Saturday, 16 May 2015

Islam dan Kesetaraan Gender

     Pendahuluan
   Berbicara Politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja. Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang,  bukan hanya kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan.  Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.
     Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan  mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan.
     Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.
            Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
            Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas[2]
     Rumusan Masalah
a.       Mengetahui Islam dan Kesetaraan Gender
b.      Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketiak adilan Kesetaraan Gender di Mesir
c.        Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan  Kesetaraan Gender di Iran
d.      Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan kesetaraan Gender di Turki
      Pembahasan
Islam dan Kesetaraan Gender
            Gerakan feminis muslim di dunia Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia Arabia selaluterkait dengan kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan pertentangan antara intelektual ekstrem kanandan ekstrem kiri yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan imperium. Oleh karenanya, pembahasan feminis muslim ini harus dikaji dari sisi historis, framework feminis muslim, dan isu-isu yang diperdebatkannya.
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah Pertama–tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang keduanya sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai di India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus menguasai Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain Perancis menaklukkan Mesir,adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil industrinya ke wilayah Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak Alexander the great dari Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia, sampai dengan India. Persaingan antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah terjadi sudah lama dan terus berlangsung, dan faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke dunia muslim, adalah ekonomi dan politik. Namun persoalan tersebut melibatkan agama dalam proses politik penjajahan Barat atas dunia Islam.
Pertarungan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa umat Islam tertinggal jauh dari Eropa. Usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam adalah gerakan pembaharuan,yang didorong oleh faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam, dan menimba gagasan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan ini melibatkan gerakan Wahabiyah (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiah di Afrika Utara yang dipimpin Muhammad Sanusi dari al-jazair. Selanjutnya, pergerakan ini memasuki ranah politik. Gagasan politik yang pertama kali adalah gagasan Pan-Islamisme  sebagai gagasan persatuan Islam sedunia yang disuarakan secara lantang oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897 M).
Berkenaan dengan konteks gerakan gagasan persatuan Islam sedunia ini, seperti yang dikemukakan Bernard Lewis, memahami Islam yang terjadi dewasa ini dibutuhkan penghargaan/penghormatan karakter universal dan posisi sentral agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling menonjol dalam lintas sejarah Islam modern telah menempatkan Islam sebagai kekuatan dan gagasan persatuan dalam perjuangannya.
Pada tahun 1928, Hasan al-Banna adalah seorang pengikut al-Afghani dan Abduh mendirikan Ikhwanul Muslimin (Jam’iyah al-ikhwan al-Muslimin). Tujuan didirikannya untuk mendidik rakyat,meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat pranata Islam (al Nizam al-Islam). Gerakan ini menolakpengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat, dan dalam waktu yang bersamaan berkolaborasi dengangerakan perjuangan kemerdekaan untuk menggulingkan monarki-Mesir pro-Inggris. Ikhwanul Muslimin merupakan fenomena baru sebagai gerakan yang didukung oleh massa, gerakan terorganisir, dan berorientasi pada masyarakat urban untuk mengatasi kemunduran Islam di dunia modern. Meskipun
Demikian, hal itu mendapat respon berbeda di luar negeri dianggap sebagai gerakan fundamentalis yang ingin mendirikan kembali Negara Islam.6 Komunitas Ikhwanul Muslimin saat itu hendak mendirikan devisi Muslim Sisters, dan Hasan al-Banna meminta Zaenab al-Gazali memimpinnya dan menggabungkan dengan Muslim Women’s Association, tetapi ditolaknya dan tetap menjalin kerja sama dalam perjuangan untuk mendirikan Negara Islam dan bergerak di bawah tanah selama rezim ‘Abd anNasser pada tahun 1950-1960.7
Kajian pergerakan perempuan di Mesir (Egypt) dimulai tahun 1919 ditandai dengan munculnya aktivis feminis yang tergabung dengan the Egyptian Feminist Union (EFU) dipimpin oleh Huda Sha’rawi.
Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian, poligami (the personal satus law), persamaan akses pendidikan baik ditingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan. Namun demikian, aktivitas pergerakan perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan nasionalisme.

