Saturday, 16 May 2015

Feminisme [2]

PENDAHULUAN
Membahas tentang perempuan terkait dengan kebebasan, kesetaraan, dan transformasi sosial adalah salah satu dari sekian banyak tema fenomena sosial yang tak lekang dimakan usia. Prasangka bahwa perempuan adalah masyarakat kelas dua, kaum yang tertindas, beban keluarga, dan bahkan aib bagi sebuah peradaban merupakan isu-isu yang menarik para perempuan dari seluruh dunia untuk menyerukan kesetaraan dan pengakuan. Butuh perjuangan yang tak sedikit untuk dengan lantang menyuarakan hak-haknya, waktu yang panjang, rasa malu, penentangan dari berbagai pihak, bahkan dari para perempuan sendiri, kecaman dan hinaan, kekerasan bukan hanya fisik, melainkan juga perasaan dan psikologi; segala penderitaan dan kesusahpayahan ini pada akhirnya berhasil  mengiring perjalanan panjang para perempuan menyambut matahari terbit emansipasi wanita di awal tahun1960-an di Amerika Utara.
Banyak pihak beranggapan bahwa kesetaraan yang dirasakan sekarang ini merupakan buah manis dari penindasan yang telah diterima para perempuan sejak berabad-abad lamanya. Buah manis ini, ternyata tidak selamanya manis. Berbagai kontroversi dan kritikan tajam terus menghujam dalam perjalanan ini. Ketika perempuan telah memiliki hak pendidikan yang sama dengan kaum lelaki, ketika para perempuan telah mendapatkan hak untuk menyuarakan pendapatnya di hadapan khalayak, ketika para perempuan menjabati posisi-posisi teratas dari perusahaan tertentu, dan ketika anggapan bahwa tempat para perempuan adalah dapur, sumur, dan kasur telah mulai memudar; para perempuan justru merasakan suatu ketimpangan yang nyata yang terjadi di bumi ini. Perempuan tidak lagi menjadi korban penindasan kaum lelaki, tetapi perempuan menjadi penindas lelaki (dalam beberapa kasus) atau menjadi penindas bumi dan alam semesta.
Tuntutan yang diajukan para perempuan menimbulkan ketimpangan yang nyata dalam kehidupan. Aspek maskulin (aspek laki-laki) terlalu dominan dan aspek feminin (aspek keperempuanan) sangat sedikti tersisa. Akibatnya, para ibu tidak lagi peduli pada anak-anaknya dan lebih memilih memperjuangkan karirnya, sehingga para anak kehilangan sosok ‘ibu’ mereka dan lebih banyak menjadi anak pembantu—yang dewasa ini seolah-olah menjadi tolok ukur kesuksesan sebuah keluarga; bahwa perempuan bekerja, memiliki penghasilan, dan memiliki pengurus rumah tangga yang menjaga anak-anak-nya dan mengambil alih tugas-tugas rumah tangga. Perasaan kasih dan sayang—yang dominan pada aspek feminin perlahan-lahan menyusut—sehingga terjadi pemerkosaan terhadap bumi, penggundulan hutan, eksploitasi habis-habisan sumber daya alam dan sumber daya manusia; memang bukan (hanya) perempuan yang melakukan hal itu, tapi berkurangnya aspek feminin (secara signifikan) pada diri para perempuan menimbulkan ketidakseimbangan di alam semesta.
Para perempuan menyadari hal ini, sehingga pada tahun 1980an, gerakan feminis berubah haluan. Dari yang sebelumnya mengelu-elukan sifat maskulin dan ingin meraih hal yang sama dengan lelaki, mulai beralih menjadi mengagung-agungkan sifat femininitas, kewanitaan, sehingga perempuan mulai menghormati diri mereka sebagaimana adanya, sebagai seorang wanita, seorang ibu, seorang nenek, dan seorang yang memiliki rasa kasih-sayang, perhatian, dan mengedepankan emosinya. Muncul identitas-identitas kewanitaan dalam istilah-istilah sosial dan kemanusiaan; ibu negara, ibu bumi, hari ibu, ibukota, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, kali ini kaum feminis mulai memandang rendah sifat maskulin yang bossy, seenaknya, keras, dan tegas; bahkan cenderung mengabaikannya dan menganggap tak ada. Para perempuan penganut feminis mulai mengadakan gerakan-gerakan atau aktivitas-aktivitas keperempuanan yang tidak mengizinkan keikutsertaan para lelaki dan beranggapan bahwa para lelaki sama buruknya serta tidak memandang keberadaan (atau mengabaikan) para perempuan.
