A.
Biografi Imam Al-Ghazali
Nama asli Imam Al-Ghazali adalah Abu
Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, yang mendapat gelar Hujjah Al Islam
(intelektual islam), Zain Ad-Din (cahaya agama), seorang ahli fikih di
kalangan madzhab syafi’i. Beliau dilahirkan dikota thusi pada tahun 450 H.[1] Ada dua
riwayat yang menyebutkan penisbatan beliau dengan Al-Ghazali. Pertama,
disebabkan karena ayah Imam Al-Ghazali adalah seorang pemintal bulu kambing.
Pemintal dalam istilah Mu’jamu al-Arab disebut Ghazala. Ahli
pintal dikenal dengan istilah Ghazâl. Jadi, nisbat Al-Ghazali seolah
menunjuk pada keahlian sang ayah sebagai juru pintal. Ibnu Imad menjelaskan ini
dalam kitabnya Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab, juz 6 halaman
19. Riwayat kedua menghubungkan nisbah Al-Ghazali dengan desa tempat Al-Ghazali
dilahirkan yaitu Ghazâlah, sebuah kota yang menjadi bandar dari kota Thûs, yang
berada di wilayah Khurasân, Persia (Iran).
Beberapa riwayat menjelaskan bawa
konon ayahnhya adalah seorang yang sangat shaleh. Ia tidak makan kecuali dari
hasil kerjanya. Ia bekerja sebagai tukang tenun kain wol dan menjual di sebuah
toko miliknya. Ketika ia akan meninggal, ia menitipkan Al-Ghazali kecil dan
saudaranya kepada salah seorang kawannya yang ahli tasawuf. Ahli tasawuf itu yang
mendididk mereka berdua, inilah penyebab kebahagiaan dan ketinggian derajat yang kemudian mereka capai.
Ayah Imam Al-Ghazali adalah seorang
yang gemar menimba ilmu fiqih kepada para ulama fikih. Ketika ia meghadiri
majlis-majlis taklim mereka, ia senantiasa menagis, memohon ampunan, berdoa
kepada Allah SWT agar dikarunia seorang mubaligh dan ahli fiqih dan kemudian Allah
mengabulkan permintaanya.[2] Abu
hamid adalah orang yang paling pintar diantara teman teman nya di bidang fiqih.
Sebagaimana definisi fiqih secara Bahasa “paham” adapun secara istilah syar’.
Ilmu yang mengandung hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalil
terperinci Al-Qur’an dan hadist atau kumpulan-kumpulan hukum syariat yang masih
bersifat umum.[3]
Al-Ghazali adalah ulama besar dalam
bidang agama. Beliau termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran
agama secara keselurahan, barangkali Al-Ghazali dan Shalahudin Al Ayubi orang
yang paling disukai oleh orang-orang nasrani di barat, karena keduanya dianggap
sebagai seorang muslim yang paling dekat dengan orang Kristen. Beliau adalah
imam pada masanya, sedangkan saudaranya Ahmad, adalah seorang mubaligh yang
saleh dan takwa. Batu akan meleh mendengarkan ceramah-ceramahnya, bergetar,
bergemuruh di majlis taklimnya.[4]
Sebelumnya, kehidupan pemikiran pada
zamannya sangat memprihatinkan, karena kaum muslimin terbagi menajadi beberapa
kelompok difensif. Di antaranya terdiri atas ulama agama yang telah puas
terhadap Al-Qur’an dan hadist, kelompok moderat yang berusaha mengikuti berbagai
mazhab filsafat dan rasionalisme, kelompok muktazilah yang mengambil filsafat
Yunani dan logika Aristoteles, kelompok syiaah bathiniyah yang berpendapat
bahwa nas-nas agama mengandung tafsiran bathin yang tidak dikatahui kecuali
orang-orang yang jernih hatinya, kelompok sufi yang percaya bahwa makrifat
kepada Allah bisa dicapai oleh pencari hakikat melalui cahaya internal bukan
dengan akal atau mengikuti sunah, dan kelompok filosof yang mengikuti pemikiran
filsafat Plato modern. Semua kelompok ini saling menarik pemikiran Islam pada
zaman Al-Ghazali.[5]
Imam Al-Ghazali sangat cerdas dan
teguh pendirian. Beliau mempunyai daya hafal yang kuat, berpikiran kedepan,
selalu mencari makna-makna terdalam, seorang pendebat dan diskusission
yang baik. Dalam tulisannya Al-Ghazali berkata “Sejak muda hingga saat ini
ketika usiaku menjelang lima puluh tahun, kuarungi ombak lautan yang dalam ini,
kutemukan berbagai rahasia aliran semua kelompok. Aku tidak meninggalkan
kelompok bathiniyah kecuali telah kutelaah kebathiniyaannya, aku tidak
meninggal kan kelompok zhahiri kecuali telah kukuasai kezhahiriyahnya, tidak
kutinggalkan kelompok filsafat kecuali setelah aku kuasai hakikat filsafatnya.
Tidak kutinggalkan kelompok theologis kecuali aku benar-benar mengkaji
puncak-puncak thelogis dan perdebatanya, tidak kuabaikan kelompok sufi
kecuali aku telah menelusuri rahasia
kesufiaanya, tidak juga kelompok zindik kecuali aku telah meneliti sebab-sebab
dibalik keberanianya dan kezindikannya. Rasa penasaran untuk mengetahui hakikat
semua persoalan di atas selalu menghantuiku sejak aku masih muda, tampaknya hal
itu merupakan insting dan fitrah dari
Allah SWT yang disimpan dalam benakku, bukan karena kemauan dan keinginanku”.
