Pendahuluan
Perbedaan gender merupakan sebuah masalah yang telah cukup lama
berkembang di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengandung paham
patriarkhi.[1] Mengenai
perbedaan status dan kedudukan berdasarkan gender berawal dari dua teori besar
yaitu teori nature dan nurture yang menjelaskan bagaimana terbentuknya kodrat
laki-laki perempuan dalam masyarakat. Dalam pandangan teori nature dikemukakan
bahwa adanya perbedaan laki-laki dan perempuan secara kodrati disebabkan karena
faktor genetis biologis. Adapun teori nurture beranggapan bahwa terjadinya
perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial budaya.[2]
Melihat fenomena ini lahirlah sekelompok orang yang
menamakan diri kelompok feminis. Mereka berjuang untuk memperoleh hak yang sama
seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Hak untuk berkarir, menjadi pemimpin, dan
lain-lain.
a.
Pengertian
dan sejarah feminisme
Secara etimologis kata feminisme berasal
dari bahasa latin, yaitu femina yang dalam bahasa inggris diterjemahkan menjadi
feminine artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu
ditambah “isme” menjadi feminisme, yang berarti hal ihwal tentang perempuan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), feminism di artikan sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Dalam perkembangan selanjutnya, kata
tersebut digunakan untuk menunjukan suatu teori kesetaraan jenis kelamin
(sexual equality). Secara historis istilah itu muncul
pertama kali pada tahun 1895, sejak itu pula feminisme dikenal secara luas.
Dalam pengertian yang lebih luas,
feminisme sekurang-kurangnya mencakup tiga pengertian pokok. Pertama, feminisme
merupakan pengalaman hidup, sebab ia tidak terlepas dari sejarah munculnya,
yaitu dari masyarakat patriarkhi. Dari sejarah hidup inilah kemudian lahirlah
kaum perempuan yang mempunyai kesadaran feminis. Kedua, feminisme sebagai alat
perjuangan politik bagi kebebasan manusia. Berangkat dari kesadaran feminisme
inilah, perempuan ingin melepaskan diri dari penindasan dan ketidakadilan yang
selama ini dialaminya. Perjuangannya itu diletakkan dalam bentuk persamaan
hukum (legal status) hak memilih dan kesetaraan dengan laki-laki.
Gerakan tersebut kemudian disebut
dengan liberation movement, yakni suatu gerakan pembebasan yang intinya
menuntut persamaan dalam struktur sosial politik. Ketiga, feminisme sebagai
aktivitas intelektual. Artinya gerakan yang memberikan pemahaman tentang kehidupan
sosial, di mana perempuan itu tinggal, kekuatan yang dapat dilaksanakan untuk
melakukan perubahan ke arah perbaikan nasib perempuan dan untuk mengetahui apa
yang harus diperjuangkan, bagaimana mendefinisikan bentuk-bentuk penindasan
atas perempuan dan lain sebagainya.
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan
berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah Revolusi Amerika 1776 dan
Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang
beruntung dari pada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan,
baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti
hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan.
Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di
hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama
kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali
oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang
berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi
John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of
Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme
Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk
mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum
perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh
kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan
politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam
masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung
ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa
dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika
Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme di lingkungan
agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini
ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa
jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk
"menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat
terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat
karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of
the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan
dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan
terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai
diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan ,
diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir
menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit
putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa
yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal
sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara
baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut
ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara
parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti
Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di
Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di
Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh
of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh
nilai-nilai maskulin.Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak
semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti
Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat
mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The
Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini
ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi
wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya
kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan
Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga
kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji
sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964)
dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan
momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern
dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat
kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya
ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme
berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai
gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah
Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann
Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai
muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation
Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s
Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum
laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih
seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara
terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City
yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan
komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian
mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Pada 1975, "Gender, development,
dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama
di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka
wawasan gender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus
pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Ketidak adilan gender merupakan bentuk
perbedaan perlakuan berdasarkan alas an gender, seperti pembatasan peran,
penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas
pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak
dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Adapun sifat
dan bentuk-bentuk diskriminasi gender adalah sebagai berikut:
·
Diskriminasi
gender dapat bersifat
1.