Awal perjuangan pergerakan perempuan dalam pengembangan intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun 1919 berkaitan dengan perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai aktivitas perempuan. Di samping itu, beberapa kontribusi perempuan dalam publikasi jurnal sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat tentang isu-isu sosial seperti pendidikan, peran perempuan dalam keluarga, dan hak-hak perempuan.
Sementara itu, pada periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile (Daughter of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan menyegarkangerakan feminis, bertujuan untuk  memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan.
Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya, berkampanye perbaikan budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (chaildcare). Menurut Khater dan Nelson bahwa hak-hak politik perempuan dipertautkan kampanye reformasi sosial. Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad di adopsinya ideologi sosial atau komunis dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (sosial equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian ruang gerak organisasi perempuan.[3]
Sub ordinasi atas wanita di Timur tengah kuno tampaknya telah dilembagakan seiring dengan kebangitan, masyarakat perkotaan  dan dengan kebangkitan negara kuno khususnya. Bertolak belakang dengan  teori-teori androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial inferior wanita didasarkan  pada biologi dan “alam ” dan dengan demikan, sudah ada selma dimiliki manusia, bukti arkeologi menunjukan bahwa wanita di hormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara kota. Para sering kali mengutip catal huyuk, sebuah pemukiman zaman  Neolitik di Asia kecil yang berasal dari sekitar tahun 6000 S.M., untuk membenarkan posisi dominan  dan tertinggi wanita ( sebagian orang berargumen demikian). Di dalam pemukiman ini, bagian lebih besar dari panggung pemakaman yang di temukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan berbagai lukisan dan dekorasi di dinding banyak pemakaman dengan jelas menggambarkan  sosok wanita. Catal Huyuk Bukan satu-satunya kebudayaan awal di kawasan itu yang memberikan bukti tentang posisi  luhur dan mungkin terhormat yang dimiliki wanita.temuan temuan arkeologis menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan  diseluruh Timur Tengah menghormati dewi Ibu dalam Zaman Neolirtik, hingga milenium kedua sebelum Masehi di beberapa kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno  di kawasan itu menunjukkan bahwa supremasi  sosok  dewi  dan status tinggi bagi wanita adalah aturan alih-alih kekecualian di Mesopotamia, Elam, Mesir, Kreta, misalnya, dan di kalangan bangsa  yunani, phoenicia, dan lain-lainya.[4]