Pada tempat yang lain beliau menulis “Jika aku telah mencari ilmu bukan untuk Allah,
maka tidak akan mau kecuali bila ilmu itu untuk Allah”.[6]
Sehingga beliau dalam kitab Mukhtasar
Ihya Ulumuddin mengawali pembahasan dengan bab ilmu dan keutaamnaya. Beliau
menuliskan tentang keutamaan ilmu dalil-dalil dari Al-Qur’an sangat banyak,
seperti pada firman Allah Q.S. Al-Mujadilah ayat 11:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ
فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ
دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Ibnu abbas berkata “Derajat para
ulama berada di atas kaum muslimin sejauh tujuh ratus derajat jarak. Antara dua
derajat adalah tujuh ratus tahun.[7] Al-Ghazali
memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan
penyingkapan berbagai hakikat. Beliau mempunyai keberaniaan untuk melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan mayoritas ulama, misalnya dia menganjurkan
penggunaan musik sebagai pengiring ibadah dan wara, dia berkeyakinan bahwa
kenikmatan surgawi dan kenikmatan ruhani bukanlah kinikmatan fisikal. Beliau
sangat toleran terhadap Kristen dan pengikutnya, bahkan ia mengecam terhadap
pelaknatan Yazid bin Muawiyah seraya berkata “setiap orang muslim yang melaknat
saudara muslimnya wajib dilaknat”. Singkatnya semua upaya Al-Ghazali yang
betul-betul ikhlas telah mewujudkan keteladanan, dia sangat berakhlak zuhud,
sederhana, toleran, dan pemaaf. Itulah hal-hal yang membuatnya begitu terhormat
dalam sejarah manusia. Beliau meninggal di kota Thus pada hari senin 14 Jumadil
Jkhir 505 H pada saat beliau berusia 55 tahun.
B.
Testimony Ulama tentang Imam Al-Ghazali
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari Imam
Al-Ghazali. Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang
Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Seringnya menunjukkan
beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu
Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh
dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari
bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat”.[8]
Imam Ibnu Taimiyah berkata “Imam Abu
Hamid Al-Ghazali meski ia adalah seorang
pakar fikih, tasawuf, ilmu kalam, ushuluddin, dan disiplin ilmu lainya.
Ia adalah seorang yang zuhud, ahli ibadah, baik hati, dan menguasai ilmu-ilmu
keislamanya.[9]
Ibnu Nadjar berkata “Abu Hamid Al-Ghazali adalah imam bagi semua ulama fikih,
ia adalah pendidik utama seorang
mujtahid pada masanya, ia adalah sumber pengetahuan pada zamannya.[10]
Abu Hasan an Nadawi berkata “Tidak diragukan lagi bahwa Al-Ghazali adalah
cendikiwan muslim dengan kecerdasan yang luar biasa, ia termasuk intelektual islam,
pejuang reformis yang memiliki peran besar dalam membangkitan sprit keagamaan.[11]
Al-Isnawi
dalam kitab Thabaqat-nya sebagaimana dikutip oleh Ibnu Imad menggambarkan sosok
Al-Ghazali sebagai berikut:
الغزّالي إمام باسمه تنشرح الصدور، وتحيا النفوس،
وبرسمه تفتخر المحابر وتهتزّ الطّروس، وبسماعه تخشع الأصوات وتخضع الرؤوس ولد
بطوس، سنة خمسين وأربعمائة، وكان والده يغزل الصّوف ويبيعه في حانوته
Artinya:
“Al-Ghazzali adalah seorang imam yang dengan namanya dada menjadi lapang, jiwa
menjadi hidup, tinta-tinta menjadi berbangga ketika menulis namanya,
kertas-kertas terguncang mendengar namanya, suara-suara akan jadi khusyuk dan
kepala-kepala akan tertunduk. Beliau dilahirkan di Thus tahun 450 H. Ayahnya
menenun bulu dan menjualnya di tokonya.”[12]
Al-Ghazali memiliki banyak karya tulis.
Beberapa karya yang menjadi masterpiece-nya dan terkenal di Indonesia
adalah kitab Ihyâ Ulûm ad-Dîn. Ada juga karya yang lain, dan turut terkenal
dan diajarkan di pesantren-pesantren Nusantara antara lain Bidâyat
al-Hidâyah, Minhâj al-‘Abidîn, al-Munqîdz min al-Dlalâl dan al-Wasîth
dan al-Wajîz. Di dalam ushul al-fiqh, Al-Ghazali memiliki sejumlah karangan
antara lain al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Ma’lul fi ikhtilifayah, Tahdzîb
al-Ushûl, dan Shifâu al-Ghalil. Sebenarnya masih banyak kitab karya
yang lain, namun dari kesekian kitab itu masih agak jarang ditemui di dunia
pesantren selain empat kitab yang telah disebutkan.
Sudah begitu banyak ulama yang
belajar dari Al-Ghazali terutama dalam bidang aqidah. Beliau adalah penganut
paham asy’ariyah. Begitu juga dalam bidang ilmu hadist, ia di kenal dengan
kejujurannya dalam menyampaikan ilmu hadist, dan para ulama juga belajar
darinya mengenai ilmu kalam walau terjadi perdebatan meruncing dalam bukunya “Kerancuan-Kerancuan
Para Filosop“ (Tahafut Al Falasifah), serta tidak adanya pembahasan
mengenai jihad dalam buku-buku nya.
C.
Pengertian dari Maqashid Syariah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri
dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari
maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau
memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[13] Sedangkan Syari’ah
secara bahasa berarti المواضع تحدر الي
الماء artinya Jalan menuju
sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber
kehidupan.[14]
Didalam Al-Qur’an Allah Swt menyebutkan
beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam surat
Al-Jassiyah dan aS-Syura:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ
عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ
الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya:
kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui. (Q:S, 45 : 18)
شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا
الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agam dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. (Q:S, 42: 13)
Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan
bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam perkembangan sekarang terjadi
Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian
Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri
Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut
al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan
yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur
hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim,
alam dan seluruh kehidupan.[15]
Selain itu Maqashid syariah adalah
tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh allah dalam
setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah
merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan,
sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam.
Seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan.[16]
D.
Pemikiran
Imam Al-Ghazali
Menurut Imam
Al-Ghazali kemaslahatan inti atau pokok mencakup lima hal yang tertuang dalam
syair:
Ketahuilah hal itu telah dijaga
Oleh setiap agama yang sudah lalu
Menjaga lima perkara dalam semua syariat
Ialah agama, jiwa dan akal urutan ketiga
Juga keturunan dan harta
Maka kumpulkanlah dalam pendengaran
1.
Menjaga
agama (hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihad
jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2.
