Tuesday, 24 March 2020

(Tafsir Maqashidi) Istinbath Maqashidi Abu Hamid Al-Ghazali


A.  Biografi Imam Al-Ghazali
Nama asli Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, yang mendapat gelar Hujjah Al Islam (intelektual islam), Zain Ad-Din (cahaya agama), seorang ahli fikih di kalangan madzhab syafi’i. Beliau dilahirkan dikota thusi pada tahun 450 H.[1] Ada dua riwayat yang menyebutkan penisbatan beliau dengan Al-Ghazali. Pertama, disebabkan karena ayah Imam Al-Ghazali adalah seorang pemintal bulu kambing. Pemintal dalam istilah Mu’jamu al-Arab disebut Ghazala. Ahli pintal dikenal dengan istilah Ghazâl. Jadi, nisbat Al-Ghazali seolah menunjuk pada keahlian sang ayah sebagai juru pintal. Ibnu Imad menjelaskan ini dalam kitabnya Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab, juz 6 halaman 19. Riwayat kedua menghubungkan nisbah Al-Ghazali dengan desa tempat Al-Ghazali dilahirkan yaitu Ghazâlah, sebuah kota yang menjadi bandar dari kota Thûs, yang berada di wilayah Khurasân, Persia (Iran).
Beberapa riwayat menjelaskan bawa konon ayahnhya adalah seorang yang sangat shaleh. Ia tidak makan kecuali dari hasil kerjanya. Ia bekerja sebagai tukang tenun kain wol dan menjual di sebuah toko miliknya. Ketika ia akan meninggal, ia menitipkan Al-Ghazali kecil dan saudaranya kepada salah seorang kawannya yang ahli tasawuf. Ahli tasawuf itu yang mendididk mereka berdua, inilah penyebab kebahagiaan dan ketinggian  derajat yang kemudian mereka capai.
Ayah Imam Al-Ghazali adalah seorang yang gemar menimba ilmu fiqih kepada para ulama fikih. Ketika ia meghadiri majlis-majlis taklim mereka, ia senantiasa menagis, memohon ampunan, berdoa kepada Allah SWT agar dikarunia seorang mubaligh dan ahli fiqih dan kemudian Allah mengabulkan permintaanya.[2] Abu hamid adalah orang yang paling pintar diantara teman teman nya di bidang fiqih. Sebagaimana definisi fiqih secara Bahasa “paham” adapun secara istilah syar’. Ilmu yang mengandung hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalil terperinci Al-Qur’an dan hadist atau kumpulan-kumpulan hukum syariat yang masih bersifat umum.[3]
Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama. Beliau termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keselurahan, barangkali Al-Ghazali dan Shalahudin Al Ayubi orang yang paling disukai oleh orang-orang nasrani di barat, karena keduanya dianggap sebagai seorang muslim yang paling dekat dengan orang Kristen. Beliau adalah imam pada masanya, sedangkan saudaranya Ahmad, adalah seorang mubaligh yang saleh dan takwa. Batu akan meleh mendengarkan ceramah-ceramahnya, bergetar, bergemuruh di majlis taklimnya.[4]
Sebelumnya, kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan, karena kaum muslimin terbagi menajadi beberapa kelompok difensif. Di antaranya terdiri atas ulama agama yang telah puas terhadap Al-Qur’an dan hadist, kelompok moderat yang berusaha mengikuti berbagai mazhab filsafat dan rasionalisme, kelompok muktazilah yang mengambil filsafat Yunani dan logika Aristoteles, kelompok syiaah bathiniyah yang berpendapat bahwa nas-nas agama mengandung tafsiran bathin yang tidak dikatahui kecuali orang-orang yang jernih hatinya, kelompok sufi yang percaya bahwa makrifat kepada Allah bisa dicapai oleh pencari hakikat melalui cahaya internal bukan dengan akal atau mengikuti sunah, dan kelompok filosof yang mengikuti pemikiran filsafat Plato modern. Semua kelompok ini saling menarik pemikiran Islam pada zaman Al-Ghazali.[5]
Imam Al-Ghazali sangat cerdas dan teguh pendirian. Beliau mempunyai daya hafal yang kuat, berpikiran kedepan, selalu mencari makna-makna terdalam, seorang pendebat dan diskusission yang baik. Dalam tulisannya Al-Ghazali berkata “Sejak muda hingga saat ini ketika usiaku menjelang lima puluh tahun, kuarungi ombak lautan yang dalam ini, kutemukan berbagai rahasia aliran semua kelompok. Aku tidak meninggalkan kelompok bathiniyah kecuali telah kutelaah kebathiniyaannya, aku tidak meninggal kan kelompok zhahiri kecuali telah kukuasai kezhahiriyahnya, tidak kutinggalkan kelompok filsafat kecuali setelah aku kuasai hakikat filsafatnya. Tidak kutinggalkan kelompok theologis kecuali aku benar-benar mengkaji puncak-puncak thelogis dan perdebatanya, tidak kuabaikan kelompok sufi kecuali aku telah menelusuri rahasia  kesufiaanya, tidak juga kelompok zindik kecuali aku telah meneliti sebab-sebab dibalik keberanianya dan kezindikannya. Rasa penasaran untuk mengetahui hakikat semua persoalan di atas selalu menghantuiku sejak aku masih muda, tampaknya hal itu merupakan  insting dan fitrah dari Allah SWT yang disimpan dalam benakku, bukan karena kemauan dan keinginanku”. Pada tempat yang lain beliau menulis “Jika aku telah mencari ilmu bukan untuk Allah, maka tidak akan mau kecuali bila ilmu itu untuk Allah”.[6]
