BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam. Umat islam percaya bahwa
Al- Qur’an merupakan puncak dan penutup Wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW, melalui perantara Malaikat Jibril. Dan sebagai Wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW, sebagaimana
terdapat dalam surat Al-Alaq ayat 1-5. Al-Qur’an
merupakan salah satu kitab yang mempunyai sejarah panjang yang
dimiliki oleh
umat Islam
dan
sampai sekarang masih
terjaga keasliannya.
Al-Qur’an dalam pengumpulannya mempunyai dua
tahap yaitu tahap petama
pengumpulan Al-Qur’an dalam arti menghafal Al-Qur’an pada
masa Nabi, tahap kedua
dalam arti penulisan Al-Qur’an, hal ini dinamakan penghafalan dan pembukuan
Al-Qur’an.
Setelah Wafatnya Nabi Muhammad SAW, proses
pengumpulan Al-Qur’an
terus dilaksanakan oleh para khalifah sehingga terbentuklah Mushaf
Usmani seperti yang
ada
pada saat
sekarang ini.
Penyebaran islam bertambah luas
membuat para
Qurra pun tersebar dan memiliki latar bealakang yang
berbeda sehingga menimbulkan perbedaan dalam
membaca Al-Qur’an. Hal ini menimbullkan
kecemasan dikalangan sahabat. Sehingga Khalifah Usman bin Affan memerintahkan keempat orang quraisy yaitu, Zaid bin
Tsabit, Abdullah
bin
Az-zubair, Said bin Al-Ash, Abdulrahman bin Al-Harisi
bin Hisyam.
Keempat orang
tersebutlah yang ditugas untuk menyalin dan memperbanyak Al-Qur’an dengan satu pedoman dalam cara-cara membacanya, hal ini telah di sepakati oleh para sahabat.
Dan Al-Qur’an juga memiliki multi fungsi dan selalu mempunyai hubungan
yang pasti dalam fenomena-fenomena
kehidupan, hal
ini diantaranya mukjizat,
akidah, ibadah, mu’amalah,
akhlak, hukum, sejarah,
dan dasar-dasar
sains.
Serta beberapa
kaitan al-Qur’an dengan kitab suci lainnya, dan beberpa
kelebihan al-Qur’an
dari beberapa kitab
suci lainnya.
BAB
II
Pembahasan
A. Cakupan Makna al-Qur’an
Kata al-Qur’an secara
bahasa
diambil dari kata:
قرأ – يقرأ – قرأة - قرأنا yang berarti sesuatu yang dibaca. Arti
ini mempunyai makna anjuran kepada umat Islam untuk membaca al-Qur’an. Al-Qur’an juga bentuk masdar dari
القرأة yang
berarti menghimpun dan mengumpulkan. Dikatakan demikian karena al-Qur’an
menghimpun beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun rapi dan
benar.
Menurut M. Quraish Shihab, secara harfiyah al-Qur’an berarti
bacaan yang
sempurna. Ia merupakan satu nama pilihan Allah yang
tepat, karena tiada suatu bacaanpun sejak manusia
mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi,
bacaan
sempurna lagi mulia.
Sedangkan dalam pengertian secara bahasa Ibnu Katsir dari mazhab Syafi’i,
mengatakan bahwa lafal al-Qur’an adalah isim jamid yang
serupa dengan lafal khusus yang
diberikan terhadap kitab-kitab sebelumnya, layaknya taurat, injil dan
zabur. Berbeda dengannya ulama yang berpendapat bahwa
al-Qur’an itu isim
mustaq,
dibagi menjadi dua golongan:
1. Golongan yang berpendapat bahwa huruf nun adalah huruf asli sehingga isim tersebut
dikategorikan isim
mustaq dari materi: قرن Qa-ra-na
2. Golongan yang berpendapat bahwa huruf alif dalam kata al-Qur’an adalah huruf asli. Dan didalamnya juga
terdapat dua pendapat dalam menanggapi
hal
itu, pertama, yang diwakili oleh al-Lihyanin berpendapat lafal al-Qur’an adalah dalam bentuk masdar mengikuti wajan al-Ghufran, dan ia merupakan mustaq dari kata
qara’a yang mempunyai
arti sama dengan talā. Sementara
yang Kedua,
diwakili al-Zujaj, yang berpendapat bahwa lafal al-Qur’an
disitu diidentikkan dengan wazan Fu’lan,
yang merupakan mustaq dari lafal
al-Qar’u yang mempunyai arti al-Jam’u.