Berbicara tentang gender dan kesetaraan dalam agama Kristen, perempuan memiliki sejarah yang amat panjang. Karena Kristen merupakan sebuah agama sejarah[1]. Sehingga keterkaitan dengan agama-agama pendahulunya juga menjadi tolok ukur hukum-hukum dalam Kristiani.  Perjalanan kaum feminis dalam menciptakan sejarahnya sendiri, mendirikan aliran teologinya sendiri—yang tidak lagi bersifat pro lelaki dan patriarki, tetapi lebih pro perempuan dan mengedepankan pengalaman/ sejarah perempuan—dan menciptakan tatanannya sendiri, sehingga muncul istilah seperti “suami-suami takut istri”.


PEMBAHASAN
I.        LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN TEOLOGI FEMINIS
Sebagai  sebuah  basis  ide/teori,  feminisme  menampakan eksistensinya  pada  era liberalisme  di  Eropa  dan  saat  terjadinya  Revolusi  Perancis  di  Abad  ke-XVIII  yang  gemanya
kemudian melanda ke Amerika Serikat dan seluruh dunia. Pada tahun 1792, Mary Wollstonecraft[2] menulis  sebuah  karya  tulis  berjudul,  "Vindication  of  the  right  of  women",  yang  isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip  feminisme di kemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840-an sejalan dengan pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki, mereka diberi  kesempatan  ikut  dalam  pendidikan  dan  diberi  hak  pilih,  sesuatu  yang  selama  ini  hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.[3]
Gerakan feminis muncul pertama kali sekitar tahun 1960an, di Amerika Utara yang berakar dari North American Black Theology dan Latin Amerikan Liberation Theologi. Hal ini berangkat dari titik tolak yang sama yaitu penindasan. Tema penindasan yang merebak di Amerika Latin oleh orang-orang Eropa dan orang-orang kulit gelap di Amerika Utara, meninspirasi para perempuan untuk membebaskan diri dari ikatan yang selama ini dianggap telah membelenggu mereka. Mereka menuntut kebebasan terhadap ketidakadilan dan diskriminasi yang selama ini mereka terima. 
Diawali oleh beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan dilegalitaskan di Amerika dalam undang-undang.  Lalu mulai ada beberapa penulis wanita merasa terbeban dalam mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan Feminisme ini ke dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'patriarchal' yang ada di dalam Alkitab dan  penafsiran tradisi gereja secara socio-cultural dalam hal ini khususnya konsep Allah Tritunggal.[4]

II.     FEMINIS TEOLOGI
Feminisme Kristen merupakan salah satu aspek dari teologi feminis yang mengupayakan kemauan dan pemahaman akan kesetaraan laki-laki dan perempuan secara moral, sosial, spiritual dan dalam kepemimpinan dalam perspektif Kristen. Feminis Kristen berpendapat bahwa kontribusi para perempuan sangat dibutuhkan untuk dapat memahami ajaran Kristen secara menyeluruh. Para feminis Kristen meyakini bahwa Tuhan tidak membedakan manusia berdasarkan karakteristik-karakteristik biologis seperti jenis kelamin dan ras. Isu utama mereka termasuk tatanan perempuan, dominasi laki-laki dalam hukum pernikahan Kristen, pengakuan atas kesetaraan kapasitas spiritual dan moral, hak-hak reproduktif, dan pencarian tuhan transenden feminin atau gender.
Pemikiran kaum feminis pada awalnya menekankan pada kritik-kritik terhadap ayat-ayat Alkitab yang dianggap mendiskriminasi ataupun menyudutkan kaum perempuan. Oleh karena itu, pada permulaan gerakannya, kaum feminis memunculkan metode baru menafsirkan Alkitab yang dikenal dengan Hermeneutik Feminis.
