Pendahuluan
Berbicara Politik di era modern dewasa ini
dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu
negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas
dilakukan oleh negara/state saja.
Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang, bukan hanya kepada kaum laki-laki, tetapi
juga kepada kaum perempuan. Pencapaian
ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan
politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.
Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang
berbeda-beda dan mendapatkan respon yang
berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut.
Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan
perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam
yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum
perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari
negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan.
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan
masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan
bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu
sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek
demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta
supremasi sipil.
Gerakan perempuan atau lebih dikenal
sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan
yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk
memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status
dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa
di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan
nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
Stereotipe peran seksual yang ada,
mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu
dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas[2]
Rumusan Masalah
a.
Mengetahui Islam
dan Kesetaraan Gender
b.
Mengetahui
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketiak adilan Kesetaraan Gender di Mesir
c.
Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan
Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan
Gender di Iran
d.
Mengetahui Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan kesetaraan Gender di Turki
Pembahasan
Islam dan Kesetaraan Gender
Gerakan feminis muslim di dunia
Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia Arabia selaluterkait dengan
kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan pertentangan antara intelektual
ekstrem kanandan ekstrem kiri yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi
dengan imperium. Oleh karenanya, pembahasan feminis muslim ini harus dikaji
dari sisi historis, framework feminis muslim, dan isu-isu yang
diperdebatkannya.
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah
Pertama–tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang
keduanya sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai di
India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus menguasai Mesir
(tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain Perancis
menaklukkan Mesir,adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan
penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil
industrinya ke wilayah Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi
Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak Alexander the great dari
Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia, sampai dengan India. Persaingan
antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah terjadi sudah lama dan terus
berlangsung, dan faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke
dunia muslim, adalah ekonomi dan politik. Namun persoalan tersebut melibatkan
agama dalam proses politik penjajahan Barat atas dunia Islam.
Pertarungan antara Islam dan kekuatan Eropa telah
menyadarkan umat Islam bahwa umat Islam tertinggal jauh dari Eropa. Usaha-usaha
yang dilakukan oleh umat Islam adalah gerakan pembaharuan,yang didorong oleh
faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur asing
yang dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam, dan menimba gagasan ilmu
pengetahuan dari Barat. Gerakan ini melibatkan gerakan Wahabiyah (1703-1787 M)
di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiah di
Afrika Utara yang dipimpin Muhammad Sanusi dari al-jazair. Selanjutnya,
pergerakan ini memasuki ranah politik. Gagasan politik yang pertama kali adalah
gagasan Pan-Islamisme sebagai gagasan
persatuan Islam sedunia yang disuarakan secara lantang oleh Jamaludin
al-Afghani (1839-1897 M).
Berkenaan dengan konteks gerakan gagasan persatuan
Islam sedunia ini, seperti yang dikemukakan Bernard Lewis, memahami Islam yang
terjadi dewasa ini dibutuhkan penghargaan/penghormatan karakter universal dan
posisi sentral agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, gerakan-gerakan
sosial dan politik yang paling menonjol dalam lintas sejarah Islam modern telah
menempatkan Islam sebagai kekuatan dan gagasan persatuan dalam perjuangannya.
Pada tahun 1928, Hasan al-Banna adalah seorang
pengikut al-Afghani dan Abduh mendirikan Ikhwanul Muslimin (Jam’iyah
al-ikhwan al-Muslimin). Tujuan didirikannya untuk mendidik
rakyat,meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat pranata Islam (al Nizam al-Islam).
Gerakan ini menolakpengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat, dan dalam waktu
yang bersamaan berkolaborasi dengangerakan perjuangan kemerdekaan untuk
menggulingkan monarki-Mesir pro-Inggris. Ikhwanul Muslimin merupakan fenomena
baru sebagai gerakan yang didukung oleh massa, gerakan terorganisir, dan berorientasi
pada masyarakat urban untuk mengatasi kemunduran Islam di dunia modern.
Meskipun
Demikian, hal itu mendapat respon berbeda di luar
negeri dianggap sebagai gerakan fundamentalis yang ingin mendirikan kembali
Negara Islam.6 Komunitas Ikhwanul Muslimin saat itu hendak mendirikan devisi Muslim
Sisters, dan Hasan al-Banna meminta Zaenab al-Gazali memimpinnya dan menggabungkan
dengan Muslim Women’s Association, tetapi ditolaknya dan tetap menjalin
kerja sama dalam perjuangan untuk mendirikan Negara Islam dan bergerak di bawah
tanah selama rezim ‘Abd anNasser pada tahun 1950-1960.7
Kajian
pergerakan perempuan di Mesir (Egypt) dimulai tahun 1919 ditandai dengan
munculnya aktivis feminis yang tergabung dengan the Egyptian Feminist Union (EFU)
dipimpin oleh Huda Sha’rawi.
Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik
perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang mencakup pengendalian
perceraian, poligami (the personal satus law), persamaan akses
pendidikan baik ditingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai
pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan. Namun demikian,
aktivitas pergerakan perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan
nasionalisme.
Awal perjuangan pergerakan perempuan dalam
pengembangan intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh
reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan
yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun 1919 berkaitan
dengan perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai
aktivitas perempuan. Di samping itu, beberapa kontribusi perempuan dalam
publikasi jurnal sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat
tentang isu-isu sosial seperti pendidikan, peran perempuan dalam keluarga, dan
hak-hak perempuan.
Sementara itu, pada periode 1945-1959 muncul
organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile (Daughter of the Nile)
yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan
menyegarkangerakan feminis, bertujuan untuk memproklamirkan hak-hak politik secara penuh
bagi perempuan.
Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya,
berkampanye perbaikan budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi
masyarakat miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (chaildcare).
Menurut Khater dan Nelson bahwa hak-hak politik perempuan dipertautkan kampanye
reformasi sosial. Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji
Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad di adopsinya ideologi sosial atau
komunis dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (sosial
equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut
terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan
pengendalian ruang gerak organisasi perempuan.[3]
Sub ordinasi atas wanita di Timur tengah kuno
tampaknya telah dilembagakan seiring dengan kebangitan, masyarakat perkotaan dan dengan kebangkitan negara kuno khususnya.
Bertolak belakang dengan teori-teori
androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial inferior wanita
didasarkan pada biologi dan “alam ” dan
dengan demikan, sudah ada selma dimiliki manusia, bukti arkeologi menunjukan
bahwa wanita di hormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya
merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara kota. Para
sering kali mengutip catal huyuk, sebuah pemukiman zaman Neolitik di Asia kecil yang berasal dari
sekitar tahun 6000 S.M., untuk membenarkan posisi dominan dan tertinggi wanita ( sebagian orang
berargumen demikian). Di dalam pemukiman ini, bagian lebih besar dari panggung
pemakaman yang di temukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan berbagai lukisan
dan dekorasi di dinding banyak pemakaman dengan jelas menggambarkan sosok wanita. Catal Huyuk Bukan satu-satunya
kebudayaan awal di kawasan itu yang memberikan bukti tentang posisi luhur dan mungkin terhormat yang dimiliki
wanita.temuan temuan arkeologis menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan diseluruh Timur Tengah menghormati dewi Ibu
dalam Zaman Neolirtik, hingga milenium kedua sebelum Masehi di beberapa
kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno di kawasan itu menunjukkan bahwa
supremasi sosok dewi
dan status tinggi bagi wanita adalah aturan alih-alih kekecualian di
Mesopotamia, Elam, Mesir, Kreta, misalnya, dan di kalangan bangsa yunani, phoenicia, dan lain-lainya.[4]
Gerakan Perempuan Islam dan
Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
Pada abad ke-6 Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah
pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan
patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk
perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis
perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat menggandrungi wanita
wanita), yang dijumpai di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa
kelahiran Muhammad (kira kira pada abad
570 M) wanita tetap tinggal bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan
menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
Keberagama berbagai praktek
perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat matrilineal, termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu,
tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat
atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga
tidak berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas
bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak
perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan
bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi
mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh
orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[5]
Kairo adalah Salah satu potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan
yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu,
perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam
transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti
berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
Sebagian
orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum
memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih
dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar
demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan
laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan
diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan –
mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh
militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik.
Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses
perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi
seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat
perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
Selain berbagai
contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang
mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy,
telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas.
Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun
terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar
oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi.
Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi
pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki
banyak relawan pria.
Satu-satunya cara
untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah
menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam
merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya
diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan,
berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan
Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
Selain itu, para
aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik
di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa
negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program
yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan
dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam
pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan
– sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
Penting juga
mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan.
Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran
penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang
pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan.
Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program
sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun,
tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi
kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan
Mesir.
Para aktivis hak
perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara
aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara
pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun
berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di
luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para
aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi
tantangan-tantangan di depan.[6]
Jadi perempuan di
Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum
perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis
dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah
istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi
meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap
suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun
kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta,
walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya
di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
Walupun derajatnya
tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh
perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut
Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar
dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum mati.
Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati
begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi
dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk
setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran
romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir
meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan
perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar
Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum
batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum
laki-laki dan mencabut hak-haknya.[7]
Gerakan Perempuan Islam dan
Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan
Gender di Iran
Persoalan perjuangan hak-hak perempuan muslim (Islam
Feminis) di negara-negara mayoritas Islam, terutama di Timur Tengah dan lebih
khusus lagi di Saudi Arabia dan Republik Islam Iran dapat di jadikan ilustrasi
perbandingan dan pertentangan berkaitan dengan ungkapan-ungkapan paradoksal yang
berhubungan dengan patriarkhi keagamaan (religious patriarchy) di era
modern. Hal itu dipengaruhi oleh adanya tekanan dunia internasional dan untuk
menaikkan citra (image) pemerintahan Saudi Arabia.
Pemerintah Arab Saudi melakukan kerjasama dengan
CEDAW (the Convention on Elimination of All formsof Discrimination Againts
Women) sebagai bentuk formalitas dan hypocrit karena masih banyak
penerapanyang berindikasikan pada persyaratan yang berbasis syari’ah. Adapun
resistansi patriarkhi di Iran lebih halus, tetapi ahli hukum tradisional (traditionalist
jurisprudence) tidak mampu menyesuaikan syari’ah.
Sebagai contoh, sampai dewasa ini, Saudi Arabia
mencabut hak perempuam yang memiliki kartu identitas pribadi, hak-hak sipil dan
politik juga dicabut, bahkan persoalan perempuan menyetir mobil.
Adapun perempuan Iran bernasib lebih baik
dibandingkan dengan Arab Saudi karena mendapatkan lebih hak-hak sosial dan
politiknya berupa aktivitas dan suara-suara kaum perempuan hadir dalam tujuh parlemen
(majlis); tujuh parlemen ini sebagai tempat posisi dan kekuasaan
patriarkhis, serta menjadi benteng pertahanan atas kekuasaannya (bagi ulama
Shi’ah adalah suatu jabatan yang harus dipertahankan).30 Kondisi politik
patriarkhis parlemen menjadi hambatan paling utama bagi perjuangan feminis
Islam di Iran.
Nahid Mutee mengkritisi feminis Barat mempertimbangkan
persamaan (similarity) antara perempuan dan laki-laki, tetapi sejak
kultur maskulin adalah dominan di dalam suatu sistem patriarkhi,kondisi
perempuan menjadikan sama dengan laki-laki. Tumbuhnya persamaan tersebut
berimplikasi pada revolusi nilai, seperti homo sexual, bisexual, dan keluarga
yang destruktif. Oleh karena yang diperjuangkan bagi feminis Islam, maka
pergerakan perempuan yang berbasis pada lokalitas dalamkonteks masyarakat
perempuan Iran (indigenous Iranian women’s movement), sebagaimana
pendapat Mutee.[8]
Yogyakarta-Tiga
perempuan dari Iran membagi cerita mereka tentang perempuan, hak asasi, dan
dunia Islam dengan masyarakat Yogyakarta, Kamis (15/12). Mereka adalah
Fereshteh Ruh Afza, Tahereh Nazari, dan Shayesteh Khuy.
Mereka
bukan perempuan Iran biasa. Fereshteh Ruh Afza adalah perempuan terpilih tahun
2010 dari Presiden Republik Islam Iran serta pengelola program TV untuk
perbandingan hak-hak perempuan antara Islam dan Barat. Tahereh Nazari adalah
ketua Komite Internasional Dewan Kebudayaan Sosial Perempuan Republik Islam
Iran sekaligus sebagai direktur urusan internasional hak asasi perempuan.
Sedangkan Shayesteh Khuy merupakan seorang guru dan pengurus divisi perempuan
Pusat Konsultasi Astan-e Qods-e Razavi, Mashad, Republik Islam Iran.
Ketiga
perempuan Iran tersebut sengaja didatangkan ke Indonesia untuk membagi cerita
tentang perempuan dalam perjuangan untuk hak asasi dalam dunia Islam. Menurut
penyelenggara, ketua Raushan Fikr Institute, AM Safwan, Indonesia patut belajar
dari Iran soal hak asasi perempuan.