Sementara secara terminologi al-Qur’an diartikan sebagai kalam Allah
swt, yang diturunkan kepada nabi muhammad
saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawattir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat jibril dan
membaca al-Qur’an dinilai
ibadah kepada Allah swt.
Pengertian menurut
para ahli ikut memainkan andilnya, ali al-shabuni menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah swt yang tiada tandingannya, diturunkan
kepada nabi muhammad saw penutup para nabi dan rasul
dengan
perantaraan malaikat jibril as, ditulis pada mushaf-mushaf kemudian disampaikan kepada kita secara
mutawattir, membaca dan mempelajari al-Qur’an dimulai
dengan surat al-fatihah serta ditutup dengan surat al-nas. Subhi al-Salih
menjelaskan al-Qur’an adalah
kalam Allah swt merupakan
mukjizat yang diturunkan kepada nabi muhammad
saw ditulis dalam mushaf
dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Sementara Syeikh Muhammad
Khudari Beik menjelaskan al-Qur’an adalah firman Allah yang
berbahasa arab diturunkan kepada
nabi muhammad saw untuk dipahami isinya, disampaikan kepada kita
secara mutawatir ditulis dengan mushaf
dimulai surat al-fatihah dan diakhiri
dengan surat al-nas.
Sementara redefinisi ulang kata al-Qur’an ditawarkan oleh Al-Jabiri melalui kitab Madkhal-nya. Secara garis besar pembahasan seputar
asal kata al-Qur’an dibagi dua. Pertama adalah kelompok yang berpendapat kata al-Qur’an berasal dari
kata qarana, tanpa hamzah. Kedua
kelompok yang berpendapat bahwa kata al-Qur’an berasal dari kata qur’u yang memiliki arti al jam’u (mengumpulkan) dan qara’a yang memiliki arti membaca (talâ). Kata al-Qur’an merupakan masdar dari kata qara’a, mengikuti wajan fu’lan.
Masdar Qur’an boleh juga dikatakan qira’at yang juga berarti bacaan. Menurut al-Jabiri hal ini dianggap sesuai dengan ayat yang pertama kali turun.
ٱقۡرَأۡ
بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan
Al-Jabiri menilai penting untuk
dilakukan kembali penyegaran terhadap definisi al-Qur’an, meskipun telah banyak dirumuskan oleh ulama-ulama klasik.
Dalam mendefinisikan al-Qur’an, Al-Jabiri mengungkapkan poin-poin definisi al-Qur’an yang telah ada sebelumnya, seperti: al-Qur’an adalah hal yang dibaca kaum muslim dan ditulis dalam mushaf, al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan
kepada
nabi Muhammad melalui malaikat jibri, tertulis
dalam mushaf , diawali
dengan surat al-fatihah dan di-akhiri dengan
surat al-nas, dan al-Qur’an adalah
firman dan wahyu Allah yang diturunkan kepada penutup para nabi, nabi
Muhammad, tertulis dalam mushaf, yang dinukil secara mutawattir, yang melemahkan bagi yang menantangnya
karena
ke-mukjizatannya. Bagi Al-Jabiri berbagai definisi tersebut membuat tujuan-tujuan yang
bersifat ideologis atau
dogmatis.
Al-Jabiri mencoba mendefinisikan ulang al-Qur’an dengan merujuk pada
al-Qur’an sendiri,
karena al-Qur’an menurutnya saling menafsiri satu
sama lain.
1)
Q.S. al-Syu’ara
[26]: 192-196
وَإِنَّهُۥ لَتَنزِيلُ
رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٩٢ نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ
١٩٣ عَلَىٰ
قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ ١٩٤ بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ
مُّبِينٖ ١٩٥ وَإِنَّهُۥ
لَفِي زُبُرِ ٱلۡأَوَّلِينَ ١٩٦
Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril). ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan. dengan bahasa Arab yang jelas.