Sehingga beliau dalam kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin mengawali pembahasan dengan bab ilmu dan keutaamnaya. Beliau menuliskan tentang keutamaan ilmu dalil-dalil dari Al-Qur’an sangat banyak, seperti pada firman Allah Q.S. Al-Mujadilah ayat 11:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ibnu abbas berkata “Derajat para ulama berada di atas kaum muslimin sejauh tujuh ratus derajat jarak. Antara dua derajat adalah tujuh ratus tahun.[7] Al-Ghazali memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan penyingkapan berbagai hakikat. Beliau mempunyai keberaniaan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan mayoritas ulama, misalnya dia menganjurkan penggunaan musik sebagai pengiring ibadah dan wara, dia berkeyakinan bahwa kenikmatan surgawi dan kenikmatan ruhani bukanlah kinikmatan fisikal. Beliau sangat toleran terhadap Kristen dan pengikutnya, bahkan ia mengecam terhadap pelaknatan Yazid bin Muawiyah seraya berkata “setiap orang muslim yang melaknat saudara muslimnya wajib dilaknat”. Singkatnya semua upaya Al-Ghazali yang betul-betul ikhlas telah mewujudkan keteladanan, dia sangat berakhlak zuhud, sederhana, toleran, dan pemaaf. Itulah hal-hal yang membuatnya begitu terhormat dalam sejarah manusia. Beliau meninggal di kota Thus pada hari senin 14 Jumadil Jkhir 505 H pada saat beliau berusia 55 tahun.

B.  Testimony Ulama tentang Imam Al-Ghazali
 Banyak hal yang dapat kita pelajari dari Imam Al-Ghazali. Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Seringnya menunjukkan beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat”.[8]
Imam Ibnu Taimiyah berkata “Imam Abu Hamid Al-Ghazali meski ia adalah seorang  pakar fikih, tasawuf, ilmu kalam, ushuluddin, dan disiplin ilmu lainya. Ia adalah seorang yang zuhud, ahli ibadah, baik hati, dan menguasai ilmu-ilmu keislamanya.[9] Ibnu Nadjar berkata “Abu Hamid Al-Ghazali adalah imam bagi semua ulama fikih, ia adalah pendidik utama  seorang mujtahid pada masanya, ia adalah sumber pengetahuan pada zamannya.[10] Abu Hasan an Nadawi berkata “Tidak diragukan lagi bahwa Al-Ghazali adalah cendikiwan muslim dengan kecerdasan yang luar biasa, ia termasuk intelektual islam, pejuang reformis yang memiliki peran besar dalam membangkitan sprit keagamaan.[11]
Al-Isnawi dalam kitab Thabaqat-nya sebagaimana dikutip oleh Ibnu Imad menggambarkan sosok Al-Ghazali sebagai berikut:
 الغزّالي إمام باسمه تنشرح الصدور، وتحيا النفوس، وبرسمه تفتخر المحابر وتهتزّ الطّروس، وبسماعه تخشع الأصوات وتخضع الرؤوس ولد بطوس، سنة خمسين وأربعمائة، وكان والده يغزل الصّوف ويبيعه في حانوته
Artinya: “Al-Ghazzali adalah seorang imam yang dengan namanya dada menjadi lapang, jiwa menjadi hidup, tinta-tinta menjadi berbangga ketika menulis namanya, kertas-kertas terguncang mendengar namanya, suara-suara akan jadi khusyuk dan kepala-kepala akan tertunduk. Beliau dilahirkan di Thus tahun 450 H. Ayahnya menenun bulu dan menjualnya di tokonya.”[12]

 Al-Ghazali memiliki banyak karya tulis. Beberapa karya yang menjadi masterpiece-nya dan terkenal di Indonesia adalah kitab Ihyâ Ulûm ad-Dîn. Ada juga karya yang lain, dan turut terkenal dan diajarkan di pesantren-pesantren Nusantara antara lain Bidâyat al-Hidâyah, Minhâj al-‘Abidîn, al-Munqîdz min al-Dlalâl dan al-Wasîth dan al-Wajîz. Di dalam ushul al-fiqh, Al-Ghazali memiliki sejumlah karangan antara lain al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Ma’lul fi ikhtilifayah, Tahdzîb al-Ushûl, dan Shifâu al-Ghalil. Sebenarnya masih banyak kitab karya yang lain, namun dari kesekian kitab itu masih agak jarang ditemui di dunia pesantren selain empat kitab yang telah disebutkan.
Sudah begitu banyak ulama yang belajar dari Al-Ghazali terutama dalam bidang aqidah. Beliau adalah penganut paham asy’ariyah. Begitu juga dalam bidang ilmu hadist, ia di kenal dengan kejujurannya dalam menyampaikan ilmu hadist, dan para ulama juga belajar darinya mengenai ilmu kalam walau terjadi perdebatan meruncing dalam bukunya “Kerancuan-Kerancuan Para Filosop“ (Tahafut Al Falasifah), serta tidak adanya pembahasan mengenai jihad dalam buku-buku nya.