Menaga
jiwa (hifdz an-Nafs); illat (alasan) diwajibkan hukum qishaash
di antaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
3.
Menjaga
akal (hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang
memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4.
Menjaga
harta (hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk
para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta
orng lain dengan cara bathil yang lain.
5.
Menjga
keturunan (hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan
menuduh orang berbuat zina.
Maqashid syariah
atau mashlahat dharuriyyah merupakan sesuatu yang penting demi
terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal tersebut tidak terwujud
maka akan menimbulkan kerusakan bahkan maqashid syariah atau mashlahat
yaitu menjaga agama (hifdz ad din), menjaga jiwa (hifdz an-nafs),
menjaga akal (hifdz al- aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl)
dan harta benda (maal), tidak akan terwujud. Menurut Imam Al-Ghazali ”tujuan
utama syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam
perlindungan terhadap agama mereka (diin), dari (nafs), akal,
keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang menjamin
terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum dan
dikehendaki.
Implikasi lima perkara ini dalam ilmu
ekonomi akan dikaji belakangan, hanya saja disini perlu disadari bahwa tujuan
suatu masyarakat muslim adalah untuk berjuang mencapai cita-cita ideal. Kata
melindungi tidak perlu diartikan melindungi status quo, tetapi
mengandung arti perlunya mendorong pengayaan perkara-perkara ini secara terus
menerus sehingga keadaan makin mendekat kepada kondisi ideal dan membantu umat
manusia meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan. Banyak usaha dilakukan
oleh sebagian fuqaha untuk menambahkan lima perkara dan mengubah
urutannya, namun usaha-usaha ini tampaknya tidak memuaskan para fuqaha
lainnya. Imam Asy-Syatibi menulis kira-kira tiga abad setelah Imam Al-Ghazali,
menyetujui daftar dan urutan Imam Al-Ghazali yang menunjukkan bahwa gagasan itu
dianggap sebagai yang paling cocok dengan esensi syariah.[17]
Dalam membahas masalah maqashid,
pengayaan agama, diri akal, keturunan, dan harta benda sebenarnya telah menjadi
fokus utama usaha semua manusia. Manusia itu sendiri menjadi tujuan sekaligus
alat. Tujuan dan alat dalam pandangan Al-Gazali dan juga para fuqaha
lainnya, saling berhubungan satu sama lain dan berada dalam satu proses
perputaran sebab-akibat. Realisasi tujuan memperkuat alat dan lebih jauh akan
mengintensifkan realisasi tujuan.
Diri, akal, keturunan dan harta, begitu
urutannya. Harta benda ditempatkan pada urutan terakhir. Hal ini tidak
disebabkan ia adalah perkara yang tidak penting, namun karena harta itu tidak
dengan sendirinya membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang dalam
suatu pola yang adil, kecuali jika faktor manusia itu sendiri telah direformasi
untuk menjamin beroperasinya pasar secara fair. Jika harta benda
ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi tujuan sendiri, akan menimbulkan
ketidakadilan yang kian buruk, ketidakseimbangan, dan akses-akses yang lain
pada gilirannya akan mengurangi kesejhteraan mayoritas generasi sekarang maupun
yang akan datang. Oleh karena itu, keimanan dan harta benda keduanya memang
diperlukn bagi kehidupan manusia, tetapi imanlah yang membantu menguatkan suatu
disiplin dan makna dalam memperoleh penghidupan dan melakukan pembelajaran
sehingga memungkinkan harta itu memenuhi tujuannya seraca lebih efektif.
Selain itu maslahat menurut Al-Ghazali
adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat
di atas bagi Al-Ghazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda
jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.
Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqâshid al-syarî‘ah sudah
mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang
secara khusus membahas maqâshid al-syarî‘ah adalah Izz al-Dîn ibn Abd. Al-Salam
dari kalangan Syâfî’iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep
maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik
manfaat. Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat
urutan skala prioritas, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan takmîlat atau
tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklîfharus bermuara
pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pembahasan
tentang maqâshid al-syarî‘ah secara khusus, sistematis dan jelas
dilakukan oleh Al-Syâtibî dari kalangan Mâlikiyah.
Al-Gazali
menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh
dalil syarak terbagi
menjadi 3 macam, yaitu:
1.
Maslahat
yang dibenarkan
oleh syarak, dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya
kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari
jiwa/semangat nas dan ijma’.
Contoh: menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang
memabukkan adalah haram diqiyaskan kepada khamar.
2.
Maslahat
yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama kepada
salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari
Ramadhan,
hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketika pendapat itu disanggah,
mengapa ia tidak memerintahkan Raja itu untuk memerdekakan budak, padahal ia
kaya. Ulama itu berkata “kalau raja itu saya suruh memerdekakan hamba sahaya,
sangatlah mudah baginya, dan ia dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya
untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya”. Oleh
karena itu, maslahatnya, ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera.
Ini adalah pendapat yang batal dan menyalahi nas dengan
maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua ketentuan-ketentuan hukum Islam
dan nas-nasnya disebabkan perubahan kondisi dan situasi.
3.
Maslahat
yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.
Ketiga hal tersebut
di atas dijadikan landasan oleh Imam Al-Ghazali dalam membuat
batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima
sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam:
1)
Maslahat
tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
2)
Maslahat
tersebut tidak boleh ber-tentangan dengan Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
3)
Maslahat
tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder)
yang setingkat dengan daruriyah.
4)
Kemaslahatannya
harus berstatus qat’i atau zanny yang mendekati qat’i.
5)
Dalam
kasus-kasus tertentu diperlu-kan persyaratan, harus bersifat qat’iyah,
daruriyah,dan kulliyah.