Hermeneutik Feminis sebenarnya memuat hampir semua prinsip penting hermeneutik yang sudah ada, pada tingkat pertama atau tingkat teoritis teolog Feminis menawarkan suatu model hermeneutik secara 'socio-critical'. Hermeneutik 'Socio-critical' adalah metode prinsip penafsiran teks Alkitab yang dibuat untuk mempromosikan dan melegalkan kaum 'kedua' yaitu kaum wanita yang mengalami penindasan dalam kehidupan sosial tatanan masyarakat yang dikuasai oleh sistem 'patriarchal'.  Tujuan kritik terhadap prinsip hermeneutik Feminis ini adalah untuk membuka tabir 'pelegalitasan' fungsi sosial yang menindas dan menekan hak-hak wanita yang dipinggirkan.[5]
Dua orang tokoh dari pemikiran teologi ini adalah Letty Russel dan Rosemary Reuther. Keduanya membangun teologinya dengan bersandar pada dua tema besar dan utama dari kerangka Alkitab, Pembebasan dan Keuniversalan. "…Letty identified two majors motifs or themes of the Bible, Liberation and Universality".   Pembebasan sebagai kerangka yang menggaris bawahi teologi Feminis, "They viewed liberation as the essensial crux for Scriptural interpretation,". Analisa teologinya juga dimulai dari "woman-centered analaysis of  …women's experience". 
III.   PEMIKIRAN DAN KRITIK FEMINIS TEOLOGI
Titik tolak teologi feminis adalah pengalaman perempuan, dan penolakan terhadap sistem ‘patriarki’ (struktur masyarakat dimana kaum laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan). Perempuan, dalam argumentasi teologi feminis, akan berhasil menjadi manusia utuh dengan berakhirnya sistem patriarki. Teks-teks dalam Alkitab sangatlah patriarkis, beberapa feminis teologi beranggapan bahwa keseluruhan teks Alkitab adalah candu, sementara sebagian yang lain menganggap bahwa inti ajarannya dapat diterima.
Secara umum, para teologi feminis digolongkan dalam lima (sampai yang telah banyak dianalisa, mungkin telah muncul kelompok-kelompok baru dengan pandangan baru) kelompok. Para teolog bible feminis dewasa ini kebanyakan adalah mereka yang berangkat dari pemikiran tradisi reformasi feminis liberal—yang dalam sejarahnya meminimalisir perbedaan antar-jenis kelamin dan memperjuangkan kesempatan yang setara di Gereja. Para teologi feminis post-biblikal lebih tertarik pada feminis romantik yang merasa nyaman untuk merayakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Variasi dalam teologi feminis hampir tidak terbatas. Karena baik para perempuan berkulit gelap, perempuan asia, penduduk-penduduk lokal di semua wilayah di dunia tersebar dalam kelompok pemikiran feminisme baik itu konservatif maupun radikal.
Diantara beberapa aliran teologi feminis adalah: [6]
1.       Feminis Evangelikal
Menerima otoritas Alkitab dan kebenaran pada kredo-kredo sejarah. Kebanyakan berpendapat tentang ‘netra gender’ dalam menggunakan bahasa untuk menerjemahkan Alkitab, dan beberapa orang diantaranya mempertahankan pendapat bahwa terdapat subrodinasi mutula dalam Trinitas. Mereka menolak berbagai bentuk hierarki dalam kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
2.       Feminis Biblikal
Berpendapat bahwa Alkitab sangat bermanfaat sebagai sumber, tetapi menolak otoritas dari seluruh kanon dan menegaskan sebuah ‘kanon dalam kanon’ yang mereka pertahankan dalam tradisi liberal. Mereka mengkritik tradisi Kristen tetapi ingin melakukan reformasi dari dalam. Beberapa tokohnya adalah: Rosemary Radford Ruether dan Elizabeth Shussler Fiorenza.
3.       Feminis Post-Biblikal
Menolak segala bentuk otoritas Alkitab dan faktanya mereka beranggapan bahwa Alkitab merupakan toksik (racun) yang mendasari terciptanya nilai-nilai patriarkis. Beberapa tokohnya adalah:Mary Daly dan Daphne Hampson.
4.       Goddess feminists
Kaum Goddess feminist merasa bangga dengan Sang Dewi atau kedewian pada diri perempuan. Banyak dewi dalam tradisi agama lokal di berbagai penjuru dunia menekankan akan sifat femininitas yang menjaga keberlangsungan alam semesta. Mereka mulai menggabungkan pandangan mereka dengan paganisme dan spiritualisme tradisional. Berbagai dewi yang diketahui seperti Gaia, Parvati dalam tradisi Hindu, Dewi Sri dalam kepercayaan tradisional masyarakat indonesia, dan berbagai tradisi kedewian yang lainnya.
