HADIS QUDSÎ
Makalah
Makalah Ini Disusun untuk
Memenuhi Syarat Ujian Akhir Semester (UAS)
Pada Matakuliah Ulum
al-Hadis
Ahmad Irfan Fauji
1112034000049

Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
2013
I.
Pendahuluan
Hadis Nabi Muhammad Saw. merupakan sumber
pengambilan hukum islam selain al-Qur’an. hadis dilihat dari sumber beritanya
dan dari siapa hadis itu muncul pada awalnya terdapat 4 macam. Yaitu hadis Qudsî, Marfû’, Mawqûf, dan Maqthû’.
Hadis yang datangnya dari Allah dinamakan hadis Qudsî, Jika sumbernya dari Nabi disebut hadis Marfû’, jika dari sahabat disebut hadis Mawqûf, dan jika datangnya dari tabi’in
disebut hadis Maqthû’. hadis juga mempunyai berbagai macam
tingkatan yang membuat suatu hadis
menjadi hal yang harus untuk dipelajari dalam menggali hukum-hukum dan khazanah
islami dari berbagai sumber kitab-kitab hadis. Sumber utama tidak dapat
menentukan keshahihan suatu hadis, sekalipun itu datangnya dari Allah dan Nabi
karena tinjauan keshahihan tidak hanya dilihat dari sumbernya akan tetapi juga
dilihat dari sifat-sifat para periwayat hadis.
II.
Pengertian Hadis Qudsî
Secara
bahasa (etimologis) kata Al- Qudsî (
القدسي) dinisbatkan kepada kata Al-Quds ( لقدسا ) yang diartikan “suci” ( Al-thaharah wa al-tanzih ), Hadis ini dinamakan suci (Al- Qudsî ) karena di sandarkan kepada
zat yang mahasuci yaitu kepada Allah. sekalipun diartikan suci hanya merupakan
sifat bagi hadis. Sandaran hadis kepada Allah tidak menunjukan kualitas hadis,
tidak semua hadis Qudsî shahih,
tetapi ada juga yang hasan bahkan dha’if, tergantung periwayatannya baik dari
segi sanad ataupun matan.[1]
Menurut istilah (terminologis) hadis Qudsî ialah :
ما اخبرا الله نبيّه بالألهام او بالمنام
فأخبر النبيّ صلعم من ذلك المعني بعبارة
نفسه
“sesuatu yang dikabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya
dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari
ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri”[2]
Dalam
pengertian lain, Hadis Qudsî ialah
hadis yang oleh Nabi Saw. Disandarkan kepada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkan
bahwa itu adalah kalam Allah. Maka Nabi menjadi perawi kalam Allah ini dengan
lafal dari Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis Qudsî, maka dia meriwayatkannya melalui/dari rasulullah dengan
disandarkan kepada Allah.[3]
Dengan demikian, diperoleh suatu pengertian yaitu hadis Qudsî didapatkan/dikabarkan dari Allah melalui mimpi/ilham, lalu Nabi
menafsirkan/menyampaikan makna mimpi atau ilham itu dengan redaksi beliau
sendiri dan menyandarkannya kepada Allah.
III.
Contoh Hadis Qudsî
Hadis Qudsî
biasanya mempunyai ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat yang berbeda
dari hadis-hadis kebanyakan.[4]
Seperti contoh cara meriwayatkan Nabi : “Rasulullah Saw. Bersabda mengenai
apa-apa yang diriwayatkan dari tuhannya”.[5]
Jelas bahwa Nabi menyandarkan apa yang disimpukan makna-makna dari ilham/mimpi
yang diberikan Allah dengan redaksi beliau. beberapa contoh hadis yang menyantumkan
periwayatan yang disandarkan kepada Allah, inilah contoh yang pertama :
عن
أبى هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلّى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربّه عزّ
وجلّ : يد الله ملاْى لا يغيضها نفقة , سحاء الليل و النهار. [ أخرجه البخارى]
“Dari abu
hurairah r.a. dari Rasulullah Saw. Mengenai apa-apa yang diriwayatkan dari
tuhannya ‘azza wa jalla : “tangan Allah
itu penuh, tidak dikurangi oleh nafkah, baik di waktu malam ataupun siang
hari...”
Contoh yang kedua :
عن ابى هريرة رضي الله
عنه أنّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال : يقول الله تعالى : أنا عند ظنّ
عيدى بي, و أنا معه إذا ذكر نى, فإن ذكرنى فى نفسه ذكرته فى نفسي, و إن ذكرنى فى
ملأ ذكرته فى ملأ خيرمنه [ اخرجه البخارى و المسلم ]
“Dari Abu hurairah r.a.
bahwasanya rasulullah Saw. Bersabda : Allah
Ta’ala berfirman (hadis qudsi) :
aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku.
Bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka aku pun menyebutnya di dalam
diriku. Dan bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, maka akupun
menyebutnya di kalangan orang banyak yanag lebih baik dari itu...”[6]
IV.
Perbedaan Hadis Qudsî
dengan Al-Qur’an
Ada beberapa perbedaan antara Qur’an
dengan hadis Qudsî, dan yang terpenting ialah :
1.