Langsung,
yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan langsung, baik disebabkan perilaku
atau sikap, norma atau nilai, maupun aturan yang berlaku
2.
Tidak
langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaanya menguntungkan jenis
kelamin tertentu.
3.
Sistemik,
yaitu ketidakaadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat
yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.
·
Bentuk-bentuk
diskiminai gender adalah sebagai berikut
1.
Marginalisasi
(peminggiran). Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya,
banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik
dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan.
Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan mendapatkan peluang pendidikan.
Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh
Negara yang bersumber keyakinan, tradisi atau kebiasaan, kebijakan pemerintah,
maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
2.
Subordinasi
yaitu anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain
sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki.
3.
Stereotip
yaitu pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut
malam adlah seorang pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.
4.
Violence
(kekerasan), yaitu serangan fisik dan psikis. Perempuan, pihak paling rentan
mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi
maupun stereotif yang dijelaskan sebelumnya. Perkosaan, pelecehan seksual atau
perempokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.
5.
Beban
kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus
menerus. Misalnya, seseorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil,
melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping itu, kadang perempuan
juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak berarti
menghilangkan tugas dan tanggung jawab perempuan. [3]
b.
Teori-teori
feminisme
Ø Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia demikian menurut
mereka punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu
pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah
karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus
mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka
"persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa
yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari
teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum
Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi
mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan
pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok
kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan
kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas
warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.[4]Tokoh
aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang
merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan
dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta
saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka
adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik
dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada
posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur
segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan
feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan
tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga
harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.
Ø
Feminisme
radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini
menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada
sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan
kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki
terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada.
Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama
penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan di kotomi
privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan baru yang
mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang
dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan
buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal,
karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia
saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT).
Ø
Feminisme
Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi
kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan
aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi
(private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya
kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka
struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis
yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga
perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa
negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain,
negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita
sebagai pekerja.[5]
Ø
Feminisme
sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa
Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme".
Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga
perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas
istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa
kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis.
Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap
tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai
dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis
kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan
feminisme marxis bahwa kapitali sme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan
tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang
menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah
dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di
Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi
dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran
maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin.
Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
Ø
Feminisme
postkolonial
Dasar pandangan ini berakar dari penolakan universalitas pengalaman
perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan
dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
penindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa,
suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme
poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai,
cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
c.
Pengertian
dan sejarah Teologi Feminis
Istilah “Feminisme” berasal dari kata Latin
: Femina yang artinya wanita. Gerakan feminisme bermaksud mengkritik
struktur patriarki yang berada dalam masyarakat dan berusaha untuk mengadakan
suatu struktur masyarakat yang lebih adil.
Dalam patriarki (pater : bapak, arkhe
: asal mula yang menentukan) laki-laki berkuasa atas semua anggota
masyarakat yang lain dan mempertahankan kuasa itu sebagai milik yang sah. Dalam
masyarakat semacam ini, pandangan androsentris (andros : laki-laki, sentris
: berhubung dengan inti ) menentukan budaya, yakni segala
peristiwa dilihat dari sudut laki-laki.[6]
Menurut istilahnya, teologi feminisme
didefinisikan secara beragam oleh tokoh-tokoh yang menggelutinya sehingga
sangat sulit untuk menemukan definisi yang akurat terhadap gerakan ini.Hal ini
ditegaskan oleh Marcia Bunge yang menyatakan bahawa ada perbedaan suara antara
feminis yang satu dengan yang lain,[7]
yang terlihat melalui karya tulis mereka, baik buku-buku maupun artikel-artikel
yang belakangan ini semakin marak. Dengan bervariasinya tokoh, tulisan serta
pandangan mereka maka sulitlah untuk menentukan nuansa definisi feminisme yang
jelas, karena tidak ada kanon tradisi feminis yang normatif ataupun rumusan
kredo yang jelas.[8]
Namun, perbedaan antara tersebut bukan
berarti tidak titik temu diantaranya. Secara umum, teologi feminsme memberikan
penekanan pada beberapa hal yang menjadi isu terkemuka didalamnya, yaitu isu
tentang usaha kaum feminis untuk mencari solusi terhadap paham tradisional yang
patriarkhi demi tercapainya keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan antara
laki-laki dan perempuan.[9]
Kenyataan akan sedikitnya ruang gerak
perempuan dalam ranah publik jika dibandingkan dengan laki-laki, memunculkan
pertanyaan “mengapa hal ini bisa terjadi dalam Islam?” “apakah Islam yang
diwahyukan kepada Muhammad Saw. mengajarkan dikriminasi?” “apakah Islam tidak
memiliki konsep tentang keadilan”? dan beberapa pertanyaan lain. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan alasan yang seringkali dimunculkan dalam kalangan feminisme
Islam.