5.       Feminis Wicca
Wicca merupakan agama tradisional Eropa yang meyakini Dewa Laki-laki dan perempuan. Kelompok ini lebih banyak menggabungkan dengan tradisi paganis lokal yang kaya akan mistis (dalam arti klenik; seperti fortune teller, tarot women, dan lain sebagainya).
Kaum feminis mengadakan kajian yang mendalam terhadap ayat-ayat dalam Alkitab dan memberikan penafsiran sendiri melalui sudut pandang mereka yang ‘unik’ atau berbeda dari mainstream penafsiran kitab suci yang telah ada. Dengan metode yang disebut sebagai Hermeneutik sosio-kritik dan berdasarkan pada pengalaman para wanita, kaum feminis mengajukan beberapa kritik terhadap doktrin-doktrin dalam Agama Kristen:
1.       Kritik terhadap pandangan tradisional tentang Tuhan
Pandangan tradisional tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan adalah Pria sehingga pria adalah Tuhan. Ini artinya Tuhan sama saja dengan manusia. Doktrin bahwa Tuhan berbeda dari makhluknya, dan Tuhan adalah Yang Maha Esa segera terbantahkan dengan adanya legitimasi ajaran yang menomorduakan kaum perempuan. Adanya diskriminasi yang menganggap bahwa Tuhan adalah seorang laki-laki sehingga dalam setiap kondisi laki-laki selalu lebih superior dibanding wanitan merupakan upaya menyamakan makhluk dengan penciptanya. Dan hal inilah yang kemudian memicu kritik dari kaum feminis.[7]
Kaum feminis lebih memilih menggunakan kata yang netral gender seperti menggunakan kata Pencipta atau Pemilik dsb. Mereka berharap hal ini disadari oleh seluruh penganut Kristian di seluruh dunia dan mereka mulai menyembah Tuhan yang netral-gender.
2.       Kritik terhadap anggapan bahwa ‘he’ dalam Alkitab tidak mencakup ‘her’[8]
Bahasa asli Alkitab menggunakan kata ganti laki-laki dalam menyampaikan wahyu dari Tuhan. Sehingga anggapan yang muncul di antara para penganutnya adalah bahwa Tuhan adalah laki-laki. Perintah-perintah Tuhan yang menggunakan kata ganti ‘he’, secara literal diartikan dia laki-laki saja. Padahal menurut kaum feminis,  ‘her’ tercakup dalam ‘he’ yang dimaksudkan.  Sehingga tidak ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan dan bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata Tuhan. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi yang sangat besar. Mengingat tafsiran bahwa ‘her’ tidak pernah dianggap sebagai bagian dari ‘he’ yang disebutkan dalam Alkitab.
3.       Kritik terhadap posisi perempuan dalam keluarga
Perempuan selalu menempati posisi yang terpojok atau sulit dalam setiap peranan sosialnya. Dalam keluarga pun mereka dianggap tidak mempunyai hak dan pilihan dalam menentukan hidupnya. Dalam menentukan jodohnya pun, Sang ayah yang adalah seorang laki-laki yang diberi hak untuk memilihkan jodoh bagi anaknya (ini merupakan pandangan Kristen tradisional). [9]
Akan tetapi, dalam kajiannya terhadapa Alkitab, kaum feminis mengemukakan bahwa Tuhan menyampaikan wahyu-wahyu yang memerintahkan para suami untuk menghormati dan mengasihi istrinya, dengan demikian ia akan diberi ganjaran yang sesuai. [10] Sebenarnya ayat-ayat semacam ini sudah ada, akan tetapi karena kaum perempuan yang tidak memiliki hak pendidikan yang setara dengan kaum lelaki, dan perintah untuk tetap diam ketika berada di gereja menyebabkan ayat-ayat yang pro-perempuan tidak diekspose secara luas. Bahkan cenderung dilupakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, kemunculan kaum feminis yang menuntut kesetaraan dalam bidang pendidikan membuka tabir kegelapan yang selama ini melingkupi para perempuan yang dianggap manusia nomor dua.
4.       Kritik terhadap posisi perempuan dalam Gereja
“In 1 Corinthians 14:34-36 we read, "Let your women keep silent in the churches, for they are not permitted to speak; but they are to be submissive, as the law also says. And if they want to learn something, let them ask their own husbands at home; for it is shameful for women to speak in church, for Adam was formed first, then Eve."
