PENDAHULUAN
Membahas tentang perempuan terkait dengan
kebebasan, kesetaraan, dan transformasi sosial adalah salah satu dari sekian
banyak tema fenomena sosial yang tak lekang dimakan usia. Prasangka bahwa
perempuan adalah masyarakat kelas dua, kaum yang tertindas, beban keluarga, dan
bahkan aib bagi sebuah peradaban merupakan isu-isu yang menarik para perempuan
dari seluruh dunia untuk menyerukan kesetaraan dan pengakuan. Butuh perjuangan
yang tak sedikit untuk dengan lantang menyuarakan hak-haknya, waktu yang
panjang, rasa malu, penentangan dari berbagai pihak, bahkan dari para perempuan
sendiri, kecaman dan hinaan, kekerasan bukan hanya fisik, melainkan juga
perasaan dan psikologi; segala penderitaan dan kesusahpayahan ini pada akhirnya
berhasil mengiring perjalanan panjang
para perempuan menyambut matahari terbit emansipasi wanita di awal tahun1960-an
di Amerika Utara.
Banyak pihak beranggapan bahwa kesetaraan
yang dirasakan sekarang ini merupakan buah manis dari penindasan yang telah
diterima para perempuan sejak berabad-abad lamanya. Buah manis ini, ternyata
tidak selamanya manis. Berbagai kontroversi dan kritikan tajam terus menghujam
dalam perjalanan ini. Ketika perempuan telah memiliki hak pendidikan yang sama
dengan kaum lelaki, ketika para perempuan telah mendapatkan hak untuk
menyuarakan pendapatnya di hadapan khalayak, ketika para perempuan menjabati
posisi-posisi teratas dari perusahaan tertentu, dan ketika anggapan bahwa
tempat para perempuan adalah dapur, sumur, dan kasur telah mulai memudar; para
perempuan justru merasakan suatu ketimpangan yang nyata yang terjadi di bumi
ini. Perempuan tidak lagi menjadi korban penindasan kaum lelaki, tetapi
perempuan menjadi penindas lelaki (dalam beberapa kasus) atau menjadi penindas
bumi dan alam semesta.
Tuntutan yang diajukan para perempuan
menimbulkan ketimpangan yang nyata dalam kehidupan. Aspek maskulin (aspek
laki-laki) terlalu dominan dan aspek feminin (aspek keperempuanan) sangat
sedikti tersisa. Akibatnya, para ibu tidak lagi peduli pada anak-anaknya dan
lebih memilih memperjuangkan karirnya, sehingga para anak kehilangan sosok
‘ibu’ mereka dan lebih banyak menjadi anak pembantu—yang dewasa ini seolah-olah
menjadi tolok ukur kesuksesan sebuah keluarga; bahwa perempuan bekerja,
memiliki penghasilan, dan memiliki pengurus rumah tangga yang menjaga
anak-anak-nya dan mengambil alih tugas-tugas rumah tangga. Perasaan kasih dan
sayang—yang dominan pada aspek feminin perlahan-lahan menyusut—sehingga terjadi
pemerkosaan terhadap bumi, penggundulan hutan, eksploitasi habis-habisan sumber
daya alam dan sumber daya manusia; memang bukan (hanya) perempuan yang
melakukan hal itu, tapi berkurangnya aspek feminin (secara signifikan) pada
diri para perempuan menimbulkan ketidakseimbangan di alam semesta.
Para perempuan menyadari hal ini, sehingga
pada tahun 1980an, gerakan feminis berubah haluan. Dari yang sebelumnya
mengelu-elukan sifat maskulin dan ingin meraih hal yang sama dengan lelaki,
mulai beralih menjadi mengagung-agungkan sifat femininitas, kewanitaan, sehingga
perempuan mulai menghormati diri mereka sebagaimana adanya, sebagai seorang
wanita, seorang ibu, seorang nenek, dan seorang yang memiliki rasa
kasih-sayang, perhatian, dan mengedepankan emosinya. Muncul identitas-identitas
kewanitaan dalam istilah-istilah sosial dan kemanusiaan; ibu negara, ibu bumi, hari
ibu, ibukota, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, kali ini kaum feminis mulai
memandang rendah sifat maskulin yang bossy,
seenaknya, keras, dan tegas; bahkan cenderung mengabaikannya dan menganggap tak
ada. Para perempuan penganut feminis mulai mengadakan gerakan-gerakan atau
aktivitas-aktivitas keperempuanan yang tidak mengizinkan keikutsertaan para
lelaki dan beranggapan bahwa para lelaki sama buruknya serta tidak memandang
keberadaan (atau mengabaikan) para perempuan.