Dan sesungguhnya Al Quran
itu benar-benar (tersebut)
dalam
Kitab- kitab orang yang dahulu.
2)
Qs. Al-Isrā [17]: 106
وَقُرۡءَانٗا
فَرَقۡنَٰهُ لِتَقۡرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكۡثٖ وَنَزَّلۡنَٰهُ تَنزِيلٗا
١٠٦
Dan Al Quran itu
telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
3)
Qs. Āli Imrān [3]: 3-4
نَزَّلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ
بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَأَنزَلَ ٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ
٣ مِن قَبۡلُ هُدٗى
لِّلنَّاسِ وَأَنزَلَ ٱلۡفُرۡقَانَۗ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ
لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٞ ذُو ٱنتِقَامٍ ٤
Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil. sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk
bagi manusia,
dan Dia menurunkan Al Furqaan.
Sesungguhnya orang-orang yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang
berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai
balasan (siksa).
Ayat-ayat diatas memberikan penjelasan al-Qur’an secara holistik tentang
dirinya sendiri. Berdasarkan ayat-ayat, tersebut, al-Jabiri mendefinisikan al-Qur’an
melalui metode self referensial sebagai zahiriyah
qur’ani, yang didalamnya termuat dua
elemen: elemen
historis/keberlanjutan dan aspek a-historis, keazalian. Elemen
pertama, yakni elemen historis ditunjukkan oleh ayat 195 dari surat al-Syu’ara “bi lisanin ‘arabiyyin mubin”. Elemen
yang kedua yang disebut
elemen azaliyyah atau a-historis, ditunjukkan
oleh ayat ke-196 dari surat al-Syu’ara “wa innahu lafi zubur al-awwalin”.
Dengan demikian, dua ayat tersebut menunjukkan adanyan persentuhan atau hubungan bagian
eksternal al-Qur’an dengan waktu (historis dan a-historis).
Tiga ayat sebelumnya dari surat al-Syu’ara
memberikan penjelasan tambahan. Ayat ke-192 “tanzilun min rabb
al-alamin” menunjukkan bahwa al-
Qur’an adalah teks ilahiyyah. Ayat ke-193 “nazzala bihi
al-ruh al-amin” menjelaskan keberadaan malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Ayat selanjutnya
menjelaskan bahwa
nabi
Muhammad adalah sang
penerima
wahyu sekaligus sebagai pembawa peringatan. Dua elemen al-Qur’an yang disimpulkan Al-Jabiri
dari ayat-ayat diatas
menjelaskan al-Qur’an adalah
wahyu dari Allah yang dibawa
malaikat jibril untuk disampaikan kepada nabi Muhammad dengan menggunakan
bahasa arab dan termasuk dalam jenis wahyu yang termaktub dalam kitab-kitab para rasul terdahulu.
Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa al-Qur’an terdiri dari tiga unsur 1) tidak terkait waktu (bu’dun lazimaniyyun), ini tergambar dalam hubungan eksternal al-Qur’an dengan risalah-risalah samawiyyah. 2) unsur ruhani (bu’dun ruhiyyun)
yang tercermin dalam pengalaman nabi ketika menerima wahyu, dan 3) unsur sosial (bu’dun ijtima’iyyun) yang tercermin dalam perjalanan dakwah nabi berikut pelbagai respon
terhadap dakwahnya.
Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah bahwa
kita harus mampu melihat dan memahami al-Qur’an tidak
hanya semata-mata sebagai
nash
yang tersusun dari beberapa halaman dalam sebuah mushaf yang
telah menjadi “korpus
resmi”, melainkan juga harus dilihat sebagai nash yang
mengalami beberapa fase yang
terbentuk pada masa dakwah nabi selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, sejak
pertama
kali nabi menerima wahyu dan menyampaikannya kepada
umat manusia hingga nabi
meninggal.
