A.
Bahasa, Sastra dan Hermeneutika
Bahasa dalam kamus besar Bahasa Indonesia merujuk pada suatu system
lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.[1] Sementara
dalam Bahasa Inggris Bahasa sendiri dikenal dengan istilah Language yang
mempunyai arti the method of human communication, either spoken or written,
consisting of the use of words in a structured and conventional way (metode
yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, baik dalam ucapan atau tulisan,
yang terdiri dari penggunaan kata yang lazim/biasa di dalam sebuah struktur)
dalam artian mengerucut kamus ini pula lebih memilih menerjemahkan Bahasa
sebagai A system of communication used by a particular country or community
(sebuah system komunikasi yang digunakan oleh sebuah negara khusus atau sebuah
komunitas).[2]
Dalam Bahasa sendiri terdiri dalam
dua unsur, yakni, bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Pertama, dalam
segi bentuk (arus ujaran) yang merupakan bagian yang dapat diserap oleh unsur
panca indra (membaca dan menulis). Bagian ini terdiri dari dua sub unsur yakni
segmental dan suprasegmental. Unsur segmental secara hierarkis dari segmen yang
paling dasar sampai yang terkecil, yaitu wacana, paragraph, kalimat, frasa,
kata, morfem, dan fonem. Unsur suprasegmental terdiri dari intonasi.
Unsur-unsur intonasi adalah; tekanan (keras, dan lembut ujaran), nada (tinggi
rendah ujaran), durasi (panjang pendek waktu pengucapan), dan perhentian (yang
membatasi arus uajaran).
Kedua, dalam segi makna,
makna sendiri berarti isi yang terkandung dalam segi unsur bentuk diatas.
Secara hierarkis dari yang terbesar yaitu, makna morfemis (makna imbuhan),
makna leksikal (makna kata), makna sintaksis (makna frasa, klausa, dan
kalimat), serta makna wacana yang disebut tema.
Sementara pengertian Kata hermeneutika
secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu kata kerja hermeneuein
yang berarti “menafsirkan” atau “menginterpretasi”.Dari kata kerja hermeneuein
dapat ditarik tiga bentuk makna dasar masih dalam koridor makna aslinya, yaitu mengungkapkan,
menjelaskan, dan menerjemahkan.[3]
Dalam bahasa Inggrisnya adalah Hermeneutics.
Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah
literature dalam peninggalan Yunani Kuno, seperti yang digunakan Aritoteles
dalam sebuah risalahnya yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang
Penafsiran).Selain itu, sebagai sebuah terminology, hermeneutika juga
bermuatan pandangan hidup (world view) dari para penggagasnya.[4]
Istilah Yunani ini mengingatkan kita
pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan
sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan
sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan –
pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh
umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa – dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh
umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan
ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes
menjadi symbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil
tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu
disampaikan.[5]
Oleh Karena
itu, hemeneutik pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau
situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar,
baik hermeneutika dalam pandangan klasik mapun dalam pandangan modern.
Dalam definisi lain Habermas
menyatakan hermeneutika sebagai suatu seni memahami makna komunikasi
linguistic dan menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang
diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang.[6]
Hermeneutik dalam pandangan klasik
akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri
Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu : bahwa kata – kata yang
kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata – kata yang
kita tulis adalah simbol dari kata – kata yang kita ucapkan itu.
Mediasi dan proses membawa pesan
“agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam semua
tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam
penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuein,
yaitu :[7]
1.
Mengungkapkan kata – kata, misalnya, “to say”,
2.
Menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi;
3.
Menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing.
Ebeling membuat interpretasi yang
banyak dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan Hermes. Proses
tersebut mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar yaitu: 1)
mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata – kata
sebagai medium penyampaian; 2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang
sebelumnya masih samar – samar sehingga maknanya dapat dimengerti; dan 3)
menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai
pembaca. Tiga pengertian tersebut yang terangkum dalam pengertian “menafsirkan”
(interpreting, understanding)[8]
Komponen pokok dalam kegiatan
penafsiran dengan metode hermeneutika yakni teks, konteks, dan
kontekstualisasi. Keberadaan konteks dan seputar teks tidak bisa dinafikan jika
kita ingin memperoleh pemahaman yang tepat terhadap teks. Sebab, kontekslah
yang menentukan makna teks, bagaimana teks tersebut harus dibaca, dan seberapa
jauh teks tersebut harus dipahami. Dengan demikian, teks yang sama dalam kurun
waktu yang sama dapat memiliki makna yang berbeda di mata “penafsir” yang
berbeda; bahkan seorang penafsir yang sama dapat memberikan pemahaman teks yang
sama secara berbeda – beda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.