Berbicara tentang gender dan kesetaraan
dalam agama Kristen, perempuan memiliki sejarah yang amat panjang. Karena
Kristen merupakan sebuah agama sejarah[1].
Sehingga keterkaitan dengan agama-agama pendahulunya juga menjadi tolok ukur
hukum-hukum dalam Kristiani. Perjalanan
kaum feminis dalam menciptakan sejarahnya sendiri, mendirikan aliran teologinya
sendiri—yang tidak lagi bersifat pro lelaki dan patriarki, tetapi lebih pro
perempuan dan mengedepankan pengalaman/ sejarah perempuan—dan menciptakan
tatanannya sendiri, sehingga muncul istilah seperti “suami-suami takut istri”.
PEMBAHASAN
I.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN TEOLOGI FEMINIS
Sebagai sebuah
basis ide/teori, feminisme
menampakan eksistensinya pada
era liberalisme di Eropa
dan saat terjadinya
Revolusi Perancis di
Abad ke-XVIII yang
gemanya
kemudian melanda ke
Amerika Serikat dan seluruh dunia. Pada tahun 1792, Mary Wollstonecraft[2]
menulis sebuah karya
tulis berjudul, "Vindication of
the right of women", yang
isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme di kemudian hari. Pada tahun-tahun
1830-1840-an sejalan dengan pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum
perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki,
mereka diberi kesempatan ikut
dalam pendidikan dan
diberi hak pilih,
sesuatu yang selama
ini hanya dinikmati oleh kaum
laki-laki.[3]
Gerakan feminis muncul
pertama kali sekitar tahun 1960an, di Amerika Utara yang berakar dari North American Black Theology dan Latin Amerikan Liberation Theologi. Hal
ini berangkat dari titik tolak yang sama yaitu penindasan. Tema penindasan yang
merebak di Amerika Latin oleh orang-orang Eropa dan orang-orang kulit gelap di
Amerika Utara, meninspirasi para perempuan untuk membebaskan diri dari ikatan
yang selama ini dianggap telah membelenggu mereka. Mereka menuntut kebebasan
terhadap ketidakadilan dan diskriminasi yang selama ini mereka terima.
Diawali oleh beberapa
teolog wanita dan mahasiswi seminari mengembangkan satu jurusan teologi baru
yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan
pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat
Amerika Utara. Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20,
yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui
dan dilegalitaskan di Amerika dalam undang-undang. Lalu mulai ada beberapa penulis wanita merasa
terbeban dalam mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan Feminisme ini ke
dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'patriarchal' yang
ada di dalam Alkitab dan penafsiran
tradisi gereja secara socio-cultural dalam hal ini khususnya konsep Allah
Tritunggal.[4]
II.
FEMINIS TEOLOGI
Feminisme Kristen
merupakan salah satu aspek dari teologi feminis yang mengupayakan kemauan dan
pemahaman akan kesetaraan laki-laki dan perempuan secara moral, sosial,
spiritual dan dalam kepemimpinan dalam perspektif Kristen. Feminis Kristen
berpendapat bahwa kontribusi para perempuan sangat dibutuhkan untuk dapat
memahami ajaran Kristen secara menyeluruh. Para feminis Kristen meyakini bahwa
Tuhan tidak membedakan manusia berdasarkan karakteristik-karakteristik biologis
seperti jenis kelamin dan ras. Isu utama mereka termasuk tatanan perempuan,
dominasi laki-laki dalam hukum pernikahan Kristen, pengakuan atas kesetaraan
kapasitas spiritual dan moral, hak-hak reproduktif, dan pencarian tuhan
transenden feminin atau gender.
Pemikiran kaum feminis
pada awalnya menekankan pada kritik-kritik terhadap ayat-ayat Alkitab yang
dianggap mendiskriminasi ataupun menyudutkan kaum perempuan. Oleh karena itu,
pada permulaan gerakannya, kaum feminis memunculkan metode baru menafsirkan
Alkitab yang dikenal dengan Hermeneutik Feminis.
Hermeneutik Feminis
sebenarnya memuat hampir semua prinsip penting hermeneutik yang sudah ada, pada
tingkat pertama atau tingkat teoritis teolog Feminis menawarkan suatu model
hermeneutik secara 'socio-critical'.