Iran,
yang terkesan sangat fundamentalis, faktanya merupakan negara yang sangat
terbuka. Hal itu terlihat dari sistem pemerintahan maupun hukum yang ada. Di
Indonesia sebagai negara demokrasi, kata Safwan, faktanya seorang perempuan
tergantung suami dalam kasus perceraian. Juga dalam dunia politik, Iran lebih
terbuka untuk perempuan. "Selain itu, mereka juga memperkenalkan keadilan
di dunia terkait perempuan," kata Safwan pada Republika. Safwan
menambahkan, yang paling patut kita pelajari adalah kekuatan bertahan Iran
karena mampu bertahan dari tekanan Barat.
Dalam
uraiannya, Fereshteh Ruh Afza lebih banyak mengungkapkan persoalan media yang
semakin lama menganggap perempuan hanya sebatas obyek penarik bagi larisnya
program-program mereka. Tareheh Nazari lebih banyak bercerita tentang peran
perempuan dalam masyarakat Islam, terutama di Iran.
Lalu
Shayesteh Khuy yang seorang guru menceritakan peran perempuan dalam kebangkitan
Islam. Menurutnya, gerakan perjuangan perempuan memiliki dua tahap, pertama
saat penguasaan imperialis Barat dan Timur pertengahan abad ke-20, dan tahap
kedua adalah peristiwa revolusi Islam di Iran oleh Khomeini. Namun, lanjut
Khuy, gerakan perempuan itu melemah karena adanya tekanan oleh pihak
imperialis.[9]
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Turki
Selama beberapa dekade di Turki, Perjuangan dan pertarungan antara kekuatan Islam dan sekuleris berlangsung sangat keras. Sampai
perlahan-lahan Erdogan memenangkan pertarungan melawan kaum sekuleris, yang
diwakili oleh militer. Bangunan
sekulerisme yang terstruktur dalam bentuk kekuasaan, dibangun oleh Kemal
Attaturk, sudah berlangsung sejak tahun 1924, bersamaan dengan keruntuhan
Khilafah Otsmaniyah. Keruntuhan Turki Otsmani itu, di formalkan oleh Jenderal
Kemal Attaturk ke dalam konstitusi, yang secara tegas menyatakan Turki sebagai
negara sekuler. Bukan negara agama. Islam tidak lagi menjadi sumber hukum bagi
kehidupan bernegara.
Perjuangan pertarungan antara kalangan Islamis melawan sekuleris,
yang berlangsung selama beberapa dekade itu, baru mencapai puncaknya, ketika
Erdogan dengan Partai AKP, membangun kekuatan entitas politik di Turki. Erdogan
seperti membangun kembali puing-puing reruntuhan Khilafah Otsmaniyah, dan mulai
menampakkan wujudnya. Turki di bawah Erdogan, seorang Muslim yang taat, kini
berubah total. Sekulerisme mulai digerus, dan nilai-nilai Islam mulai nampak
temaram. Seperti yang dituturkan oleh seorang pelancong dari Indonesia, baru
saja meninggalkanTurki. Turki benar-benar berubah. Bukan hanya kota-kota di
Turki yang sangat bersih dan teratur. Tetapi, rakyat Turki jauh lebih makmur,
dibandingkan ketika masih hidup dibawah kaum sekuleris. Ekonomi Turki terbesar
keempat di Eropa, tak terpengaruh oleh krisis di zona Eropa. Ekonominya tumbuh
5 persen, dan angka inflasi kurang dari dua digit. Income perkapita rakyatnya,
sudah diatas $ 5.000 dollar. Perdagangan dengan negara-negara Eropa, Asia, dan
Timur Tengah, terus mengalami surplus.
