Saturday, 16 May 2015

Isu-isu Gender dalam Agama-agama

Pendahuluan
Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif yang bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal yang mencoba mendekonstruksi konsep konsep religiusitas yang dipandang merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada sejarah dan filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus diakui memiliki kekhasan masing-masing. Justru karena kekhasan tersebut, keduanya komplementer karena merupakan wujud dualitas makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.[1]
Gender pada hakekatnya adalah sebuah terma yang digunakan untuk membedakan peran antara laki-laki dan perempuan, hasil dari rekayasa manusia sebagai akibat pengaruh sosial budaya masyarakat yang tidak bermakna kodrati. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia disebutkan gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan tersebut. Hampir tidak ada isu psikologis apapun yang begitu kontroversial dan kompleks dibandingkan dengan isu ini.
Oleh karena itu berbicara gender berarti bicara tentang sebuah konsepsi yang menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis semata melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik dan juga ekonomi. Hal ini perlu ditegaskan guna membedakan segala sesuatu yang normatif dan biologis dan segala sesuatu yang merupakan konstruksi sosial budaya dalam bentuk proses kesepakatan normatif dan sosial yang dapat ditransformasikan.[2]

Perempuan dalam Politik[3]
Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi dan institusi strategis yang bisa dijadikan alat untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Intervensi kebijakan affirmative action atau tindakan khusus sementara yang menyeluruh di Undang-Undang tentang partai politik dan pemilihan umum adalah suatu keniscayaan untuk mencapai tujuan di atas.
Meskipun peraturan perundang-undangan sudah mencantumkan afirmasi berupa kuota 30% perempuan di kepengurusan, faktanya enam (6) dari sembilan (9) partai yang lolos Parliamentary Threshold (PT) pada pemilihan umum tahun 2009 yang telah menyelenggarakan musyawarah nasional/kongres/muktamar sepanjang tahun 2009-2011 belum mampu menjalankan amanah Undang-Undang. Keenam partai tersebut adalah Partai Golongan Karya (PG) pada tanggal 5-8 Oktober 2009, Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal 7-9 Januari 2010, Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) pada tanggal 6-9 April 2010, Partai Demokrat (PD) pada tanggal 21-23 Mei 2010,Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tanggal 16-20 Juni 2010 dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 3-7 Juli 2011 (khusus untuk PPP, partai ini telah memasukkan ketentuan kuota 30% di kepengurusan harian di seluruh jenjang kepengurusan).
Dari keenam partai tersebut, kecuali PPP, tidak satupun yang telah memenuhi ketentuan Undang-Undang No. 2/2008 tentang Partai Politik. Dalam Bab II tentang Pembentukan Partai Politik Pasal 2 ayat 5 disebutkan “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dan dalam Bab XX tentang Ketentuan Peralihan Pasal 51 ayat 2 ditetapkan bahwa “Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan”. Undang- Undang ini kemudian direvisi menjadi UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan ketentuan 30% kuota perempuan di kepengurusan tidak mengalami perubahan.
Berbagai alasan dikemukakan mengapa ketentuan tersebut belum dipenuhi. Alasan yang paling sering adalah ketersediaan sumber daya perempuan di partai politik yang terbatas. Bisa jadi alasan ini benar karena selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat “memaksa” partai politik untuk memberikan kesempatan yang luas kepada politisi perempuan untuk duduk di kepengurusan. Ketentuan affirmative action atau tindakan khusus sementara yang “mendorong” partai politik untuk memberi peran perempuan di politik baru mulai diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik yang terbatas mengatur tentang perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai politik (Pasal 13 ayat 3) dan Undang-Undang No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan terbatas pada pencalonan anggota pada pemilihan umum, belum lebih jauh mengatur penempatan nomor urut yang dapat menjamin keterpilihan perempuan. Persisnya pengaturan tersebut tertuang dalam Pasal 65 ayat 1 UU No 12/2003 yang bunyinya “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Pasal 65 ini dilihat sebagai upaya untuk mendesak parpol agar merekrut dan mencalonkan perempuan. Sebuah upaya yang relatif berhasil mengingat separoh parpol peserta Pemilu 2004 mencalonkan 30% perempuan sebagai anggota legislatif. Namun demikian Pasal 65 masih belum efektif sebagai tindakan afirmatif. Bukan sekedar masalah sanksi yang belum diatur tetapi juga soal komitmen parpol untuk menerapkan tindakan afirmatif di internal mereka yang belum ada. Sedangkan pengaturan keterwakilan perempuan 30% dalam kepengurusan partai politik baru diatur dalam UU No 2 tahun 2008 sebagaimana diuraikan di atas yang telah direvisi menjadi UU No. 2 tahun 2011. Lebih lanjut ketentuan yang mengatur penempatan atau nomor urut bakal calon ditetapkan pada pasal 55 ayat 2 UU No 10 tahun 2008 yang mengatur penempatan bakal calon 1 diantara 3 bakal calon adalah perempuan bakal calon.