Hermeneutik 'Socio-critical' adalah
metode prinsip penafsiran teks Alkitab yang dibuat untuk mempromosikan dan
melegalkan kaum 'kedua' yaitu kaum wanita yang mengalami penindasan dalam
kehidupan sosial tatanan masyarakat yang dikuasai oleh sistem
'patriarchal'. Tujuan kritik terhadap
prinsip hermeneutik Feminis ini adalah untuk membuka tabir 'pelegalitasan'
fungsi sosial yang menindas dan menekan hak-hak wanita yang dipinggirkan.[5]
Dua orang tokoh dari
pemikiran teologi ini adalah Letty Russel dan Rosemary Reuther. Keduanya
membangun teologinya dengan bersandar pada dua tema besar dan utama dari
kerangka Alkitab, Pembebasan dan Keuniversalan. "…Letty identified two majors motifs or themes of the Bible, Liberation
and Universality". Pembebasan
sebagai kerangka yang menggaris bawahi teologi Feminis, "They viewed liberation as the essensial crux
for Scriptural interpretation,". Analisa teologinya juga dimulai dari
"woman-centered analaysis of …women's experience".
III.
PEMIKIRAN DAN KRITIK FEMINIS TEOLOGI
Titik tolak teologi
feminis adalah pengalaman perempuan, dan penolakan terhadap sistem ‘patriarki’
(struktur masyarakat dimana kaum laki-laki lebih superior dibandingkan
perempuan). Perempuan, dalam argumentasi teologi feminis, akan berhasil menjadi
manusia utuh dengan berakhirnya sistem patriarki. Teks-teks dalam Alkitab
sangatlah patriarkis, beberapa feminis teologi beranggapan bahwa keseluruhan
teks Alkitab adalah candu, sementara sebagian yang lain menganggap bahwa inti
ajarannya dapat diterima.
Secara umum, para
teologi feminis digolongkan dalam lima (sampai yang telah banyak dianalisa,
mungkin telah muncul kelompok-kelompok baru dengan pandangan baru) kelompok.
Para teolog bible feminis dewasa ini kebanyakan adalah mereka yang berangkat
dari pemikiran tradisi reformasi feminis liberal—yang dalam sejarahnya meminimalisir
perbedaan antar-jenis kelamin dan memperjuangkan kesempatan yang setara di
Gereja. Para teologi feminis post-biblikal lebih tertarik pada feminis romantik
yang merasa nyaman untuk merayakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Variasi dalam teologi feminis hampir tidak terbatas. Karena baik para perempuan
berkulit gelap, perempuan asia, penduduk-penduduk lokal di semua wilayah di
dunia tersebar dalam kelompok pemikiran feminisme baik itu konservatif maupun
radikal.
Diantara beberapa aliran
teologi feminis adalah: [6]
1. Feminis Evangelikal
Menerima
otoritas Alkitab dan kebenaran pada kredo-kredo sejarah. Kebanyakan berpendapat
tentang ‘netra gender’ dalam menggunakan bahasa untuk menerjemahkan Alkitab,
dan beberapa orang diantaranya mempertahankan pendapat bahwa terdapat
subrodinasi mutula dalam Trinitas. Mereka menolak berbagai bentuk hierarki
dalam kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
2. Feminis Biblikal
Berpendapat
bahwa Alkitab sangat bermanfaat sebagai sumber, tetapi menolak otoritas dari
seluruh kanon dan menegaskan sebuah ‘kanon dalam kanon’ yang mereka pertahankan
dalam tradisi liberal. Mereka mengkritik tradisi Kristen tetapi ingin melakukan
reformasi dari dalam. Beberapa tokohnya adalah: Rosemary Radford Ruether dan Elizabeth
Shussler Fiorenza.
3. Feminis Post-Biblikal
Menolak
segala bentuk otoritas Alkitab dan faktanya mereka beranggapan bahwa Alkitab
merupakan toksik (racun) yang mendasari terciptanya nilai-nilai patriarkis.
Beberapa tokohnya adalah:Mary Daly dan Daphne Hampson.
4.
Goddess feminists
Kaum Goddess
feminist merasa bangga dengan Sang Dewi atau kedewian pada diri perempuan.
Banyak dewi dalam tradisi agama lokal di berbagai penjuru dunia menekankan akan
sifat femininitas yang menjaga keberlangsungan alam semesta. Mereka mulai
menggabungkan pandangan mereka dengan paganisme dan spiritualisme tradisional.
Berbagai dewi yang diketahui seperti Gaia, Parvati dalam tradisi Hindu, Dewi
Sri dalam kepercayaan tradisional masyarakat indonesia, dan berbagai tradisi
kedewian yang lainnya.
5. Feminis Wicca
Wicca
merupakan agama tradisional Eropa yang meyakini Dewa Laki-laki dan perempuan.