Secara historis, diskriminasi terhadap
perempuan muncul sebagai akibat adanya doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki
dan perempuan yang telah membudaya dalam sejarah kehidupan umat manusia. Adanya
anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak cocok memegang kekuasaan karena
perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan seperti laki-laki, laki-laki harus
memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa
depannya, aktifitas perempuan hanya terbatas di dapur, kasur dan sumur saja karena dianggap tidak mampu mengambil
keputusan di luar wilayah kekuasaannya merupakan perfoma penundukan perempuan
di bawah struktur kekuasaan laki-laki.[10]
Pada akhir abad 20, sekitar tahun 1960an,
teologi Feminis mulai bertumbuh dan berakar dari North American Black Theology
dan Latin American Liberation Theology. Ada kesamaan antara Teologi Feminis dan
Latin American Liberation Theology, menurut Stanley J. Grenz kesamaan di antara
kedua teologi ini adalah pada tema utamanya yaitu penindasan. Latin American Liberation Theology dimulai
dengan berlandaskan pada suatu pengalaman penindasan yang sangat mendalam
sehingga 'penindasan' ini menuntut mereka untuk mendapatkan pembebasan, sedang
dalam gerakan Teologi Feminis landasan mereka adalah situasi penganiayaan dan
penindasan terhadap kaum wanita di mana penindasan menjadi dasar arah teologi
mereka. Mereka ingin dibebaskan dari penganiayaan dan penindasan (oleh kaum
laki-laki) yang sudah terjadi selama ratusan tahun lalu.[11] Pengalaman penderitaan wanita Amerika Latin
dan Amerika Utara mendorong kaum Feminis untuk mencari sebab kesalahan ini dan
meminta keadilan dalam hidup mereka.
Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang
diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas
nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan
pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan
pembebasan perempuan.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan
pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa
dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin)
khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang
sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini
biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh
laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung
menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di
Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian
melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya
fundamentalisme agama yang cenderung melakukan penindasan terhadap kaum
perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan
kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa
banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya
dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan
sebagai mahluk yang harus tunduk kepada suami dalam Efesus 5:22 dengan
menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan
terhadap kaum perempuan itu.
Efesus 5:22 ‘’Hai isteri, tunduklah kepada
suamimu seperti kepada Tuhan’’. Dari latar belakang demikianlah di Eropa
berkembang gerakan untuk ";menaikkan derajat kaum perempuan" tetapi
gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial
dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun
1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul ´Vindication of the Right
of Woman´ yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme
dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan
praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan
gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam
pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh
kaum laki-laki.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai
lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku "The
Feminine Mystique"; yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku
ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk
organisasi wanita bernama ´National Organization for Woman´ (NOW) di tahun 1966
gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan,
tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya ´Equal Pay Right´
(1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan
memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan ´Equal
Right Act´ (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak pilih secara penuh dalam
segala bidang.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan
terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai
gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah
´Student for a Democratic Society´ (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di
Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah
mulai muncul kelompok ´feminisme radikal´ dengan membentuk ´Women´s Liberation
Workshop´ yang lebih dikenal dengan singkatan ´Women´s Lib.´ Women´s Lib
mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki
dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti
hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka
memprotes diadakannya ´Miss America Pegeant´ di Atlantic City yang mereka
anggap sebagai ´pelecehan terhadap kaum wanita´ dan ´komersialisasi tubuh
perempuan.´ Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di
mana-mana di seluruh dunia.
d.
