A.
Problematika Penamaan Filsafat Islam
Filsafat Islam
menjadi pokok kajian yang didalamnya mengandung pengertian yang mendalam dan
tidak cukup sederhana untuk dicerna dengan mudah. Dalam pengertiannya saja
beberapa tokoh, menemui perbedaan dalam penggunaan term filsafat islam ini. Filsafat
Islam menurut Sayyed Hossein Nasr (L.1933M) yaitu berhulu dari kata falsafah[1]
dan Hikmah[2],
yang pada pengertiannya lebih lanjut ia berpendepat bahwa perlu adanya
pengertian yang proporsional dalam mengartikan filsafat islam.[3] Dalam
kesempatan lain, Nasr menyebutkan filsafat islam adalah merupakan bagian dari
hermeneutika filosofis atau pemahaman filosofis - sebuah bentuk untuk mengungkap kebenaran, yang
berkaitan erat dengan wahyu- atas Teks yang sacral yang merujuk pada al-Qur’an disamping
menggunakan filsafat tradisional.[4]
Lanjutnya, ia
menyebut bahwa Ferdinand van Steenberghen (L.1904 M) dan beberapa lainnya, menyatakan bahwa term filsafat “Philosophy”
yang dipahami oleh para skolastik bukanlah sebutan yang dikhususkan untuk “christian”
saja sekaligus menegasikan apa yang dibantah oleh filsafat Kristen dan yahudi
tentang keberadaan filsafat islam. Dan beberapa pun ada yang menolak kata Falasifa
sebagai ganti kata Philosophers.[5] Sebagaimana
yang dipaparkannya lebih lanjut tentang penggunaan beberapa term pada
masyarakat barat dan masyarakat islam, maka perlu menempatkan pula kata atau
term filsafat kedalam term yang bebas dimasuki baik dalam teologi islam atau
lainnya secara presisi.
Hamper serupa
dengan Nasr, Henry Corbin lebih cenderung menyebutnya dengan sebutan la
Philosophie propbetique / prophetic Philosophy (filsafat kenabian),[6]
hal ini tuntu didasari keterpusatan filsafat islam dalam dimensi-dimensi
kenabian yakni al-Qur’an dan Hadis.
Sementara itu
al-Kindi mendefinisikan falsafah adalah Hubb al-Hikmah. Filsafat
adalah pengetahuan atas realitas sesuatu di dalam kemungkinann seseorang, yakni
secara sederhana difahami sebagai usaha untuk mengenal diri.
Jadi pada beberapa
pengertian diatas, didapatkan bahwa filsafat islam adalah filsafat yang
mengkaji beberapa dimensi dalam ajaran agama Islam (al-Qur’an dan Hadis), dan
penyebutan filsafat islam sendiri terdapat dua sebutan jika merujuk dalam kamus
Bahasa arab, yakni falsafah dan hikmah (falsafah al-islamiyyah dan Hukama
al-Islamiyyah). Sementara sebutan lainpun ikut disematkan, yakni sebagai ilmu
al-awa’il (awa’il science).[7]
Namun, dalam
sejarahnya jika dilihat dalam beberapa pengertian atau term yang berkaitan
dengan aspek spriritual, maka filsafat islam mencakup lebih banyak pengertian,
mulai dari sufisms, kalam, ushul dan ilmu lain yang berkaitan dengannya pula.[8]
Akan tetapi jika merujuk kepada beberapa hasil yang telah ada, maka yang lebih
dominan memang penggunaan kata falsafah dan hikmah sebagai rujukan dalam
mengkaji problem penamaan filsafat islam, sebagai contoh istilah al-hikmah
al-muta’aliyah yang menggunakan kata al hikmah di dalammnya.
Mendukung hal
itu, setidaknya kata hikmah disebutkan pada dua puluh tempat di dalam al-Qur’an.
Dan yang menjadi paling sering ketika merujuk pada filsafat yakni pada ayat 269
surah al-baqarah.[9]
Berikut ayatnya:
يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن
يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)”
Dalam hal pengertian hikmah
sebagaimana disebutkan diatas, Fakhr al-Din al-Razi lebih mengidentifikasinya
ke persoalan kalam ketimbang falsafah. Karena ia berpendapat hikmah di beberapa
ayat yang disebutkan berarti sebagai pengetahuan intelektual (al-‘ulum
al-‘aqliyyah) secara umum dan sebagai filsafat tradisional pada beberapa
bagian. Lanjutnya hikmah lebih merujuk kepada rasa dari ilmu pengetahuan
intelektual dan dan juga filsafat.[10]
Kesulitan dalam
memberikan penamaan yang proporsional nampaknya memberikan beberapa filosof alternative
pilihan dalam menamai teorinya, sesuai dengan tujuan yang filosof inginkan. Dua
kata yang paling sering disebut memang kata falsafah dan kata hikmah,
al-Ghazali sendiri menolak memberikan pernyataan atas sinonimitas dua kata
tersebut, karerna menurutnya kata falsafah / filsafat merpakan kata serapan
dari Bahasa Yunani dan pengertiannya pun seharusnya sama dengan yang ada pada
Bahasa Yunani, lain halnya dengan ilmu hikmah yang disebutkan oleh beberapa
tokoh. Semisal teori al-hikmat al-israqiyyah dan al-Hikmat al-
Muta’aliyah.
DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Mohammed. Nalar Islami
dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994.
Nasr, Sayyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to The
Present: Philosophy in the Land of Prophecy. New York: University of New
York Press. 2006
Ibn Rushd. Fashl
al-Maqal: fi Taqriri ma baina al-Syar’iyyati wa al-Hikmat min al-Itishâl.
Beirut: Markaz Dirasat al-wahidah al-arabiyyah. 1998
Nasr, Sayyed
Hossein. dan Leaman, Oliver (ed.), History of Islamic Philosophy. London
and New York: Routlege. 1996
Corbin, Henry. History
of Islamic Philosophy. London and New York: The Institute of Ismaili
Studies. T.th
Fakhry, Majid. Islamic
Philosophy, Theology and Mysticism: A Short Introduction. England: Oxford.
2000
Kamus Besar
Bahasa Indonesia
[1] Kata
Falsafah dalam Kamus besar Bahasa Indonesia berarti anggapan, gagasan,
pandangan hidup. KBBI Online
[2] Kata
Hikmah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kebijaksanaan (dari tuhan),
arti atau makna yang dalam. KBBI online
[3] Sayyed
Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy
in the Land of Prophecy, (New York: University Of New York Press, 2006), h.
31
[4] Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), History of Islamic Philosophy
(London and New York: Routlege, 1996), h. 27-39. Lihat juga Sayyed Hossein
Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in the
Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h. 33
[5] Sayyed
Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy
in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h.
32-33
[7] Ibn
Rushd, Fashl al-Maqal: fi Taqriri ma baina al-Syar’iyyati wa al-Hikmat min
al-Itishâl, (Beirut: Markaz Dirasat al-wahidah al-arabiyyah, 1998), h. 13
[8] Sayyed
Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy
in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h.
34-35
[9] Sayyed
Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy
in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h.
35
[10] Sayyed
Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy
in the Land of Prophecy, (New York: University of New York Press, 2006), h.
35
No comments:
Post a Comment