A.
Pendahuluan
Allah
menurunkan Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi
semesta alam. Ia menggariskan bagi mahkluk-Nya itu akidah yang benar dan
prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas
ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada umat manusia, dimana Ia
menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan
menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah Ummul
Kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahamannya demi menyelamatkan umat
Islam dan menjaga eksistensinya.
Pokok-pokok
agama tersebut di beberapa tempat dalam Qur’an terkadang datang dengan lafaz,
ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap
satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya cocok
dan serasi. Tak ada kontradiktif di dalamnya. Adapun menganai masalah cabang (furu’)
agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan
samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang
handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam)
dengan cara mengembalikan masalah cabang ke masalah pokok, dan yang bersifat
partikal (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli).
Sementara itu beberapa hati yang mempertuturkan hawa nafsu tersesat dengan ayat
yang mutasyabih ini. dengan ketegasan dan kejelasan dalam masalah pokok dan
keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka Islam menjadi agama abadi bagi
umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat, di sepanjang masa dan waktu.[1]
B.
Pengertian
Kata muhkam (محكم) terambil dari kata hakama (حكم). Kata ini memiliki
maknanya pada “menghalangi”. Seperti hukum yang berfungsi menghalangi
terjadinya penganiyaan, demikian juga hakim. Kendali bagi hewan dinamai hakamah,
karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkan. Muhkam
adalah sesuatu yang terhalangi/bebas dari keburukan. Bila anda menyifati
satu bangunan dengan kata ini, maka itu berarti bangunan tersebut kokoh, indah,
dan tidak memiliki kekurangan. Bila susunan kalimat tampil dengan indah, benar,
baik, dan jelas maknanya, maka kalimat itu pun dilukiskan dengan Muhkam.[2] Dan muhkam tidak
memberikan pengertian yang selain dari apa yang dimaksud dan tidak pula
memerlukan ta’wil dalam memahaminya.
Dan kata Mutasyabih ( متشابه ) terambil dari kata Asy-Syabah ( الشبه ) yang bermakna serupa (tapi tak sama).[3] Atau juga berarti Tasyabuh,
yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lainya.[4]
Al-Qur’an semuanya muhkamah, jika
dimasudkan dengan kemuhkamahannya, bahwa susunan lafadz al-Qur’an dan keindahan
nadzamnya, sungguh sangat sempurna, tak ada sedikitpun terdapat kelemahan
padanya, baik dalam segi lafadznya, maupun dalam segi ma’nanya.[5] Dengan pengertian ini
Allah menurunkan al-Qur’an sebagai yang Allah tegaskan dalam firmannya:
!9# 4 ë=»tGÏ.
ôMyJÅ3ômé&
¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AÎ7yz ÇÊÈ
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan
dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.[6]
Sedangkan jika kita hendaki dengan kemutasyabihannya,
ialah kemutamasilan (serupa atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang
balaghah maupun dalam bidang I’jaz dan kesulitan kita menampakkan kelebihan
sebagian sukunya atau yang lain.
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]Ïptø:$# $Y6»tGÏ.
$YgÎ6»t±tFB
uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ßqè=ã_ tûïÏ%©!$# cöqt±øs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdßqè=ã_ öNßgç/qè=è%ur 4n<Î) Ìø.Ï «!$# 4 y7Ï9ºs yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o 4 `tBur È@Î=ôÒã ª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >$yd ÇËÌÈ
“Allah telah menurunkan Perkataan yang
paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.”[7]
Maka
ihkam dan tasyabuh dalam ayat-ayat itu tidaklah yang kita maksud dari muhkam
dan mutasyabih yang akan kita bahas kali ini. Namun yang menyebabkan kita
membahas muhkam dan mutasyabih ialah firman Allah:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä
ìM»yJs3øtC
£`èd
Pé&
É=»tGÅ3ø9$#
ãyzé&ur
×M»ygÎ7»t±tFãB
( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
“Dia-lah yang menurunkan
Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.”[8]
Yang dimaksud
dengan Mutasyabih pada ayat Ali Imran ini adalah “samar”. Ini
adalah pengembangan dari makna keserupaan diatas. Memang keserupaan dua hal
atau lebih, dapat menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.
Beda definisi
para pakar tentang apa yang dimaksud dengan ayat yang Muhkam, antara
lain:
1)
Ayat
yang diketahui maksudnya, baik karena kejelasan redaksinya sendiri, maupun
melalui ta’wil/penafsiran.
2)
Ayat
yang tidak dapat menerima kecuali satu penafsiran.
3)
Ayat
yang kandungannya tidak mungkin dibatalakan (Mansukh)
4)
Ayat
yang jelas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan dari luar dirinya, atau
ayat yang tidak disentuh oleh sedikit pun kemusykilan.
Mutasyabih
yang diperselisihkan definisinya, antara lain:
1)
Ayat-ayat
yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa yang diinformasikan, seperti kapan
tibanya Hari Kiamat, atau hadirnya dabbat (دابّة) (QS. An-Naml [27]: 82).
2)
Ayat
yang tidak dipahami kecuali mengaitkannya dengan penjelasan.
3)
Ayat
yang mengandung banyak kemungkinan makna.
4)
Ayat
yang Mansukh yang tidak diamalkan karena batal hukumnya.
5)
Apa
yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan maknanya kepada Allah.
6)
Kisah-kisah
dalam al-Qur’an.
7)
Huruf-huruf
alfabetis yang terdapat pada awal beberapa surah, seperti Alif- Lam- Mim.[9]
Namun, jelas pada akhirnya kita
dapat menyimpulkan bahwa Muhkam adalah yang jelas maknanya, sedang yang Mutasyabih
adalah yang samar.