Sekolah, perguruan tinggi, rumah makan bagi rakyat, transportasi,
dan perumahan, semuanya disubsidi oleh pemerintah. Pelancong dari Indonesia itu
merasa senang berkunjung ke Turki. Semua kebutuhan pokok rakyat tercukupi, tak
ada yang kesulitan. Rakyat benar-benar makmur, dan aman di Turki, sekalipun
sekarang masih sering terjadi pemboman oleh kelompok separatis Kurdi. Tetapi,
Erdogan perlahan mencari solusi. Di bawah Erdogan dan Partai AKP (Paratai
Keadilan dan Pembangunan), segalanya telah berubah. Kebebasan keagamaan
diberikan seluas-luasnya oleh pemerintah. Turki yang sangat modern dan
maju ekonomi, dan kehidupan rakyatnya
sudah menyamai negara-negara di zona Eropa, kini menjadi salah satu negara yang mengenakan pajak tertinggi di
dunia terhadap alkohol dan rokok.Jadi tidak sembarangan orang bisa minum dan merokok
di Turki. Orang yang minum dan merokok, harus benar-benar orang kantongnya
tebal. Inilah cara melarang pemerintah Turki terhadap alkohol dan rokok. Akan
tetapi kontra terus bergulir, Kekuatan sekulerisme masih ada, sudah kehilangan
kekuasaannya, tetapi masih memiliki pijakan dalam konstitusi. Sekulerisme masih
memiliki akar sejarah, yang diletakkan oleh Kemal Attaturk, dan menampakkan
kegagalannya di Turki, serta mulai
redup, bersamaan dengan tumbuhnya kekuatan Islam di Turki, yang perlahan-lahan
maju menggantikan sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dikabarkan
bahwa wacana publik atas isu pemakaian jilbab mencerminkan suatu perjuangan
internal demokratis atas kebebasan individu. Seperti diketahui, mengenai
masalah ini, Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang
berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim
berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan
beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol
ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Mustafa Kemal Atatürk, pendiri The Founder Of Modern Turkey,
melihat jilbab sebagai halangan sekularisasi dan pihaknya di modernisasi
Republik Turki. Visi Ataturk belum berhasil sebab kecenderungan agama penduduk
Turki, meskipun jilbab telah dilarang di sekolah-sekolah, universitas dan
masyarakat sipil. Sebab lebih dari 60% dari perempuan Turki menutupi kepala
mereka dengan pilihannya. Tak hanya itu, para sekularis di Turki juga khawatir
terhadap Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa untuk kemudian
menjadi gerakan keagamaan Islam yang berakar dan dapat meningkatkan profil
publik Islam akan jilbab. Tindakan AKP misalnya yang didorong melalui RUU
mencabut larangan selama puluhan tahun pada perempuan yang mengenakan jilbab di
universitas-universitas. Dan hal itu merupakan kekecewaan dari pihak sekuler
dan sebaliknya merupakan keberhasilan dan keuntungan bagi kelas menengah yang
tumbuh konservatif membentuk basis politik AKP.
Konflik internal atas jilbab di Turki menimbulkan suatu penjajaran
menarik terhadap pelarangan jilbab di Eropa. Apa artinya bila negara yang
berada diperingkat kedua terbesar mayoritas Muslim di dunia sama seperti
negara-negara Eropa lainnya, di mana umat Islam
tidak hanya minoritas tetapi sering terpinggirkan? Disebut-sebut bahwa
pemakaian jilbab di Turki dilarang dengan alasan keamanan, sebagai bentuk
tindakan anti-terorisme, dan masalah terselubung dengan isu-isu imigrasi. Di
Turki, mengenakan jilbab adalah sebuah bentuk perjuangan untuk mendefinisikan
identitas. Dimana mengenai hal sosial dan politik dari perjuangan ini yang pada
akhirnya akan menentukan masa depan yang sangat berarti bagi Turki. Hal lain
yang menyedihkan yakni Turki memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat
Islam dan juga Kristen beribadah secara formal selama 6 abad di museum yang
merupakan gereja katedral terbesar di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi
masjid pada abad 15. Pengubahan Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan
tengah untuk menghindari konflik sejarah. Ketua Asosiasi Pemuda Anatolia, Salih
Turhan, mengatakan penutupan Masjid Haghia Sophia adalah penghinaan bagi umat
Islam dan merupakan perlakuan buruk Barat. “Penutupan Masjid Hagia Sophia
adalah sebuah penghinaan dan lambang perlakuan buruk Barat terhadap Islam,”
kata Turhan seperti dikutip Reuters Ahad (3/6).
Sementara itu, Organisasi Ortodoks Dunia, The Ecumenical
Patriarchate, berharap Haghia Sophia tetap menjadi museum. “Kami ingin Haghia
Sophia tetap menjadi museum sejalan dengan prinsip-prinsip Republik Turki,”
ujar juru bicara Patriarchate, Pastor Dositheos Anagnostopulos. Menurutnya jika
Haghia Sophia kembali menjadi sebuah masjid, umat Kristen tidak akan bisa berdo’a
di sana, dan hal tersebut akan mengundang kekacauan.[10]
Daftar
Pustaka :
§ Ahmed
Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.
§ Chakim
Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur
Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim.
§ El-Tahawy,
Kantor berita Commound Ground (CG.News) 6 Juli 2012.
§ Patrick
Kirk, Partisipasi Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur
Wijaya Press, Surabaya : 1994.
§ Sadli
Saparinah, Pengantar tentang kajian Wanita, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta : 1995.
§ Republika.co.id,
Yogyakarta, Kamis, (15/12).
[1] Saparinah
Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian
Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995,
hal.14
[2] Kirk Patrick, Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT.
Danur Wijaya Press, Surabaya, 1994, hal. 76