Kelompok ini lebih banyak menggabungkan dengan tradisi paganis lokal yang kaya
akan mistis (dalam arti klenik; seperti fortune teller, tarot women, dan lain
sebagainya).
Kaum feminis mengadakan
kajian yang mendalam terhadap ayat-ayat dalam Alkitab dan memberikan penafsiran
sendiri melalui sudut pandang mereka yang ‘unik’ atau berbeda dari mainstream penafsiran kitab suci yang
telah ada. Dengan metode yang disebut sebagai Hermeneutik sosio-kritik dan
berdasarkan pada pengalaman para wanita, kaum feminis mengajukan beberapa
kritik terhadap doktrin-doktrin dalam Agama Kristen:
1. Kritik terhadap pandangan tradisional tentang Tuhan
Pandangan
tradisional tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan adalah Pria sehingga pria adalah
Tuhan. Ini artinya Tuhan sama saja dengan manusia. Doktrin bahwa Tuhan berbeda
dari makhluknya, dan Tuhan adalah Yang Maha Esa segera terbantahkan dengan
adanya legitimasi ajaran yang menomorduakan kaum perempuan. Adanya diskriminasi
yang menganggap bahwa Tuhan adalah seorang laki-laki sehingga dalam setiap
kondisi laki-laki selalu lebih superior dibanding wanitan merupakan upaya
menyamakan makhluk dengan penciptanya. Dan hal inilah yang kemudian memicu
kritik dari kaum feminis.[7]
Kaum feminis
lebih memilih menggunakan kata yang netral gender seperti menggunakan kata
Pencipta atau Pemilik dsb. Mereka berharap hal ini disadari oleh seluruh
penganut Kristian di seluruh dunia dan mereka mulai menyembah Tuhan yang
netral-gender.
2. Kritik terhadap anggapan bahwa ‘he’ dalam Alkitab tidak
mencakup ‘her’[8]
Bahasa asli
Alkitab menggunakan kata ganti laki-laki dalam menyampaikan wahyu dari Tuhan.
Sehingga anggapan yang muncul di antara para penganutnya adalah bahwa Tuhan
adalah laki-laki. Perintah-perintah Tuhan yang menggunakan kata ganti ‘he’,
secara literal diartikan dia laki-laki saja. Padahal menurut kaum feminis, ‘her’ tercakup dalam ‘he’ yang dimaksudkan. Sehingga tidak ada dikotomi antara laki-laki dan
perempuan dan bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata
Tuhan. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi yang sangat besar. Mengingat
tafsiran bahwa ‘her’ tidak pernah dianggap sebagai bagian dari ‘he’ yang
disebutkan dalam Alkitab.
3. Kritik terhadap posisi perempuan dalam keluarga
Perempuan
selalu menempati posisi yang terpojok atau sulit dalam setiap peranan
sosialnya. Dalam keluarga pun mereka dianggap tidak mempunyai hak dan pilihan
dalam menentukan hidupnya. Dalam menentukan jodohnya pun, Sang ayah yang adalah
seorang laki-laki yang diberi hak untuk memilihkan jodoh bagi anaknya (ini
merupakan pandangan Kristen tradisional). [9]
Akan tetapi,
dalam kajiannya terhadapa Alkitab, kaum feminis mengemukakan bahwa Tuhan
menyampaikan wahyu-wahyu yang memerintahkan para suami untuk menghormati dan
mengasihi istrinya, dengan demikian ia akan diberi ganjaran yang sesuai. [10]
Sebenarnya ayat-ayat semacam ini sudah ada, akan tetapi karena kaum perempuan
yang tidak memiliki hak pendidikan yang setara dengan kaum lelaki, dan perintah
untuk tetap diam ketika berada di gereja menyebabkan ayat-ayat yang
pro-perempuan tidak diekspose secara luas. Bahkan cenderung dilupakan oleh
masyarakat. Oleh karena itu, kemunculan kaum feminis yang menuntut kesetaraan dalam
bidang pendidikan membuka tabir kegelapan yang selama ini melingkupi para
perempuan yang dianggap manusia nomor dua.
4. Kritik terhadap posisi perempuan dalam Gereja
“In 1
Corinthians 14:34-36 we read, "Let your women keep silent in the churches,
for they are not permitted to speak; but they are to be submissive, as the law
also says. And if they want to learn something, let them ask their own husbands
at home; for it is shameful for women to speak in church, for Adam was formed
first, then Eve."
