Saturday, 16 May 2015

Makalah Muhkam & Mutasyabih

A.    Pendahuluan
Allah menurunkan Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahkluk-Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada umat manusia, dimana Ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahamannya demi menyelamatkan umat Islam dan menjaga eksistensinya.
                 Pokok-pokok agama tersebut di beberapa tempat dalam Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya cocok dan serasi. Tak ada kontradiktif di dalamnya. Adapun menganai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang ke masalah pokok, dan yang bersifat partikal (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli). Sementara itu beberapa hati yang mempertuturkan hawa nafsu tersesat dengan ayat yang mutasyabih ini. dengan ketegasan dan kejelasan dalam masalah pokok dan keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka Islam menjadi agama abadi bagi umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, di sepanjang masa dan waktu.[1]
B.     Pengertian
Kata muhkam (محكم) terambil dari kata hakama (حكم). Kata ini memiliki maknanya pada “menghalangi”. Seperti hukum yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiyaan, demikian juga hakim. Kendali bagi hewan dinamai hakamah, karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkan. Muhkam adalah sesuatu yang terhalangi/bebas dari keburukan. Bila anda menyifati satu bangunan dengan kata ini, maka itu berarti bangunan tersebut kokoh, indah, dan tidak memiliki kekurangan. Bila susunan kalimat tampil dengan indah, benar, baik, dan jelas maknanya, maka kalimat itu pun dilukiskan dengan Muhkam.[2] Dan muhkam tidak memberikan pengertian yang selain dari apa yang dimaksud dan tidak pula memerlukan ta’wil dalam memahaminya.
Dan kata Mutasyabih ( متشابه ) terambil dari kata Asy-Syabah ( الشبه ) yang bermakna serupa (tapi tak sama).[3] Atau juga berarti Tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lainya.[4]