Pengaruh
Terhadap Kehidupan Perempuan
·
Peran
Wanita dalam Keluarga
Peran dan pekerjaan wanita di dalam masyarakat tidak dapat
terlepas dari kodratnya sebagai manusia yang berjenis kelamin khusus, yaitu
jenis kelamin yang memungkinkan bahkan mengharuskan ia terikat kuat pada fungsi
sosial tertentu yaitu fungsi reproduksi.
Fungsi ini memerlukan waktu yang lama, mulai saat ovulasi dan pembuahan
sampai anak itu dapat dilepas dari menyusuinya. Fungsi pria dalam hal
reproduksi adalah sangat terbatas, ia hanya mendeposito benih untuk membuahi
sel telur dan proses ini tidak memakan waktu lama.
Karena perbedaan fungsi dalam hal reproduksi ini, maka
terjadi perbedaan juga dalam pembagian pekerjaan di bidang sosial ekonomi.
Terjadi spesialisasi dan pembagian kerja dalam masyarakat yang relatif ketat antara pria dan wanita, yaitu
bahwa fungsi reproduksi yang sangat menyita waktu itu diserahkan sepenuhnya
kepada wanita dan menjadi kewajibannya. Fungsi lain yang non reproduksi seperti
mencari nafkah, menjaga keamanan, menjadi kewajiban pria.
Pembagian fungsi ini telah berlangsung sejak adanya manusia
di dunia, selama kehidupan pra industrial. Wanita untuk pekerjaan domestik dan
pria untuk pekerjaan publik. Dikotomi domestik-publik kemudian mulai kabur
sejak manusia memasuki era industrialisasi. Dengan perubahan peran wanita, maka
timbulah masalah baru yang berhubungan dengan perubahan nilai-nilai.
Setelah keluarga inti timbulah emansipasi wanita. Semula
sebagai usaha kaum wanita untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan dunia yang
berubah, akhirnya emansipasi menjadi ideologi, yaitu untuk membebaskan diri
dari apa yang dianggap exploitasi kaum pria terhadap wanita dalam bidang
ekonomi, sex, dan budaya.
Seiring dengan emansipasi dalam perkembangan pekerjaan dan
karir wanita, dapat dilihat bahwa tingkat kesuburan menurun dengan akibat bahwa
pekerjaan domestik berkurang. Dengan demikian, wanita dapat lebih banyak
peluang lagi untuk terjun dalam bidang publik menjadi wanita bekerja maupun
wanita karir.
·
Wanita
karier
Wanita karir adalah wanita yang bekerja dengan tanggung
jawab yang besar dan biasanya dalam kedudukan yang memungkinkan kenaikan ke
jenjang pangkat atau jabatan yang lebih tinggi serta bekerja juga di luar
jam-jam kerja biasa (Maramis, 1993).
Wanita yang bekerja sebagai buruh pabrik, pelayan toko,
sekretaris, dan yang melakukan pekerjaan ketrampilan tangan yang lain bukanlah
wanita karir. Tanggung jawabnya tidak besar dan kenaikan jenjang kedudukan
sangat terbatas.
Semua wanita ini adalah wanita bekerja (working woman),
tetapi hanya sebagian adalah wanita karir. Namun apapun pekerjaan wanita itu,
bila ia sudah menikah , bila ia bekerja bukan semata-mata untuk mengurus rumah
tangga, maka akan ada dampak terhadap keluarganya, positif atau negatif,
tergantung dari banyak hal.