Dalam
beberapa ayat dalam Kitab Suci, sebagiannya tampak mendiskreditkan kaum
perempuan. Termasuk tentang perintah untuk diam di dalam Gereja sementara tidak
adaa satu kata pun yang menyinggung tentang apa yang harus dilakukan kaum
lelaki. Bahkan dalam ayat tersebut tertulis untuk mempelajari suatu hal pun
perempuan harus mendapatkan izin dari suaminya.
Dalam hal
ini, kaum feminis menganalisa ayat tersebut dari sejarahnya. Dan dari ayat yang
dari Nabi Paulus “1 Timothy 2:11-15, Paul wrote that “a woman should learn in
quietness and full submission. I do not
permit a woman to teach or to have authority over a man; she must be
silent. For Adam was formed first, then
Eve. And Adam was not the one deceived;
it was the woman who was deceived and became a sinner. But women will be saved through
childbearing--if they continue in faith, love and holiness with propriety.”
Bukan diam
dalam arti tidak memiliki hak bicara apa pun, tetapi bahwa kecenderungan
perempuan untuk selalu menggosip dan membicarakan hal-hal yang kurang penting
perlu ditiadakan terutama di dalam gereja. Perempuan harus lebih mendalami
kepasrahan dan keheningan. Paul menyampaikan hal demikian ini karena ia pun
diajar oleh ibunya dan neneknya yang notabenenya adalah perempuan.
5. Kritik terhadap posisi perempuan dalam masyarakat
Perempuan dianggap
sebagai kelas dua dalam masyarakat, tidak diizinkan turut berpartisipasi dalam
aktivitas sosial dan organisasi kemasyarakatan, tidak mendapatkan hak untuk
menyuarakan pendapatnya di muka umum, dan tugasnya hanyalah berada di dalam
rumah.
SPIRITUALISME
DAN PERUBAHAN PERAN PEREMPUAN DI ERA KRISTEN MODERN
I.
PERKEMBANGAN SPIRITUALISME KRISTEN
Buah manis dari
perjalanan kehidupan para perempuan tidak hanya memberikan efek positif
terhadap peran dan posisi perempuan dalam masyarakat. Tetapi juga membawa efek
negatif yang disebut-sebut ketidak seimbangan ekologis. Di tambah lagi, banyak
orang yang mulai merasa disorientasi dalam hidupnya. Hidup, sekolah, bekerja,
mendapatkan kemewahan dalam kehidupan. Akan tetapi manusia kehilangan
kebahagiaannya, kehilangan esensi kemanusiaan dalam diri mereka.
Spiritualisme berkembang
pada pertengahan era modern ketika banyak pertanyaan dan kegelisahan tidak lagi
mampu dipecahkan dengan temuan-temuan saintifik dan gelimang harta. Dimulai
dengan ketertarikan orang-orang pada tradisi Buddhisme yang menekankan pada
meditasi dan melepaskan diri dari segala kesemuan dunia. Buddhisme mulai
merebak di Amerika dan beberapa bagian negara sekuler di dunia. Juga Yoga dari
tradisi Hinduisme.
Walaupun pada dasarnya
Kristen merupakan agama yang bersifat mistikal—esoteris (tidak menekankan pada
aspek-aspek ragawi, seperti: posisi badan ketika berdoa dan lain sebagainya),
tetapi mistisisme bukanlah hal yang bisa dibicarakan di berbagai kalangan. Nyatanya
kebutuhan manusia berubah seiring berubahnya zaman. Manusia tidak hanya
membutuhkan doktrin-doktrin alkitab sebagai panduan hidupnya, mereka mulai
jengah dengan berbagai hal yang ditawarkan oleh agama, dan cenderung mulai
meninggalkannya.
Akan tetapi
tulisan-tulisan yang bersifat kontemplatif menggugah banyak orang. Mereka mulai
berusaha melepaskan diri dari belenggu kefanaan dunia dan mencari yang lebih
keabadian dalam Kasih Tuhan. Meditasi, kontemplatif, serta hal-hal yang kita
kenal dengan tirakat mulai dilakukan oleh manusia-manusia modern. Tak
terkecuali dalam Ajaran Kristen. Bahkan istilah mistisisme sendiri pun bukan
berasal dari tradisi Yahudi ataupun Islam, melainkan dari tradisi Kristen.
Pada abad pertengahan berbagai cerita
tentang ajaran-ajaran mistis Kristen di Asia Tengah, menceritakan tentang para
pastur yang bertemu Roh Kudus tau Kristus sendiri; juga para biarawati yang
konon menari dengan Jibril di sebuah sekolah seminari. Tradisi kontemplasi
dalam pengkajian Alkitab merupakan hal yang lumrah di kalangan pastor, pendeta
dan biarawan/wati. Akan tetapi, hal itu bukanlah sesuatu yang familiar di
kalangan masyarakat awam.