Kesadaran dengan adanya hubungan logis antara masa dakwah nabi dengan
al-Qur’an mendorong
Al-Jabiri untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan logis
tersebut. Bagi Al-Jabiri,
hal
ini bisa dicapai dengan menggunakan susunan al- Qur’an berdasarkan tartib nuzuli. Hal ini kemudian direalisasikan dalam karyanya yang
berjudul fahm al-Qur’an
al-karim al-tafsir al-wadih hasba tartib al-nuzuli.
Tujuannya adalah, pertama, supaya al-Qur’an kontemporer pada masanya. Kedua, sekaligus agar al-Qur’an kontemporer untuk kekinian kita.
Menurut Nasr Hamid Abu Zayd ia tidak akan membicarakan panjang lebar
mengenai perbedaan penafsiran seputar kata al-Qur’an; apakah ia mashdar dari kata
qara’a dengan arti mengulang-ulang, atau dari kata qara’a
dengan arti mengumpulkan. Hal itu tentu telah dijelaskan panjang lebar dalam kajian tentang
ilmu-ilmu al-Qur’an.
B. Perbedaan
Penyebutan Al-Qur’an
1. Al-Kitâb
Istilah al-Kitab merupakan kata yang populer
setelah kata al-Qur’an itu sendiri, dalam pengertiannya memang
terdapat perbedaan yang fundamental. Menurut Dr. Muhammad
Abdullah Daraz berkata: “ia
dikatakan al-Qur’an karena ia “dibaca” dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia “ditulis” dengan pena. Kedua nama
ini menunjukkan makna yang
sesuai dengan kenyataannya.” Hal ini pula memberikan isyarat bahwa selayaknya ia di pelihara dalam bentuk hafalan dan
tulisan. Dengan demikian, apabila
salah
satu diantaranya melenceng, maka yang lainnya meluruskannya.
Dalam mafhum al-nash karya Nasr Hamid, Teks dalam hal ini menamakan dirinya dengan al-Kitab,
pertama kali muncul dalam surat Shad ayat 29 yang dilihat dalam segi
urutan turunnya.
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ
إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
٢٩
“Ini
adalah sebuah kitab yang
Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”
Penamaan teks dengan penamaan dengan sebutan “al-kitab”
tidak sekedar
mengindikasikan “perbedaannya” dari teks-teks lain. Sebab teks ini kenyataannya
merupakan teks pertama yang dibukukan dalam sejarah kebudayaan (arab), dengan
catatan apabila mengabaikan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan kodifikasi mu’allaqat yang digantungkan di dinding ka’bah.
Konsep “tulisan”
(al-kitabah)
dalam kebudayaan sebelum teks (pra-Islam), memiliki keterkaitan dengan sifat rahasia sebagaimana yang
terkandung dalam
konsep wahyu menurut bahasa. Oleh karena itu pengarang
kamus Lisân al-Arab
menempatkan kata “tulisan”
sebagai salah satu makna wahyu. Namun demikian penggunaan dan pemakaian dalam
teks tidak kita dapati, yang muncul justru kata kitabah dalam pengertian kodifikasi,
pencatatan, dan
penetapan.
Lebih
lanjut Nasr Hamid memberikan pernyataan bahwa teks
berperan dalam mentransformasikan peradaban dari fase kelisanan ke fase kodifikasi melalui nama
al-kitab yang diberikan kepada
dirinya sendiri,
dan melalui makna “tulisan” yang dinegasikan sebagai bagian dari pengertian “wahyu” dengan segala karakter yang
terkait dengannya, seperti samar dan tidak jelas. Maka yang dimaksudkannya
dengan teks bukan sekedar sebuah fakta bahasa saja, tetapi yang menganggapnya sebagai teks dasar
mereka.
2. Al-Furqân
Nama lain yang menjadi
sebutan untuk al-Qur’an juga hadir dengan bentuk
makna pembeda
yakni al-Furqân.
Kata itu sendiri berasal dari kata
Farraqa- yufarriqu yang memiliki arti memisahkan, membedakan, membagi, membubarkan,
menceraikan. Sementara dalam istilah,
al-Jabiri memberikan poin khusus untuk
pembahasan ini dengan arti sesuatu yang membedakan antara hak dan yang batil.
