Sokrates, mitos tidak bertentangan dengan rasio / logos)
b)        Aristoteles (Organon, terutama de Interpretatione)
c)        Hegel (dialektika; tesis, antithesis, sintesis)
d)        Husserl (fenomenologi)
e)        Heidegger (fenomenologi, terutama Being dan Time)
f)         Wittgenstein (filsafat bahasa)
g)        Adorno (teori kritis Frankfurt School)
h)        Habermas (hermeneutika salah satu dimensi teori kritik social)
i)         Derrida (mendekati hermeneutika dari latar post – structuralist theory)
j)         Foucault (strukturalis / “interpretative an-alytics)
k)        Rorty (menggunakan hermeneutika untuk membangun posisi menentang epistemology yang berbasis – filsafat, masa lampau, dan masa kini)
l)         Davidson (menafsirkan Alkitab sebagai dialog hermeneutikal).
Selama ini telah muncul dan berkembang beberapa varian hermeneutika sebagai berikut:
a)        Hermeneutika romantis
Dengan tokohnya Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 – 1834) seorang filosof, teolog, filolog, dan tokoh sekaligus pendiri Protestantisme Liberal.Schleiermecher merupakan filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan hermeneutika. Itulah sebabnya ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern, karena dalam melihat pemikirannya, makna hermeneutika berubah dari sekedar kajian teologis (teks Bibel) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat[23].Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher adalah seorang raksasa intelektual pada zamannya. Tulisan – tulisannya tentang teologi, filsafat, dan juga khotbah – khotbahnya mengungkapkan minat intelektualnya yang amat luas.[24]
b)        Hermeneutika Metodis
Oleh Wilhem Dilthey (1833 – 1911). Pemikiran hermeneutika Schleiermacher dikritik oleh Wilhem Dilthey seorang filosof, kritikus sastra dan ahli sejarah dari Jerman.Menurutnya manusia bukan sekedar makhluk berbahasa, tetapi makhluk eksistensial. Menurut Dilthey, sejak awal manusia tidak pernah hidup hanya sebagai makhluk linguistic yang hanya mendengar, menulis, dan membaca untuk kemudian memahami dan menafsirkan. Lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya. Namun demikian, dalam proses memahami teks, Dilthey berpandangan bahwa makna teks harus ditelusuri dari maksud subjektif pengarangnya.
Menurut Dilthey, pikiran seseorang selalu berkembang karena situasi eksternal dan pengalaman – pengalaman barunya. Karena mengedepankan masa lalu (sejarah) pengarang dalam menafsirkan teks, maka gagasan hermeneutika Dilthey juga sering disebut hermeneutika historis.
c)        Hermeneutika fenomenologis
Edmund Husserl (1889 – 1938), tokoh hermeneutika fenomenologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirakn sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias – bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
d)        Hermeneutika Dialektis
Martin Heidegger (1889 – 1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang prasangka – prasangka historis atas objek merupakan sumber – sumber pemahaman, karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami. Pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang, yang dengan demikian akan memahami lagi teks yang sama secara baru dengan makna yang baru pula.[25]
e)        Hermeneutika Dialogis
Hans Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Pada tahun 1922 ia mendapat gelar doctor filsafat. Menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, karier filsafatnya justru mencapai puncaknya, yaitu melalui publikasi bukunya yang berjudul “Kebenaran dan Metode” (Wahrheit und Methode atau truth and method)[26]
Hans Georg Gadamer tokoh hermenenutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium yang sangat penting bagi terjadinya dialog.
f)         Hermeneutika Kritis
Tokohnya adalah Jurgen hambernas, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan social yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpenter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, social, suku, dan gender.
g)        Teori Hermeneutika lain yang muncul dari seorang Katolik kelahiran Prancis bernama Paul Ricoeur (1913) konsep utamanya adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembaca.
h)        Hermeneutika Dekonstruksionis
Hermeneutika ini oleh Jacques Derrida (1930) menunjukkan bahwa bahasa dan juga system symbol lainnya, merupakan sesuatu yang tidak stabil. Karena itu maka tulisan teks, menurut Derrida, selalu mengalami perubahan, tergantung konteks dan pembacanya.








BAB III
Kesimpulan
Kata hermeneutika berasala dari kata Yunani: hermeneuein yang diartikan sebagai: menafsirkan dri kata bendanya hermeneia artinya tafsiran. Hermeneuein sendiri mengandung tiga makna yaitu: to say (mengatakan); to explain (menjelaskan); to translate (menerjemahkan). Yang kemudian ketiga makna ini diserap ke bahasa Inggris menjadi to interpet. Otomatis kegiatan interpretasi menunjukan pada tiga hal pokok yakni: an oral recitation (pengucapan lisan); a reasonable explanation (penjelasan yang masuk akal); a translation from another language (terjemahan dari bahasa lain/mengekspresikan).
Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
            Pada dasarnya hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa.; kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan sesuatu bahasa pun berkomunikasi dengan seni – seni yang lainnya juga dengan menggunakan bahasa. Semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual (misalnya patung, dll) juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa.
            Corak hermeneutika secara garis besar ada tiga, hermeneutika objektif, hermeneutika subjektif, serta hermeneutika pembebasan.






