Pendahuluan
Konsep gender
dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan
laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas
kemanusiaan yang sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada
tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif yang bernuansa
patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada paradigma keseimbangan dan
keadilan dan pandangan liberal yang mencoba mendekonstruksi konsep konsep
religiusitas yang dipandang merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada
sejarah dan filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan
laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus diakui memiliki kekhasan
masing-masing. Justru karena kekhasan tersebut, keduanya komplementer karena
merupakan wujud dualitas makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.[1]
Gender pada hakekatnya adalah sebuah terma yang digunakan untuk membedakan
peran antara laki-laki dan perempuan, hasil dari rekayasa manusia sebagai
akibat pengaruh sosial budaya masyarakat yang tidak bermakna kodrati. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia disebutkan gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri,
bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan laki-laki. Bukan
perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan
tersebut. Hampir tidak ada isu psikologis apapun yang begitu kontroversial dan
kompleks dibandingkan dengan isu ini.
Oleh karena itu
berbicara gender berarti bicara tentang sebuah konsepsi yang menunjuk pada
suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak
ditentukan oleh perbedaan biologis semata melainkan juga oleh lingkungan
sosial, politik dan juga ekonomi. Hal
ini perlu ditegaskan guna membedakan segala sesuatu yang normatif dan biologis
dan segala sesuatu yang merupakan konstruksi sosial budaya dalam bentuk proses
kesepakatan normatif dan sosial yang dapat ditransformasikan.[2]
Perempuan dalam Politik[3]
Partai politik adalah salah satu pilar
demokrasi dan institusi strategis yang bisa dijadikan alat untuk meningkatkan
keterwakilan politik perempuan. Intervensi kebijakan affirmative action atau
tindakan khusus sementara yang menyeluruh di Undang-Undang tentang partai politik
dan pemilihan umum adalah suatu keniscayaan untuk mencapai tujuan di atas.
Meskipun peraturan perundang-undangan
sudah mencantumkan afirmasi berupa kuota 30% perempuan di
kepengurusan, faktanya enam (6) dari sembilan (9) partai yang lolos Parliamentary Threshold
(PT) pada pemilihan umum tahun 2009 yang telah menyelenggarakan
musyawarah nasional/kongres/muktamar sepanjang tahun 2009-2011 belum mampu menjalankan
amanah Undang-Undang.
Keenam partai tersebut adalah Partai
Golongan Karya (PG) pada tanggal 5-8 Oktober 2009, Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal 7-9
Januari 2010, Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) pada tanggal 6-9 April
2010, Partai Demokrat (PD) pada tanggal 21-23 Mei 2010,Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) pada tanggal 16-20 Juni 2010 dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada
3-7 Juli 2011 (khusus untuk PPP, partai ini telah memasukkan ketentuan kuota 30% di
kepengurusan harian di seluruh jenjang kepengurusan).
Dari keenam partai tersebut, kecuali
PPP, tidak satupun yang telah memenuhi ketentuan Undang-Undang No.
2/2008 tentang Partai Politik. Dalam Bab II tentang Pembentukan Partai Politik Pasal 2
ayat 5 disebutkan “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan”. Dan dalam Bab XX tentang Ketentuan Peralihan Pasal 51 ayat
2 ditetapkan bahwa “Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada forum
tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan
AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan”. Undang- Undang ini kemudian
direvisi menjadi UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan ketentuan 30% kuota
perempuan di kepengurusan tidak mengalami perubahan.