Yang pertama yang menggambarkan perbedaan antara yang hak dan yang
batil
yaitu, kepercayaan yang dibawa oleh nabi Muhammad yang
berhadapan dengan kepercayaan orang-orang musyrik.
Kalimat al-Furqân
sendiri juga termaktub dalam al-Qur’an dan diabadikan
dengan menjadi salah satu nama surah,
dan
dalam surah tersebut pula terdapat ayat yang mengandung kata al-furqân sendiri,
berikut ini ayatnya:
تَبَارَكَ
ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا
١
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqân (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar
dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.
sebelum al-Qur’an diturunkan, manusia
telah berinteraksi dengan berbagai system peradaban, agama, dan tradisi, maka hadirnya al-Qur’an memberi
penekanan untuk membedakan, mana saja tradisi yang perlu dihentikan. Dan
dengan al-Qur’anlah yang membedakan konsep pemikiran agama yang sebelumnya, yaitu agama samawi
(yahudi dan nasrani)
atau agama ardhi.
3. Al-Dzikr
Kata al-Dzikr berasal dari kata
ذكر – يذكر - ذكرا yang berarti mengingat,
menyebut, dan mengenang. Hal ini pula bagian pemberian nama al-Dzikr yang
merupakan salah satu fungsi
al-Qur’an yaitu pemberi peringatan, menurut al-
Zarkasyi, al-Qur’an mengandung
peringatan-peringatan, nasehat-nasehat, serta
informasi mengenai umat yang telah
lalu yan tentu saja sebagai peringatan
dan nasehat juga bagi orang
yang bertakwa.
Berikut ini
ayat yang menjelaskan penggunaan kata al-Dzikr
sebagai
nama
lain al-Qur’an dalam surah al-nahl ayat 44:
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ
وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan
C. Al-Qur’an dan
Kitab Suci Lainnya
Posisi kitab al-Qur’an yang muncul
belakangan sebagai penyempurna tentu
memberikan pengaruh yang sangat luas
dalam kehidupan
manusia. Sebagai kitab terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi terakhir (khataman
nabiyyin), Al-
Qur’an memiliki beberapa keistimewaan:
·
Menjaga kitab-kitab sebelumnya (al-Muhaimin).
وَأَنزَلۡنَآ
إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ
وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا
تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا
مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ
وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ
إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ
تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang
diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka
dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-
lombalah
berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu
·
Menjadi
hakim terhadap apa yang diperselisihkan oleh
manusia.
Al-Qur’an, selain membenarkan kandungan kitab-kitab suci terdahulu, juga menyalahkan beberapa doktrin yang terdapat di dalamnya. Karena kitab-kitab yang asal mulanya dari Allah, telah mengalami perubahan makna
dan
posisi oleh pemuka-pemuka Bani Israil. Jadi, kebenaran yang termuat telah bercampur dengan kesalahan akibat
perubahan yang dilakukan
manusia.
·
Menghapus syariat kitab-kitab
sebelumnya.
وَيَوۡمَ
نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ
شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا
لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ ٨٩
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat
seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab
(Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri
(al-Nahl [16]:89)
وَإِذَا
بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ
قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرِۢۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ١٠١
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang
lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya,
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan
saja". Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui (al-Nahl [16]:101)
إِنَّ
هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ
يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَبِيرٗا ٩
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu´min yang mengerjakan
amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar (al-Isra’
[17]:9)
۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا
نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١٠٦
Ayat mana saja yang
Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu (Al-Baqarah [2]: 106)
Al-Qur’an telah me-nasakh hukum kitab-kitab suci sebelumnya. Syariat yang dibawa oleh kitab sebelumnya hanya bersifat terbatas regional (lokalitas
sempit) dan untuk bangsa tertentu. Sedangkan Al-Qur’an yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW berlaku universal dan
tidak
terbatas ruang.
Jadi,
syariat Nabi- Nabi sebelumnya dihapus oleh Al-Qur’an yang
semuanya telah terserap di dalamnya.