[9]
Ada tiga pemahaman
yang dapat diperoleh dari perbincangan hermeneutika yaitu pertama, hermeneutika
dipahami sebagai teknis praksis pemahaman atau penafsiran. Kedua, hermeneutika
dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Ketiga, hermeneutika dipahami
sebagai filsafat penafsiran[10]
B.
Hermeneutika Dan Bahasa
Pada dasarnya hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir
melalui bahasa.; kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan
membuat interpretasi dengan bahasa bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan
sesuatu bahasa pun berkomunikasi dengan seni – seni yang lainnya juga dengan
menggunakan bahasa. Semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual (misalnya
patung, dll) juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa. Bagaimana kita
mengungkapkan kenikmatan dan kebosanan kita saat mendengarkan musik klasik
ciptaan W.A Mozart atau J.S. Bach? Atau mengungkapkan kekaguman kita saat
melihat lukisan karya Michael Angelo ataupun Da Vinci dan memperbandingkannya
dengan karya Affandi atau Picasso? Hanya melalui bahasa[11].
Dengan kata lain, memahami bahasa memungkinkan kita untuk
berpartisipasi pada pemakaian bahasa di masa – masa yang akan datang. Bahasa
adalah perantara yang nyata bagi hubungan umat manusia. Tradisi dan kebudayaan
kita, segala warisan nenek moyang kita sebagai suatu bangsa, semuanya itu
terungkap di dalam bahasa, baik yang terukir pada batu prasasti maupun yang
tertulis pada daun lontar.
Sependapat dengan pernyataan Nasr Hamid Abu Zaid yang mengutip
pendapat al-Qadi Abdul Jabbar bahwa: “Bahasa mengekspresikan kebermaknaan yang
ada secara praktis diantara sesuatu. Manusia sebenarnya tidak menggunakan
Bahasa, tetapi Bahasa itulah yang berbicara melalui manusia. Alam terbuka bagi
manusia melalui Bahasa. Karena Bahasa adalah bidang dan lahan pemahaman dan
penafsiran, maka alam mengungkapkan dirinya kepada manusia melalui berbagai
proses pemahaman dan penafsiran yang berkesinambungan. Bukan manusia memahami
Bahasa, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa manusia memahami lewat Bahasa.
Bahasa bukan perantara alam manusia, tetapi ia merupakan penampakan alam dan
pengungkapannya setelah sebelumnya ia tersembunyi, karena Bahasa adalah
pengejawantahan eksistensial bagi alam.”[12]
Dan dalam hal Bahasa dan
pemahaman lebih lanjut Nasr Hamid mengutip al-Jahiz dengan konsep 5 bentuk kode
komunikasi untuk memahami pemilik makna, yaitu; 1) kata, lafdz, 2) tanda
atau isyarat. 3) konvensi, ‘aqd. 4) kondisi tertentu, hâl, dan 5)
nisba.[13]
C.
Hermeneutika Sebagai Suatu Pendekatan
1.
Wilayah Pendekatan Hermeneutika
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, sasaran operasional hermeneutika
sebenarnya selalu berhubungan dengan proses pemahaman (understanding),
penafsiran (interpretation) dan penerjemahan (translation).
Karena itu, pada dasarnya wilayah yang dapat didekati dengan Hermeneutika
adalah teks yang tertulis. Karena itu, pada dasarnya wilayah yang dapat
didekati dengan hermeneutika adalah teks yang tertulis. Tapi kemudian muncul
persoalan ketika pemahaman dilakukan pada teks tanpa tuan, apakah pemahaman hanya
terbatas pada teks yang Nampak atau mesti melibatkan aspek psioko – histiris
penulisnya. Disinilah muncul dua aliran mazhab, yaitu mazhab hermeneutika
transendental dan historis psikologis. Yang pertama berpandangan bahwa untuk
menemukan sebuah kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan dengan
pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil
dalam teks. Yang kedua berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan
temporal semata dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak
disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representative dalam teks.Mazhab
inilah yang diperjuangkan oleh Schleiermacher dengan teorinya grammatical
understanding (pemahaman gramatikal) dan psychological understanding
(pemahaman psikologis)[14].