Di masa lampau, wanita terikat dengan nilai-nilai
tradisional yang mengakar di masyarakat. Jika ada wanita berkarir untuk
mengembangkan keahliannya di luar rumah, mereka dianggap telah melanggar
tradisi sehingga dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan lingkungannya. Mereka
kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri di tengah-tengah
masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan zaman, kaum wanita dewasa ini
cenderung berperan ganda, karena mereka telah mendapat kesempatan yang luas
untuk mengembangkan diri. Profesi sebagai ibu rumah tangga sudah bukan lagi
satu-satunya pilihan yang harus diambil oleh seorang wanita. Sudah tidak
zamannya lagi jika seorang wanita hanya berkutat dengan urusan dapur, anak,
suami, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sudah menjadi hal yang biasa jika
seorang wanita memiliki karir yang cemerlang.
Bagi wanita yang belum menikah, pergeseran paradigma ini
mungkin tidak begitu memberikan pengaruh. Sebaliknya, pergeseran paradigma ini jelas akan mempengaruhi wanita yang sudah
berumah tangga. Dalam kesehariannya, ia dituntut untuk menjalankan peran
sebagai seorang istri, ibu, dan sekaligus wanita karir. Dengan demikian,
seorang wanita dituntut untuk bisa menjalankan semua peran dan tanggung
jawabnya dengan baik. Apakah mungkin seorang wanita berkarir sekaligus menjadi
istri dan ibu rumah tangga yang baik ? Memang terdapat banyak hambatan, tetapi
kiranya jalan keluar selalu ada, tergantung pada wanita itu sendiri.
·
Masalah-masalah
Wanita Karir
Diantara begitu banyak pengaruh dan masalah yang mungkin
timbul bagi wanita bekerja ataupun wanita karir, dua hal yang sangat kuat pengaruhnya adalah yang berhubungan dengan pekerjaan itu
sendiri dan yang berhubungan dengan keluarga.
a. Pekerjaan
Terdapat lebih banyak pria daripada wanita yang lebih kuat
berorientasi pada prestasi, promosi jabatan, dan kenaikan gaji. Sebaliknya lebih
banyak wanita dari pada pria yang lebih kuat berorientasi pada keluarga serta
teman-teman, dan mendahulukan relasi sosial dari pada tanggung jawab peekrjaan
(Tavris, 1977). Tetapi ternyata bahwa bila wanita kedudukannya tinggi dalam
pekerjaan tidaklah berbeda dengan pria dalam hal ambisi untuk prestasi dan
promosi.
Sering diperlukan lebih banyak pekerja dan khusus karyawan
wanita, tetapi biasanya mereka hanya menggantikan karyawan pria yang
mendapatkan kesempatan untuk lebih maju. Sering juga wanita adalah yang paling
akhir diterima dan paling pertama diberhentikan. Tidak jarang wanita diberi
jenis pekerjaan yang membosankan sehingga ia kelihatan lebih berorientasi pada
bicara dari pada kerja.
Pekerjaan mempengaruhi manusia lebih banyak daripada manusia
mempengaruhi pekerjaan. Harga diri ditingkatkan oleh pekerjaan yang kompleks.
Secara rata-rata wanita kurang kesempatan naik pangkat dibandingkan pria karena
ditempatkan pada pekerjaan yang kurang kompleks.
Masalah lain bagi wanita karir adalah bahwa masih banyak
orang, baik pria maupun wanita, yang tidak begitu senang bekerja di bawah
seorang bos wanita. Padahal gaya kepemimpinan kurang tergantung pada jenis
kelamin atau sifat kepribadian, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kekuasaan
dan wewenang yang nyata.
b. Keluarga
Makin banyak wanita yang melakukan pekerjaan publik, tetapi
hanya sedikit pria yang membantu
pekerjaan domestik, karena pekerjaan domestik dianggap tidak jantan dan
merupakan kewajiban wanita.
Perkawinan mempunyai efek negatif paling banyak adalah pada
wanita yang hanya mempunyai satu cita-cita identitas saja yaitu untuk menjadi
istri dan ibu. Bila hal ini tidak tercapai atau bila perkawinanya tidak
memuaskan, maka ia akan sangat kecewa dan menderita seakan-akan hidup ini tidak
berguna lagi.