Semua
lafadz (ayat-ayat) Al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawattir, sedang hadis Qudsî tidak demikian halnya.
2.
Ketentuan hukum yang berlaku bagi al-Qur’an, tidak
berlaku bagi al-hadis, seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang sedang
berhadas kecil, dan pantangan membacanya bagi orang yang berhadas besar. Sedang
untuk hadis Qudsî tidak ada pantangannya.
3.
Setiap huruf yang dibaca dari al-Qur’an memberikan
hak pahala kepada pembacanya 10 kebaikan.
4.
Meriwayatkan al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya
saja atau mengganti lafadz sinonimnya. Berlainan dengan al-hadis.[7]
5.
Al-Qur’anul
karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan : Allah ta’ala telah
berfirman. Sedang hadis Qudsî –seperti penjelasan diatas – terkadang
diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah; sehingga nisbah hadis Qudsî kepada
Allah itu merupakan nisbah yang dibuatkan.[8]
V.
Kitab-kitab yang berisi hadis Qudsî
Kumpulan hadis-hadis Qudsî yang ditulis secara
tersendiri dan telah dicetak adalah sebagai berikut :
1.
Kitab Misykat al-anwâr fîma ruwiya ’an Allah subhanah min
al-Akbar. Karya Muhyiddin Ibn al-Arabi (w. 638). Kitab ini terdiri dari 101 hadis
Qudsî, di cetak pada tahun
1346 H (1927 M) di Halab.
2.
Kitab wâmi’ (Al-jami’ al-kabir) dan al-jami’
al-shogîr karya Jalaluddin al-Sûyuthi (w. 911), ciri khusus pada hadis Qudsî yang terdapat di dalam
kitab tersebut adalah disusun secara alfabetis. Hadis-hadis Qudsî berada dalam kelompok
huruf qaf karena ia dimulai dengan
redaksi “qâla
Allah azza wa jalla”, atau semacam itu. Dalam jami’ al-shogîr itu terdapat 66 hadis, sedang dalam jami’ al-jawâmi’
ada 133
hadis.
3.
Kitab Al-hadits al-qudsîyah al-arba’iniyah karya al-Mulla Ali
al-Qori (w. 1016), kitab ini sebagaimana namanya terdapat 40 hadis Qudsî yang dipilih oleh
pengarangnya. Kitab tersebut telah dicetak di kota al-istanah, tahun 1316 H
(1898 M) kemudian di kota halab tahun 1436 H (1927 M).
4.
Kitab al-ithafat as-saniyyah bî al-hadis al-Qudsîyyah karya abdul rauf
al-Munawi (w. 1031 H) yang berisi 272 hadis, tersusun secara alfabetis, dan
telah di cetak di kairo beberapa kali.
5.
Kitab al-ithafat as-saniyyah bî al-hadis al-Qudsîyyah karya Muhammad Mahmud
Al-tharabzuni al-madani, ahli hukum bermazhab hanafi (w.1200 H/1795 M).[9]
VI.
Penutup
Berdasarkan uraian diatas, kami dapat menyimpulakan bahwa hadis yang
disandarkan kepada Allah yang memberikan ilham tidak selalu menjadi hadis yang
mempunyai derajat yang tinggi, dikarenakan para periwayat hadis yang meriwayatkan hadis tersebut mungkin
mempunyai beberapa kekurangan yang menyebabkan hadis itu menjadi turun
derajatnya ke dalam kategori hadis hasan , bahkan juga ada yang dha’if.
Dibutuhkan peran penelitian dan penyeleksian yang ketat untuk mengetahui masuk
dalam kategori apa hadis yang sedang dibahas.
Demikianlah makalah yang
saya susun ini, dengan mengutip dari beberapa buku yang saya baca dan hasil
analisis saya sebagai penyusun. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
shihab, M. Quraish. 40 hadis Qudsî pilihan . Jakarta . lentera hati . 2007.
al-Qattân, Mannâ
. studi
ilmu-ilmu Qur’an . Bogor . Pustaka
Litera AntarNusa. 2011.
Khon, Abdul majid. ulumul hadis, Jakarta. Amzah. 2010.
Drs. Fathur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadits. Bandung . Al Ma’arif .2009
[1] Dr. H. Abdul majid khon M.Ag., ulumul
hadis, (Jakarta, Amzah,2010) h. 247
[2] Drs. Fathur Rahman, ikhtisar
mushthalahul hadits,( Bandung, Al-Ma’arif,2009) h.69
[4] Drs. Fathur Rahman, ikhtisar
mushthalahul hadits,( Bandung, Al-Ma’arif,2009) h.69
[6] Ibid. h.25-26
[7] Drs. Fathur Rahman, ikhtisar
mushthalahul hadits,( Bandung, Al-Ma’arif,2009) h.70-71
[8] [8]
Mannâ Khalîl al-Qattân, studi ilmu-ilmu Qur’an,
(Bogor, Pustaka Litera AntarNusa, 2011) h.26
[9] Prof. Dr. M. Quraish shihab, 40 hadis Qudsî pilihan, (Jakarta, lentera hati, 2007) cetakan
ke-3. h.12
No comments:
Post a Comment