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
              Pada abad ke-6  Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal,  uksorilokal (sangat menggandrungi wanita wanita), yang  dijumpai  di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa kelahiran  Muhammad (kira kira pada abad 570 M)  wanita tetap tinggal  bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
             Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat  matrilineal, termasuk  bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[5]
                 Kairo adalah  Salah satu potret ikonik revolusi  Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
                  Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
                  Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki banyak relawan pria.
                  Satu-satunya cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
                  Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
                  Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan Mesir.
                  Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.[6]
                  Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
                  Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[7]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan  Kesetaraan Gender di Iran
Persoalan perjuangan hak-hak perempuan muslim (Islam Feminis) di negara-negara mayoritas Islam, terutama di Timur Tengah dan lebih khusus lagi di Saudi Arabia dan Republik Islam Iran dapat di jadikan ilustrasi perbandingan dan pertentangan berkaitan dengan ungkapan-ungkapan paradoksal yang berhubungan dengan patriarkhi keagamaan (religious patriarchy) di era modern. Hal itu dipengaruhi oleh adanya tekanan dunia internasional dan untuk menaikkan citra (image) pemerintahan Saudi Arabia.
Pemerintah Arab Saudi melakukan kerjasama dengan CEDAW (the Convention on Elimination of All formsof Discrimination Againts Women) sebagai bentuk formalitas dan hypocrit karena masih banyak penerapanyang berindikasikan pada persyaratan yang berbasis syari’ah. Adapun resistansi patriarkhi di Iran lebih halus, tetapi ahli hukum tradisional (traditionalist jurisprudence) tidak mampu menyesuaikan syari’ah.
Sebagai contoh, sampai dewasa ini, Saudi Arabia mencabut hak perempuam yang memiliki kartu identitas pribadi, hak-hak sipil dan politik juga dicabut, bahkan persoalan perempuan menyetir mobil.
Adapun perempuan Iran bernasib lebih baik dibandingkan dengan Arab Saudi karena mendapatkan lebih hak-hak sosial dan politiknya berupa aktivitas dan suara-suara kaum perempuan hadir dalam tujuh parlemen (majlis); tujuh parlemen ini sebagai tempat posisi dan kekuasaan patriarkhis, serta menjadi benteng pertahanan atas kekuasaannya (bagi ulama Shi’ah adalah suatu jabatan yang harus dipertahankan).30 Kondisi politik patriarkhis parlemen menjadi hambatan paling utama bagi perjuangan feminis Islam di Iran.
Nahid Mutee mengkritisi feminis Barat mempertimbangkan persamaan (similarity) antara perempuan dan laki-laki, tetapi sejak kultur maskulin adalah dominan di dalam suatu sistem patriarkhi,kondisi perempuan menjadikan sama dengan laki-laki. Tumbuhnya persamaan tersebut berimplikasi pada revolusi nilai, seperti homo sexual, bisexual, dan keluarga yang destruktif. Oleh karena yang diperjuangkan bagi feminis Islam, maka pergerakan perempuan yang berbasis pada lokalitas dalamkonteks masyarakat perempuan Iran (indigenous Iranian women’s movement), sebagaimana pendapat Mutee.[8]
Yogyakarta-Tiga perempuan dari Iran membagi cerita mereka tentang perempuan, hak asasi, dan dunia Islam dengan masyarakat Yogyakarta, Kamis (15/12). Mereka adalah Fereshteh Ruh Afza, Tahereh Nazari, dan Shayesteh Khuy.
Mereka bukan perempuan Iran biasa. Fereshteh Ruh Afza adalah perempuan terpilih tahun 2010 dari Presiden Republik Islam Iran serta pengelola program TV untuk perbandingan hak-hak perempuan antara Islam dan Barat. Tahereh Nazari adalah ketua Komite Internasional Dewan Kebudayaan Sosial Perempuan Republik Islam Iran sekaligus sebagai direktur urusan internasional hak asasi perempuan. Sedangkan Shayesteh Khuy merupakan seorang guru dan pengurus divisi perempuan Pusat Konsultasi Astan-e Qods-e Razavi, Mashad, Republik Islam Iran.