Berbagai alasan dikemukakan mengapa
ketentuan tersebut belum dipenuhi. Alasan yang paling sering adalah
ketersediaan sumber daya perempuan di partai politik yang terbatas. Bisa jadi alasan ini
benar karena selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat “memaksa”
partai politik untuk memberikan kesempatan yang luas kepada politisi perempuan
untuk duduk di kepengurusan. Ketentuan affirmative action atau tindakan khusus
sementara yang “mendorong” partai politik untuk memberi peran perempuan di politik
baru mulai diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik yang
terbatas mengatur tentang perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai
politik (Pasal 13 ayat 3) dan Undang-Undang No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan terbatas pada pencalonan anggota pada
pemilihan umum, belum lebih jauh mengatur penempatan nomor urut yang dapat
menjamin keterpilihan perempuan. Persisnya pengaturan tersebut tertuang dalam Pasal 65
ayat 1 UU No 12/2003 yang bunyinya “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat
mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk
setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%”. Pasal 65 ini dilihat sebagai upaya untuk
mendesak parpol agar merekrut dan mencalonkan perempuan. Sebuah upaya yang
relatif berhasil mengingat separoh parpol peserta Pemilu 2004 mencalonkan 30%
perempuan sebagai anggota legislatif. Namun demikian Pasal 65 masih belum efektif
sebagai tindakan afirmatif. Bukan sekedar masalah sanksi yang belum diatur tetapi
juga soal komitmen parpol untuk menerapkan tindakan afirmatif di internal mereka yang
belum ada. Sedangkan
pengaturan keterwakilan perempuan 30% dalam kepengurusan partai politik baru diatur dalam UU No
2 tahun 2008 sebagaimana diuraikan di atas yang telah direvisi menjadi UU No. 2 tahun
2011. Lebih lanjut ketentuan yang mengatur penempatan atau nomor urut bakal calon
ditetapkan pada pasal 55 ayat 2 UU No 10 tahun 2008 yang mengatur penempatan
bakal calon 1 diantara 3 bakal calon adalah perempuan bakal calon.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peraturan
perundang-undangan yang mengatur tindakan khusus telah mendorong
partai politik untuk berlomba-lomba merekrut perempuan untuk ditempatkan pada
struktur partai dan dijadikan bakal calon legislatif. Sayangnya upaya tersebut dilakukan
hanya sekedar menggugurkan tuntutan penempatan sekurangkurangnya 30% sebagaimana
diamanahkan Undang-Undang. Tidak ada upaya untuk melakukan pendidikan
politik, perkaderan dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas perempuan.
Beberapa masalah yang mempengaruhi
rendahnya representasi perempuan di parpol adalah:
Faktor
eksternal:
1. Parpol belum membuka secara luas
kesempatan bagi perempuan untuk duduk pada posisi strategis di level
kepemimpinan atau pengambil kebijakan/keputusan. Biasanya perempuan ditempatkan
pada posisi di departemen atau biro yang tidak terlibat dalam proses pengambilan
kebijakan/keputusan. Sistem internal parpol belum demokratis, belum banyak perempuan
terlibat dalam kepengurusan partai/proses penentuan kebijakan partai,.
2. Proses pengambilan keputusan dan
kebijakan parpol sering mengabaikan kepentingan kaum perempuan,
aspirasi dan kepentingannya kurang diperhitungkan. Sebagai contoh perumusan AD/ART, pedoman-pedoman
permusyawaratan, pedomanpedoman perkaderan
dan pedoman pedoman
organisasi lainnya tidak memuat secara khusus kuota untuk perempuan.
3. Dukungan keluarga dan masyarakat
terhadap keterlibatan perempuan di politik sangat minim. Basis espon
perempuan juga sangat rendah
4. Pandangan umum bahwa dunia politik
adalah dunia laki-laki, keras, anarkis dan penuh intrik tidak
cocok untuk perempuan.
5. Satuan kerja pemerintah yang menangani
pemberdayaan perempuan tidak focus dalam mensosialisasikan kebijakan
pengarusutamaan gender (PUG). Indikator hasil sosialisai tidak
dipublikasikan dan ditindak lanjuti secara berkesinambungan.
Faktor
internal:
1. Perempuan tidak tertarik terjun di dunia
politik karena beranggapan bahwa politik merupakan pekerjaan
kotor.
2. Perempuan aktivis di organisasi
kemahasiswaan atau kepemudaan sering terputus dan keluar dari
kesinambungan atau konsistensi perkaderan sehingga jarang yang sampai pada jenjang karier
puncak di parpol.