C.  Pengertian dari Maqashid Syariah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[13] Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء  artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[14]
Didalam Al-Qur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam surat Al-Jassiyah dan aS-Syura:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Q:S, 45 : 18)

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agam dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)

Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.[15]
Selain itu Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan.[16]




D.  Pemikiran Imam Al-Ghazali
Menurut Imam Al-Ghazali kemaslahatan inti atau pokok mencakup lima hal yang tertuang dalam syair:
Ketahuilah hal itu telah dijaga
Oleh setiap agama yang sudah lalu
Menjaga lima perkara dalam semua syariat
Ialah agama, jiwa dan akal urutan ketiga
Juga keturunan dan harta
Maka kumpulkanlah dalam pendengaran
1.    Menjaga agama (hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihad jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2.    Menaga jiwa (hifdz an-Nafs); illat (alasan) diwajibkan hukum qishaash di antaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
3.    Menjaga akal (hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4.    Menjaga harta (hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan cara bathil yang lain.
5.    Menjga keturunan (hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh orang berbuat zina.
Maqashid syariah atau mashlahat dharuriyyah merupakan sesuatu yang penting demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal tersebut tidak terwujud maka akan menimbulkan kerusakan bahkan maqashid syariah atau mashlahat yaitu menjaga agama (hifdz ad din), menjaga jiwa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al- aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl) dan harta benda (maal), tidak akan terwujud. Menurut Imam Al-Ghazali ”tujuan utama syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (diin), dari (nafs), akal, keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum dan dikehendaki.
Implikasi lima perkara ini dalam ilmu ekonomi akan dikaji belakangan, hanya saja disini perlu disadari bahwa tujuan suatu masyarakat muslim adalah untuk berjuang mencapai cita-cita ideal. Kata melindungi tidak perlu diartikan melindungi status quo, tetapi mengandung arti perlunya mendorong pengayaan perkara-perkara ini secara terus menerus sehingga keadaan makin mendekat kepada kondisi ideal dan membantu umat manusia meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan. Banyak usaha dilakukan oleh sebagian fuqaha untuk menambahkan lima perkara dan mengubah urutannya, namun usaha-usaha ini tampaknya tidak memuaskan para fuqaha lainnya. Imam Asy-Syatibi menulis kira-kira tiga abad setelah Imam Al-Ghazali, menyetujui daftar dan urutan Imam Al-Ghazali yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap sebagai yang paling cocok dengan esensi syariah.[17]
Dalam membahas masalah maqashid, pengayaan agama, diri akal, keturunan, dan harta benda sebenarnya telah menjadi fokus utama usaha semua manusia. Manusia itu sendiri menjadi tujuan sekaligus alat. Tujuan dan alat dalam pandangan Al-Gazali dan juga para fuqaha lainnya, saling berhubungan satu sama lain dan berada dalam satu proses perputaran sebab-akibat. Realisasi tujuan memperkuat alat dan lebih jauh akan mengintensifkan realisasi tujuan.
Diri, akal, keturunan dan harta, begitu urutannya. Harta benda ditempatkan pada urutan terakhir. Hal ini tidak disebabkan ia adalah perkara yang tidak penting, namun karena harta itu tidak dengan sendirinya membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang dalam suatu pola yang adil, kecuali jika faktor manusia itu sendiri telah direformasi untuk menjamin beroperasinya pasar secara fair. Jika harta benda ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi tujuan sendiri, akan menimbulkan ketidakadilan yang kian buruk, ketidakseimbangan, dan akses-akses yang lain pada gilirannya akan mengurangi kesejhteraan mayoritas generasi sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu, keimanan dan harta benda keduanya memang diperlukn bagi kehidupan manusia, tetapi imanlah yang membantu menguatkan suatu disiplin dan makna dalam memperoleh penghidupan dan melakukan pembelajaran sehingga memungkinkan harta itu memenuhi tujuannya seraca lebih efektif.
Selain itu maslahat menurut Al-Ghazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi Al-Ghazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqâshid al-syarî‘ah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqâshid al-syarî‘ah adalah Izz al-Dîn ibn Abd. Al-Salam dari kalangan Syâfî’iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat. Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan takmîlat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklîfharus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pembahasan tentang maqâshid al-syarî‘ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh Al-Syâtibî dari kalangan Mâlikiyah.
Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1.    Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari jiwa/semangat nas dan ijma’. Contoh: menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang memabukkan adalah haram diqiyaskan kepada khamar.
2.    Maslahat yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketika pendapat itu disanggah, mengapa ia tidak memerintahkan Raja itu untuk memerdekakan budak, padahal ia kaya. Ulama itu berkata “kalau raja itu saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya”. Oleh karena itu, maslahatnya, ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini adalah pendapat yang batal dan menyalahi nas dengan maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nas-nasnya disebabkan perubahan kondisi dan situasi.
3.    Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.
Ketiga hal tersebut di atas dijadikan landasan oleh Imam Al-Ghazali dalam membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam:
1)   Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
2)   Maslahat tersebut tidak boleh ber-tentangan dengan Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
3)   Maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah.
4)   Kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zannyang mendekati qat’i.
5)   Dalam kasus-kasus tertentu diperlu-kan persyaratan, harus bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah.
Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam Al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam Al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam Al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak di-sebutkan oleh Imam Al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil peneli-tian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratma Putra terhadap contoh-contoh kasus maslahah mursalah yang di-kemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam buku-bukunya (al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam Al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja.[18]
Implementasi maslahah-mursalah tersebut, para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, bahkan Imam Al-Ghazali memakai beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah, sehingga berimplikasi kepada ketidaksempurnaan pemahaman generasi berikutnya mengenai pendapat ulama terdahulu tentang masalah ini. Dalam kitab al-Mankul, Imam Al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan istilah istidlal sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia memakai istilah istislah, dan dalam kitab Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah munasib mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam Al-Ghazali tetap menyebutnya dengan istilah maslahah-mursalah. Karena Imam Al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan beberapa istilah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam Al-Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Penggunaan terma yang berbeda-beda tersebut juga berimplikasi pada terjadinya distorsi pemahaman pada generasi selanjutnya mengenai teori maslahah-mursalah.
E.  Karya-karya Al-Ghazali
Banyak sekali karya yang telah dilahirkan dari pemikiran Al-Ghazali. Di antara sekian banyak buku yang dikarang Al-Ghazali dalam berbagai disiplin ilmu, yang paling populer dan utama ialah Ihya Ulum Ad-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Melalui kitab ini diketahui beberapa pemikiran Al-Ghazali beberapa bidang, diantaranya masalah tauhid, fiqh dan akhlak dan tasawuf.
1.    Karya Imam Al-Ghazali di Bidang Filsafat dan Ilmu Kalam
1)   Maqashid al-Falasifah
2)   Tahafut al-Falasifah
3)   Al-Iqhtishad fi al-I’tiqad
4)   Al-Munqidz min al-Dhalal
5)   Al-Maqashidul Asna fi Ma’ani Asmillah Al-Husna
6)   Faishalut Tafriqah bainal Islam wa az-Zindiqah
7)   Al-Qishahul Mustaqim
8)   Al-Mustadhiri
9)   Hujjatul Haq
10)    Mufsilul Khilaf fi ushuluddin
11)    Al- Muntahal fi ‘Ilmi Jidal
12)    Al-Madhnun bih ‘Ala Ghairi Ahlihi
13)    Mahkum Nadlar
14)    Asrar ‘Ilmiddin
15)    Al-Arba’in fi Ushuluddin
16)    Iljamul Awwan ‘an ‘Ilmil Kalam
17)    Al-Qulul Umail fi ar-Raddi ‘ala man Ghayaral Injil
18)    Mi’yarul ‘Ilmi
19)    Al-Intishar
20)    Itsbatun Nadlar
2.    Karya Imam Al-Ghazali di Bidang Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
1)   Al-Basith
2)   Al-wasith
3)   Wajiz
4)   Khulashatul mukhtashar
5)   Al-mustasyhfa
6)   Syifakhul ’Alil fi Qiyas
7)   Adz-Dzari’ah ila Maqarimi asy-Syari’ah
3.    Karya Imam Al-Ghazali di Bidang Ilmu Akhlak dan Tasawuf
1)   Ihya Ulumuddin
2)   Mizanul ‘Amal
3)   Kimiyau as-Sa’adah
4)   Misykatul Anwar
5)   Minhajul ‘Abidin
6)   Ad-Dararul Fakhirah fi Kasfil Ulumil Akhirah
7)   Al-‘Ainis fil Wahdah
8)   Al-Qurban ila al-lahi ‘Azza wa Jalla
9)   Akhlaq al-Abrar wan Najat minal Asrar
10)    Bidayatul Hidayah
11)    Al-Mabadi wal Ghayyah
12)    Talbis al-Iblis
13)    Nasihat al-Mulk
14)    Ar-Risalah al-Ladunniyah
15)    Ar-Risalah al-Qudsiyah
16)    Al-Ma’khadz
17)    Al-Amali
4.    Karya Imam Al-Ghazali di Bidang Ilmu Tafsir
1)   Yaqutui Ta’wil fi Tafsiri
2)   Jawahir  

F.   Kandungan Kitab al-Mustashfa
Kitab al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali menjadi bukti kualitas dan kapabilitas sang pengarang di bidang fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa kitab tersebut selesai ditulis pada tahun 503 H. Berbekal informasi ini dan bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa kitab tersebut ditulis selama tiga tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai proyek risetnya ini kurang lebih pada tahun 499 H.
Al-Ghazali mendapat permintaan dari para mahasiswanya di Universitas Nidhâm al-Mulk agar menulis sebuah kitab pegangan (semacam diktat) tentang metode penggalian hukum Islam. Berbekal permintaan inilah, lalu dijawab oleh Al-Ghazali dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushûl. Jika menilik dari tahun akhir penulisan, maka kurang lebihnya al-Mustashfa adalah kitab akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam pemikiran yang sudah benar-benar matang.[19]
Melihat dari judul kitabnya al-Mustashfa yang berarti upaya menuju kondisi shafiyun (bersih), maka seolah kitab ini menggambarkan akhir perjalanan hidup beliau yang sempat menyatakan diri keluar dari Universitas Nidhâm al-Mulk untuk berkonsentrasi pada dunia ketasawufan. Apabila melihat bahwa kitab ini disandarkan pada satu disiplin ilmu ushûl al-fiqh, maka seolah kitab ini beliau hadirkan sebagai wujud metode menempuh jalan pemurnian hati melalui pola penggalian hukum fiqih. Sebagaimana pernah beliau sampaikan bahwa Maqâshid Syarîah pada dasarnya adalah upaya mencapai kesejahteraan (sabîli al-ibtida’), maka yang dimaksud oleh beliau sebagai kesejahteraan tidaklah jauh dari nama salah satu judul kitabnya yaitu upaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (sa’âdah fi al-dunya wa sa’âdah fi al-âkhirat). Hal ini tertuang sebagaimana isi dari kitab Kimiyâu al-Sa’âdah li Al-Ghazali.