Al-Qur’an semuanya muhkamah, jika dimasudkan dengan kemuhkamahannya, bahwa susunan lafadz al-Qur’an dan keindahan nadzamnya, sungguh sangat sempurna, tak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafadznya, maupun dalam segi ma’nanya.[5] Dengan pengertian ini Allah menurunkan al-Qur’an sebagai yang Allah tegaskan dalam firmannya:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz ÇÊÈ  
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.[6]
Sedangkan jika kita hendaki dengan kemutasyabihannya, ialah kemutamasilan (serupa atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghah maupun dalam bidang I’jaz dan kesulitan kita menampakkan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ߊqè=ã_ tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdߊqè=ã_ öNßgç/qè=è%ur 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# 4 y7Ï9ºsŒ yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o 4 `tBur È@Î=ôÒムª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >Š$yd ÇËÌÈ  
“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.”[7]
Maka ihkam dan tasyabuh dalam ayat-ayat itu tidaklah yang kita maksud dari muhkam dan mutasyabih yang akan kita bahas kali ini. Namun yang menyebabkan kita membahas muhkam dan mutasyabih ialah firman Allah:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ  
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”[8]
                 Yang dimaksud dengan Mutasyabih pada ayat Ali Imran ini adalah “samar”. Ini adalah pengembangan dari makna keserupaan diatas. Memang keserupaan dua hal atau lebih, dapat menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.
                 Beda definisi para pakar tentang apa yang dimaksud dengan ayat yang Muhkam, antara lain:
1)   Ayat yang diketahui maksudnya, baik karena kejelasan redaksinya sendiri, maupun melalui ta’wil/penafsiran.
2)   Ayat yang tidak dapat menerima kecuali satu penafsiran.
3)   Ayat yang kandungannya tidak mungkin dibatalakan (Mansukh)
4)   Ayat yang jelas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan dari luar dirinya, atau ayat yang tidak disentuh oleh sedikit pun kemusykilan.
Mutasyabih yang diperselisihkan definisinya, antara lain:
1)    Ayat-ayat yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa yang diinformasikan, seperti kapan tibanya Hari Kiamat, atau hadirnya dabbat (دابّة) (QS. An-Naml [27]: 82).
2)    Ayat yang tidak dipahami kecuali mengaitkannya dengan penjelasan.
3)    Ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna.
4)    Ayat yang Mansukh yang tidak diamalkan karena batal hukumnya.
5)    Apa yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan maknanya kepada Allah.
6)   Kisah-kisah dalam al-Qur’an.
7)   Huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal beberapa surah, seperti Alif- Lam- Mim.[9]
                 Namun, jelas pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa Muhkam adalah yang jelas maknanya, sedang yang Mutasyabih adalah yang samar.
Adapula penjelasan yang tertera dalam ringkasan kitab Ibnu Katsir bahwasanya Allah Ta’ala memberitahukan di dalam al-Qur’an itu ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan pokok-pokok Al-Kitab. Ayat muhkamat artinya ayat yang jelas dan tidak samar bagi siapa pun. Dan mengandung ayat-ayatnya dipandang samar oleh kebanyakan orang. Prinsip penanganannya ialah menangguhkan yang samar dan mengambil yang pasti. Barang siapa yang melakukannya maka akan memperoleh petunjuk. Dan barang siapa yang hal sebaliknya, maka akan sesat. Oleh karena itu Allah berfirman, “Dan itulah pokok-pokok Al-Kitab”, yakni landasan yang dirujuk tatkala terjadi kesamaran. Dan ayat yang lain ayat mutasyabihat, yakni ayat yang maknanya berkemungkinan sejalan dengan ayat muhkam, atau sejalan dengan ayat lain dalam segi lafal dan susunannya, namun bukan dalam segi maknanya.
                 Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Thalhah dari Ibnu Abbas. Muhammad bin Ishak berkata, “Ayat-ayat muhkam ialah yang merupakan hujjah tuhan, perlindungan hamba, penghilang permusuhan yang batil. Ayat muhkam itu tidak mengenal perubahan dan penyimpangan dari landasan penetapannya. Ayat mutasyabihat itu menyangkut kejujuran dan tidak mengenal perubahan , penyimpangan, dan takwil. Allah menguji hamba melalui ayat muhkamat, sebagaimana Dia menguji mereka dengan hukum halal dan haram agar ayat itu tidak diubah menjadi batil dan disimpan dari kebenaran.
                 Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan,” yakni keluar dari kebenaran kepada kebatilan, “maka mereka mengikuti ayat mutasayabih”. Yakni, mereka hanya mengambil ayat-ayat mutasyabih yang memungkinkan mereka untuk mengubahnya sesuai dengan tujuan jahatnya, sebab ayat mutasyabih itu dapat dikelola lafalnya. Adapun ayat yang muhkam tidak mendapat perhatian dari mereka, sebab ayat ini mengalahkan mereka dan membatalkan hujjah mereka. Oleh karena itu Allah berfirman, “guna menimbulkan fitnah”, yakni untuk menyesatkan para pengikutnya dengan memberikan kesan kepada mereka seolah-olah dirinya melegitimasi perbuatan bid’ah dengan ayat al-Qur’an, padahal ayat itu justru mengalahkan mereka, bukan memenangkannya; seperti orang Nasrani berhujjah bahwa al-Qur’an telah mengatakan Isa itu merupakan bagian ruh dari Allah, dan mereka tidak berargumen dengan ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman, “Jadilah, maka jadilah dia”, serta ayat-ayat muhkam lainnya yang sudah jelas menuturkan bahwa Isa merupakan salah satu mahkluk Allah, hamba, dan rasul Allah.[10] Seperti dalam hadis, Ibnu Mardawih meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu al-Ash, dari Nabi saw, beliau bersabda:
(إنّ القرآ ن لم ينزل ليكذّ ب بعضه بعضا, فما عرفتم منه فا عملوا به وما تشا به منه فآمنوا به)
“Sesungguhnya al-Qur’an tidak diturunkan untuk saling mendustakan ayat yang lain. Apa yang kamu pahami maka amalkanlah, sedangkan yang samar (syubhat) maka imanilah” (HR. Ibnu Mardawih)
C.     Urgensi Mengetahui Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Urgensi mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat adalah menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya untuk mengembangkan potensi akal-budi dan nalar pikiran sehingga mereka akan terhindar dari taklid. Dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat  yang kurang terang pemahamannya, maka para ulama, pakar, ilmuwan dan sebagainya berusaha menegerahkan segenap kemampuan daya pikir dan zikir mereka untuk mengetahui makna-makna yang terselubung di balik ungkapan yang samar-samar itu. Dan kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban Islam berkembang sebagaimana tercatat dalam sejarah dunia, khususnya pada abad-abad pertengahan yang terkenal dengan zaman keemasan Islam.




[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012) hal. 302-303
[2] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) hal. 209. Definisi Muhkam dan Mutasyabih di dalam Al-Itqan Fi Ulum Al-quran, yang sejalan dengan definisi di atas adalah  المحكم : ما وضح معناه .
[3] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) hal. 210. Pengertian ini beberapa ulama juga memberikan pandangan tentang hal ini dalam Al-Itqan Fi Ulum Al-quran . متشابه : ما احتمل او جها  atau dengan kata lain ini adalah kebalikan dari Muhkam.
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012) hal. 304.
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an), (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1970) hal. 157
[6] Q.S Hud :1
[7] Q.S Az-Zumar :23
[8] Q.S Ali-Imran :7
[9] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013) hal. 211
[10] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jilid I), (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) hal. 482-485

No comments:

Post a Comment