Perkembangan mistisisme
dan spiritualisme ini mendorong kesetaraan gender yang nyata. Karena di mata
Tuhan ataupun para pelaku spiritualisme, tidak ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dalam perjalanan kembali menuju Tuhan. Yang ada hanyalah
perbedaan ketekunan dan ketaatan dalam menjalaninya. Dengan merebaknya ajaran
spiritualisme, kesadaran akan kesetaraan gender di masyarakat mulai merebak.
Tidak ada lagi istilah perempuan sebagai manusia kelas dua atau yang
terabaikan.
II.
PEREMPUAN DAN GEREJA DI ERA MODERN
Perempuan telah
menempati wilayah yang penting dalam tradisi gereja modern. Di awal abad 20,
perempuan Katholik telah bergabung dengan berbagai organisasi dan institusi
keagamaan dalam jumlah besar, dimana pengaruh mereka cukup kuat terutama dalam
bidang pendidikan anak, sekolah tinggi bagi para wanita, keperawatan dan ilmu
kesehatan, pengurusan terhadap anak-anak yatim, dan kepedulian terhadap
pengidap penyakit tertentu (seperti HIV/ AIDS dsb). Pada Konsili Vatikan II
pada tahun 1960, struktur organisasi keagamaan Katholik dibebaskan, terutama
bagi para perempuan. Sehingga di akhir pertengahan abad 20, perempuan telah
memiliki posisi yang kuat di mata Gereja karena mereka bertanggung jawab
terhadap aspek-aspek tertentu di bawah naungan gereja. [11]
c.
Gerakan reformasi sosial
keagamaan untuk kesetaraan gender abad ke 20
Kristen adalah sebuah agama yang
selalu mempunyai keterlibatan yang mendalam terhadap isu-isu yang berhubungan
dengan wanita dan agama. Yakni seorang perempuan dari dunia kristen yang
memulai untuk mendesak bahwa perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki. Pada zaman gereja kristen dan di dalam ilmu agama, tema-tema yang
berhubungan dengan wanita telah muali diterima sebagai sebuah perhatian besar.
Dalam pertimbangan lain, isu-isu tanpa melibatkan perspektif perempuan,
mendapatkan kritik untuk meninjau hal ini dari perspektif laki-laki. Ini
menunjukkan betapa pentingnya hal ini untuk mempertimbangkan perspektif
perempuan: sedikit banyak pertimbangan yang mengarah ke perempuan telah menjadi
sebuah standar untuk menilai pandangan-pandangan masyarakat.[12]
Kekristenan secara aktif
telah meyebar ke dalam masyarakat Yunani
Kuno dan Roma oleh Missionari seperti Paul. Dalam periode awal perkembangan,
para penganut merasa betul-betul bahwa Jesus akan kembali kepada mereka dalam
waktu dekat. Ini adalah sebuah harapan Eskatologi dan banyak orang-orang
Kristen percaya bahwa akhir dunia akan tiba dengan kedatangan Kristus yang
kedua. Walaupun ini menguat dalam bayangan saat kita mengira apa yang terjadi
kemudian, beberapa kaum perempuan telah terpisah dari perintah kehidupan
masyarakat dan menjadi Pengajar atau Nabi. Akan teapi, bukan masalah betapa
lama para Penganut telah menunggu, akhir dunia tidak terjadi: muncul harapan
eskatologi yang berangsur-angsur memudar. Sekitar waktu itu, sistemisasi Gereja
telah dimulai. Pada keadaan tersebut, pemikiran Patriarchal, yang mana
merupakan norma dalam masyarakat pada waktu itu, berangsur-angsur merembes ke dalam kekristenan. Pemikiran
bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya tidak ada pembedaan- sebuah
karakteristik dari kekristenan baru- perlahan muncul dan pandangan umum yang
meliputi masyarakat, tercampur ke dalam kekristenan. Saya kira seseorang dapat
berfikir bahwa ada dasarnya situasi ini berlangsung sekitar 2000 tahun. Dalam
kata lain, sampai datangnya abad 20, agama Kristen begitu didominasi oleh pemikiran
yang berpusat pada laki-laki.[13]
Sekitar tahun 1960 berbagai hal
akhirnya mulai untuk berubah. Pada waktu itu, gerakan perempuan dimulai di
Amerika. Mereka membawa ke garis terdepan tentang isu hak-hak perempuan, yang
telah sebelumnya dianggap tabu. Dalam lingkungan ini, surat menyurat cenderung
terjadi dalam kekristenan, demikian itu memicu terbentuknya teologi feminis.