Berdasarkan persyaratan operasional yang
dibuat oleh Imam Al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam Al-Ghazali tidak
memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri,
terlepas dari Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam Al-Ghazali
memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/
penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Sedangkan ruang
lingkup operasional maslahah-mursalah tidak di-sebutkan oleh Imam
Al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil peneli-tian yang dilakukan
oleh Ahmad Munif Suratma Putra terhadap contoh-contoh kasus maslahah
mursalah yang di-kemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam buku-bukunya (al-Mankhul,
Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam
Al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu
hanya di bidang muamalah saja.[18]
Implementasi maslahah-mursalah tersebut,
para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, bahkan Imam Al-Ghazali memakai
beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah, sehingga
berimplikasi kepada ketidaksempurnaan pemahaman generasi berikutnya mengenai
pendapat ulama terdahulu tentang masalah ini. Dalam kitab al-Mankul, Imam
Al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan istilah istidlal
sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas
al-Qiyas dia memakai istilah istislah, dan dalam
kitab Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah munasib
mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam
Al-Ghazali tetap menyebutnya dengan istilah maslahah-mursalah. Karena
Imam Al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan beberapa
istilah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam Al-Ghazali tidak
konsisten menjadikan maslahah-mursalah sebagai dasar dalam
menetapkan hukum Islam. Penggunaan terma yang berbeda-beda tersebut juga
berimplikasi pada terjadinya distorsi pemahaman pada generasi selanjutnya
mengenai teori maslahah-mursalah.
E.
Karya-karya Al-Ghazali
Banyak
sekali karya yang telah dilahirkan dari pemikiran Al-Ghazali. Di antara sekian
banyak buku yang dikarang Al-Ghazali dalam berbagai disiplin ilmu, yang paling
populer dan utama ialah Ihya Ulum Ad-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama). Melalui kitab ini diketahui beberapa pemikiran Al-Ghazali beberapa
bidang, diantaranya masalah tauhid, fiqh dan akhlak dan tasawuf.
1.
Karya Imam
Al-Ghazali di Bidang Filsafat dan Ilmu Kalam
1)
Maqashid
al-Falasifah
2)
Tahafut
al-Falasifah
3)
Al-Iqhtishad fi
al-I’tiqad
4)
Al-Munqidz min
al-Dhalal
5)
Al-Maqashidul
Asna fi Ma’ani Asmillah Al-Husna
6)
Faishalut
Tafriqah bainal Islam wa az-Zindiqah
7)
Al-Qishahul Mustaqim
8)
Al-Mustadhiri
9)
Hujjatul Haq
10)
Mufsilul Khilaf
fi ushuluddin
11)
Al- Muntahal fi
‘Ilmi Jidal
12)
Al-Madhnun bih ‘Ala
Ghairi Ahlihi
13)
Mahkum Nadlar
14)
Asrar ‘Ilmiddin
15)
Al-Arba’in fi
Ushuluddin
16)
Iljamul Awwan
‘an ‘Ilmil Kalam
17)
Al-Qulul Umail
fi ar-Raddi ‘ala man Ghayaral Injil
18)
Mi’yarul ‘Ilmi
19)
Al-Intishar
20)
Itsbatun Nadlar
2.
Karya Imam
Al-Ghazali di Bidang Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
1)
Al-Basith
2)
Al-wasith
3)
Wajiz
4)
Khulashatul
mukhtashar
5)
Al-mustasyhfa
6)
Syifakhul ’Alil
fi Qiyas
7)
Adz-Dzari’ah
ila Maqarimi asy-Syari’ah
3.
Karya Imam
Al-Ghazali di Bidang Ilmu Akhlak dan Tasawuf
1)
Ihya Ulumuddin
2)
Mizanul ‘Amal
3)
Kimiyau as-Sa’adah
4)
Misykatul Anwar
5)
Minhajul
‘Abidin
6)
Ad-Dararul
Fakhirah fi Kasfil Ulumil Akhirah
7)
Al-‘Ainis fil
Wahdah
8)
Al-Qurban ila
al-lahi ‘Azza wa Jalla
9)
Akhlaq al-Abrar
wan Najat minal Asrar
10)
Bidayatul
Hidayah
11)
Al-Mabadi wal
Ghayyah
12)
Talbis al-Iblis
13)
Nasihat al-Mulk
14)
Ar-Risalah
al-Ladunniyah
15)
Ar-Risalah
al-Qudsiyah
16)
Al-Ma’khadz
17)
Al-Amali
4.
Karya Imam
Al-Ghazali di Bidang Ilmu Tafsir
1)
Yaqutui Ta’wil
fi Tafsiri
2)
Jawahir
F.
Kandungan Kitab
al-Mustashfa
Kitab
al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali menjadi bukti kualitas dan
kapabilitas sang pengarang di bidang fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa,
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa kitab tersebut selesai ditulis pada tahun 503
H. Berbekal informasi ini dan bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa kitab
tersebut ditulis selama tiga tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai
proyek risetnya ini kurang lebih pada tahun 499 H.
Al-Ghazali
mendapat permintaan dari para mahasiswanya di Universitas Nidhâm al-Mulk agar
menulis sebuah kitab pegangan (semacam diktat) tentang metode penggalian hukum
Islam. Berbekal permintaan inilah, lalu dijawab oleh Al-Ghazali dengan
menghadirkan kitab al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushûl. Jika menilik dari
tahun akhir penulisan, maka kurang lebihnya al-Mustashfa adalah kitab
akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam pemikiran yang
sudah benar-benar matang.[19]
Melihat
dari judul kitabnya al-Mustashfa yang berarti upaya menuju kondisi shafiyun
(bersih), maka seolah kitab ini menggambarkan akhir perjalanan hidup beliau
yang sempat menyatakan diri keluar dari Universitas Nidhâm al-Mulk untuk
berkonsentrasi pada dunia ketasawufan. Apabila melihat bahwa kitab ini
disandarkan pada satu disiplin ilmu ushûl al-fiqh, maka seolah kitab ini beliau
hadirkan sebagai wujud metode menempuh jalan pemurnian hati melalui pola
penggalian hukum fiqih. Sebagaimana pernah beliau sampaikan bahwa Maqâshid
Syarîah pada dasarnya adalah upaya mencapai kesejahteraan (sabîli
al-ibtida’), maka yang dimaksud oleh beliau sebagai kesejahteraan tidaklah
jauh dari nama salah satu judul kitabnya yaitu upaya mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan kebahagiaan di akhirat (sa’âdah fi al-dunya wa sa’âdah fi
al-âkhirat). Hal ini tertuang sebagaimana isi dari kitab Kimiyâu
al-Sa’âdah li Al-Ghazali.
