Tuesday, 24 March 2020

Problematika Penamaan Filsafat Islam


A.    Problematika Penamaan Filsafat Islam
Filsafat Islam menjadi pokok kajian yang didalamnya mengandung pengertian yang mendalam dan tidak cukup sederhana untuk dicerna dengan mudah. Dalam pengertiannya saja beberapa tokoh, menemui perbedaan dalam penggunaan term filsafat islam ini. Filsafat Islam menurut Sayyed Hossein Nasr (L.1933M) yaitu berhulu dari kata falsafah[1] dan Hikmah[2], yang pada pengertiannya lebih lanjut ia berpendepat bahwa perlu adanya pengertian yang proporsional dalam mengartikan filsafat islam.[3] Dalam kesempatan lain, Nasr menyebutkan filsafat islam adalah merupakan bagian dari hermeneutika filosofis atau pemahaman filosofis  - sebuah bentuk untuk mengungkap kebenaran, yang berkaitan erat dengan wahyu- atas Teks yang sacral yang merujuk pada al-Qur’an disamping menggunakan filsafat tradisional.[4]
Lanjutnya, ia menyebut bahwa Ferdinand van Steenberghen (L.1904 M) dan beberapa lainnya,  menyatakan bahwa term filsafat “Philosophy” yang dipahami oleh para skolastik bukanlah sebutan yang dikhususkan untuk “christian” saja sekaligus menegasikan apa yang dibantah oleh filsafat Kristen dan yahudi tentang keberadaan filsafat islam. Dan beberapa pun ada yang menolak kata Falasifa sebagai ganti kata Philosophers.[5] Sebagaimana yang dipaparkannya lebih lanjut tentang penggunaan beberapa term pada masyarakat barat dan masyarakat islam, maka perlu menempatkan pula kata atau term filsafat kedalam term yang bebas dimasuki baik dalam teologi islam atau lainnya secara presisi.
Hamper serupa dengan Nasr, Henry Corbin lebih cenderung menyebutnya dengan sebutan la Philosophie propbetique / prophetic Philosophy (filsafat kenabian),[6] hal ini tuntu didasari keterpusatan filsafat islam dalam dimensi-dimensi kenabian yakni al-Qur’an dan Hadis.
Sementara itu al-Kindi mendefinisikan falsafah adalah Hubb al-Hikmah. Filsafat adalah pengetahuan atas realitas sesuatu di dalam kemungkinann seseorang, yakni secara sederhana difahami sebagai usaha untuk mengenal diri.
Jadi pada beberapa pengertian diatas, didapatkan bahwa filsafat islam adalah filsafat yang mengkaji beberapa dimensi dalam ajaran agama Islam (al-Qur’an dan Hadis), dan penyebutan filsafat islam sendiri terdapat dua sebutan jika merujuk dalam kamus Bahasa arab, yakni falsafah dan hikmah (falsafah al-islamiyyah dan Hukama al-Islamiyyah). Sementara sebutan lainpun ikut disematkan, yakni sebagai ilmu al-awa’il (awa’il science).[7]
Namun, dalam sejarahnya jika dilihat dalam beberapa pengertian atau term yang berkaitan dengan aspek spriritual, maka filsafat islam mencakup lebih banyak pengertian, mulai dari sufisms, kalam, ushul dan ilmu lain yang berkaitan dengannya pula.[8] Akan tetapi jika merujuk kepada beberapa hasil yang telah ada, maka yang lebih dominan memang penggunaan kata falsafah dan hikmah sebagai rujukan dalam mengkaji problem penamaan filsafat islam, sebagai contoh istilah al-hikmah al-muta’aliyah yang menggunakan kata al hikmah di dalammnya.
Mendukung hal itu, setidaknya kata hikmah disebutkan pada dua puluh tempat di dalam al-Qur’an. Dan yang menjadi paling sering ketika merujuk pada filsafat yakni pada ayat 269 surah al-baqarah.[9] Berikut ayatnya:
يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”
Dalam hal pengertian hikmah sebagaimana disebutkan diatas, Fakhr al-Din al-Razi lebih mengidentifikasinya ke persoalan kalam ketimbang falsafah. Karena ia berpendapat hikmah di beberapa ayat yang disebutkan berarti sebagai pengetahuan intelektual (al-‘ulum al-‘aqliyyah) secara umum dan sebagai filsafat tradisional pada beberapa bagian. Lanjutnya hikmah lebih merujuk kepada rasa dari ilmu pengetahuan intelektual dan dan juga filsafat.[10]
Kesulitan dalam memberikan penamaan yang proporsional nampaknya memberikan beberapa filosof alternative pilihan dalam menamai teorinya, sesuai dengan tujuan yang filosof inginkan. Dua kata yang paling sering disebut memang kata falsafah dan kata hikmah, al-Ghazali sendiri menolak memberikan pernyataan atas sinonimitas dua kata tersebut, karerna menurutnya kata falsafah / filsafat merpakan kata serapan dari Bahasa Yunani dan pengertiannya pun seharusnya sama dengan yang ada pada Bahasa Yunani, lain halnya dengan ilmu hikmah yang disebutkan oleh beberapa tokoh. Semisal teori al-hikmat al-israqiyyah dan al-Hikmat al- Muta’aliyah.


DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Mohammed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994.
Nasr, Sayyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the Land of Prophecy. New York: University of New York Press. 2006
Ibn Rushd. Fashl al-Maqal: fi Taqriri ma baina al-Syar’iyyati wa al-Hikmat min al-Itishâl. Beirut: Markaz Dirasat al-wahidah al-arabiyyah. 1998
Nasr, Sayyed Hossein. dan Leaman, Oliver (ed.), History of Islamic Philosophy. London and New York: Routlege. 1996
Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy. London and New York: The Institute of Ismaili Studies. T.th
Fakhry, Majid. Islamic Philosophy, Theology and Mysticism: A Short Introduction. England: Oxford. 2000
Kamus Besar Bahasa Indonesia


[1] Kata Falsafah dalam Kamus besar Bahasa Indonesia berarti anggapan, gagasan, pandangan hidup. KBBI Online
[2] Kata Hikmah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kebijaksanaan (dari tuhan), arti atau makna yang dalam. KBBI online
[3] Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the Land of Prophecy, (New York: University Of New York Press, 2006), h. 31
[4] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), History of Islamic Philosophy (London and New York: Routlege, 1996), h. 27-39. Lihat juga Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h. 33
[5] Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h. 32-33
[6]
[7] Ibn Rushd, Fashl al-Maqal: fi Taqriri ma baina al-Syar’iyyati wa al-Hikmat min al-Itishâl, (Beirut: Markaz Dirasat al-wahidah al-arabiyyah, 1998), h. 13
[8] Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h. 34-35
[9] Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h. 35
[10] Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h. 35

No comments:

Post a Comment