DAFTAR PUSTAKA

Abu Zayd, Nasr Hamid. Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Jakarta: ICIP, 2004.
Attamimi, Faisal,  Jurnal  :Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik, (Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012), Vol.9 No. 2, diakses tanggal 2 oktober pukul 21.00
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia, 1981.
Bleicher,Josef  ,Contemporary Hermenentics, (London: Routlege & Kegan Paul, 1980)
Djamaluddin, Dedy, Zaman Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Wacana Mulia, 1998), Cet. I.
Eliade (Ed), Mircea, The Encyoclopedia of Relegion, Volume 7, New York: Macmillan Publishing Company, 1993.
Hanafi, Hasan, Liberalisasi, revolusi, Hermeneutik, Terj. Jajat firdaus, Yogya: Prisma, 2003.
Mahfudz, Muhsin, Jurnal :Hermeneutika : Pendekatan Alternatif Dalam Pembacaan Teks, ( Makassar: Al – Fikr, 2013), Vol. 17 Nomor 2, di akses tanggal 2 Oktober 21.00.
Palmer, Richard E., penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), Cet. 2.
Poespoprodjo,W., “Hermeneutika”, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004, Cet.1
Putra,R. Masri Sareb, Jurnal :Tradisi Hermeneutika dan penerapannya dalam studi Komunikasi, (Gading Serpong: Universitas Multimedia Nusantara, 2012), Volume IV, Nomor 1.
Rahardjo, Mudjia, Dasar – Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Yogyakarta:Ar – Ruzz, 2008.
Rahardjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian kuasa bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Sumaryono, E., Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:Kanisius, 1999), Edisi Revisi.
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Nawesea Press, 2009.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kamus Oxford Dictionaries


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2] Oxford Dictionaries
[3] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), h. 5 - 10
[4] Mudjia Rahardjo, Dasar – Dasar Hermeneutik: Antara Intensionalisme dan Gadamerian, (Yogyakarta:Ar – Ruzz, 2008), h. 27
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Edisi Revisi, h.24
[6] Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian kuasa bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 88
[7] Richard E. Palmer, penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. 2, h.15
[8] Faisal Attamimi, Jurnal: Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik, (Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012), Vol.9 No. 2, diakses tanggal 22 oktober pukul 00:11, h. 278-279
[9] Mudjia Rahardjo, Dasar – Dasar Hermeneutik: Antara Intensionalisme dan Gadamerian, (Yogyakarta: Ar – Ruzz, 2008), h. 32
[10] Faisal Attamimi, Jurnal: Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik, (Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012), Vol.9 No. 2, diakses tanggal 2 oktober pukul 21.00, h. 279
[11] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Edisi Revisi, h. 26
[12] Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, (Jakarta: ICIP, 2004), h. xvii
[13]  Al-Jahiz, al-Bayan wa al-Tabyin, (ed.), Abd al-Salam Harun juz 1 (Cairo: t.p, 1985), h. 42 
[14] Mircea Eliade (Ed), The Encyoclopedia of Relegion, Volume 7 (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), h. 281
[15] Muhsin Mahfudz, Jurnal: Hermeneutika: Pendekatan Alternatif Dalam Pembacaan Teks, (Makassar: Al – Fikr, 2013), Vol. 17 Nomor 2, di akses tanggal 22 Oktober 23.00
[16] Dedy Djamaluddin, Zaman Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Wacana Mulia, 1998), Cet. I, h. 64
[17] Muhsin Mahfudz, Jurnal: Hermeneutika: Pendekatan Alternatif Dalam Pembacaan Teks, (Makassar: Al – Fikr, 2013), Vol. 17 Nomor 2
[18] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Edisi Revisi, h. 57
[19] Josef Bleicher, Contemporary Hermenentics, (London: Routlege & Kegan Paul, 1980), h. 29
[20] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), H. 225
[21]Hasan Hanafi,  Liberalisasi, revolusi, Hermeneutik, Terj. Jajat firdaus, (Yogya: Prisma, 2003), h.109
[22] R. Masri Sareb Putra, Jurnal: Tradisi Hermeneutika dan penerapannya dalam studi Komunikasi, (Gading Serpong: Universitas Multimedia Nusantara, 2012), Volume IV, Nomor 1, h. 76
[23] Faisal Attamimi, Jurnal: Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik, (Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012), Vol.9 No. 2, diakses tanggal 22 oktober pukul 00:11, h. 281
[24]W. Poespoprodjo, “Hermeneutika”, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), Cet. 1, h. 18
[25] Mudjia Rahardjo, Dasar – Dasar Hermeneutik: Antara Intensionalisme dan Gadamerian, (Yogyakarta: Ar – Ruzz, 2008), h. 65
[26] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Edisi Revisi, h. 67

No comments:

Post a Comment