Biografi Ibnu Hazm (384-456 H/994-1064 M)
Nama lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad
Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn Ghâlib ibn Khalaf ibn Sa’d ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di
dalam literatur kitab-kitab klasik ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm.
Dilahirkan di Kordoba, Spanyol pada akhir Ramadlān 384 H/ 7 Nopember 994
M. Ibn Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya
adalah seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Mansûr dan puteranya,
al-Mudzaffar, khalifah Bani Umayyah di Andalusia.
Secara
garis keturunan, keluarga Hazm sebenarnya berasal dari Persia. Namun loyalitas
utamanya diberikan kepada Bani Umayah. Sama seperti ayahnya, beberapa kali ia
diserahi jabatan menteri oleh penguasa Andalusia. Dengan demikian selain
sebagai seorang ulama, Ibnu Hazm juga memiliki kepiawaian dalam berpolitik. Tak
jarang pula karena faktor politik ini ia beberapa kali terlibat revolusi
berdarah karena membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi
khalifah. Karena sikap politiknya ini juga ia beberapa kali dipenjara dan
bahkan pernah diasingkan dari Cordoba ke Sevilla. Di kemudian hari setelah ia
menyadari bahwa keterlibatannya di bidang politik praktis hanya akan
menghasilkan kenihilan, ia merubah haluan dan mengabdikan hidupnya hanya untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.[1]
Pemikiran
Kalam Ibnu Hazm al Andalusy
1. Orang dipandang kafir
Perbincangan tentang orang yang di
pandang kafir atau keluar dari islam termasuk isu yang hangat pada masa Ibnu
Hazm. Pertentangan mengenai hal itu sangat tajam. Ada golongan yang berpendapat
bahwa orang yang berbeda dari mereka dalam salah satu persoalan agama atau
masalah ijtihad dalam hukum maka di anggap kafir. Digolongan ahli sunnah
sendiri terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengkafirkan golongan lain yang
tidak sejalan dengan mereka dari segi aqidah.ada yang mengkafirkan golongan
orang yang meninggalkan sholat. Ada juga yang tidak mengkafirkan orang semacam
itu selama mereka mengaku sholat sebagai kewajiban. Ada pula yang tidak
mengkafirkan golongan lain yang mempunyai pendapat yang berbeda, baik dari segi
aqidah maupun segi lain, kecuali ada ijma’ umat tentang itu.
Pendirian ibnu hazm agaknya sejalan
pendapat golongan yang disebut terakhir. Menurut pendapatnya, seorang tidak
dapat dikafirkan karna hanya karena hanya ia menakwilkan
al-Qur’an. Mujtahid yang mengeluarkan fatwa juga tidak dapat dikafirkan. Orang
yang dikafirkan ialah orang yang disepakati oleh umat tentang kekafirannya,
seperti menolak sesuatu yang diyakini secara ijma’ berasal dari Allah.
Selanjutnya, orang yang fasiq tidak dapat diperangi seperti halnya orang kafir.
Pendapatnya itu didasarkan antara lain pada hadis Nabi yang menyatakan bahwa
barangsiapa mengucapkan mengucapkan la ilaha ila Allah maka ia termasuk
penghuni surga.
Pendapat Ibnu Hazm tentang aliran lain seperti diatas
agak toleran, namun sesungguhnya ia juga adakalanya menggunakan ungkapan yang
keras ketika membicarakan golongan lain, seperti qatalahum Allah terhadap
aliran Qadariyah. Ia sangat tajam ketika mengeritik orang-orang terkemuka dan
dihormati oleh banyak orang seperti al-Asy’ary dan Abu Hanifah, juga ketika mengeritik
orang-orang non muslim, yakni Kristen dan Yahudi. Kritik yang demikian itu
membuat banyak pihak yang kurang simpatik terhadapnya. Jadi, ibnu hazm
terpengaruh pula oleh tradisi pemikiran islam klasik yang menurut Mohammed
Arkoun bersifat apologetis dan polemis. Dengan demikian ia tampil pula dengan
ciri zamannya.
2.
Sekitar
sifat-sifat Tuhan
Menurut Ibnu Hazm, Tuhan tidak mempunyai sifat sebab ia
tidak menyatakan dalam firman-Nya bahwa ia mempunyai sifat. Juga tidak
dinyatakan dalam Hadits Nabi SAW. Ia beralasan dengan firman Allah: Subhana
Rabbika Rabbil Izzati ‘amma yashifun, artinya: Maha suci Tuhanmu yang mempunyai
keperkasaan dari apa yang mereka katakan (Q.S 37:180).
Bagi Ibnu Hazm, ungkapan seperti al-sami’ dan al-bashir
merupakan nama bagi Tuhan (isim’alam) yang diambil dari kata sifat. Kita dapat
memberi nama bagi Tuhan sebagaimana yang Ia katakan untuk diri Nya, namun tidak
dapat menamaiNya selain dari apa yang Ia
sebutkan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan mempunyai pendengaran
(alsama’) atau pengelihatan (al-bashar) sebab Tuhan tidak menyatakan demikian,
Tuhan berbeda apa yang ada didunia ini. Lain halnya dengan ilmu. Tuhan
menyatakan : Anzalahu bi’ilmihi. Artinya: Allah menurunkan al-Qur’an dengan
ilmu-Nya. Hal tersebut mengandung arti Tuhan mempunyai ilmu. Jika kita
mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu maka itu maksudnya bahwa Tuhan
mempunyai pengetahuan, tak ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya ini tidak
mesti mengandung arti bahwa Ia mempunyai Ilmu yang lain dari diri-Nya.