Tapi dalam perkembangan selanjutnya, wilayah hermeneutika tidak
lagi terbatas pada dua mazhab di atas, akan tetapi telah diintegrasikan dalam
berbagai disiplin ilmu. Para ilmuan seperti sosiolog, antropolog, ekonom,
sejarahwan, teolog, filosof dan para sarjana agama menggunakan hermeneutika
dalam disiplin ilmunya[15].
Semakin meluasnya wilayah pendekatan hermeneutika, maka klasifikasi
studi hermeneutika juga menjadi terbagi, yaitu:
a)
Exegesis (tafsir atas
bible).
b)
Philology (interpretasi
atas berbagai teks sastra kuno),
c)
Technical hermeneutics
(interpretasi atas penggunaan dan pengembangan kaedah – kaedah bahasa).
d)
Philosophical Hermeneutics (interpretasi atas sebuah pemahaman esensial).
2.
Langkah – langkah Pendekatan Hermeneutika
Dibandingkan dengan metode
fenomologi yang mencoba mengungkapkan dan mendeskripsikan hakekat agama, maka
metode hermeneutika mencoba memahami kebudayaan melalui interpretasi. Karena
pada mulanya metode ini diterapkan untuk menginterpretasikan teks – teks
keagamaan, maka tidak heran jika tradisi tekstualitas masih tetap melekat,
dalam arti masih mendudukan teks sebagai perhatian sentral. Sehingga langkah –
langkah yang perlu diikuti dalam melakukan penelitian dengan pendekatan
hermeneutic adalah sebagai berikut:[17]
1)
Telaah Atas Hakekat Teks
Di dalam Hermeneutika, teks diperlakukan sebagai sesuatu yang
mandiri, dilepaskan dari pengarangnya, waktu penciptanya, dan konteks
kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu
ketika teks itu diciptakan.Karena wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis
adalah bahasa, maka yang menjadi pusat perhatiannya adalah hakekat
bahasa.Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat
penyampaian sesuatu.Sebagai akibatnya, terdapat hubungan antara ‘alat
penyampaian’ dan ‘apa yang disampaikan’. Tujuan dari metode ini adalah mengerti
tentang apa yang disampaikan dengan cara menginterpretasikan alat
penyampaiannya, yaitu teks atau bahasa tulis.
2)
Proses Apresiasi
Proses ini sesungguhnya adalah bentuk ketidakpuasan atas kebenaran
tekstual. Karena itu, proses ini mencoba mengapresiasikan secara historis
penulis atau pengarang teks. Menurut Dilthey, sebuah teks mesti diproyeksikan kebelakang
dengan melihat tiga hal: a). Memahami sudut padang atau gagasan para pelaku
sejarah yang berkaitan dengan teks. b). Memahami makna aktivitas mereka pada
hal yang berkaitan langsung dengan teks.c). Menilai peristiwa tersebut
berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat teks tercipta[18]
Dengan demikian, seorang pembaca atau peneliti tidak dibiarkan
tenggelam dalam lautan teks, tetapi juga harus menyelam ke dunia di mana teks
diciptakan.
3.
Proses Interpretasi
Inilah bnetuk terakhir dari proses pengkajian dengan pendekatan
hermeneutika. Ketika berhadapan dengan teks maka pembaca dinyatakan dalam
situasi hermeneutika, yaitu berada pada posisi antara masa lalu dan masa kini,
atau antara yang asing dan yang tak asing. Masa lalu dan asing karena tidak
mengetahui masa lalu teks dan masa kini dan tak asing karena mengetahui teks
yang sedang dihadapi.
Sebagai seorang yang menempati posisi antara, maka ia harus
menjembatani masa lalu dan masa kini melalui interpretasi. Pembaca atau
peneliti harus mampu menghadirkan kembali makna – makna yang dimaksudkan ketika
teks diciptakan di tengah – tengah situasi yang berbeda.