3. Peran esponsi perempuan yang sering
tidak bisa diabaikan.
4. Ketidak mampuan menyediakan waktu yang
maksimal untuk beraktivitas di parpol.
5. Keterbatasan akses espons untuk
mendukung aktivitas perempuan di parpol. Terlepas dari aturan
perundang-undangan maka intervensi di pengaturan internal parpol akan lebih efektif untuk “memaksa” parpol
memenuhi ketentuan kuota 30% di kepengurusan
parpol. Sejauh ini baru tiga parpol yang mengatur ketentuan kuota 30% di AD/ART Partai. Bahkan
PPP dan PKB telah
mencantumkan ketentuan 30% pengurus harian harus diisi oleh perempuan. Dibutuhkan
komitmen parpol untuk hal-hal sebagai berikut:
·
Kuota,
sebagai terobosan kunci meningkatkan keterwakilan perempuan, dan menjadikan Kuota dari
sekadar strategi pragmatis menjadi platform unggulan.
·
Mengakomodir
agenda politik yang esponsive gender dalam AD/ART partai dan kebijakan strategis
lainnya dan harus dilaksanakan secara konsisten, dan menyeluruh mulai dari level paling
bawah sampai paling atas.
·
Memasukkan
perempuan dalam posisi-posisi kepemimpinan partai, mulai dari tingkat terbawah sampai teratas
dan dalam lembaga/panitia strategis lainnya seperti TimPemenangan Pemilu,
Lembaga Penetapan Caleg, dll.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
a. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KDRT terhadap istri adalah
segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang
berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk
ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain
itu, hubungan antara
suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya
kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan
istri.
Setelah membaca definisi di
atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam
penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun
akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.
b. Gejala-gejala kekerasan terhadap istri
Gejala-gejala istri yang
mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih,
putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala,
mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya,
kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika
anda membaca gejalagejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat
kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu
penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.
c. Bentuk-Bentuk Kekrasan Dalam Rumah
Tangga
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri
tersebut, antara lain:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu
tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang
mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan
kematian.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu
tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor)
yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut,
hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan
psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami
meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga
dapat memicu dendam dihati istri.
3.
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu
perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan
seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan
seksual istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu
tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan
uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi,
sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami
juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami
menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang
mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri
memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.
d. Faktor penyebab terjadinya Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
1)
Masyarakat
membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus
kuat, berani dan tidak toleran.
2)
Laki-laki
dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3)
Persepsi
mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah
keluarga dan bukan masalah sosial.
4)
Pemahaman
yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,kepatuhan
istri pada
suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh
menguasai perempuan.
5)
Budaya
bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6)
Kepribadian
dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7)
Pernah
mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8)
Budaya
bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9)
Melakukan
imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan
kekerasan pada ibunya atau dirinya.
10) Masih rendahnya kesadaran untuk berani
melapor dikarenakan dari masyarakatsendiri yang enggan untuk melaporkan
permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait
yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah
yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar-
benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah
dan maupun kematian, itupun jika diliput
oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani
secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun
lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
11) Masalah budaya, Masyarakat yang
patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas
antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi
laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas
laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan
hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang
digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami
memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
12) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa
aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan
munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu
mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah
Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal
ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
Lingkungan.
Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal
ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan
bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan
melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya
kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri
dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas,
memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan
sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam
masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini
sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga
dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat
memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa
kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi
tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri
dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.
e. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan terhadap istri menimbulkan
berbagai dampak yang merugikan. Diantaranya adalah :
Dampak kekerasan terhadap istri yang
bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan
mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya,
mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca
trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si
istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan
untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan
pekerjaan.
Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan
kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku
yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan
anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila
telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang
lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
f. Solusi untuk mengatasi Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan
dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM
dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan
informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak
serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan
untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap
tidak menyalahkan korban melalui media. Sedangkan untuk
pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog
untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
Bagi suami sebagai pelaku,
bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya
melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani
terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam
pola pikir suami dalam
menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri
yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk
berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani
kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan.
Suami dan istri juga perlu
untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan
sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat
bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain
itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi
sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena
berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh
karena itu, anak
perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus
diawali dari orangtua.
Mengalami KDRT membawa akibat – akibat
negatif yang berkemungkinan mempengaruhi
perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian
utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi
penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa solusi untuk
mencegah KDRT antara lain :
1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT
adalah persoalan sosial bukan individual
dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang
KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi
hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama –
tama dan terutama membutuhkan.
3. Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah
tindakan yang tidak dapat diterima.
4. Mengkampanyekan penentangan terhadap
penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa,
menghibur dan patut menerima penghargaan.
5. Peranan Media massa. Media cetak,
televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat
berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah
tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah
KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa
merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan
dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
6. Mendampingi korban dalam menyelesaikan
persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam
shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan
terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.[4]
Kesehatan Reproduksi[5]
Kesetaraan gender adalah tidak adanya
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dsan alokasi sumber
daya, manfaat atau dalam mengakses pelayanan. Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan keadilan
pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali
adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi
dan diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender
muncul bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab karena adanya nilai-nilai
sosial budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).
Untuk
itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang
tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah
kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat
dihindari, khususnya kematian ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia. Pembahasan dalam topik isu gender ini
dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif
yang disesuaikan dengan sosial, budaya, kondisi dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi
masalah kesehatan reproduksi remaja.
Mengingat
masih tingginya “4 TERLALU” ( Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak,
Terlalu Sering untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian
ibu dan anak kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah, dan tidak terjadi kematian yang
sia-sia. Selain itu masalah ksehatan lainnya penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Dengan upaya pemberian
informasi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan remaja yang pada akhirnya
remaja mempunyai pandangan dan sikap yang baik untuk dapat membantu pencegahan
penularan HIV/AIDS, pencegahan kehamilan tidak diharapkan.
Masalah
kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan
kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh
terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya.
Permasalahan
prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut
:
a. Kehamilan tidak dikehendaki, yang
seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya
b. Kehamilan dan persalinan usia muda yang
menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi
c. Masalah Penyakit Menul;ar Seksual
termasuk infeksi HIV/AIDS
d. Tindak kekerasan seksual, seperti
pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial
Kehamilan
remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2 hingga
4 kali
lebih tinggi dibanding kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun. Pusat
penelitian Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung ( 1997), menunjukkan
bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah melakukan
hubungan seksual.Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun di Jawa barat (1189) dan
di Bali (922) mendapatkan 7% dan 5 % remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku pernah
terlambat haid atau hamil. Di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981
pengunjung klinik KB ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah
melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman. Sekitar 2%
diantaranya berusia kurang dari 22 tahun. Dari data PKBI sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja
yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya
pertama kali pada usia antara 15 – 18 tahun.
Ada
beberapa fakta berikut yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja
bahwa KEK remaja putri 36% (SKIA : 1995), Anemia Remaja Putri 52% (SDKI :
1995), merokok berusia kurang dari 14 tahun 9% dan kurang dari 19 tahun 53% (Susenas : 1995),
Remaja Putri Perokok sebanyak 1% – 8%, peminum minuman keras 6%, pemakai napza 0,3 – 3%
(LDFE-UI). Sekitar 70.000 remaja putri kurang dari 18 tahun terlibat dalam prostitusi industri seks
ditemukan di 23 propinsi, seks sebelum menikah 0,4 – 5% (LDFE-UI : 1999), 2,4 juta aborsi/ tahun,
21% diantaranya terjadi pada remaja, 11% kelahiran terjadi pada usia remaja, 43% perempuan
melahirkan anak pertama dengan usia pernikahan kurang dari 9 bulan.