Ketiga perempuan Iran tersebut sengaja didatangkan ke Indonesia untuk membagi cerita tentang perempuan dalam perjuangan untuk hak asasi dalam dunia Islam. Menurut penyelenggara, ketua Raushan Fikr Institute, AM Safwan, Indonesia patut belajar dari Iran soal hak asasi perempuan.
Iran, yang terkesan sangat fundamentalis, faktanya merupakan negara yang sangat terbuka. Hal itu terlihat dari sistem pemerintahan maupun hukum yang ada. Di Indonesia sebagai negara demokrasi, kata Safwan, faktanya seorang perempuan tergantung suami dalam kasus perceraian. Juga dalam dunia politik, Iran lebih terbuka untuk perempuan. "Selain itu, mereka juga memperkenalkan keadilan di dunia terkait perempuan," kata Safwan pada Republika. Safwan menambahkan, yang paling patut kita pelajari adalah kekuatan bertahan Iran karena mampu bertahan dari tekanan Barat.
Dalam uraiannya, Fereshteh Ruh Afza lebih banyak mengungkapkan persoalan media yang semakin lama menganggap perempuan hanya sebatas obyek penarik bagi larisnya program-program mereka. Tareheh Nazari lebih banyak bercerita tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam, terutama di Iran.
Lalu Shayesteh Khuy yang seorang guru menceritakan peran perempuan dalam kebangkitan Islam. Menurutnya, gerakan perjuangan perempuan memiliki dua tahap, pertama saat penguasaan imperialis Barat dan Timur pertengahan abad ke-20, dan tahap kedua adalah peristiwa revolusi Islam di Iran oleh Khomeini. Namun, lanjut Khuy, gerakan perempuan itu melemah karena adanya tekanan oleh pihak imperialis.[9]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Turki
Selama beberapa dekade di Turki, Perjuangan dan pertarungan  antara kekuatan Islam dan sekuleris  berlangsung sangat keras. Sampai perlahan-lahan Erdogan memenangkan pertarungan melawan kaum sekuleris, yang diwakili oleh militer. Bangunan  sekulerisme yang terstruktur dalam bentuk kekuasaan, dibangun oleh Kemal Attaturk, sudah berlangsung sejak tahun 1924, bersamaan dengan keruntuhan Khilafah Otsmaniyah. Keruntuhan Turki Otsmani itu, di formalkan oleh Jenderal Kemal Attaturk ke dalam konstitusi, yang secara tegas menyatakan Turki sebagai negara sekuler. Bukan negara agama. Islam tidak lagi menjadi sumber hukum bagi kehidupan bernegara.
Perjuangan pertarungan antara kalangan Islamis melawan sekuleris, yang berlangsung selama beberapa dekade itu, baru mencapai puncaknya, ketika Erdogan dengan Partai AKP, membangun kekuatan entitas politik di Turki. Erdogan seperti membangun kembali puing-puing reruntuhan Khilafah Otsmaniyah, dan mulai menampakkan wujudnya. Turki di bawah Erdogan, seorang Muslim yang taat, kini berubah total. Sekulerisme mulai digerus, dan nilai-nilai Islam mulai nampak temaram. Seperti yang dituturkan oleh seorang pelancong dari Indonesia, baru saja meninggalkanTurki. Turki benar-benar berubah. Bukan hanya kota-kota di Turki yang sangat bersih dan teratur. Tetapi, rakyat Turki jauh lebih makmur, dibandingkan ketika masih hidup dibawah kaum sekuleris. Ekonomi Turki terbesar keempat di Eropa, tak terpengaruh oleh krisis di zona Eropa. Ekonominya tumbuh 5 persen, dan angka inflasi kurang dari dua digit. Income perkapita rakyatnya, sudah diatas $ 5.000 dollar. Perdagangan dengan negara-negara Eropa, Asia, dan Timur Tengah, terus mengalami surplus.
Sekolah, perguruan tinggi, rumah makan bagi rakyat, transportasi, dan perumahan, semuanya disubsidi oleh pemerintah. Pelancong dari Indonesia itu merasa senang berkunjung ke Turki. Semua kebutuhan pokok rakyat tercukupi, tak ada yang kesulitan. Rakyat benar-benar makmur, dan aman di Turki, sekalipun sekarang masih sering terjadi pemboman oleh kelompok separatis Kurdi. Tetapi, Erdogan perlahan mencari solusi. Di bawah Erdogan dan Partai AKP (Paratai Keadilan dan Pembangunan), segalanya telah berubah. Kebebasan keagamaan diberikan seluas-luasnya oleh pemerintah. Turki yang sangat modern dan maju  ekonomi, dan kehidupan rakyatnya sudah menyamai negara-negara di zona Eropa, kini menjadi salah satu  negara yang mengenakan pajak tertinggi di dunia