Agar benar – benar memperoleh interpretasi yang benar (sesuai
dengan pencipta teks), maka pembaca atau peneliti juga dituntut memiliki
kesadaran sejarah, karena salah dalam memahami sejarah maka proses hermeneutika
akan menjadi keliru.
D.
Hermeneutika Sebagai Sebuah Metode Penafsiran
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga
bentuk atau model.
a)
Hermeneutika Objektif
yang dikembangkan tokoh – tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher,
Wilhelm Dilthey, dan Emilio Batti. Menurut model ini penafsiran berarti
memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut
teks adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga apa yang disebut makna atau
tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan pembaca melainkan diturunkan
dan bersifat instruktif[19].
b)
Hermeneutika Subjektif
yang dikembangkan oleh tokoh – tokoh modern khususnya Hans – Georg Gadamer dan
Jacques Derida. Menurut model ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna
objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika
objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri[20].
c)
Hermeneutika Pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh – tokoh Muslim Kontemporer khususnya
Hasan Hanafi dan Farid Esack. Menurut model ini, hermeneutika tidak hanya
berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah
aksi[21].
E.
TIPE – TIPE DAN VARIAN HEREMENEUTIKA
Tipe – tipe hermeneutika menurut Palmer (1999), selain Gadamer,
terdapat dua belas filsuf yang pemikiran dan karyanya berkorelasi dengan
hermeneutika yakni[22]:
a)
Plato (metode dialogis yang dikembangkannya dari Sokrates, mitos
tidak bertentangan dengan rasio / logos)
b)
Aristoteles (Organon, terutama de Interpretatione)
c)
Hegel (dialektika; tesis, antithesis, sintesis)
d)
Husserl (fenomenologi)
e)
Heidegger (fenomenologi, terutama Being dan Time)
f)
Wittgenstein (filsafat bahasa)
g)
Adorno (teori kritis Frankfurt School)
h)
Habermas (hermeneutika salah satu dimensi teori kritik social)
i)
Derrida (mendekati hermeneutika dari latar post – structuralist
theory)
j)
Foucault (strukturalis / “interpretative an-alytics)
k)
Rorty (menggunakan hermeneutika untuk membangun posisi menentang epistemology
yang berbasis – filsafat, masa lampau, dan masa kini)
l)
Davidson (menafsirkan Alkitab sebagai dialog hermeneutikal).
Selama ini telah muncul dan
berkembang beberapa varian hermeneutika sebagai berikut:
a)
Hermeneutika romantis
Dengan
tokohnya Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 – 1834) seorang filosof,
teolog, filolog, dan tokoh sekaligus pendiri Protestantisme
Liberal.Schleiermecher merupakan filosof Jerman pertama yang terus menerus
memikirkan persoalan hermeneutika. Itulah sebabnya ia dianggap sebagai bapak
hermeneutika modern, karena dalam melihat pemikirannya, makna hermeneutika
berubah dari sekedar kajian teologis (teks Bibel) menjadi metode memahami dalam
pengertian filsafat[23].Menurut
perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks,
maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
Friedrich
Ernst Daniel Schleiermacher adalah seorang raksasa intelektual pada zamannya. Tulisan
– tulisannya tentang teologi, filsafat, dan juga khotbah – khotbahnya mengungkapkan
minat intelektualnya yang amat luas.[24]
b)
Hermeneutika Metodis
Oleh
Wilhem Dilthey (1833 – 1911). Pemikiran hermeneutika Schleiermacher dikritik
oleh Wilhem Dilthey seorang filosof, kritikus sastra dan ahli sejarah dari Jerman.Menurutnya
manusia bukan sekedar makhluk berbahasa, tetapi makhluk eksistensial. Menurut
Dilthey, sejak awal manusia tidak pernah hidup hanya sebagai makhluk linguistic
yang hanya mendengar, menulis, dan membaca untuk kemudian memahami dan menafsirkan.
Lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang memahami dan menafsirkan dalam
setiap aspek kehidupannya. Namun demikian, dalam proses memahami teks, Dilthey
berpandangan bahwa makna teks harus ditelusuri dari maksud subjektif
pengarangnya.