Kitab al-Mustashfa disusun dengan penggunaan gaya bahasa yang imbang antara sulit dan mudah. Sistematika penyusunan kitabnya juga unik, karena terkesan rapi dan penyelidikan isi yang cermat. Isi kitab seolah membawa daya tarik tersendiri kepada pembacanya untuk terus-menerus membaca, bahkan jauh dari kesan membosankan, meskipun uraiannya panjang. Pantaslah kiranya kalau al-Juwaini menjuluki Imam Al-Ghazali sebagai al-bahru maghrûq (samudera yang menenggelamkan).
Pembaca karyanya tidak terasa seperti terhipnotis atas uraiannya sehingga sulit untuk mencari titik lemahnya. Istilah zaman sekarang adalah “diam-diam menghanyutkan”. Itulah kiranya padanan julukan dari al-Juwaini ini kepada Al-Ghazali. Jika umumnya para penulis ushul fiqh memulai bahasannya mengenai bahasa hukum dan premis-premis kebahasaan dalam penalaran hukum, lalu dilanjutkan dengan kajian dilâlatu al-ahkâm (dalil-dalil hukum), ikhtilâf dan ittifâq di dalam hukum, ijtihad dan mujtahid serta syarat mujtahid, lalu taqlid dan diakhiri dengan metode tarjîhât al-ahkâm, namun semua itu tidak dengan Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ini. Kitab al-Mustashfa diorganisasikan dalam apa yang disebut dengan istilah “quthub.” Al-Ghazali mendefinisikan quthub sendiri sebagai sesuatu yang memuat substansi yang dituju (والأقطاب هي المشتملة على لباب المقصود).
Sistematika penulisan kitab al-Mustashfa min ilm Ushul Ghazali dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu : tsamrah (al ahkam), al mutsmir (adillar al-ahkam), turuq al-istismar (wajhu al-isridlal), dan al-mustatsmir (al-mujtahid). Empat pokok kajian yang ada dalam al-Mustafshfa, ia disebut al-aqtab al arba’ah. Dalam qatb yang pertama (al-tsamrah) ini berisi tentang hukum wadh’i, taklift rukhshah, azimah dan berbagai permasalahan yang terkait. Yang kedua (al-mutsmir), meliputi pembahasan dasar hukum al-kitab, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan untuk al-qutb yang ketiga berisi tentang cara-cara istidlal. Atau dengan kata lain bagaimana sebuah hukum itu dibuat dielaborasi dari dalil-dalil yang pasti, dengan dua cara; pertama dengan cara kebahasaan dan kedua dengan memahami konteks al-isyarah, al-mafhum dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah tentang al-mustasmir. Qutb ini berisi ijtihad mujtahid dan lain-lain yang berkaitan dengan ijtihad
Mungkin maksud pengorganisasian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa semua materi yang dikaji dalam tiap-tiap quthub-nya adalah berhubungan erat antara satu sama lain membentuk suatu kesatuan bahasan dalam satu ide sentral yang menjadi topik utama kajiannya. Lantas apa sebenarnya tujuan utama beliau dalam membagi kajian ushul fiqih menjadi 4 quthub ini? Asumsi dasar penulis kemungkinan hal itu ditujukan untuk menjawab empat dasar pertanyaan dasar ushul fiqih, antara lain:
1)  Apakah hukum syar’i itu?
2)  Di mana hukum syar’i itu ditemukan atau apa sumber hukum syar’i itu?
3)  Bagaimana cara (metode) menemukan hukum dari sumber hukum syar’i?
4)  Siapa yang berwenang melakukan penemuan hukum syar’i dari sumber-sumber hukum tersebut?
Dengan berbekal pertanyaan ini, maka seolah al-Mustashfa memang hadir tidak lepas dari setting sosial Al-Ghazali sendiri yang sangat panjang dan bahkan sempat menggambarkan dunia eskatisme yang pernah beliau alami, saat itu beliau memutuskan berhenti dari mengajar di Universitas Nidhâm al-Mulk untuk menekuni dunia tashawuf dan tazkiyâtu al-nafs (pembersihan jiwa). Pada bagian awal muqaddimah kitab, Al-Ghazali membaginya menjadi tiga sub-pembahasan. Di sub pertama, ia menjelaskan latar belakang dan motif mengapa ia menulis kitab ini.[20] Sub kedua, ia membahas mengenai apa itu usul fiqih, kedudukannya dalam struktur ilmu-ilmu keislaman, sistematika dan ruang lingkup kajian ushul fiqh.[21] Di bagian sub ketiga, Al-Ghazali membahas mengenai logika Yunani. Di bagian sub ketiga ini, beliau menjelaskan banyak hal tentang logika dengan sangat menarik hingga mencapai kurang lebih 40 halaman tersendiri.[22]
Quthub pertama al-Mustashfa membahas tentang hukum syar’i. Di bagian ini, ia membagi kajian menjadi empat pokok bahasan utama. Pokok bahasan pertama, membahas mengenai hakikat hukum itu sendiri sebagai khithab syar’î (sapaan Ilahi) yang ditujukan kepada perbuatan subjek hukum (mukallaf). Tanpa adanya khithab syar’i, maka tidak ada hukum (hal. 68-80). Pada pokok bahasan pertama, Al-Ghazali membahas mengenai pembagian hukum. Pembahasan ini diawali dengan sebuah diskusi pendahuluan mengenai hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Pembahasan dilanjutkan dengan membahas 15 masalah yang keseluruhannya membicarakan mengenai korelasi dari kelima hukum dengan lafadh amar (perintah) dan nahî (larangan) (hal. 80-100). Pada pokok bahasan ketiga, ia membahas mengenai ‘anâshir al-ahkâm yang di dalam istilah Al-Ghazali disebut arkân al-hukm yang memuat materi hukum itu sendiri. Menurut Al-Ghazali, hukum itu memiliki beberapa rukun, antara lain adalah adanya al-hâkim (pembuat hukum), subjek hukum (al-mahkûm ‘alaih) dan objek hukum (al-mahkûm fîh). Pembahasan arkânu al-hukm ini dibahas sampai 11 lembar (hal. 100-111). Berikutnya, di pokok bahasan keempat, Al-Ghazali mengajukan sebuah diskusi tentang dialektika sebab-sebab hukum dan hubungan hukum dengan sebab-sebab tersebut. Imam Al-Ghazali mengistilahkannya dengan sebutan hukum wadl’i (hal. 111).