terhadap alkohol dan rokok.Jadi tidak sembarangan orang bisa minum dan merokok di Turki. Orang yang minum dan merokok, harus benar-benar orang kantongnya tebal. Inilah cara melarang pemerintah Turki terhadap alkohol dan rokok. Akan tetapi kontra terus bergulir, Kekuatan sekulerisme masih ada, sudah kehilangan kekuasaannya, tetapi masih memiliki pijakan dalam konstitusi. Sekulerisme masih memiliki akar sejarah, yang diletakkan oleh Kemal Attaturk, dan menampakkan kegagalannya di  Turki, serta mulai redup, bersamaan dengan tumbuhnya kekuatan Islam di Turki, yang perlahan-lahan maju menggantikan sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dikabarkan bahwa wacana publik atas isu pemakaian jilbab mencerminkan suatu perjuangan internal demokratis atas kebebasan individu. Seperti diketahui, mengenai masalah ini, Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Mustafa Kemal Atatürk, pendiri The Founder Of Modern Turkey, melihat jilbab sebagai halangan sekularisasi dan pihaknya di modernisasi Republik Turki. Visi Ataturk belum berhasil sebab kecenderungan agama penduduk Turki, meskipun jilbab telah dilarang di sekolah-sekolah, universitas dan masyarakat sipil. Sebab lebih dari 60% dari perempuan Turki menutupi kepala mereka dengan pilihannya. Tak hanya itu, para sekularis di Turki juga khawatir terhadap Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa untuk kemudian menjadi gerakan keagamaan Islam yang berakar dan dapat meningkatkan profil publik Islam akan jilbab. Tindakan AKP misalnya yang didorong melalui RUU mencabut larangan selama puluhan tahun pada perempuan yang mengenakan jilbab di universitas-universitas. Dan hal itu merupakan kekecewaan dari pihak sekuler dan sebaliknya merupakan keberhasilan dan keuntungan bagi kelas menengah yang tumbuh konservatif membentuk basis politik AKP.
Konflik internal atas jilbab di Turki menimbulkan suatu penjajaran menarik terhadap pelarangan jilbab di Eropa. Apa artinya bila negara yang berada diperingkat kedua terbesar mayoritas Muslim di dunia sama seperti negara-negara Eropa lainnya, di mana umat Islam  tidak hanya minoritas tetapi sering terpinggirkan? Disebut-sebut bahwa pemakaian jilbab di Turki dilarang dengan alasan keamanan, sebagai bentuk tindakan anti-terorisme, dan masalah terselubung dengan isu-isu imigrasi. Di Turki, mengenakan jilbab adalah sebuah bentuk perjuangan untuk mendefinisikan identitas. Dimana mengenai hal sosial dan politik dari perjuangan ini yang pada akhirnya akan menentukan masa depan yang sangat berarti bagi Turki. Hal lain yang menyedihkan yakni Turki memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat Islam dan juga Kristen beribadah secara formal selama 6 abad di museum yang merupakan gereja katedral terbesar di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi masjid pada abad 15. Pengubahan Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik sejarah. Ketua Asosiasi Pemuda Anatolia, Salih Turhan, mengatakan penutupan Masjid Haghia Sophia adalah penghinaan bagi umat Islam dan merupakan perlakuan buruk Barat. “Penutupan Masjid Hagia Sophia adalah sebuah penghinaan dan lambang perlakuan buruk Barat terhadap Islam,” kata Turhan seperti dikutip Reuters Ahad (3/6).
Sementara itu, Organisasi Ortodoks Dunia, The Ecumenical Patriarchate, berharap Haghia Sophia tetap menjadi museum. “Kami ingin Haghia Sophia tetap menjadi museum sejalan dengan prinsip-prinsip Republik Turki,” ujar juru bicara Patriarchate, Pastor Dositheos Anagnostopulos. Menurutnya jika Haghia Sophia kembali menjadi sebuah masjid, umat Kristen tidak akan bisa berdo’a di sana, dan hal tersebut akan mengundang kekacauan.[10]
                                         Daftar Pustaka :
§  Ahmed Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.
§  Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim.
§  El-Tahawy, Kantor berita Commound Ground (CG.News) 6 Juli 2012.
§  Patrick Kirk, Partisipasi Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur Wijaya Press, Surabaya : 1994.
§  Sadli Saparinah, Pengantar tentang kajian Wanita, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 1995.
§  Republika.co.id, Yogyakarta, Kamis, (15/12).