Menurut
Dilthey, pikiran seseorang selalu berkembang karena situasi eksternal dan
pengalaman – pengalaman barunya. Karena mengedepankan masa lalu (sejarah)
pengarang dalam menafsirkan teks, maka gagasan hermeneutika Dilthey juga sering
disebut hermeneutika historis.
c)
Hermeneutika fenomenologis
Edmund
Husserl (1889 – 1938), tokoh hermeneutika fenomenologis, menyebutkan bahwa
proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan
membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirakn sebuah teks
berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada
hubungannya, termasuk bias – bias subjek penafsir dan membiarkannya
mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
d)
Hermeneutika Dialektis
Martin
Heidegger (1889 – 1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang
prasangka – prasangka historis atas objek merupakan sumber – sumber pemahaman,
karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami. Pembacaan
atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang, yang
dengan demikian akan memahami lagi teks yang sama secara baru dengan makna yang
baru pula.[25]
e)
Hermeneutika Dialogis
Hans
Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Pada tahun 1922 ia mendapat
gelar doctor filsafat. Menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, karier
filsafatnya justru mencapai puncaknya, yaitu melalui publikasi bukunya yang
berjudul “Kebenaran dan Metode” (Wahrheit und Methode atau truth and method)[26]
Hans
Georg Gadamer tokoh hermenenutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman yang
benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis.
Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika
dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium
yang sangat penting bagi terjadinya dialog.
f)
Hermeneutika Kritis
Tokohnya
adalah Jurgen hambernas, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan.
Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan social yang melibatkan
kepentingan kekuasaan interpenter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias
dan unsur kepentingan politik, ekonomi, social, suku, dan gender.
g)
Teori Hermeneutika lain yang muncul dari seorang Katolik kelahiran
Prancis bernama Paul Ricoeur (1913) konsep utamanya adalah bahwa begitu makna
obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai
interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya
menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan
hidup pembaca.
h)
Hermeneutika Dekonstruksionis
Hermeneutika
ini oleh Jacques Derrida (1930) menunjukkan bahwa bahasa dan juga system symbol
lainnya, merupakan sesuatu yang tidak stabil. Karena itu maka tulisan teks,
menurut Derrida, selalu mengalami perubahan, tergantung konteks dan pembacanya.
BAB III
Kesimpulan
Kata hermeneutika berasala dari kata Yunani: hermeneuein yang diartikan sebagai:
menafsirkan dri kata bendanya hermeneia artinya tafsiran. Hermeneuein sendiri
mengandung tiga makna yaitu: to say (mengatakan); to explain (menjelaskan); to
translate (menerjemahkan). Yang kemudian ketiga makna ini diserap ke bahasa
Inggris menjadi to interpet. Otomatis kegiatan interpretasi menunjukan pada
tiga hal pokok yakni: an oral recitation (pengucapan lisan); a reasonable
explanation (penjelasan yang masuk akal); a translation from another language
(terjemahan dari bahasa lain/mengekspresikan).
Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah
sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Pada dasarnya
hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa.; kita
berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi
dengan bahasa bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan sesuatu bahasa
pun berkomunikasi dengan seni – seni yang lainnya juga dengan menggunakan
bahasa. Semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual (misalnya patung, dll)
juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa.
Corak hermeneutika
secara garis besar ada tiga, hermeneutika objektif, hermeneutika subjektif,
serta hermeneutika pembebasan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr Hamid. Hermeneutika Inklusif: Mengatasi
Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan.
Jakarta: ICIP, 2004.
Attamimi, Faisal,
Jurnal :Hermeneutika Gadamer
dalam Studi Teologi Politik, (Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012),
Vol.9 No. 2, diakses tanggal 2 oktober pukul 21.00
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia,
1981.
Bleicher,Josef ,Contemporary
Hermenentics, (London: Routlege & Kegan Paul, 1980)
Djamaluddin, Dedy, Zaman Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Wacana
Mulia, 1998), Cet. I.
Eliade (Ed), Mircea, The Encyoclopedia of Relegion, Volume
7, New York: Macmillan Publishing Company, 1993.
Hanafi, Hasan, Liberalisasi, revolusi, Hermeneutik, Terj.
Jajat firdaus, Yogya: Prisma, 2003.
Mahfudz, Muhsin, Jurnal :Hermeneutika : Pendekatan Alternatif
Dalam Pembacaan Teks, ( Makassar: Al – Fikr, 2013), Vol. 17 Nomor 2, di
akses tanggal 2 Oktober 21.00.