Selanjutnya menurut Ibnu Hazm, kita dapat mengatakan
bahwa Tuhan mempunyai satu tangan, dua tangan, dan banyak tangan. Kita dapat
juga mengatakan bahwa Tuhan mempunyai satu mata dan banyak mata sebab Tuhan
tidak mengatakan demikian. Ungkapan-ungkapan demikian itu tidak menunjuk kepada
sesuatu kecuali Allah.
Sejumlah pertanyaan yang demikian oleh Ibnu hazm
sebagimana yang disebutkan diatas sejalan dengan masih makna Zhahir dari
beberapa ayat al-Qur’an. Ia kelihatannya masih berpegang teguh pada
prinsip-prinsip Zahiriyat. Akan tetapi, Ibnu Hazm juga menghina dari faham
tajsim sehingga ia mengatakan bahwa uangkapan-ungkapan itu membuat dia agak
bergeser dari makna zhohir.
Menurut keterangan Farrukh, ungkapan-ungkapan demikian
itu bagi Ibnu Hazm tidak menuju kepada tangan dan mata yang tertentu melainkan
di pergunakan sebagai metafor bebas (majaz) yang hanya menunjukan kepada Tuhan
semata. Sedangkan menurut penelitian Ahmad Nashir al-Hamd, Ibnu Hazm tidak
mengambil makna zhohir dari nash dan mempergunakan ta’wil ketika ia memahami
ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan, antara lain, tentang al-saq yang secara
harfiah berarti betis (QS.68:42) dan al-istiwa
yang dari segi leksikal berarti naik atau berada diatas (QS,7:54),
“Artinya, dalam bebrapa hal ternyata Ibnu Hazm tidak menerapkan sepenuhnya
prinsip-prinsip Zhahiriyyat.
3.
Penolakan terhadap
Jauhar
Ibnu Hazm menolak pandangan filosof klasik maupun yang
datang kemudian yang mengatakan bahwa selain dari jism dan ‘ardh ada yang
disebut jauhar, yaitu satu dari segi zat, menerima hal-hal yang berlawanan,
berdiri sendiri, tidak bergerak, tidak mengambil tempat, tidak mempunyai
ranjang, tidak mempunyai lebar, tidak mempunyai kedalaman, dan tidak
terbagi-bagi. Bagi Ibnu Hazm, yang ada hanya jism dan ‘ardh. Orang nashrani dan
sebagian filosof yang menyatakan bahwa
sesungguhnya Tuhan itu Jauhar jelas keliru. Ibnu Hazm mengemukakan diskusi yang
cukup panjang tentang ini, namun salah satu prinsip yang diperpegangi ialah
menolak sesuatu yang sifatnya rekaan belaka.
4.
Kebangkitan
Jasmani
Ibnu Hazm menyakini adanya kebangkitan jasmani, sesuatu
yang ditolak oleh sejumlah filosof. Menurut pendapatnya, yang dimaksud dengan
mati ialah berpisahnya jasad dan jiwa, sedang hidup adalah bersatunya jiwa dan
jasad. Ini ucapan yang jelas, tidak memungkinkan ta’wil selain dari itu
baginya, kebangkitan di akhirat mesti terdiri dari unsur rohani dan jasmani
sebab kedua hal itu menyatu sebelum terjadi kematian.
Pendapat Ibnu hazm itu didasarkan pada sejumlah ayat
al-Qur’an, diantaranya: “dan bahwasanya Allah membangkitkan seua orang di alam
kubur”. (QS,22:7) “ kamu tadirnya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian
kamu dimatikan dan dihidupkan kembali, kemudian kepadaNya lah kamu
dikembalikan”. (QS,2:28).
Orang yang menolak kebangkitan jasmani dianggap oleh Ibnu
Hazm merusak ijma’ umat sehingga orang tersebut dapat dipandang kafir.
Perbincangan mengenai hal tersebut menjadi bahan polemik antara al-Ghazali dan
Ibnu Rusyd.
5.
Azab Kubur
Ibnu hazm meyakini adanya azab kubur, keyakinan itu
didasarkan pada ayat al-Qur’an yang artinya: Kepada mereka ditampakkan neraka
pada waktu pagi dan petang (yakni sebelum hari kebangkitan) dan pada hari terjadinya kiamat. ( dikatakan
kepada malaikat): masuklah fir’aun dan kaumnya kedalam azab yang sangat
keras.(QS Ghafir:46). Menurut ayat ini, arwah keluarga Fir’aun disiksa sebelum
hari kiamat, yakni ketika jasad masih berada dikubur. Sebaliknya, orang yang
mati dijalan Allah akan merasakan kesenangan. Ia berdasar pada ayat yang
artinya: janganlah kamu mengira bahwa orang yang gugur dijalan Allah itu mati,
bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat reski. (QS Ali
Imran:169).
Menurutnya, kita menyaksikan bahwa jasad orang yang mati
itu berbeda dari keadaan yang disebutkan itu, maka yang dimaksud oleh ayat itu
adalah khusus bagi arwah. Yang merasakan kesenangan ataupun siksaan adalah jiwa
setelah berpisah dengan jasad. Ibnu Hazm menyatakan pula bahwa terdapat banyak
hadis yang menyatakan tentang adanya siksa kubur.
6.
Pengertian Esa
bagi Allah
Meskipun Ibnu Hazm berpedoman pada makna zhahir dari
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis, ia juga berusaha untuk menjelaskan beberapa
masalah yang berkaitan dengan aqidah dengan pendekatan filsafat. Ia misalnya
menyatakan bahwa Allah itu Esa bukan sebagai bilangan. Alasannya yakni
karakteristik setiap bilangan itu ada bilangan lain yang serupa dengannya dan ada
pula yang tidak serupa dengan nya, contohnya, satu ditambah dengan satu sama
dengan dua; satu tidak sama dengan dua.
No comments:
Post a Comment