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tindakan khusus telah mendorong partai politik untuk berlomba-lomba merekrut perempuan untuk ditempatkan pada struktur partai dan dijadikan bakal calon legislatif. Sayangnya upaya tersebut dilakukan hanya sekedar menggugurkan tuntutan penempatan sekurangkurangnya 30% sebagaimana diamanahkan Undang-Undang. Tidak ada upaya untuk melakukan pendidikan politik, perkaderan dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas perempuan.
Beberapa masalah yang mempengaruhi rendahnya representasi perempuan di parpol adalah:
 Faktor eksternal:
1.      Parpol belum membuka secara luas kesempatan bagi perempuan untuk duduk pada posisi strategis di level kepemimpinan atau pengambil kebijakan/keputusan. Biasanya perempuan ditempatkan pada posisi di departemen atau biro yang tidak terlibat dalam proses pengambilan kebijakan/keputusan. Sistem internal parpol belum demokratis, belum banyak perempuan terlibat dalam kepengurusan partai/proses penentuan kebijakan partai,.
2.      Proses pengambilan keputusan dan kebijakan parpol sering mengabaikan kepentingan kaum perempuan, aspirasi dan kepentingannya kurang diperhitungkan. Sebagai contoh perumusan AD/ART, pedoman-pedoman permusyawaratan, pedomanpedoman perkaderan dan pedoman pedoman organisasi lainnya tidak memuat secara khusus kuota untuk perempuan.
3.      Dukungan keluarga dan masyarakat terhadap keterlibatan perempuan di politik sangat minim. Basis espon perempuan juga sangat rendah
4.      Pandangan umum bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki, keras, anarkis dan penuh intrik tidak cocok untuk perempuan.
5.      Satuan kerja pemerintah yang menangani pemberdayaan perempuan tidak focus dalam mensosialisasikan kebijakan pengarusutamaan gender (PUG). Indikator hasil sosialisai tidak dipublikasikan dan ditindak lanjuti secara berkesinambungan.
Faktor internal:
1.      Perempuan tidak tertarik terjun di dunia politik karena beranggapan bahwa politik merupakan pekerjaan kotor.
2.      Perempuan aktivis di organisasi kemahasiswaan atau kepemudaan sering terputus dan keluar dari kesinambungan atau konsistensi perkaderan sehingga jarang yang sampai pada jenjang karier puncak di parpol.
3.      Peran esponsi perempuan yang sering tidak bisa diabaikan.
4.      Ketidak mampuan menyediakan waktu yang maksimal untuk beraktivitas di parpol.
5.      Keterbatasan akses espons untuk mendukung aktivitas perempuan di parpol. Terlepas dari aturan perundang-undangan maka intervensi di pengaturan internal parpol akan lebih efektif untuk “memaksa” parpol memenuhi ketentuan kuota 30% di kepengurusan parpol. Sejauh ini baru tiga parpol yang mengatur ketentuan kuota 30% di AD/ART Partai. Bahkan PPP dan PKB telah mencantumkan ketentuan 30% pengurus harian harus diisi oleh perempuan. Dibutuhkan komitmen parpol untuk hal-hal sebagai berikut:
·         Kuota, sebagai terobosan kunci meningkatkan keterwakilan perempuan, dan menjadikan Kuota dari sekadar strategi pragmatis menjadi platform unggulan.
·         Mengakomodir agenda politik yang esponsive gender dalam AD/ART partai dan kebijakan strategis lainnya dan harus dilaksanakan secara konsisten, dan menyeluruh mulai dari level paling bawah sampai paling atas.
·         Memasukkan perempuan dalam posisi-posisi kepemimpinan partai, mulai dari tingkat terbawah sampai teratas dan dalam lembaga/panitia strategis lainnya seperti TimPemenangan Pemilu, Lembaga Penetapan Caleg, dll.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
a.      Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.
Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.
b.      Gejala-gejala kekerasan terhadap istri
Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejalagejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.
c.       Bentuk-Bentuk Kekrasan Dalam Rumah Tangga
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri tersebut, antara lain:

 
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
d.      Faktor penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
1)         Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2)         Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3)         Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4)         Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5)         Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6)         Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7)         Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8)         Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9)         Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
10)     Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakatsendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
11)     Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
12)     Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
Lingkungan. Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan  diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.
e.       Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan terhadap istri menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Diantaranya adalah :
Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
f.       Solusi untuk mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media. Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan.
Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua.
Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
1.      Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2.      Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.
3.      Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
4.      Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
5.      Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
6.      Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.[4]
Kesehatan Reproduksi[5]
            Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dsan alokasi sumber daya, manfaat atau dalam mengakses pelayanan. Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).
Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia. Pembahasan dalam topik isu gender ini dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan sosial, budaya, kondisi dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi masalah kesehatan reproduksi remaja.
Mengingat masih tingginya “4 TERLALU” ( Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak, Terlalu Sering untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian ibu dan anak kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah, dan tidak terjadi kematian yang sia-sia. Selain itu masalah ksehatan lainnya penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Dengan upaya pemberian informasi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan remaja yang pada akhirnya remaja mempunyai pandangan dan sikap yang baik untuk dapat membantu pencegahan penularan HIV/AIDS, pencegahan kehamilan tidak diharapkan.
Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya.
Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kehamilan tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya
b. Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi
c. Masalah Penyakit Menul;ar Seksual termasuk infeksi HIV/AIDS
d. Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial
Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibanding kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun. Pusat penelitian Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung ( 1997), menunjukkan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah melakukan hubungan seksual.Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun di Jawa barat (1189) dan di Bali (922) mendapatkan 7% dan 5 % remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku pernah terlambat haid atau hamil. Di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981 pengunjung klinik KB ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman. Sekitar 2% diantaranya berusia kurang dari 22 tahun. Dari data PKBI sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15 – 18 tahun.