Kitab
al-Mustashfa disusun dengan penggunaan gaya bahasa yang imbang antara sulit dan
mudah. Sistematika penyusunan kitabnya juga unik, karena terkesan rapi dan
penyelidikan isi yang cermat. Isi kitab seolah membawa daya tarik tersendiri
kepada pembacanya untuk terus-menerus membaca, bahkan jauh dari kesan
membosankan, meskipun uraiannya panjang. Pantaslah kiranya kalau al-Juwaini
menjuluki Imam Al-Ghazali sebagai al-bahru maghrûq (samudera yang menenggelamkan).
Pembaca
karyanya tidak terasa seperti terhipnotis atas uraiannya sehingga sulit untuk
mencari titik lemahnya. Istilah zaman sekarang adalah “diam-diam
menghanyutkan”. Itulah kiranya padanan julukan dari al-Juwaini ini kepada Al-Ghazali.
Jika umumnya para penulis ushul fiqh
memulai bahasannya mengenai bahasa hukum dan premis-premis kebahasaan dalam
penalaran hukum, lalu dilanjutkan dengan kajian dilâlatu al-ahkâm
(dalil-dalil hukum), ikhtilâf dan ittifâq di dalam hukum, ijtihad
dan mujtahid serta syarat mujtahid, lalu taqlid dan diakhiri dengan metode tarjîhât
al-ahkâm, namun semua itu tidak dengan Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa
ini. Kitab al-Mustashfa diorganisasikan dalam apa yang disebut dengan istilah
“quthub.” Al-Ghazali mendefinisikan quthub sendiri sebagai
sesuatu yang memuat substansi yang dituju (والأقطاب هي المشتملة على لباب المقصود).
Sistematika penulisan kitab al-Mustashfa
min ilm Ushul Ghazali dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu :
tsamrah
(al ahkam), al mutsmir (adillar al-ahkam), turuq al-istismar (wajhu
al-isridlal), dan al-mustatsmir (al-mujtahid). Empat
pokok kajian yang ada dalam al-Mustafshfa, ia disebut al-aqtab
al arba’ah. Dalam qatb yang pertama (al-tsamrah)
ini berisi tentang hukum wadh’i, taklift rukhshah, azimah dan
berbagai permasalahan yang terkait. Yang kedua (al-mutsmir),
meliputi pembahasan dasar hukum al-kitab, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan untuk
al-qutb yang ketiga berisi tentang cara-cara istidlal. Atau dengan kata lain
bagaimana sebuah hukum itu dibuat dielaborasi dari dalil-dalil yang pasti,
dengan dua cara; pertama dengan cara kebahasaan dan kedua dengan memahami
konteks al-isyarah,
al-mafhum
dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah tentang al-mustasmir. Qutb ini berisi
ijtihad mujtahid dan lain-lain yang berkaitan dengan ijtihad
Mungkin
maksud pengorganisasian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa semua materi
yang dikaji dalam tiap-tiap quthub-nya adalah berhubungan erat antara satu sama
lain membentuk suatu kesatuan bahasan dalam satu ide sentral yang menjadi topik
utama kajiannya. Lantas apa sebenarnya tujuan utama beliau dalam membagi kajian
ushul fiqih menjadi 4 quthub ini? Asumsi dasar penulis kemungkinan hal itu
ditujukan untuk menjawab empat dasar pertanyaan dasar ushul fiqih, antara lain:
1)
Apakah hukum
syar’i itu?
2)
Di mana hukum
syar’i itu ditemukan atau apa sumber hukum syar’i itu?
3)
Bagaimana cara
(metode) menemukan hukum dari sumber hukum syar’i?
4)
Siapa yang
berwenang melakukan penemuan hukum syar’i dari sumber-sumber hukum tersebut?
Dengan
berbekal pertanyaan ini, maka seolah al-Mustashfa memang hadir tidak
lepas dari setting sosial Al-Ghazali sendiri yang sangat panjang dan
bahkan sempat menggambarkan dunia eskatisme yang pernah beliau alami, saat itu
beliau memutuskan berhenti dari mengajar di Universitas Nidhâm al-Mulk untuk
menekuni dunia tashawuf dan tazkiyâtu al-nafs (pembersihan jiwa). Pada
bagian awal muqaddimah kitab, Al-Ghazali membaginya menjadi tiga
sub-pembahasan. Di sub pertama, ia menjelaskan latar belakang dan motif mengapa
ia menulis kitab ini.[20]
Sub kedua, ia membahas mengenai apa itu usul fiqih, kedudukannya dalam struktur
ilmu-ilmu keislaman, sistematika dan ruang lingkup kajian ushul fiqh.[21]
Di bagian sub ketiga, Al-Ghazali membahas mengenai logika Yunani. Di bagian sub
ketiga ini, beliau menjelaskan banyak hal tentang logika dengan sangat menarik
hingga mencapai kurang lebih 40 halaman tersendiri.[22]
Quthub
pertama al-Mustashfa membahas tentang hukum syar’i. Di bagian ini, ia membagi
kajian menjadi empat pokok bahasan utama. Pokok bahasan pertama, membahas
mengenai hakikat hukum itu sendiri sebagai khithab syar’î (sapaan Ilahi) yang
ditujukan kepada perbuatan subjek hukum (mukallaf). Tanpa adanya khithab syar’i,
maka tidak ada hukum (hal. 68-80). Pada pokok bahasan pertama, Al-Ghazali
membahas mengenai pembagian hukum. Pembahasan ini diawali dengan sebuah diskusi
pendahuluan mengenai hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Pembahasan
dilanjutkan dengan membahas 15 masalah yang keseluruhannya membicarakan
mengenai korelasi dari kelima hukum dengan lafadh amar (perintah) dan nahî
(larangan) (hal. 80-100). Pada pokok bahasan ketiga, ia membahas mengenai
‘anâshir al-ahkâm yang di dalam istilah Al-Ghazali disebut arkân al-hukm yang
memuat materi hukum itu sendiri. Menurut Al-Ghazali, hukum itu memiliki
beberapa rukun, antara lain adalah adanya al-hâkim (pembuat hukum), subjek
hukum (al-mahkûm ‘alaih) dan objek hukum (al-mahkûm fîh). Pembahasan arkânu
al-hukm ini dibahas sampai 11 lembar (hal. 100-111). Berikutnya, di pokok
bahasan keempat, Al-Ghazali mengajukan sebuah diskusi tentang dialektika
sebab-sebab hukum dan hubungan hukum dengan sebab-sebab tersebut. Imam
Al-Ghazali mengistilahkannya dengan sebutan hukum wadl’i (hal. 111).