Informasi
dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja dewasa ini belum memadai, dan
kebanyakan baru ditangani oleh swadaya masyarakat di kota-kota besar.(Depkes :
2001). Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR) di Indonesia cukup tinggi, diantaranya penelitian pada 312 akseptor KB di Jakarta
Utara (1998) angka prevalensi ISR 24,7% dengan infeksi klamidia yang tertinggi yaitu 10,3%, kemudian
trikomoniasis 5,4%, dan gonore 0,3%. Penelitian lain di Surabaya pada 599 ibu hamil didapatkan
infeksi virus herpessimpleks sebesar 9,9%, klamidia 8,2% trikomoniasis 4,8%, gonore 0,8% dan
sifilis 0,7%. Suatu survey di 3 Puskesmas di Surabaya (1999 (pada 195 pasien pengunjung KIA/BP
diperoleh proorsi tertinggi infeksi trikomoniasis 6,2%, kemudian sifilis 4,6% dan klamidia
3,6%. Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat pelaynan dasar masih jauh yang
diharapkan. Upaya tersebut baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa propinsi. Hambatan sosio-budaya
sering mengakibatkan ketidak tuntasan dalam pengobatanya, sehingga menimbulkan
komplikasi ISR yang serius seperti kemandulan, keguguran, dan kecacatan janin
Hingga
bulan Desember 2006 tercatat jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 5230 dan kasus
AIDS sebanyak 8190. Dari penderita AIDS tersebut, 6604 kasus (80,7%)
adalah laki-laki dan 1529 kasus (18,6%) adalah perempuan dan tidak diketahui 61 kasus (0,7%). Dari
segi usia rebanyak pada usia 20 - 29 tahun sebanyak 4487 kasus ( 54,7%), usia 30 – 39 tahun sebanyak
2226 kasus ( 27,2%), usia 40 – 49 sebannyak 647 kasus (7,9%), usia 15 – 19 tahun sebanyak 222
kasus (2,7%),usia 5 – 14 tahun 22 kasus (0,26%), dengan jumlah kasus terbanyak berada di DKI
Jakarta 2565 (31,3%). Dengan faktor risiko penularan yaitu narkoba suntik 50,3%,
heteroseksual 40,3%, homo biseksual 4,2%, transfuse darah 0,1% transmisi perinatal 1,5%, tidak
diketahui 3,6%. Jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan 100 kali lipat dari jumlah
yang dilaporkan.. Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003-2007 menyatakan bahwa pencegahan
dan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Masih banyak isu
gender lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi remaja, diantaranya sunat pada
perempuan, kekerasan terhadap perempuan/dalam rumah tangga, perlecehan seksual/pemerkosaan, perdagangan manusia/perempuan.
Program
ini akan membahas mengenai fakta dan upaya mengatasi ketidaksetaraan berbasis
gender yang terjadi di masyarakat, data yang akan ditunjukkan dalam bidang
pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, mengingat perempuan yang paling terkena dampak dari
ketidaksetaraan ini diantaranya perempuan dinilai kurang bernilai daripada laki-laki
maka data yang akan di sajikan akan lebih banyak mengenai keterlibatan perempuan.
Daftar Pustaka
·
Nasyithotul Jannah. IMPLEMENTASI KONSEP
GENDER DALAM PEMIKIRAN ISLAM ( Sebuah Pendekatan Autokritik ). hal 1. pdf
·
Lena Maryama Mukti. Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan. pdf
·
Kekerasan dalam Rumah Tangga. pdf
·
Sekitar Masalah Gender. Published on K4Health (http://www.k4health.org) (Source URL: http://www.k4health.org/toolkits/indonesia/sekitar-masalah-gender). pdf
(
Sebuah Pendekatan Autokritik ). hal 1.pdf
[5] Sekitar Masalah Gender. Published on K4Health (http://www.k4health.org) (Source URL: http://www.k4health.org/toolkits/indonesia/sekitar-masalah-gender). pdf
No comments:
Post a Comment