Ada beberapa fakta berikut yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja bahwa KEK remaja putri 36% (SKIA : 1995), Anemia Remaja Putri 52% (SDKI : 1995), merokok berusia kurang dari 14 tahun 9% dan kurang dari 19 tahun 53% (Susenas : 1995), Remaja Putri Perokok sebanyak 1% – 8%, peminum minuman keras 6%, pemakai napza 0,3 – 3% (LDFE-UI). Sekitar 70.000 remaja putri kurang dari 18 tahun terlibat dalam prostitusi industri seks ditemukan di 23 propinsi, seks sebelum menikah 0,4 – 5% (LDFE-UI : 1999), 2,4 juta aborsi/ tahun, 21% diantaranya terjadi pada remaja, 11% kelahiran terjadi pada usia remaja, 43% perempuan melahirkan anak pertama dengan usia pernikahan kurang dari 9 bulan.
Informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja dewasa ini belum memadai, dan kebanyakan baru ditangani oleh swadaya masyarakat di kota-kota besar.(Depkes : 2001). Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) di Indonesia cukup tinggi, diantaranya penelitian pada 312 akseptor KB di Jakarta Utara (1998) angka prevalensi ISR 24,7% dengan infeksi klamidia yang tertinggi yaitu 10,3%, kemudian trikomoniasis 5,4%, dan gonore 0,3%. Penelitian lain di Surabaya pada 599 ibu hamil didapatkan infeksi virus herpessimpleks sebesar 9,9%, klamidia 8,2% trikomoniasis 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Suatu survey di 3 Puskesmas di Surabaya (1999 (pada 195 pasien pengunjung KIA/BP diperoleh proorsi tertinggi infeksi trikomoniasis 6,2%, kemudian sifilis 4,6% dan klamidia 3,6%. Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat pelaynan dasar masih jauh yang diharapkan. Upaya tersebut baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa propinsi. Hambatan sosio-budaya sering mengakibatkan ketidak tuntasan dalam pengobatanya, sehingga menimbulkan komplikasi ISR yang serius seperti kemandulan, keguguran, dan kecacatan janin
Hingga bulan Desember 2006 tercatat jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 5230 dan kasus AIDS sebanyak 8190. Dari penderita AIDS tersebut, 6604 kasus (80,7%) adalah laki-laki dan 1529 kasus (18,6%) adalah perempuan dan tidak diketahui 61 kasus (0,7%). Dari segi usia rebanyak pada usia 20 - 29 tahun sebanyak 4487 kasus ( 54,7%), usia 30 – 39 tahun sebanyak 2226 kasus ( 27,2%), usia 40 – 49 sebannyak 647 kasus (7,9%), usia 15 – 19 tahun sebanyak 222 kasus (2,7%),usia 5 – 14 tahun 22 kasus (0,26%), dengan jumlah kasus terbanyak berada di DKI Jakarta 2565 (31,3%). Dengan faktor risiko penularan yaitu narkoba suntik 50,3%, heteroseksual 40,3%, homo biseksual 4,2%, transfuse darah 0,1% transmisi perinatal 1,5%, tidak diketahui 3,6%. Jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan 100 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan.. Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003-2007 menyatakan bahwa pencegahan dan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Masih banyak isu gender lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi remaja, diantaranya sunat pada perempuan, kekerasan terhadap perempuan/dalam rumah tangga, perlecehan  seksual/pemerkosaan, perdagangan manusia/perempuan.
Program ini akan membahas mengenai fakta dan upaya mengatasi ketidaksetaraan berbasis gender yang terjadi di masyarakat, data yang akan ditunjukkan dalam bidang pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, mengingat perempuan yang paling terkena dampak dari ketidaksetaraan ini diantaranya perempuan dinilai kurang bernilai daripada laki-laki maka data yang akan di sajikan akan lebih banyak mengenai keterlibatan perempuan.




 Daftar Pustaka
·         Nasyithotul Jannah. IMPLEMENTASI KONSEP GENDER DALAM PEMIKIRAN ISLAM ( Sebuah Pendekatan Autokritik ). hal 1. pdf
·         Lena Maryama Mukti. Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan. pdf
·         Kekerasan dalam Rumah Tangga. pdf
·         Sekitar Masalah Gender. Published on K4Health (http://www.k4health.org) (Source URL: http://www.k4health.org/toolkits/indonesia/sekitar-masalah-gender). pdf





[1]  Nasyithotul Jannah. IMPLEMENTASI KONSEP GENDER DALAM PEMIKIRAN ISLAM
( Sebuah Pendekatan Autokritik ). hal 1.pdf
[2] Ibid
[3] Lena Maryama Mukti. Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan. pdf
[4] Kekerasan dalam Rumah Tangga. pdf
[5] Sekitar Masalah Gender. Published on K4Health (http://www.k4health.org) (Source URL: http://www.k4health.org/toolkits/indonesia/sekitar-masalah-gender). pdf

No comments:

Post a Comment