Adapula
penjelasan yang tertera dalam ringkasan kitab Ibnu Katsir bahwasanya Allah Ta’ala
memberitahukan di dalam al-Qur’an itu ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan pokok-pokok
Al-Kitab. Ayat muhkamat artinya ayat yang jelas dan tidak samar bagi
siapa pun. Dan mengandung ayat-ayatnya dipandang samar oleh kebanyakan orang.
Prinsip penanganannya ialah menangguhkan yang samar dan mengambil yang pasti.
Barang siapa yang melakukannya maka akan memperoleh petunjuk. Dan barang siapa
yang hal sebaliknya, maka akan sesat. Oleh karena itu Allah berfirman, “Dan
itulah pokok-pokok Al-Kitab”, yakni landasan yang dirujuk tatkala terjadi
kesamaran. Dan ayat yang lain ayat mutasyabihat, yakni ayat yang
maknanya berkemungkinan sejalan dengan ayat muhkam, atau sejalan dengan
ayat lain dalam segi lafal dan susunannya, namun bukan dalam segi maknanya.
Demikian menurut riwayat Ibnu
Abu Thalhah dari Ibnu Abbas. Muhammad bin Ishak berkata, “Ayat-ayat muhkam ialah
yang merupakan hujjah tuhan, perlindungan hamba, penghilang permusuhan yang
batil. Ayat muhkam itu tidak mengenal perubahan dan penyimpangan dari landasan
penetapannya. Ayat mutasyabihat itu menyangkut kejujuran dan tidak mengenal
perubahan , penyimpangan, dan takwil. Allah menguji hamba melalui ayat muhkamat,
sebagaimana Dia menguji mereka dengan hukum halal dan haram agar ayat itu
tidak diubah menjadi batil dan disimpan dari kebenaran.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala
berfirman, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kecenderungan
kepada kesesatan,” yakni keluar dari kebenaran kepada kebatilan, “maka
mereka mengikuti ayat mutasayabih”. Yakni, mereka hanya mengambil
ayat-ayat mutasyabih yang memungkinkan mereka untuk mengubahnya sesuai
dengan tujuan jahatnya, sebab ayat mutasyabih itu dapat dikelola
lafalnya. Adapun ayat yang muhkam tidak mendapat perhatian dari mereka,
sebab ayat ini mengalahkan mereka dan membatalkan hujjah mereka. Oleh karena
itu Allah berfirman, “guna menimbulkan fitnah”, yakni untuk menyesatkan
para pengikutnya dengan memberikan kesan kepada mereka seolah-olah dirinya
melegitimasi perbuatan bid’ah dengan ayat al-Qur’an, padahal ayat itu justru
mengalahkan mereka, bukan memenangkannya; seperti orang Nasrani berhujjah bahwa
al-Qur’an telah mengatakan Isa itu merupakan bagian ruh dari Allah, dan mereka
tidak berargumen dengan ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya misal (penciptaan)
Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam
dari tanah, kemudian Allah berfirman, “Jadilah, maka jadilah dia”, serta
ayat-ayat muhkam lainnya yang sudah jelas menuturkan bahwa Isa merupakan salah
satu mahkluk Allah, hamba, dan rasul Allah.[10] Seperti dalam hadis, Ibnu
Mardawih meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu al-Ash, dari Nabi
saw, beliau bersabda:
(إنّ القرآ ن لم ينزل ليكذّ ب بعضه بعضا, فما
عرفتم منه فا عملوا به وما تشا به منه فآمنوا به)
“Sesungguhnya
al-Qur’an tidak diturunkan untuk saling mendustakan ayat yang lain. Apa yang
kamu pahami maka amalkanlah, sedangkan yang samar (syubhat) maka imanilah”
(HR. Ibnu Mardawih)
C.
Urgensi
Mengetahui Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Urgensi mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an muhkamat dan
ayat-ayat mutasyabihat adalah menjadi motivasi bagi umat
Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya untuk mengembangkan potensi
akal-budi dan nalar pikiran sehingga mereka akan
terhindar dari taklid. Dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat yang
kurang terang pemahamannya, maka para ulama, pakar, ilmuwan dan sebagainya
berusaha menegerahkan segenap kemampuan daya pikir dan zikir mereka untuk
mengetahui makna-makna yang terselubung di balik ungkapan yang samar-samar itu.
Dan kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban Islam berkembang sebagaimana
tercatat dalam sejarah dunia, khususnya pada abad-abad pertengahan yang
terkenal dengan zaman keemasan Islam.
[1] Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2012) hal. 302-303
[2] M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) hal. 209.
Definisi Muhkam dan Mutasyabih di dalam Al-Itqan Fi Ulum Al-quran, yang
sejalan dengan definisi di atas adalah المحكم
: ما وضح معناه .
[3] M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) hal. 210.
Pengertian ini beberapa ulama juga memberikan pandangan tentang hal ini dalam Al-Itqan
Fi Ulum Al-quran . متشابه : ما احتمل او جها atau dengan kata lain ini
adalah kebalikan dari Muhkam.
[4] Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2012) hal. 304.
[5]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Media Pokok dalam Menafsirkan
Al-Qur’an), (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1970) hal. 157
[6] Q.S
Hud :1
[7] Q.S
Az-Zumar :23
[8] Q.S
Ali-Imran :7
[9] M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013) hal. 211
[10]
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jilid I), (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999) hal. 482-485
No comments:
Post a Comment