Palmer, Richard E., penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika
Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), Cet.
2.
Poespoprodjo,W., “Hermeneutika”, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2004, Cet.1
Putra,R. Masri Sareb, Jurnal :Tradisi Hermeneutika dan
penerapannya dalam studi Komunikasi, (Gading Serpong: Universitas
Multimedia Nusantara, 2012), Volume IV, Nomor 1.
Rahardjo, Mudjia, Dasar – Dasar Hermeneutika : Antara
Intensionalisme dan Gadamerian, Yogyakarta:Ar – Ruzz, 2008.
Rahardjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian kuasa bahasa dalam
Wacana Politik Gus Dur, Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Sumaryono, E., Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat,
(Yogyakarta:Kanisius, 1999), Edisi Revisi.
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an,
Yogyakarta: Nawesea Press, 2009.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Kamus
Oxford Dictionaries
[1]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2]
Oxford Dictionaries
[3]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), h. 5 - 10
[4]
Mudjia Rahardjo, Dasar – Dasar Hermeneutik: Antara Intensionalisme dan
Gadamerian, (Yogyakarta:Ar – Ruzz, 2008), h. 27
[5] E.
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), Edisi Revisi, h.24
[6]
Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian kuasa bahasa dalam Wacana Politik
Gus Dur, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 88
[7]
Richard E. Palmer, penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika
Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet.
2, h.15
[8]
Faisal Attamimi, Jurnal: Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik,
(Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012), Vol.9 No. 2, diakses tanggal 22
oktober pukul 00:11, h. 278-279
[9]
Mudjia Rahardjo, Dasar – Dasar Hermeneutik: Antara Intensionalisme dan
Gadamerian, (Yogyakarta: Ar – Ruzz, 2008), h. 32
[10]
Faisal Attamimi, Jurnal: Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik,
(Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012), Vol.9 No. 2, diakses tanggal 2
oktober pukul 21.00, h. 279
[11] E.
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), Edisi Revisi, h. 26
[12]
Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika
Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, (Jakarta: ICIP,
2004), h. xvii
[13] Al-Jahiz, al-Bayan wa al-Tabyin,
(ed.), Abd al-Salam Harun juz 1 (Cairo: t.p, 1985), h. 42
[14]
Mircea Eliade (Ed), The Encyoclopedia of Relegion, Volume 7 (New York:
Macmillan Publishing Company, 1993), h. 281
[15]
Muhsin Mahfudz, Jurnal: Hermeneutika: Pendekatan Alternatif Dalam Pembacaan
Teks, (Makassar: Al – Fikr, 2013), Vol. 17 Nomor 2, di akses tanggal 22 Oktober
23.00
[16]
Dedy Djamaluddin, Zaman Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Wacana Mulia,
1998), Cet. I, h. 64
[17] Muhsin
Mahfudz, Jurnal: Hermeneutika: Pendekatan Alternatif Dalam Pembacaan Teks,
(Makassar: Al – Fikr, 2013), Vol. 17 Nomor 2
[18] E.
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), Edisi Revisi, h. 57
[19]
Josef Bleicher, Contemporary Hermenentics, (London: Routlege & Kegan
Paul, 1980), h. 29
[20] K.
Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), H. 225
[21]Hasan
Hanafi, Liberalisasi, revolusi,
Hermeneutik, Terj. Jajat firdaus, (Yogya: Prisma, 2003), h.109
[22] R.
Masri Sareb Putra, Jurnal: Tradisi Hermeneutika dan penerapannya dalam studi
Komunikasi, (Gading Serpong: Universitas Multimedia Nusantara, 2012),
Volume IV, Nomor 1, h. 76
[23]
Faisal Attamimi, Jurnal: Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik,
(Palu: Hunafa Jurnal Studia Islamika, 2012), Vol.9 No. 2, diakses tanggal 22
oktober pukul 00:11, h. 281
[24]W.
Poespoprodjo, “Hermeneutika”, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), Cet.
1, h. 18
[25]
Mudjia Rahardjo, Dasar – Dasar Hermeneutik: Antara Intensionalisme dan
Gadamerian, (Yogyakarta: Ar – Ruzz, 2008), h. 65
[26] E.
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), Edisi Revisi, h. 67
No comments:
Post a Comment