Perbedaan yang kita diskusikan pada hari ini, dikhususkan untuk menghormati
pemahaman perempuan, sebuah hal yang telah menyebar dengan cepat sejak tahun
1960.

Setelah tahun 1960 perbedaan
dalam pandangan perempuan menjadi nyata. Ini ditunjukkan pada Figure 1.
Masyarakat kuno tidak memerlukan dasar Patriarki, dan sebagaimana dapat dilihat
dalam hal penyembahan dewa, di sana adalah saat ketika Matriarki lebih kuat.
Melalui penelitian Arkeologi ini menjadi jelas bahwa di sana terdapat
masyarakat yang mengistimewakan Dewi perempuan di atas kelaki-lakian. Akan
tetapi ini tidak menjadi norma pada periode-periode berikutnya.[14]
Sebagai sebuah gerakan, feminisme muncul sekitar abad
ke-19 dan awal abad ke-20 di Amerika. Gerakan ini difokuskan pada satu isu,
yakni untuk mendapatkan hak memilih (the right to vote). Setelah untuk
memilih ini diberikan pada tahun 1920, gerakan feminisme tenggelam. Sampai
padatahun 1950, ada satu anggapan bahwa kedudukan perempuan yang ideal adalah
menjadi ibu rumah tangga, walaupun pada periode tersebut sudah banyak perempuan
yang bekerja di luar rumah.
Barulah pada tahun 1960-an, bersamaan dengan terbitnya
buku Betty Frieden yang berjudul "The Feminine Mystique" gerakan
feminisme mendapatkan momentum dan menjadi kejutan besar bagi masyarakat. Dari
gerakan inilah muncul satu kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan bahwa
peran tradisionalnya ternyata menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
menguntungkan, yakni apa yang disebut sebgagi sub-ordinasi perempuan.
Bermula dari titik inilah, masa-masa selanjutnya
bermunculan teori-teori feminis, mulai dari Feminisme Liberal sampai
Ekofeminisme. Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marx, Feminisme
Sosialis, kendati berbeda-beda penekanan dalam menganalisis sebab-sebab
ketertindasan perempuan, namun bertumpu pada tujuan yang sama, yaitu bagaimana
bisa memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bahkan dapat mengatasinya. Teori
ini secara umum tidak mengakui perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat
intrinsik. Bagi mereka, perbedaan yang ada merupakan produk sosial. Untuk itu
perubahan yang dilakukan juga harus dimulai dengan membongkar struktur sosial
yang patriarkhat.
Pandangan inilah yang dikritik oleh madzhab ekofeminisme
yang munculpada tahun 1980 dan merubah arah diskusi feminisme sehingga aliran
ini lebih tertarik untuk membicarakan tentang kualitas feminisme dan cenderung
menerima perbedaan laki-laki dan perempuan. Mereka mulai percaya bahwa
perbedaan tersebut bukan hanya semata-mata konstruksi sosial budaya, namun juga
merupakan sesuatu yang intrinsik. Aliran ekofeminisme yang digagas oleh Maria
Mies dan Vandana Shifa ini mencoba untuk menguraikan bagaimana perkawinan
pemikiran ekologi maupun feminisme yang melahirkan pemikiran alternatif tentang
feminisme. Kritik-kritik mereka terhadap aliran liberal' radikal, maupun Marxis
adalah karena tujuan mereka hanyalah untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan
dengan menggunakan "prinsip maskulinitas" yang tidak saja
anti-feminitas, namun juga anti ekologi. Dengan demikian, hampir semua secara
tanpa sadar,ikut menyingkirkan "prinsip feminitas", yakni suatu
pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan melindungi lingkungan.
[15]
Dari model gerakan ini tidaklah mengherankan apabila
aliran-aliran feminisme, kecuali ekofeminisme, ditolak. Di Amerika Serikat
sendiri, tanah tempat kelahiran sang jabang bayi yang bernama feminisme, bahkan
tantangan cukup keras datang dari kalangan konservatif. Mereka menuduh bahwa
gerakan feminisme, sekali lagi minus ekofeminisme, telah mengguncangkan
kestabilan kehidupan sosial. Tuduhan ini dipandang wajar karena provokasi yang
dilakukan kaum feminis, seperti ibu rumah tangga adalah perbudakan terhadap
perempuan, heteroseksual adalah pemerkosaan, perkawinan adalah awal dari
perbudakan, cukup meresahkan kalangan konservatif sehingga mereka pun berbalik
menuduh bahwa gerakan feminisme adalah anti anak (children) dan anti
masa depan (future).