Masalah lain dalam keluarga adalah siapa yang berkuasa atau
mengambil keputusan terakhir ? Rupanya siapa yang memasukkan uang paling
banyak, dialah yang paling menentukan. Tetapi yang paling tidak terlibat dalam
perkawinan, diapun dapat lebih berkuasa karena setiap waktu ia dapat mengancam untuk meningggalkan
pasangannya.Ternyata lebih banyak wanita yang merasa kurang dicintai suami
mereka daripada suami yang kurang dicintai istri mereka.
Konflik antara perkawinan dan pekerjaan lebih besar pada
wanita daripada pria. Wanita karir harus dapat menampung tuntutan pekerjaan ke
dalam kebutuhan keluarganya. Wanita karir mempunyai dua jenis pekerjaan, publik
dan domestik, suami bekerja hanya mempunyai satu pekerjaan.
·
Dampak
Buruk Feminisme
Bekerjanya seorang istri di luar rumah menimbulkan efek
buruk bagi stabilitas keharmonisan keluarga. Baik antara dirinya dengan suami
maupun antara dirinya dengan anak-anak. Meskipun dengan bekerjanya seorang
istri membuat beban suami menjadi lebih ringan, namun di sisi lain justru akan
membuat suami kehilangan harga dirinya dan karena itu keharmonisan pun menjadi
memudar. Dalam hal ini, agaknya betul apa yang disampaikan Muhammad bin Luthfi
al-Shobbag, bahwasanya hubungan suami-istri bukanlah didasarkan atas materi
saja.[12]
Dengan bekerjanya seorang wanita, perhatiannya kepada
anak-anaknya pun akan berkurang. Apabila hal itu terjadi, anak-anak akan merasa
bahwa diri mereka tidak lebih penting dari pekerjaan ibunya dan kerenanya ia
pun melakukan sejumlah kenakalan—yang bagi mereka—sebenarnya hanya bertujuan
untuk memancing perhatian dan kasih sayang ibunya. Apabila sang ibu tetap tak
peduli dan mau memerhatikan anaknya secara lebih—dalam arti tetap dengan
kesibukan kerja—maka sang anak akan frustasi dan kenakalan yang dilakukan sang
anak akan diupayakan terjadi sesering mungkin.[13]
Psikolog terkenal John Bowlby, meyakini bahwa ikatan antara
ibu dan anak yang tidak memberikan rasa aman, tidak adanya cinta dan kasih
sayang dalam pengasuhan anak, atau kehilangan salah satu orangtua di masa
kanak-kanak, akan menciptakan set kognitif yang negatif.[14] Kondisi kognitif yang
seperti ini ketika bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan
kehilangan (kasih sayang, teman, guru, dsb), maka kehilangan tersebut akan
menjadi pemicu yang dengan segera menimbulkan depresi.[15] Bila sudah begini, maka
waspadalah, karena pengalaman membuktikan seringkali remaja yang mengalami depresi
akan mencoba bunuh diri.[16]
D. Tokoh-Tokoh Teologi Feminisme
·
RA.
Kartini
Judul bukunya "Door
Duisternis tot Licht" - "Habis Gelap Terbitlah Terang", itulah
judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal.
Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu
kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk
melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
·
Mary
Daly
Mary Daly adalah seorang penganut Katolik Roma. Bukunya,
“the Church and Second Sex” merupakan sumbangan awal yang penting bagi teologi feminisme.
Ia kemudian keluar dari iman Kristen. Ia skeptis terhadap mereka yang
berpendapat bahwa Alkitab dapat dibebaskan dari tradisi patriarkhal.
·
Rosemary
Radford Ruether
Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Pembebasan
Kristologi dari Patriarkhat”. Dalam tulisan atersebut, ia mempertahankan bahwa
pelayanan Yesus adalah mewartakan kabar baik kepada orang-orang yang
direndahkan, termasuk perempuan. Akibatnya, ia sangat setuju dengan praktek
selibat.