               [1] Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.14

               [2]  Kirk Patrick, Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT. Danur Wijaya Press, Surabaya, 1994, hal. 76

              [3] E- book,  Penulisan Tesis dari Sulkhan Chakim (Dosen STAIN Purwokerto) “Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah “hal. 1-2

                     [4] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam ,  Lentera  Jakarta : 2000, hal. 3-4
                      [5] Ibid, Leila Ahmed , Wanita dan Gender dalam Islam, hal. 45-46
            [6] Randa El-Tahawy, Kantor Berita Common Ground (CG.News), 6 Juli 2012, www.commongroundnews.org


             [7] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, hal. 39-40
             [8] E- book, Sulkhan Chakim, hal.6-7
              [9] Republika.co.id, Yogyakarta, Kamis (15/12).

Isu-isu Gender dalam Agama-agama

Pendahuluan
Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif yang bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal yang mencoba mendekonstruksi konsep konsep religiusitas yang dipandang merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada sejarah dan filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus diakui memiliki kekhasan masing-masing. Justru karena kekhasan tersebut, keduanya komplementer karena merupakan wujud dualitas makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.[1]
Gender pada hakekatnya adalah sebuah terma yang digunakan untuk membedakan peran antara laki-laki dan perempuan, hasil dari rekayasa manusia sebagai akibat pengaruh sosial budaya masyarakat yang tidak bermakna kodrati. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia disebutkan gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan tersebut. Hampir tidak ada isu psikologis apapun yang begitu kontroversial dan kompleks dibandingkan dengan isu ini.
Oleh karena itu berbicara gender berarti bicara tentang sebuah konsepsi yang menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis semata melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik dan juga ekonomi. Hal ini perlu ditegaskan guna membedakan segala sesuatu yang normatif dan biologis dan segala sesuatu yang merupakan konstruksi sosial budaya dalam bentuk proses kesepakatan normatif dan sosial yang dapat ditransformasikan.[2]