Agenda kerja utama feminisme radikal, jelas menjadi
pembenar dan semakin menjustifikasi tuduhan itu. Munculnya feminis-feminis
radikal yang mengutuk sitem patriarki,mencemooh perkawinan, menghalalkan
aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi sex, justru menodai reputasi gerakan
itu. Bagi para feminis radikal, menjadi seorang istri sama saja dengan
disandra. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy. Sekali
lagi, belajar dari pengalaman gerakan-gerakan feminisme diatas, realitas apa
yang kemudian terjadi dalam masyarakat? Ternyata, lebih dari satu setengah
dekade yang lalu, 1990-an telah memunculkan pembalikan arah perkembangan
pemikiran feminisme. Para feminis sendiri berbalik mulai melakukan kritik teori
mereka sendiri. Yakni, bahwa teori-teori feminisme yang ada, lebih-lebih
feminisme radikal, hampir tidak pernah menyentuh masalah kesejahteraan
anak-anak dan kelestarian lingkungan hidup.[16]
REFERENSI
Faizain, Khoirul. “Mengintip Feminisme Dan Gerakan Perempuan”.
James, Sharon. An
Overview of Feminist Theology. Artikel diunduh dari http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm
pada Minggu 16 September 2013
Kohara, Katsuhiro. “Women in the World of Christianity:From the
Religious Right to Feminist Theology”.
Krolokke, “Three Waves of Feminism; from Suffragettes
to Girls”, h. 8
Smith, Huston. 2006. Agama-agama Manusia.
Jakarta: Obor
Tong, Rosmarie Putnam. 2008. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra
Yen, Rhonda. Gender In Judeo-Christian Tradition: A Critique on Christian Feminist
Philosophies and a Presentation of the Loyalist View. Diunduh dari http://www.quodlibet.net/articles/yen-gender.shtml
pada 16 September 2013
[1] Huston
Smith. Agama-agama Manusia. Hal:
[2] Dalam buku
ini Wollstonecraft menekankan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang
setara dengan yang didapatkan kaum lelaki, sehingga perempuan yang benar-benar
terdidik dapat ikut menyumbangkan pikirannya bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam usahanya untuk menunjukkan hak perempuan Wollstonecraft mendhadirkan
kepada kita gagasan ideal mengenai pendidikan bagi perepmpuan, yang memberikan
kebanggaan atas sifat-sifat yang secara tradisional dihubungkan dengan
laki-laki, dengan mengorbankan sifat-sifat lain yang secara tradisional
dihubungkan dengan perempuan.(Rosmarie Putnam Tong. Feminist Thought. Hal:21)
[3] Khoirul
Faizan. Artikel: Mengintip Feminisme dan Gerakan Perempuan. Hal: 6
[4]
Anonym.http://en-wikipedia.org/theology-feminist.html
[6] Sharon James. An Overview of
Feminist Theology. Article translate by fathimah al-batul A. diunduh dari http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm pada Minggu 16 September
2013
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9]
Rhonda Yen. Gender In Judeo-Christian Tradition: A Critique on Christian
Feminist Philosophies and a Presentation of the Loyalist View. Diunduh dari http://www.quodlibet.net/articles/yen-gender.shtml
pada 16 September 2013
“Love your
wives, just as Christ loved the church and gave Himself up for her to make her
holy, cleansing her by the washing with water through the word, and to present
her to himself as a radiant church, without stain or wrinkle or any other
blemish, but holy and blameless. In this same way, husbands ought to love
their wives as their own bodies. He who loves his wife loves himself.”
[11] Perempuan di mata Gereja. http://en.wikipedia.org/wiki/Women_in_Church_history#Modern_times diunduh pada 16 September
2013
[12] Katsuhiro Kohara, Women
in the World of Christianity:From the Religious Right to Feminist Theology, h.
80
[13] Katsuhiro
Kohara, Women in the World of
Christianity:From the Religious Right to Feminist Theology, h. 82
[14] Katsuhiro
Kohara, Women in the World of
Christianity:From the Religious Right to Feminist Theology, h. 83
[15]
Khoirul Faizain, MENGINTIP FEMINISME DAN GERAKAN PEREMPUAN, h. 6
[16] Khoirul Faizain, MENGINTIP
FEMINISME DAN GERAKAN PEREMPUAN, h. 8
[17] Krolokke, Three Waves of Feminism; from Suffragettes
to Grrls, h. 8
No comments:
Post a Comment