·
Elizabeth
Schussler Fiorenza
Judul bukunya “In Memoriam of Her” yang menggemakan Markus
14:9 – merupakan karya yang berpengaruh. Ia menekankan perlunya melihat peranan
yang dimainkan para perempuan pada awal sejarah Kristen, suatu peranan yang
penting yang sering diabaikan oleh penafsir Alkitabiah laki-laki. Ini merupakan
proses penemuan kembali bahwa Injil Kristen tidak dapat diwartakan jika
murid-murid perempuan dan apa yang telah mereka lakukan tidak dikenang.[17]
Daftar
Pustaka
·
Frommel, Marie C.B., Hati Allah
bagaikan hati seorang ibu
·
Bunge, Marcia Bunge, Feminism
in Different Voices: Resources for the Church,” Word & World
Theology for Christian Ministry, (Fall,1988)
·
Young, Pamela Dickey
Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method(Minneapolis:
Fortress,1990),
·
Esha, Muhammad In’am Esha, Teologi Islam:
Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Press, 2008)
·
Schneiders, Sandra M."Does the Bible Has a Post Modern Message?", dalam Post Modern
Theology: Christian Faith in a Pluralist World, Frederic B. Burnham
ed., (San Fransisco: Harper and Row,
1989)
·
Al-Shobbag, Muhammad bin Luthfi,
dkk., Pesan
untuk Muslimah. Cet. VII. Penerjemah Muhammad Sofwan Jauhari
(Jakarta: Gema Insani Press, 1416 H/1996 M),
·
Jersild, Arthur T., dosen Columbia
University menulis, “Perbuatan nakal yang dilakukan berkali-kali merupakan
perilaku agresif yang bersumber dari rasa frustasi (Delinquent acts frequently are aggressive
acts springing from frustation).” Lihat, Arthur T. Jersild, The
Psychology of Adolescence, 2nd ed. Cet. V (New York: The
MacMillan Company, 1965)
·
Santrock, John W., Adolescence:
Perkembangan Remaja. Penerjemah Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih
(Jakarta: Erlangga, 2003).
[1] Patriarkhi atau patriarkhat berarti sistem pengelompokkan
sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak, (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 837)
[3] http://situs.kesrepro.info/gendervaw/referensi.htm
diakses pada hari selasa, 26 November 2013
[4] Fakih Maonsoer, 2002. Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi.
Hlm. 155
[5] Fakih Maonsoer, 2002. Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi.
Hlm. 158
[6] Marie C.B. Frommel, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, hlm
9
[7] Marcia Bunge, Feminism
in Different Voices: Resources for the Church,” Word & World
Theology for Christian Ministry, (Fall,1988), 321
[8] Pamela Dickey
Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method(Minneapolis:
Fortress,1990), hal, 7
[10] Muhammad
In’am Esha, Teologi Islam: Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 48-49
[11] Sandra M. Schneiders, "Does the Bible Has a Post Modern Message?", dalam Post Modern
Theology: Christian Faith in a Pluralist World, Frederic B. Burnham
ed., (San Fransisco: Harper and Row,
1989) Hal. 65.
[12] Muhammad bin Luthfi al-Shobbag, dkk., Pesan untuk Muslimah. Cet.
VII. Penerjemah Muhammad Sofwan Jauhari (Jakarta: Gema Insani Press, 1416
H/1996 M), h. 37.
[13] Arthur T. Jersild, dosen Columbia University menulis, “Perbuatan
nakal yang dilakukan berkali-kali merupakan perilaku agresif yang bersumber
dari rasa frustasi (Delinquent acts frequently are aggressive acts springing from
frustation).” Lihat, Arthur T. Jersild, The Psychology of Adolescence, 2nd
ed. Cet. V (New York: The MacMillan Company, 1965), h. 315.
[14] John W. Santrock, Adolescence: Perkembangan Remaja. Penerjemah
Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih (Jakarta: Erlangga, 2003), h.
529.
[15] Ibid, h. 530.
[16] Ibid, h. 532.
[17] Tony Lane, Runtut Pijar, hlm 251
No comments:
Post a Comment