Friday, 11 November 2016

Biografi Ibnu Hazm dan pemikirannya, skripsi tokoh

   Biografi Ibnu Hazm (384-456 H/994-1064 M)
Nama lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn Ghâlib ibn Khalaf ibn Sa’d ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab klasik ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Dilahirkan di Kordoba, Spanyol  pada akhir Ramadlān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya adalah seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Mansûr dan puteranya, al-Mudzaffar, khalifah Bani Umayyah di Andalusia.
Secara garis keturunan, keluarga Hazm sebenarnya berasal dari Persia. Namun loyalitas utamanya diberikan kepada Bani Umayah. Sama seperti ayahnya, beberapa kali ia diserahi jabatan menteri oleh penguasa Andalusia. Dengan demikian selain sebagai seorang ulama, Ibnu Hazm juga memiliki kepiawaian dalam berpolitik. Tak jarang pula karena faktor politik ini ia beberapa kali terlibat revolusi berdarah karena membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi khalifah. Karena sikap politiknya ini juga ia beberapa kali dipenjara dan bahkan pernah diasingkan dari Cordoba ke Sevilla. Di kemudian hari setelah ia menyadari bahwa keterlibatannya di bidang politik praktis hanya akan menghasilkan kenihilan, ia merubah haluan dan mengabdikan hidupnya hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan.[1]