Dalam beberapa ayat dalam Kitab Suci, sebagiannya tampak mendiskreditkan kaum perempuan. Termasuk tentang perintah untuk diam di dalam Gereja sementara tidak adaa satu kata pun yang menyinggung tentang apa yang harus dilakukan kaum lelaki. Bahkan dalam ayat tersebut tertulis untuk mempelajari suatu hal pun perempuan harus mendapatkan izin dari suaminya.
Dalam hal ini, kaum feminis menganalisa ayat tersebut dari sejarahnya. Dan dari ayat yang dari Nabi Paulus “1 Timothy 2:11-15, Paul wrote that “a woman should learn in quietness and full submission.  I do not permit a woman to teach or to have authority over a man; she must be silent.  For Adam was formed first, then Eve.  And Adam was not the one deceived; it was the woman who was deceived and became a sinner.  But women will be saved through childbearing--if they continue in faith, love and holiness with propriety.”
Bukan diam dalam arti tidak memiliki hak bicara apa pun, tetapi bahwa kecenderungan perempuan untuk selalu menggosip dan membicarakan hal-hal yang kurang penting perlu ditiadakan terutama di dalam gereja. Perempuan harus lebih mendalami kepasrahan dan keheningan. Paul menyampaikan hal demikian ini karena ia pun diajar oleh ibunya dan neneknya yang notabenenya adalah perempuan.
5.       Kritik terhadap posisi perempuan dalam masyarakat
Perempuan dianggap sebagai kelas dua dalam masyarakat, tidak diizinkan turut berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan organisasi kemasyarakatan, tidak mendapatkan hak untuk menyuarakan pendapatnya di muka umum, dan tugasnya hanyalah berada di dalam rumah.




SPIRITUALISME DAN PERUBAHAN PERAN PEREMPUAN DI ERA KRISTEN MODERN
I.        PERKEMBANGAN SPIRITUALISME KRISTEN
Buah manis dari perjalanan kehidupan para perempuan tidak hanya memberikan efek positif terhadap peran dan posisi perempuan dalam masyarakat. Tetapi juga membawa efek negatif yang disebut-sebut ketidak seimbangan ekologis. Di tambah lagi, banyak orang yang mulai merasa disorientasi dalam hidupnya. Hidup, sekolah, bekerja, mendapatkan kemewahan dalam kehidupan. Akan tetapi manusia kehilangan kebahagiaannya, kehilangan esensi kemanusiaan dalam diri mereka.
Spiritualisme berkembang pada pertengahan era modern ketika banyak pertanyaan dan kegelisahan tidak lagi mampu dipecahkan dengan temuan-temuan saintifik dan gelimang harta. Dimulai dengan ketertarikan orang-orang pada tradisi Buddhisme yang menekankan pada meditasi dan melepaskan diri dari segala kesemuan dunia. Buddhisme mulai merebak di Amerika dan beberapa bagian negara sekuler di dunia. Juga Yoga dari tradisi Hinduisme.
Walaupun pada dasarnya Kristen merupakan agama yang bersifat mistikal—esoteris (tidak menekankan pada aspek-aspek ragawi, seperti: posisi badan ketika berdoa dan lain sebagainya), tetapi mistisisme bukanlah hal yang bisa dibicarakan di berbagai kalangan. Nyatanya kebutuhan manusia berubah seiring berubahnya zaman. Manusia tidak hanya membutuhkan doktrin-doktrin alkitab sebagai panduan hidupnya, mereka mulai jengah dengan berbagai hal yang ditawarkan oleh agama, dan cenderung mulai meninggalkannya.
Akan tetapi tulisan-tulisan yang bersifat kontemplatif menggugah banyak orang. Mereka mulai berusaha melepaskan diri dari belenggu kefanaan dunia dan mencari yang lebih keabadian dalam Kasih Tuhan. Meditasi, kontemplatif, serta hal-hal yang kita kenal dengan tirakat mulai dilakukan oleh manusia-manusia modern. Tak terkecuali dalam Ajaran Kristen. Bahkan istilah mistisisme sendiri pun bukan berasal dari tradisi Yahudi ataupun Islam, melainkan dari tradisi Kristen. Pada  abad pertengahan berbagai cerita tentang ajaran-ajaran mistis Kristen di Asia Tengah, menceritakan tentang para pastur yang bertemu Roh Kudus tau Kristus sendiri; juga para biarawati yang konon menari dengan Jibril di sebuah sekolah seminari. Tradisi kontemplasi dalam pengkajian Alkitab merupakan hal yang lumrah di kalangan pastor, pendeta dan biarawan/wati. Akan tetapi, hal itu bukanlah sesuatu yang familiar di kalangan masyarakat awam.