Perempuan dalam Politik[3]
Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi dan institusi strategis yang bisa dijadikan alat untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Intervensi kebijakan affirmative action atau tindakan khusus sementara yang menyeluruh di Undang-Undang tentang partai politik dan pemilihan umum adalah suatu keniscayaan untuk mencapai tujuan di atas.
Meskipun peraturan perundang-undangan sudah mencantumkan afirmasi berupa kuota 30% perempuan di kepengurusan, faktanya enam (6) dari sembilan (9) partai yang lolos Parliamentary Threshold (PT) pada pemilihan umum tahun 2009 yang telah menyelenggarakan musyawarah nasional/kongres/muktamar sepanjang tahun 2009-2011 belum mampu menjalankan amanah Undang-Undang. Keenam partai tersebut adalah Partai Golongan Karya (PG) pada tanggal 5-8 Oktober 2009, Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal 7-9 Januari 2010, Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) pada tanggal 6-9 April 2010, Partai Demokrat (PD) pada tanggal 21-23 Mei 2010,Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tanggal 16-20 Juni 2010 dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 3-7 Juli 2011 (khusus untuk PPP, partai ini telah memasukkan ketentuan kuota 30% di kepengurusan harian di seluruh jenjang kepengurusan).
Dari keenam partai tersebut, kecuali PPP, tidak satupun yang telah memenuhi ketentuan Undang-Undang No. 2/2008 tentang Partai Politik. Dalam Bab II tentang Pembentukan Partai Politik Pasal 2 ayat 5 disebutkan “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dan dalam Bab XX tentang Ketentuan Peralihan Pasal 51 ayat 2 ditetapkan bahwa “Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan”. Undang- Undang ini kemudian direvisi menjadi UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan ketentuan 30% kuota perempuan di kepengurusan tidak mengalami perubahan.
Berbagai alasan dikemukakan mengapa ketentuan tersebut belum dipenuhi. Alasan yang paling sering adalah ketersediaan sumber daya perempuan di partai politik yang terbatas. Bisa jadi alasan ini benar karena selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat “memaksa” partai politik untuk memberikan kesempatan yang luas kepada politisi perempuan untuk duduk di kepengurusan. Ketentuan affirmative action atau tindakan khusus sementara yang “mendorong” partai politik untuk memberi peran perempuan di politik baru mulai diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik yang terbatas mengatur tentang perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai politik (Pasal 13 ayat 3) dan Undang-Undang No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan terbatas pada pencalonan anggota pada pemilihan umum, belum lebih jauh mengatur penempatan nomor urut yang dapat menjamin keterpilihan perempuan. Persisnya pengaturan tersebut tertuang dalam Pasal 65 ayat 1 UU No 12/2003 yang bunyinya “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Pasal 65 ini dilihat sebagai upaya untuk mendesak parpol agar merekrut dan mencalonkan perempuan. Sebuah upaya yang relatif berhasil mengingat separoh parpol peserta Pemilu 2004 mencalonkan 30% perempuan sebagai anggota legislatif. Namun demikian Pasal 65 masih belum efektif sebagai tindakan afirmatif. Bukan sekedar masalah sanksi yang belum diatur tetapi juga soal komitmen parpol untuk menerapkan tindakan afirmatif di internal mereka yang belum ada. Sedangkan pengaturan keterwakilan perempuan 30% dalam kepengurusan partai politik baru diatur dalam UU No 2 tahun 2008 sebagaimana diuraikan di atas yang telah direvisi menjadi UU No. 2 tahun 2011. Lebih lanjut ketentuan yang mengatur penempatan atau nomor urut bakal calon ditetapkan pada pasal 55 ayat 2 UU No 10 tahun 2008 yang mengatur penempatan bakal calon 1 diantara 3 bakal calon adalah perempuan bakal calon.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tindakan khusus telah mendorong partai politik untuk berlomba-lomba merekrut perempuan untuk ditempatkan pada struktur partai dan dijadikan bakal calon legislatif. Sayangnya upaya tersebut dilakukan hanya sekedar menggugurkan tuntutan penempatan sekurangkurangnya 30% sebagaimana diamanahkan Undang-Undang. Tidak ada upaya untuk melakukan pendidikan politik, perkaderan dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas perempuan.
Beberapa masalah yang mempengaruhi rendahnya representasi perempuan di parpol adalah:
 Faktor eksternal:
1.      Parpol belum membuka secara luas kesempatan bagi perempuan untuk duduk pada posisi strategis di level kepemimpinan atau pengambil kebijakan/keputusan. Biasanya perempuan ditempatkan pada posisi di departemen atau biro yang tidak terlibat dalam proses pengambilan kebijakan/keputusan. Sistem internal parpol belum demokratis, belum banyak perempuan terlibat dalam kepengurusan partai/proses penentuan kebijakan partai,.
2.      Proses pengambilan keputusan dan kebijakan parpol sering mengabaikan kepentingan kaum perempuan, aspirasi dan kepentingannya kurang diperhitungkan. Sebagai contoh perumusan AD/ART, pedoman-pedoman permusyawaratan, pedomanpedoman perkaderan dan pedoman pedoman organisasi lainnya tidak memuat secara khusus kuota untuk perempuan.
3.      Dukungan keluarga dan masyarakat terhadap keterlibatan perempuan di politik sangat minim. Basis espon perempuan juga sangat rendah
4.      Pandangan umum bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki, keras, anarkis dan penuh intrik tidak cocok untuk perempuan.
5.      Satuan kerja pemerintah yang menangani pemberdayaan perempuan tidak focus dalam mensosialisasikan kebijakan pengarusutamaan gender (PUG). Indikator hasil sosialisai tidak dipublikasikan dan ditindak lanjuti secara berkesinambungan.
Faktor internal:
1.      Perempuan tidak tertarik terjun di dunia politik karena beranggapan bahwa politik merupakan pekerjaan kotor.
2.      Perempuan aktivis di organisasi kemahasiswaan atau kepemudaan sering terputus dan keluar dari kesinambungan atau konsistensi perkaderan sehingga jarang yang sampai pada jenjang karier puncak di parpol.
3.      Peran esponsi perempuan yang sering tidak bisa diabaikan.
4.      Ketidak mampuan menyediakan waktu yang maksimal untuk beraktivitas di parpol.
5.      Keterbatasan akses espons untuk mendukung aktivitas perempuan di parpol. Terlepas dari aturan perundang-undangan maka intervensi di pengaturan internal parpol akan lebih efektif untuk “memaksa” parpol memenuhi ketentuan kuota 30% di kepengurusan parpol. Sejauh ini baru tiga parpol yang mengatur ketentuan kuota 30% di AD/ART Partai. Bahkan PPP dan PKB telah mencantumkan ketentuan 30% pengurus harian harus diisi oleh perempuan. Dibutuhkan komitmen parpol untuk hal-hal sebagai berikut:
·         Kuota, sebagai terobosan kunci meningkatkan keterwakilan perempuan, dan menjadikan Kuota dari sekadar strategi pragmatis menjadi platform unggulan.
·         Mengakomodir agenda politik yang esponsive gender dalam AD/ART partai dan kebijakan strategis lainnya dan harus dilaksanakan secara konsisten, dan menyeluruh mulai dari level paling bawah sampai paling atas.
·         Memasukkan perempuan dalam posisi-posisi kepemimpinan partai, mulai dari tingkat terbawah sampai teratas dan dalam lembaga/panitia strategis lainnya seperti TimPemenangan Pemilu, Lembaga Penetapan Caleg, dll.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
a.      Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.
Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.
b.      Gejala-gejala kekerasan terhadap istri
Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejalagejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.
c.       Bentuk-Bentuk Kekrasan Dalam Rumah Tangga
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri tersebut, antara lain:

 
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
d.      Faktor penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
1)         Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2)         Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3)         Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4)         Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5)         Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6)         Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7)         Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8)         Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9)         Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
10)     Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakatsendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
11)     Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
12)     Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
Lingkungan. Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan  diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.
e.       Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan terhadap istri menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Diantaranya adalah :
Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
f.       Solusi untuk mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media. Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan.
Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua.
Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
1.      Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2.      Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.
3.      Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
4.      Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
5.      Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
6.      Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.[4]
Kesehatan Reproduksi[5]
            Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dsan alokasi sumber daya, manfaat atau dalam mengakses pelayanan. Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).
Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia. Pembahasan dalam topik isu gender ini dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan sosial, budaya, kondisi dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi masalah kesehatan reproduksi remaja.
Mengingat masih tingginya “4 TERLALU” ( Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak, Terlalu Sering untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian ibu dan anak kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah, dan tidak terjadi kematian yang sia-sia. Selain itu masalah ksehatan lainnya penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Dengan upaya pemberian informasi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan remaja yang pada akhirnya remaja mempunyai pandangan dan sikap yang baik untuk dapat membantu pencegahan penularan HIV/AIDS, pencegahan kehamilan tidak diharapkan.
Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya.
Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kehamilan tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya
b. Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi
c. Masalah Penyakit Menul;ar Seksual termasuk infeksi HIV/AIDS
d. Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial
Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibanding kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun. Pusat penelitian Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung ( 1997), menunjukkan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah melakukan hubungan seksual.Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun di Jawa barat (1189) dan di Bali (922) mendapatkan 7% dan 5 % remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku pernah terlambat haid atau hamil. Di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981 pengunjung klinik KB ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman. Sekitar 2% diantaranya berusia kurang dari 22 tahun. Dari data PKBI sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15 – 18 tahun.
Ada beberapa fakta berikut yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja bahwa KEK remaja putri 36% (SKIA : 1995), Anemia Remaja Putri 52% (SDKI : 1995), merokok berusia kurang dari 14 tahun 9% dan kurang dari 19 tahun 53% (Susenas : 1995), Remaja Putri Perokok sebanyak 1% – 8%, peminum minuman keras 6%, pemakai napza 0,3 – 3% (LDFE-UI). Sekitar 70.000 remaja putri kurang dari 18 tahun terlibat dalam prostitusi industri seks ditemukan di 23 propinsi, seks sebelum menikah 0,4 – 5% (LDFE-UI : 1999), 2,4 juta aborsi/ tahun, 21% diantaranya terjadi pada remaja, 11% kelahiran terjadi pada usia remaja, 43% perempuan melahirkan anak pertama dengan usia pernikahan kurang dari 9 bulan.
Informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja dewasa ini belum memadai, dan kebanyakan baru ditangani oleh swadaya masyarakat di kota-kota besar.(Depkes : 2001). Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) di Indonesia cukup tinggi, diantaranya penelitian pada 312 akseptor KB di Jakarta Utara (1998) angka prevalensi ISR 24,7% dengan infeksi klamidia yang tertinggi yaitu 10,3%, kemudian trikomoniasis 5,4%, dan gonore 0,3%. Penelitian lain di Surabaya pada 599 ibu hamil didapatkan infeksi virus herpessimpleks sebesar 9,9%, klamidia 8,2% trikomoniasis 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Suatu survey di 3 Puskesmas di Surabaya (1999 (pada 195 pasien pengunjung KIA/BP diperoleh proorsi tertinggi infeksi trikomoniasis 6,2%, kemudian sifilis 4,6% dan klamidia 3,6%. Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat pelaynan dasar masih jauh yang diharapkan. Upaya tersebut baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa propinsi. Hambatan sosio-budaya sering mengakibatkan ketidak tuntasan dalam pengobatanya, sehingga menimbulkan komplikasi ISR yang serius seperti kemandulan, keguguran, dan kecacatan janin
Hingga bulan Desember 2006 tercatat jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 5230 dan kasus AIDS sebanyak 8190. Dari penderita AIDS tersebut, 6604 kasus (80,7%) adalah laki-laki dan 1529 kasus (18,6%) adalah perempuan dan tidak diketahui 61 kasus (0,7%). Dari segi usia rebanyak pada usia 20 - 29 tahun sebanyak 4487 kasus ( 54,7%), usia 30 – 39 tahun sebanyak 2226 kasus ( 27,2%), usia 40 – 49 sebannyak 647 kasus (7,9%), usia 15 – 19 tahun sebanyak 222 kasus (2,7%),usia 5 – 14 tahun 22 kasus (0,26%), dengan jumlah kasus terbanyak berada di DKI Jakarta 2565 (31,3%). Dengan faktor risiko penularan yaitu narkoba suntik 50,3%, heteroseksual 40,3%, homo biseksual 4,2%, transfuse darah 0,1% transmisi perinatal 1,5%, tidak diketahui 3,6%. Jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan 100 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan.. Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003-2007 menyatakan bahwa pencegahan dan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Masih banyak isu gender lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi remaja, diantaranya sunat pada perempuan, kekerasan terhadap perempuan/dalam rumah tangga, perlecehan  seksual/pemerkosaan, perdagangan manusia/perempuan.
Program ini akan membahas mengenai fakta dan upaya mengatasi ketidaksetaraan berbasis gender yang terjadi di masyarakat, data yang akan ditunjukkan dalam bidang pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, mengingat perempuan yang paling terkena dampak dari ketidaksetaraan ini diantaranya perempuan dinilai kurang bernilai daripada laki-laki maka data yang akan di sajikan akan lebih banyak mengenai keterlibatan perempuan.




 Daftar Pustaka
·         Nasyithotul Jannah. IMPLEMENTASI KONSEP GENDER DALAM PEMIKIRAN ISLAM ( Sebuah Pendekatan Autokritik ). hal 1. pdf
·         Lena Maryama Mukti. Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan. pdf
·         Kekerasan dalam Rumah Tangga. pdf
·         Sekitar Masalah Gender. Published on K4Health (http://www.k4health.org) (Source URL: http://www.k4health.org/toolkits/indonesia/sekitar-masalah-gender). pdf





[1]  Nasyithotul Jannah. IMPLEMENTASI KONSEP GENDER DALAM PEMIKIRAN ISLAM
( Sebuah Pendekatan Autokritik ). hal 1.pdf
[2] Ibid
[3] Lena Maryama Mukti. Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan. pdf
[4] Kekerasan dalam Rumah Tangga. pdf
[5] Sekitar Masalah Gender. Published on K4Health (http://www.k4health.org) (Source URL: http://www.k4health.org/toolkits/indonesia/sekitar-masalah-gender). pdf