G. Pandangan Al-Ghazali dalam Kitab Mustasfa
Al-Ghazali membagi ilmu kepada tiga bagian ilmu
aqliyah, di antaranya ilmu tentang hitung, pertanian, astronomi. Ilmu naqliyah
diantaranya hadist dan tafsir serta ilmu asraf (kemulian), ilmu yang mengkolaborasikan
kekuatan akal dan pendengaran dalam memami syariat seperti ilmu fiqih dan ushul fiqih.
Menurutnya pula seseorang belum bisa
memahami ushul fiqih sebelum memahami tentang fiqih itu sendiri.
Fiqih menurut Al-Ghazali adalah “Ungkapan
tentang mengetahui dan memahami asas
atau pokok yang jelas. Dalam suatu ungkapan beliau ibartakan (si fulan dapat
membedakan, mengetahui serta memahami mana yang baik dan buruk). Oleh karena itu dapat memahami tantang ilmu hukum-hukum
syariat yang telah ditetapkan pada setiap kitab yang diserukan kepada para umat
yang sudah tertaklif.
Salah satu ciri khas Al-Ghazali
dalam karya-karyanya adalah sistematika penyusunan dan penulisan yang
memudahkan para pembacanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali
sendiri, bahwa sistematika yang baik dalam penyusunan suatu karya akan
memudahkan pembacanya menguasai materi tersebut. Sebaliknya, orang tidak akan
mampu menguasai isi sebuah karya dengan mudah apabila kajian dalam karya
tersebut tidak disusun dalam suatu sistematika yang baik.
Dalam
hakekat hukum syariat Al-Ghazali terhadap khitab syari kepada mukallaf membagi
pada lima; haram, wajib, mubah, mandub (sunah), dan makruh. Azimah dan rukshoh azimah dimabil
dari asal kata azmun. Adapun azimah
maksud syari’ yang telah ditetakan dalam artian hukum asal (wajib) sebagaimana
Q.S. Thaha ayat 115:
وَلَقَدْ عَهِدْنَآ إِلَىٰٓ ءَادَمَ
مِن قَبْلُ فَنَسِىَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُۥ عَزْمًا
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu,
maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang
kuat.
Rukun
ijtihad menurut alghazali ada 3:
1)
Muztahid (orang
yang berijtihad).
2)
Menurut Muztahid
fih (sarananya).
3)
Nafsu ijtihad (pokok
permasalahaanya).
Pengertian
ijtihad menurut beliau mengerahkan kemampuan akal dalam menguasai ilmu
pengetahuan, sehingga memperoleh suatu keputusan hukum syariat, syarat-syarat
mujtahid kompetensi displin ilmu agama, dan adil. Sedangkan mujtahid fih
saran atau kajiannya setiap hukum syariat masih bersifat dzony dilalah
bukan qothi dilalah. Al-Ghazali dalam mengkompromikan jika terjadi taaradhu
antara dua khobar maka proses dalam mentarjih maka diteliti matan dan sanadnya sebagai
berikut:
1.
Matannya terbukti
selamat dari cacat (sisipan perowi).
2.
Sanadnya mutharib
tidak disembunyikan perowinya.
3.
Perawinya
mashur.
4.
Perawinya diketahui
dan tidak lalai.
5.
Dahulukan khobar
yang lafaznya sama ketimbang yang lain.
6.
Dahulukan sanad
yang marfu.
7.
Teksnya qauliyah.
8.
Dahulukan khobar
yang membuat pertentangan atau larangan
9.
Mendahulukan
perawi yang lebih dekat dengan peristiwa kejadian.
10.
Rawinya lebih tsiqot,
dhabit, dan adil.
11.
Perawi ahli
madinah lebih kuat.
12.
Abaikan jika khobarnya
terputus pada tingkatan shabat (mursal).
13.
Seruan khobar
atas kewajiban atas hukum diutamakan
14.
Al qur ijma
nash
sebagai penentu dalam mentarjih dari dua khobar yang
bertentangan.
Sistematika yang ada dalam al-Mustasfa
berbeda dengan kitab-kitab ushul fikih lainnya. Sebelum masuk pembahasan ushul
fikih, Al-Ghazali terlebih dahulu memberikan pengantar ilmu mantiq. Tentu saja
hal ini tidak mengherankan, karena Al-Ghazali sendiri dikenal sebagai ulama
yang memiliki gagasan perpaduan antara Aql (akal) dan Naql
(wahyu).
Pola
pemikiran yang didasarkan pada nash-nash Al-Qur’an, Al-Hadits, atsar
sahabat, tabi’in, metode madzhab, pendapat ulama fiqh, ulama syarah, hadits dan
ta’wil. Dasar-dasar ilmu syariah tertumpu pada kitabullah, As-sunnah, ijma atsar
sahabat. Dasar-dasar hukum Islam (ushul fiqh) Al-Ghazali di atas, tergambarkan
dari ungkapan “Dasar pertama dari dasar-dasar pengambilan dalil adalah
kitabullah. Ketahuilah! Apabila kita mencari hakikat, sesungguhnya dasar-dasar
hukum itu satu, yakni kalamullah, karena perkataan Nabi SAW. Bukanlah suatu
hukum yang tetap, melainkan diberitahukan dari Allah bahwa sesungguhnya itu
adalah hukum. Itulah hukum Allah satu-satunya, sedangkan Ijma menunjukkan pada
As-sunnah, dan As-sunnah menunjukkan atas hukum Allah”.