Pemikiran Kalam Ibnu Hazm al Andalusy
1.      Orang dipandang kafir
Perbincangan tentang orang yang di pandang kafir atau keluar dari islam termasuk isu yang hangat pada masa Ibnu Hazm. Pertentangan mengenai hal itu sangat tajam. Ada golongan yang berpendapat bahwa orang yang berbeda dari mereka dalam salah satu persoalan agama atau masalah ijtihad dalam hukum maka di anggap kafir. Digolongan ahli sunnah sendiri terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengkafirkan golongan lain yang tidak sejalan dengan mereka dari segi aqidah.ada yang mengkafirkan golongan orang yang meninggalkan sholat. Ada juga yang tidak mengkafirkan orang semacam itu selama mereka mengaku sholat sebagai kewajiban. Ada pula yang tidak mengkafirkan golongan lain yang mempunyai pendapat yang berbeda, baik dari segi aqidah maupun segi lain, kecuali ada ijma’ umat tentang itu.
Pendirian ibnu hazm agaknya sejalan pendapat golongan yang disebut terakhir. Menurut pendapatnya, seorang tidak dapat dikafirkan karna hanya karena hanya ia menakwilkan al-Qur’an. Mujtahid yang mengeluarkan fatwa juga tidak dapat dikafirkan. Orang yang dikafirkan ialah orang yang disepakati oleh umat tentang kekafirannya, seperti menolak sesuatu yang diyakini secara ijma’ berasal dari Allah. Selanjutnya, orang yang fasiq tidak dapat diperangi seperti halnya orang kafir. Pendapatnya itu didasarkan antara lain pada hadis Nabi yang menyatakan bahwa barangsiapa mengucapkan mengucapkan la ilaha ila Allah maka ia termasuk penghuni surga.
Pendapat Ibnu Hazm tentang aliran lain seperti diatas agak toleran, namun sesungguhnya ia juga adakalanya menggunakan ungkapan yang keras ketika membicarakan golongan lain, seperti qatalahum Allah terhadap aliran Qadariyah. Ia sangat tajam ketika mengeritik orang-orang terkemuka dan dihormati oleh banyak orang seperti al-Asy’ary dan Abu Hanifah, juga ketika mengeritik orang-orang non muslim, yakni Kristen dan Yahudi. Kritik yang demikian itu membuat banyak pihak yang kurang simpatik terhadapnya. Jadi, ibnu hazm terpengaruh pula oleh tradisi pemikiran islam klasik yang menurut Mohammed Arkoun bersifat apologetis dan polemis. Dengan demikian ia tampil pula dengan ciri zamannya.
2.      Sekitar sifat-sifat Tuhan
Menurut Ibnu Hazm, Tuhan tidak mempunyai sifat sebab ia tidak menyatakan dalam firman-Nya bahwa ia mempunyai sifat. Juga tidak dinyatakan dalam Hadits Nabi SAW. Ia beralasan dengan firman Allah: Subhana Rabbika Rabbil Izzati ‘amma yashifun, artinya: Maha suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan (Q.S 37:180).
Bagi Ibnu Hazm, ungkapan seperti al-sami’ dan al-bashir merupakan nama bagi Tuhan (isim’alam) yang diambil dari kata sifat. Kita dapat memberi nama bagi Tuhan sebagaimana yang Ia katakan untuk diri Nya, namun tidak dapat menamaiNya  selain dari apa yang Ia sebutkan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan mempunyai pendengaran (alsama’) atau pengelihatan (al-bashar) sebab Tuhan tidak menyatakan demikian, Tuhan berbeda apa yang ada didunia ini. Lain halnya dengan ilmu. Tuhan menyatakan : Anzalahu bi’ilmihi. Artinya: Allah menurunkan al-Qur’an dengan ilmu-Nya. Hal tersebut mengandung arti Tuhan mempunyai ilmu. Jika kita mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu maka itu maksudnya bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan, tak ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya ini tidak mesti mengandung arti bahwa Ia mempunyai Ilmu yang lain dari diri-Nya.
Selanjutnya menurut Ibnu Hazm, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan mempunyai satu tangan, dua tangan, dan banyak tangan. Kita dapat juga mengatakan bahwa Tuhan mempunyai satu mata dan banyak mata sebab Tuhan tidak mengatakan demikian. Ungkapan-ungkapan demikian itu tidak menunjuk kepada sesuatu kecuali Allah.
Sejumlah pertanyaan yang demikian oleh Ibnu hazm sebagimana yang disebutkan diatas sejalan dengan masih makna Zhahir dari beberapa ayat al-Qur’an. Ia kelihatannya masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip Zahiriyat. Akan tetapi, Ibnu Hazm juga menghina dari faham tajsim sehingga ia mengatakan bahwa uangkapan-ungkapan itu membuat dia agak bergeser dari makna zhohir.
Menurut keterangan Farrukh, ungkapan-ungkapan demikian itu bagi Ibnu Hazm tidak menuju kepada tangan dan mata yang tertentu melainkan di pergunakan sebagai metafor bebas (majaz) yang hanya menunjukan kepada Tuhan semata. Sedangkan menurut penelitian Ahmad Nashir al-Hamd, Ibnu Hazm tidak mengambil makna zhohir dari nash dan mempergunakan ta’wil ketika ia memahami ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan, antara lain, tentang al-saq yang secara harfiah berarti betis (QS.68:42) dan al-istiwa  yang dari segi leksikal berarti naik atau berada diatas (QS,7:54), “Artinya, dalam bebrapa hal ternyata Ibnu Hazm tidak menerapkan sepenuhnya prinsip-prinsip Zhahiriyyat.
3.      Penolakan terhadap Jauhar
Ibnu Hazm menolak pandangan filosof klasik maupun yang datang kemudian yang mengatakan bahwa selain dari jism dan ‘ardh ada yang disebut jauhar, yaitu satu dari segi zat, menerima hal-hal yang berlawanan, berdiri sendiri, tidak bergerak, tidak mengambil tempat, tidak mempunyai ranjang, tidak mempunyai lebar, tidak mempunyai kedalaman, dan tidak terbagi-bagi. Bagi Ibnu Hazm, yang ada hanya jism dan ‘ardh. Orang nashrani dan sebagian  filosof yang menyatakan bahwa sesungguhnya Tuhan itu Jauhar jelas keliru. Ibnu Hazm mengemukakan diskusi yang cukup panjang tentang ini, namun salah satu prinsip yang diperpegangi ialah menolak sesuatu yang sifatnya rekaan belaka.
4.      Kebangkitan Jasmani
Ibnu Hazm menyakini adanya kebangkitan jasmani, sesuatu yang ditolak oleh sejumlah filosof. Menurut pendapatnya, yang dimaksud dengan mati ialah berpisahnya jasad dan jiwa, sedang hidup adalah bersatunya jiwa dan jasad. Ini ucapan yang jelas, tidak memungkinkan ta’wil selain dari itu baginya, kebangkitan di akhirat mesti terdiri dari unsur rohani dan jasmani sebab kedua hal itu menyatu sebelum terjadi kematian.
Pendapat Ibnu hazm itu didasarkan pada sejumlah ayat al-Qur’an, diantaranya: “dan bahwasanya Allah membangkitkan seua orang di alam kubur”. (QS,22:7) “ kamu tadirnya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan kembali, kemudian kepadaNya lah kamu dikembalikan”. (QS,2:28).
Orang yang menolak kebangkitan jasmani dianggap oleh Ibnu Hazm merusak ijma’ umat sehingga orang tersebut dapat dipandang kafir. Perbincangan mengenai hal tersebut menjadi bahan polemik antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
5.      Azab Kubur
Ibnu hazm meyakini adanya azab kubur, keyakinan itu didasarkan pada ayat al-Qur’an yang artinya: Kepada mereka ditampakkan neraka pada waktu pagi dan petang (yakni sebelum hari kebangkitan)  dan pada hari terjadinya kiamat. ( dikatakan kepada malaikat): masuklah fir’aun dan kaumnya kedalam azab yang sangat keras.(QS Ghafir:46). Menurut ayat ini, arwah keluarga Fir’aun disiksa sebelum hari kiamat, yakni ketika jasad masih berada dikubur. Sebaliknya, orang yang mati dijalan Allah akan merasakan kesenangan. Ia berdasar pada ayat yang artinya: janganlah kamu mengira bahwa orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat reski. (QS Ali Imran:169).
Menurutnya, kita menyaksikan bahwa jasad orang yang mati itu berbeda dari keadaan yang disebutkan itu, maka yang dimaksud oleh ayat itu adalah khusus bagi arwah. Yang merasakan kesenangan ataupun siksaan adalah jiwa setelah berpisah dengan jasad. Ibnu Hazm menyatakan pula bahwa terdapat banyak hadis yang menyatakan tentang adanya siksa kubur.
6.      Pengertian Esa bagi Allah
Meskipun Ibnu Hazm berpedoman pada makna zhahir dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis, ia juga berusaha untuk menjelaskan beberapa masalah yang berkaitan dengan aqidah dengan pendekatan filsafat. Ia misalnya menyatakan bahwa Allah itu Esa bukan sebagai bilangan. Alasannya yakni karakteristik setiap bilangan itu ada bilangan lain yang serupa dengannya dan ada pula yang tidak serupa dengan nya, contohnya, satu ditambah dengan satu sama dengan dua; satu tidak sama dengan dua.




[1] http://dholanan.blogspot.co.id/2014/04/ibnu-hazm-dan-pokok-pokok-pemikiran.html

No comments:

Post a Comment