Perkembangan mistisisme dan spiritualisme ini mendorong kesetaraan gender yang nyata. Karena di mata Tuhan ataupun para pelaku spiritualisme, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan kembali menuju Tuhan. Yang ada hanyalah perbedaan ketekunan dan ketaatan dalam menjalaninya. Dengan merebaknya ajaran spiritualisme, kesadaran akan kesetaraan gender di masyarakat mulai merebak. Tidak ada lagi istilah perempuan sebagai manusia kelas dua atau yang terabaikan.

II.     PEREMPUAN DAN GEREJA DI ERA MODERN
Perempuan telah menempati wilayah yang penting dalam tradisi gereja modern. Di awal abad 20, perempuan Katholik telah bergabung dengan berbagai organisasi dan institusi keagamaan dalam jumlah besar, dimana pengaruh mereka cukup kuat terutama dalam bidang pendidikan anak, sekolah tinggi bagi para wanita, keperawatan dan ilmu kesehatan, pengurusan terhadap anak-anak yatim, dan kepedulian terhadap pengidap penyakit tertentu (seperti HIV/ AIDS dsb). Pada Konsili Vatikan II pada tahun 1960, struktur organisasi keagamaan Katholik dibebaskan, terutama bagi para perempuan. Sehingga di akhir pertengahan abad 20, perempuan telah memiliki posisi yang kuat di mata Gereja karena mereka bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tertentu di bawah naungan gereja. [11]



c.          Gerakan reformasi sosial keagamaan untuk kesetaraan gender abad ke 20
Kristen adalah sebuah agama yang selalu mempunyai keterlibatan yang mendalam terhadap isu-isu yang berhubungan dengan wanita dan agama. Yakni seorang perempuan dari dunia kristen yang memulai untuk mendesak bahwa perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Pada zaman gereja kristen dan di dalam ilmu agama, tema-tema yang berhubungan dengan wanita telah muali diterima sebagai sebuah perhatian besar. Dalam pertimbangan lain, isu-isu tanpa melibatkan perspektif perempuan, mendapatkan kritik untuk meninjau hal ini dari perspektif laki-laki. Ini menunjukkan betapa pentingnya hal ini untuk mempertimbangkan perspektif perempuan: sedikit banyak pertimbangan yang mengarah ke perempuan telah menjadi sebuah standar untuk menilai pandangan-pandangan masyarakat.[12]
Kekristenan secara aktif telah  meyebar ke dalam masyarakat Yunani Kuno dan Roma oleh Missionari seperti Paul. Dalam periode awal perkembangan, para penganut merasa betul-betul bahwa Jesus akan kembali kepada mereka dalam waktu dekat. Ini adalah sebuah harapan Eskatologi dan banyak orang-orang Kristen percaya bahwa akhir dunia akan tiba dengan kedatangan Kristus yang kedua. Walaupun ini menguat dalam bayangan saat kita mengira apa yang terjadi kemudian, beberapa kaum perempuan telah terpisah dari perintah kehidupan masyarakat dan menjadi Pengajar atau Nabi. Akan teapi, bukan masalah betapa lama para Penganut telah menunggu, akhir dunia tidak terjadi: muncul harapan eskatologi yang berangsur-angsur memudar. Sekitar waktu itu, sistemisasi Gereja telah dimulai. Pada keadaan tersebut, pemikiran Patriarchal, yang mana merupakan norma dalam masyarakat pada waktu itu, berangsur-angsur  merembes ke dalam kekristenan. Pemikiran bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya tidak ada pembedaan- sebuah karakteristik dari kekristenan baru- perlahan muncul dan pandangan umum yang meliputi masyarakat, tercampur ke dalam kekristenan. Saya kira seseorang dapat berfikir bahwa ada dasarnya situasi ini berlangsung sekitar 2000 tahun. Dalam kata lain, sampai datangnya abad 20, agama Kristen begitu didominasi oleh pemikiran yang berpusat pada laki-laki.[13]
Sekitar tahun 1960 berbagai hal akhirnya mulai untuk berubah. Pada waktu itu, gerakan perempuan dimulai di Amerika. Mereka membawa ke garis terdepan tentang isu hak-hak perempuan, yang telah sebelumnya dianggap tabu. Dalam lingkungan ini, surat menyurat cenderung terjadi dalam kekristenan, demikian itu memicu terbentuknya teologi feminis. Perbedaan yang kita diskusikan pada hari ini, dikhususkan untuk menghormati pemahaman perempuan, sebuah hal yang telah menyebar dengan cepat sejak tahun 1960.