Adapun
al-aql, tidak menunjukkan hukum syariah, tetapi ia menunjukkan atas
ketiadaan hukum ketika ketiadaan pendengaran. Penamaan al-aql, sebagai
bagian dari dasar-dasar hukum memungkinkan mengetahui hal-hal yang akan datang
kebenarannya. Kita hanya bisa melihat lahiriyah hukum dengan perkataan Nabi
SAW, karena sesungguhnya kita tidak bisa mendengar kalamullah atau dari Jibril.
Al-Kitab tampak kepada kita dengan perkataan Nabi SAW.[23]
Berdasarkan
kutipan di atas, tampak bahwa dasar-dasar hukum yang digunakan Al-Ghazali
mengikuti dasar-dasar hukum Imam As-Syafi’i. Pendapat ini diperkuat oleh jaih Mubarok.
Beliau menyatakan bahwa langkah-langkah ijtihad yang dikemukakan oleh Imam
Al-Ghazali, pada dasarnya tidak berbeda dengan Imam Mazhab yang dianutnya,
yaitu Imam Asy-Syafi’i. Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mankhul min
Ta’liqat Al-Ushul, apabila suatu permasalahan dihadapkan kepada Imam
As-Syafi’i, langkah-langkah yang dilakukan oleh Imam As-Syafi’i adalah (a) Nushush
Al-Kitab, (b) Hadist Mutawir, (c) Hadis ahad, (d) Zhahir al-Kitab,
(e) Apabila tidak didapatkan dalam empat landasan di atas, maka ia menggunakan
Ijmak (ijma’) apabila diketahui terdapat ijma, (f) Apabila dalam ijma’pun tidak
didapatkannya, As-Syafi’i menggunakan analogi (qi yas).
Langkah-langkah
ijtihad Al-Ghazali dalam mengeluarkan suatu hukum (fiqh), khususnya dari
Al-Qur’an. Langkah-langkah ijtihad (istimsyar) itu ada empat, yaitu sebagai
berikut:
1.
Dilalah lafaz
dilihat dari shigat-nya di antaranya: amrnahyu, umum, khushus, zhair,
mu’awwal, dan an-nash, ini semua menurut Al-Ghazali disebut shigat
lugowiyah.
2.
Dilalah dilihat
dari al-fahwa wa al-mafhum. Kedua hal ini mengandung cara memahami
al-kitab dan dalil-dalil firman Allah.
3.
Dilalah dilihat
dari darurat maksud lafazh, di sini mengandung jumlah syarat lafazh, seperti perkataan
seseorang maksudnya.
4.
Dilalah dilihat
dari ma’qul al-lafaz, contohnya sabda Nabi SAW dipahami bahwa kata juga
menunjukkan semakna dengan makna lapat, sakit, dan lelah. Dari sinilah, lahir
qiyas dalam menjelaskan hukum-hukum syariah.
Dapat
dipahami bahwa metode fiqh sufistik Al-Ghazali dalam manafsirkan Al-Qur’an
tidak hanya menyandarkan pada makna lahir ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga
makna batin bergantung pada kesucian diri, pengalaman, dan wawasan keagamaan. Ada sebuah
hadist yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa pada setiap
seratus tahun, Allah akan mengutus seorang pembaharu pada umat Islam untuk
memperbaharui urusan agama mereka. Al-Ghazali dipandang umum sebagai pembaharu
abad kelima Hijriah. Kecakapannya dianggap meliputi berbagai disiplin ilmu, di
antaranya etika, logika, teologi, dogmatis, dan hukum Islam. Keistimewaan yang
jarang terjadi pada masanya ialah pengangkatan sebagai rektor Universitas
Nidhamiyah di Bagdad, perguruan tinggi terbaik di Dunia Islam pada waktu itu
dan sebagai guru besar dalam bidang hukum usia 34 tahun.
H.
Simpulan
Pada masa Al-Ghazali telah terjadi permusuhan
antara orang sufi dan orang fiqh. Terdapat aliran-aliran sufi yang tidak
memperdulikan hukum dan jaran Islam, sepert shalat, mereka beranggapan bahwa
tujuan shalat dan ibadah formal lainnya adalah zikir dan bertemu dengan Allah
tanpa shalat. Shalat mereka tinggalkan, orang sufi seperti itu memandang bahwa
ajaran syari’at hanya berupa kulit yang hanya diperlukan oleh orang awam.
Mereka memandang sebanyak ahli fiqih sebagai ahli zhahir yang tidak tahu
jiwa agama yang mempraktikkan dan mengajarkan agama hanya sebagai kulitnya
saja.
Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia
yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti
dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan
menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai
dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan. Dalam pemikirannya
Imam Al-Ghazali membagi maslahat menjadi lima yaitu:
1.
Menjaga
agama (hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan
berjihad jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2.
Menaga
jiwa (hifdz an-Nafs); illat (alasan) diwajibkan hukum qishaash
di antaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
3.
Menjaga
akal (hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang
memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4.
Menjaga
harta (hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk
para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta
orng lain dengan cara bathil yang lain.
5.
Menjga
keturunan (hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan
menuduh orang berbuat zina.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin.
Normativitas atau Historis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 1996.
Abidin, Ahmad Zainal. Riwayat Hidup Al
Ghazâlî. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Al Dimasyqy,
Ibn Al ‘Imâd,. Syadzarâtu al Dzahab fî Akhbâri al Dzahab. Beirut: Dâr
Ibni Katsîr. cet. ke-1, Juz 6. 1987.
Al Dimasyqy,
Ibn Qhâdhî Syuhbah, Thabaqâtu al Syâfi’iyyah, Juz I, cet. ke-1. India:
Dâ’iratu al Ma’ârif al ‘Utsmâniyyah. 1979.
Al Dzahabî. Siyaru A’lâmi Al Nubalâ’,
Cet.ke-11, Juz 19. Beirut: Al Resalah, 1996.
_____ Al I’bar Fi Khairin Min Ghubar,
jilid ke 4.
Al Ghazâli. Al Mustashfâ min Ilmi al Ushûl.
Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al Asyqar. Beirut: Al-Resalah. 1997 M/1418 H.
_____. Al-Munaqidz min al-Dalal.
Istanbul: Daar Darus Safeka.
_____. Ayyuhal Walad, penerjemah. Abu Fahdinal
Husna. Ilmu Nafi’. Jombang : Darul Hikmah. 2005.