Setelah tahun 1960 perbedaan dalam pandangan perempuan menjadi nyata. Ini ditunjukkan pada Figure 1. Masyarakat kuno tidak memerlukan dasar Patriarki, dan sebagaimana dapat dilihat dalam hal penyembahan dewa, di sana adalah saat ketika Matriarki lebih kuat. Melalui penelitian Arkeologi ini menjadi jelas bahwa di sana terdapat masyarakat yang mengistimewakan Dewi perempuan di atas kelaki-lakian. Akan tetapi ini tidak menjadi norma pada periode-periode berikutnya.[14]
Sebagai sebuah gerakan, feminisme muncul sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Amerika. Gerakan ini difokuskan pada satu isu, yakni untuk mendapatkan hak memilih (the right to vote). Setelah untuk memilih ini diberikan pada tahun 1920, gerakan feminisme tenggelam. Sampai padatahun 1950, ada satu anggapan bahwa kedudukan perempuan yang ideal adalah menjadi ibu rumah tangga, walaupun pada periode tersebut sudah banyak perempuan yang bekerja di luar rumah.
Barulah pada tahun 1960-an, bersamaan dengan terbitnya buku Betty Frieden yang berjudul "The Feminine Mystique" gerakan feminisme mendapatkan momentum dan menjadi kejutan besar bagi masyarakat. Dari gerakan inilah muncul satu kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan bahwa peran tradisionalnya ternyata menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, yakni apa yang disebut sebgagi sub-ordinasi perempuan.
Bermula dari titik inilah, masa-masa selanjutnya bermunculan teori-teori feminis, mulai dari Feminisme Liberal sampai Ekofeminisme. Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marx, Feminisme Sosialis, kendati berbeda-beda penekanan dalam menganalisis sebab-sebab ketertindasan perempuan, namun bertumpu pada tujuan yang sama, yaitu bagaimana bisa memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bahkan dapat mengatasinya. Teori ini secara umum tidak mengakui perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat intrinsik. Bagi mereka, perbedaan yang ada merupakan produk sosial. Untuk itu perubahan yang dilakukan juga harus dimulai dengan membongkar struktur sosial yang patriarkhat.
Pandangan inilah yang dikritik oleh madzhab ekofeminisme yang munculpada tahun 1980 dan merubah arah diskusi feminisme sehingga aliran ini lebih tertarik untuk membicarakan tentang kualitas feminisme dan cenderung menerima perbedaan laki-laki dan perempuan. Mereka mulai percaya bahwa perbedaan tersebut bukan hanya semata-mata konstruksi sosial budaya, namun juga merupakan sesuatu yang intrinsik. Aliran ekofeminisme yang digagas oleh Maria Mies dan Vandana Shifa ini mencoba untuk menguraikan bagaimana perkawinan pemikiran ekologi maupun feminisme yang melahirkan pemikiran alternatif tentang feminisme. Kritik-kritik mereka terhadap aliran liberal' radikal, maupun Marxis adalah karena tujuan mereka hanyalah untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan dengan menggunakan "prinsip maskulinitas" yang tidak saja anti-feminitas, namun juga anti ekologi. Dengan demikian, hampir semua secara tanpa sadar,ikut menyingkirkan "prinsip feminitas", yakni suatu pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan melindungi lingkungan. [15]
Dari model gerakan ini tidaklah mengherankan apabila aliran-aliran feminisme, kecuali ekofeminisme, ditolak. Di Amerika Serikat sendiri, tanah tempat kelahiran sang jabang bayi yang bernama feminisme, bahkan tantangan cukup keras datang dari kalangan konservatif. Mereka menuduh bahwa gerakan feminisme, sekali lagi minus ekofeminisme, telah mengguncangkan kestabilan kehidupan sosial. Tuduhan ini dipandang wajar karena provokasi yang dilakukan kaum feminis, seperti ibu rumah tangga adalah perbudakan terhadap perempuan, heteroseksual adalah pemerkosaan, perkawinan adalah awal dari perbudakan, cukup meresahkan kalangan konservatif sehingga mereka pun berbalik menuduh bahwa gerakan feminisme adalah anti anak (children) dan anti masa depan (future).