_____. Ayyuhal Walad. Sangkapura:
al-Haromain. 2005.
_____. Ihya’ Ulumu ad-Din, Jilid III.
Kairo: al-Sya’ab. 1994.
_____. Menghidupkan Kembali Ilmi-Ilmu Agama,
jilid I. terj. Ismail Ya’kub. Semarang : CV Faizan. 1979.
_____. Mukhtasar Ihya Ulumuddin. Daar Al Fajr: Kairo. 2010.
_____. Tahfut al-Falasifah, diedit oleh
Sulaiman Dunian. Kairo: Daar al-Ma’arif. 1996.
Al Subkî. Thabaqâtu
Al Syâfi’iyyati Al Kubrâ, Juz 6. Beirut: Dâr Ihyâ’ Al Kutub Al ‘Arabiyyah,
t.th.
Al Syâmî,
Shâlih Ahmad. A’lâmu al Muslimîn al Imâm Al Ghazâlî. cet.ke-I, Beirut:
Dâr al Qalam, 1993.
Al-Ghazali, Abu
Hamid. Al Mustasfha Min Ilm Al Ushul. Daar Hadist: Mesir. 2011.
Al-Ghazali,
Imam. Mukhtasar Ihya Ulumuddin. Daar Fikr Baierut: Libanon. 2010.
Al-Ghulayani, Musthofa. Idhah al-Nasihin,
Pekalongan: Rajamurah. 1953.
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Fatah
at-Tuwaanisi,. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
2002.
Al-Mansur, Anshori,. Cara Mendekatkan Diri
Kepada Allah. Jakarta: Grafindo Persada. 2000.
Al-Nassy, Yusuf dan Ali al-Farm,. Ensiklopedi
Islam. Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1993.
Al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Abu,. Sufi
dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka. 1979.
Amin, Ahmad, Etika Ilmu Akhlak. terjemah
Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Amin, Husayn
Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Rosda. 1995.
An-Nahlawy, Prinsip-Prinsip dan Metode
Pendidikan Islam. terj. Dahlan dan Sulaiman. Bandung: Diponegoro. 1992.
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia. 2006.
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali;
Dimensi Ontologi, dan Aksiologi. Bandung: CV Pustaka Setia. 2007.
Arief, Armai,. Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2002.
Asmaran As,. Pengantar Studi Akhlak.
Jakarta: Rajawali. 1992.
Athiyah al-Abrasy, M. Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam. terjemah Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, L.I.S.,
Jakarta: Bulan Bintang. 1970.
Athiyah al-Abrasy, M. Ruh al-Tarbiyah wa
al-Ta’lim. Mesir: Daar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah. Isa al Bab al-Halabi.
tt.
Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’allim. Surabaya:
al-Hidayah. 2004.
Chapra, M. Umer. Masa Depan
Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam. Tazkia Cendekia. 2001.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Jaya Sakti: Surabaya. 1984.
Fakhri, Majid. Etika
Dalam Isalm Surakarta. Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
: 1996.
Henry, Nelson,. Philosophy of Education.
The United of States of America: The University. 1962.
Imad, Ibnu. Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri
Man Dzahab. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah. tt.: Juz 6.
Jamil, Ahmad
Khawaja Hundred Gread Muslims. Terjemahan Tim Penerjemah Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2003.
Jauhar, Ahmad Al-Mursi
Husain. Maqashid Syariah, Jakarta: Amzah. 2010.
Jaya, Asafri. Konsep
Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa
Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam. 1966.
Khalaf, Abdul
Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. Daar Qolam. 1942.
Naqdl Al Mantiq.
Qorib, Ahmad. Ushul Fikih 2,
Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997, Cet, II.
Rahman, Fazlur. Islam, Alih
Bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1994.
Safi, Louay. The Foundation of Knowledge; A
Comaparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry. Selangor:
IIUM dan IIIT. 1996.
Sholihin. Penyucian
Jiwa Dalam Perspektif TasawufAl-Ghazali. Pustaka Setia: Bandung. 2000.
Simuh. Tasawuf
dan Perkembangannya Dalam Islam. PT. Grafindo Persada: Jakarta. 1997.
Subki, Imam. Thabaqhat
As Safiiyah. Juz IV.
Supriadi, Dedi.
Fiqih bernuansa Tasawuf Al-Ghazali Perpaduan antara Syari’at dan Hakikat.
Pustka Setia. Bandung: 2008.
Suratmaputra, Ahmad Munif. Filsafat
Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan
Hukum Islam.
Syarbashi
Al-Ghazali Wa Al Tasawuf.
[1] Abu
Hamid Al-Ghazali, Al Mustasfha Min Ilm Al Ushul, (Daar Hadist: Mesir, 2011) Juz 1, Hal 8.
[2]
Imam Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, (Daar Fikr Baierut: Libanon,
2010).
[3]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Daar Qolam,1942) Hal. 11.
[4]
Imam Subki, Thabaqhat As Safiiyah, Juz IV, Hal. 102-103.
[5]
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Rosda, 1995).
Hal. 177.
[6]
Lihat Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Hal. 178.
[7]
Lihat Mukhtasar Ihya Ulumuddin, Hal. 4.
[9] Naqdl
Al Mantiq, Hal. 53.
[10]
Disadur dari Syarbashi Al-Ghazali Wa Al Tasawuf, Hal. 125.
[11]
Lihat Hujjah Al Islam Al-Ghazali, Hal. 186.
[12] Ibnu Imad, Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri
Man Dzahab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.: Juz 6) Hal. 19.
[13] Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2,
(Jakarta: PT Nimas Multima, 1997), Cet, II), Hal. 170
[14] Fazlur Rahman, Islam, alih
bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994), Hal. 140.
[15] Asafri Jaya, Konsep Maqashid,
Hal. 62. bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo:
Dar al-Qalam,1966), Hal. 12
[16] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid
Syariah, (Jakarta :Amzah, 2010). Hal. 211
[17] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu
Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, (Tazkia Cendekia, 2001), Hal. 102.
[18] Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat
Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan
Hukum Islam, Hal.144.
[19] Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A
Comaparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, (Selangor:
IIUM dan IIIT, 1996), Hal. 8-9.
No comments:
Post a Comment