Agenda kerja utama feminisme radikal, jelas menjadi pembenar dan semakin menjustifikasi tuduhan itu. Munculnya feminis-feminis radikal yang mengutuk sitem patriarki,mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi sex, justru menodai reputasi gerakan itu. Bagi para feminis radikal, menjadi seorang istri sama saja dengan disandra. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy. Sekali lagi, belajar dari pengalaman gerakan-gerakan feminisme diatas, realitas apa yang kemudian terjadi dalam masyarakat? Ternyata, lebih dari satu setengah dekade yang lalu, 1990-an telah memunculkan pembalikan arah perkembangan pemikiran feminisme. Para feminis sendiri berbalik mulai melakukan kritik teori mereka sendiri. Yakni, bahwa teori-teori feminisme yang ada, lebih-lebih feminisme radikal, hampir tidak pernah menyentuh masalah kesejahteraan anak-anak dan kelestarian lingkungan hidup.[16]




REFERENSI

Faizain, Khoirul. “Mengintip Feminisme Dan Gerakan Perempuan”.
James, Sharon. An Overview of Feminist Theology. Artikel diunduh dari  http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm pada Minggu 16 September 2013
Kohara, Katsuhiro. “Women in the World of Christianity:From the Religious Right to Feminist Theology.
Krolokke, “Three Waves of Feminism; from Suffragettes to Girls”, h. 8
Smith, Huston. 2006. Agama-agama Manusia. Jakarta: Obor
Tong, Rosmarie Putnam. 2008. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra
Yen, Rhonda. Gender In Judeo-Christian Tradition: A Critique on Christian Feminist Philosophies and a Presentation of the Loyalist View. Diunduh dari http://www.quodlibet.net/articles/yen-gender.shtml pada 16 September 2013




[1] Huston Smith. Agama-agama Manusia. Hal:
[2] Dalam buku ini Wollstonecraft menekankan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan yang didapatkan kaum lelaki, sehingga perempuan yang benar-benar terdidik dapat ikut menyumbangkan pikirannya bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam usahanya untuk menunjukkan hak perempuan Wollstonecraft mendhadirkan kepada kita gagasan ideal mengenai pendidikan bagi perepmpuan, yang memberikan kebanggaan atas sifat-sifat yang secara tradisional dihubungkan dengan laki-laki, dengan mengorbankan sifat-sifat lain yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan.(Rosmarie Putnam Tong. Feminist Thought. Hal:21)
[3] Khoirul Faizan. Artikel: Mengintip Feminisme dan Gerakan Perempuan. Hal: 6
[4] Anonym.http://en-wikipedia.org/theology-feminist.html
[5] Tanpa nama. Thesis-theology-of-feminist-i-2013 (google download, .word) hal: 14
[6] Sharon James. An Overview of Feminist Theology. Article translate by fathimah al-batul A. diunduh dari  http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm pada Minggu 16 September 2013
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Rhonda Yen. Gender In Judeo-Christian Tradition: A Critique on Christian Feminist Philosophies and a Presentation of the Loyalist View. Diunduh dari http://www.quodlibet.net/articles/yen-gender.shtml pada 16 September 2013
[10] Ephesians 5:25-28. Ayatnya berbunyi:
“Love your wives, just as Christ loved the church and gave Himself up for her to make her holy, cleansing her by the washing with water through the word, and to present her to himself as a radiant church, without stain or wrinkle or any other blemish, but holy and blameless.  In this same way, husbands ought to love their wives as their own bodies.  He who loves his wife loves himself.”
[11] Perempuan di mata Gereja. http://en.wikipedia.org/wiki/Women_in_Church_history#Modern_times diunduh pada 16 September 2013
[12] Katsuhiro Kohara, Women in the World of Christianity:From the Religious Right to Feminist Theology, h. 80
[13] Katsuhiro Kohara, Women in the World of Christianity:From the Religious Right to Feminist Theology, h. 82
[14] Katsuhiro Kohara, Women in the World of Christianity:From the Religious Right to Feminist Theology, h. 83
[15] Khoirul Faizain, MENGINTIP FEMINISME DAN GERAKAN PEREMPUAN, h. 6
[16] Khoirul Faizain, MENGINTIP FEMINISME DAN GERAKAN PEREMPUAN, h. 8
[17] Krolokke, Three Waves of Feminism; from Suffragettes to Grrls, h. 8

No comments:

Post a Comment