G.  Pandangan Al-Ghazali dalam Kitab Mustasfa
Al-Ghazali membagi ilmu kepada tiga bagian ilmu aqliyah, di antaranya ilmu tentang hitung, pertanian, astronomi. Ilmu naqliyah diantaranya hadist dan tafsir serta ilmu asraf (kemulian), ilmu yang mengkolaborasikan kekuatan akal dan pendengaran dalam memami syariat  seperti ilmu fiqih dan ushul fiqih. Menurutnya pula  seseorang belum bisa memahami ushul fiqih sebelum memahami tentang fiqih itu sendiri.
Fiqih menurut Al-Ghazali adalah “Ungkapan tentang mengetahui dan memahami  asas atau pokok yang jelas. Dalam suatu ungkapan beliau ibartakan (si fulan dapat membedakan, mengetahui serta memahami mana yang baik dan buruk). Oleh karena itu dapat memahami tantang ilmu hukum-hukum syariat yang telah ditetapkan pada setiap kitab yang diserukan kepada para umat yang sudah tertaklif.
Salah satu ciri khas Al-Ghazali dalam karya-karyanya adalah sistematika penyusunan dan penulisan yang memudahkan para pembacanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali sendiri, bahwa sistematika yang baik dalam penyusunan suatu karya akan memudahkan pembacanya menguasai materi tersebut. Sebaliknya, orang tidak akan mampu menguasai isi sebuah karya dengan mudah apabila kajian dalam karya tersebut tidak disusun dalam suatu sistematika yang baik.
Dalam hakekat hukum syariat Al-Ghazali terhadap khitab syari kepada mukallaf membagi pada lima; haram, wajib, mubah, mandub (sunah), dan makruh. Azimah dan rukshoh azimah dimabil dari asal kata azmun. Adapun azimah  maksud syari’ yang telah ditetakan dalam artian hukum asal (wajib) sebagaimana Q.S. Thaha ayat 115:
وَلَقَدْ عَهِدْنَآ إِلَىٰٓ ءَادَمَ مِن قَبْلُ فَنَسِىَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُۥ عَزْمًا
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.

Rukun ijtihad menurut alghazali ada 3:
1)      Muztahid (orang yang berijtihad).
2)      Menurut Muztahid fih (sarananya).
3)      Nafsu ijtihad (pokok permasalahaanya).
Pengertian ijtihad menurut beliau mengerahkan kemampuan akal dalam menguasai ilmu pengetahuan, sehingga memperoleh suatu keputusan hukum syariat, syarat-syarat mujtahid kompetensi displin ilmu agama, dan adil. Sedangkan mujtahid fih saran atau kajiannya setiap hukum syariat masih bersifat dzony dilalah bukan qothi dilalah. Al-Ghazali dalam mengkompromikan jika terjadi taaradhu antara dua khobar maka proses dalam mentarjih  maka diteliti matan dan sanadnya sebagai berikut:
1.    Matannya terbukti selamat dari cacat (sisipan perowi).
2.    Sanadnya mutharib tidak disembunyikan perowinya.
3.    Perawinya mashur.
4.    Perawinya diketahui dan tidak lalai.
5.    Dahulukan khobar yang lafaznya sama ketimbang yang lain.
6.    Dahulukan sanad yang marfu.
7.    Teksnya qauliyah.
8.    Dahulukan khobar yang membuat pertentangan atau larangan
9.    Mendahulukan perawi yang lebih dekat dengan peristiwa kejadian.
10.     Rawinya lebih tsiqot, dhabit, dan adil.
11.     Perawi ahli madinah lebih kuat.
12.     Abaikan jika khobarnya terputus pada tingkatan shabat (mursal).
13.     Seruan khobar atas kewajiban atas hukum diutamakan
14.     Al qur ijma nash sebagai penentu dalam mentarjih dari dua khobar yang bertentangan.
Sistematika yang ada dalam al-Mustasfa berbeda dengan kitab-kitab ushul fikih lainnya. Sebelum masuk pembahasan ushul fikih, Al-Ghazali terlebih dahulu memberikan pengantar ilmu mantiq. Tentu saja hal ini tidak mengherankan, karena Al-Ghazali sendiri dikenal sebagai ulama yang memiliki gagasan perpaduan antara Aql (akal) dan Naql (wahyu). Pola pemikiran yang didasarkan pada nash-nash Al-Qur’an, Al-Hadits, atsar sahabat, tabi’in, metode madzhab, pendapat ulama fiqh, ulama syarah, hadits dan ta’wil. Dasar-dasar ilmu syariah tertumpu pada kitabullah, As-sunnah, ijma atsar sahabat. Dasar-dasar hukum Islam (ushul fiqh) Al-Ghazali di atas, tergambarkan dari ungkapan “Dasar pertama dari dasar-dasar pengambilan dalil adalah kitabullah. Ketahuilah! Apabila kita mencari hakikat, sesungguhnya dasar-dasar hukum itu satu, yakni kalamullah, karena perkataan Nabi SAW. Bukanlah suatu hukum yang tetap, melainkan diberitahukan dari Allah bahwa sesungguhnya itu adalah hukum. Itulah hukum Allah satu-satunya, sedangkan Ijma menunjukkan pada As-sunnah, dan As-sunnah menunjukkan atas hukum Allah”.
Adapun al-aql, tidak menunjukkan hukum syariah, tetapi ia menunjukkan atas ketiadaan hukum ketika ketiadaan pendengaran. Penamaan al-aql, sebagai bagian dari dasar-dasar hukum memungkinkan mengetahui hal-hal yang akan datang kebenarannya. Kita hanya bisa melihat lahiriyah hukum dengan perkataan Nabi SAW, karena sesungguhnya kita tidak bisa mendengar kalamullah atau dari Jibril. Al-Kitab tampak kepada kita dengan perkataan Nabi SAW.[23]
Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa dasar-dasar hukum yang digunakan Al-Ghazali mengikuti dasar-dasar hukum Imam As-Syafi’i. Pendapat ini diperkuat oleh jaih Mubarok. Beliau menyatakan bahwa langkah-langkah ijtihad yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali, pada dasarnya tidak berbeda dengan Imam Mazhab yang dianutnya, yaitu Imam Asy-Syafi’i. Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mankhul min Ta’liqat Al-Ushul, apabila suatu permasalahan dihadapkan kepada Imam As-Syafi’i, langkah-langkah yang dilakukan oleh Imam As-Syafi’i adalah (a) Nushush Al-Kitab, (b) Hadist Mutawir, (c) Hadis ahad, (d) Zhahir al-Kitab, (e) Apabila tidak didapatkan dalam empat landasan di atas, maka ia menggunakan Ijmak (ijma’) apabila diketahui terdapat ijma, (f) Apabila dalam ijma’pun tidak didapatkannya, As-Syafi’i menggunakan analogi (qi yas).
Langkah-langkah ijtihad Al-Ghazali dalam mengeluarkan suatu hukum (fiqh), khususnya dari Al-Qur’an. Langkah-langkah ijtihad (istimsyar) itu ada empat, yaitu sebagai berikut:
1.   Dilalah lafaz dilihat dari shigat-nya di antaranya: amrnahyu, umum, khushus, zhair, mu’awwal, dan an-nash, ini semua menurut Al-Ghazali disebut shigat lugowiyah.
2.   Dilalah dilihat dari al-fahwa wa al-mafhum. Kedua hal ini mengandung cara memahami al-kitab dan dalil-dalil firman Allah.
3.   Dilalah dilihat dari darurat maksud lafazh, di sini mengandung jumlah syarat lafazh, seperti perkataan seseorang maksudnya.
4.   Dilalah dilihat dari ma’qul al-lafaz, contohnya sabda Nabi SAW dipahami bahwa kata juga menunjukkan semakna dengan makna lapat, sakit, dan lelah. Dari sinilah, lahir qiyas dalam menjelaskan hukum-hukum syariah.
Dapat dipahami bahwa metode fiqh sufistik Al-Ghazali dalam manafsirkan Al-Qur’an tidak hanya menyandarkan pada makna lahir ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga makna batin bergantung pada kesucian diri, pengalaman, dan wawasan keagamaan. Ada sebuah hadist yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa pada setiap seratus tahun, Allah akan mengutus seorang pembaharu pada umat Islam untuk memperbaharui urusan agama mereka. Al-Ghazali dipandang umum sebagai pembaharu abad kelima Hijriah. Kecakapannya dianggap meliputi berbagai disiplin ilmu, di antaranya etika, logika, teologi, dogmatis, dan hukum Islam. Keistimewaan yang jarang terjadi pada masanya ialah pengangkatan sebagai rektor Universitas Nidhamiyah di Bagdad, perguruan tinggi terbaik di Dunia Islam pada waktu itu dan sebagai guru besar dalam bidang hukum usia 34 tahun.
H.  Simpulan
Pada masa Al-Ghazali telah terjadi permusuhan antara orang sufi dan orang fiqh. Terdapat aliran-aliran sufi yang tidak memperdulikan hukum dan jaran Islam, sepert shalat, mereka beranggapan bahwa tujuan shalat dan ibadah formal lainnya adalah zikir dan bertemu dengan Allah tanpa shalat. Shalat mereka tinggalkan, orang sufi seperti itu memandang bahwa ajaran syari’at hanya berupa kulit yang hanya diperlukan oleh orang awam. Mereka memandang sebanyak ahli fiqih sebagai ahli zhahir yang tidak tahu jiwa agama yang mempraktikkan dan mengajarkan agama hanya sebagai kulitnya saja.
Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan. Dalam pemikirannya Imam Al-Ghazali membagi maslahat menjadi lima yaitu:
1.    Menjaga agama (hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihad jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2.    Menaga jiwa (hifdz an-Nafs); illat (alasan) diwajibkan hukum qishaash di antaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
3.    Menjaga akal (hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4.    Menjaga harta (hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan cara bathil yang lain.
5.    Menjga keturunan (hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh orang berbuat zina.
















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Normativitas atau Historis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 1996.
Abidin, Ahmad Zainal. Riwayat Hidup Al Ghazâlî. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Al Dimasyqy, Ibn Al ‘Imâd,. Syadzarâtu al Dzahab fî Akhbâri al Dzahab. Beirut: Dâr Ibni Katsîr. cet. ke-1, Juz 6. 1987.
Al Dimasyqy, Ibn Qhâdhî Syuhbah, Thabaqâtu al Syâfi’iyyah, Juz I, cet. ke-1. India: Dâ’iratu al Ma’ârif al ‘Utsmâniyyah. 1979.
Al Dzahabî. Siyaru A’lâmi Al Nubalâ’, Cet.ke-11, Juz 19. Beirut: Al Resalah, 1996.
_____ Al I’bar Fi Khairin Min Ghubar, jilid ke 4.
Al Ghazâli. Al Mustashfâ min Ilmi al Ushûl. Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al Asyqar. Beirut: Al-Resalah. 1997 M/1418 H.
_____. Al-Munaqidz min al-Dalal. Istanbul: Daar Darus Safeka.
_____. Ayyuhal Walad, penerjemah. Abu Fahdinal Husna. Ilmu Nafi’. Jombang : Darul Hikmah. 2005.
_____. Ayyuhal Walad. Sangkapura: al-Haromain. 2005.
_____. Ihya’ Ulumu ad-Din, Jilid III. Kairo: al-Sya’ab. 1994.
_____. Menghidupkan Kembali Ilmi-Ilmu Agama, jilid I. terj. Ismail Ya’kub. Semarang : CV Faizan. 1979.
_____. Mukhtasar Ihya Ulumuddin. Daar Al Fajr: Kairo. 2010.
_____. Tahfut al-Falasifah, diedit oleh Sulaiman Dunian. Kairo: Daar al-Ma’arif. 1996.
Al Subkî. Thabaqâtu Al Syâfi’iyyati Al Kubrâ, Juz 6. Beirut: Dâr Ihyâ’ Al Kutub Al ‘Arabiyyah, t.th.
Al Syâmî, Shâlih Ahmad. A’lâmu al Muslimîn al Imâm Al Ghazâlî. cet.ke-I, Beirut: Dâr al Qalam, 1993.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al Mustasfha Min Ilm Al Ushul. Daar Hadist: Mesir. 2011.
Al-Ghazali, Imam. Mukhtasar Ihya Ulumuddin. Daar Fikr Baierut: Libanon. 2010.
Al-Ghulayani, Musthofa. Idhah al-Nasihin, Pekalongan: Rajamurah. 1953.
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Fatah at-Tuwaanisi,. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta. 2002.
Al-Mansur, Anshori,. Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah. Jakarta: Grafindo Persada. 2000.
Al-Nassy, Yusuf dan Ali al-Farm,. Ensiklopedi Islam. Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1993.
Al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Abu,. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka. 1979.
Amin, Ahmad, Etika Ilmu Akhlak. terjemah Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Rosda. 1995.
An-Nahlawy, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. terj. Dahlan dan Sulaiman. Bandung: Diponegoro. 1992.
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia. 2006.
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali; Dimensi Ontologi, dan Aksiologi. Bandung: CV Pustaka Setia. 2007.
Arief, Armai,. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2002.
Asmaran As,. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali. 1992.
Athiyah al-Abrasy, M. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. terjemah Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, L.I.S., Jakarta: Bulan Bintang. 1970.
Athiyah al-Abrasy, M. Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim. Mesir: Daar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah. Isa al Bab al-Halabi. tt.
Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’allim. Surabaya: al-Hidayah. 2004.
Chapra, M. Umer. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam. Tazkia Cendekia. 2001.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Jaya Sakti: Surabaya. 1984.
Fakhri, Majid. Etika Dalam Isalm Surakarta. Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta : 1996.
Henry, Nelson,. Philosophy of Education. The United of States of America: The University. 1962.
Imad, Ibnu. Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah. tt.: Juz 6.
Jamil, Ahmad Khawaja Hundred Gread Muslims. Terjemahan Tim Penerjemah Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2003.
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah, Jakarta: Amzah. 2010.
Jaya, Asafri. Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam. 1966.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. Daar Qolam. 1942.
Naqdl Al Mantiq.
Qorib, Ahmad. Ushul Fikih 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997, Cet, II.
Rahman, Fazlur. IslamAlih Bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1994.
Safi, Louay. The Foundation of Knowledge; A Comaparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry. Selangor: IIUM dan IIIT. 1996.
Sholihin. Penyucian Jiwa Dalam Perspektif TasawufAl-Ghazali. Pustaka Setia: Bandung. 2000.
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. PT. Grafindo Persada: Jakarta. 1997.
Subki, Imam. Thabaqhat As Safiiyah. Juz IV.
Supriadi, Dedi. Fiqih bernuansa Tasawuf Al-Ghazali Perpaduan antara Syari’at dan Hakikat. Pustka Setia. Bandung: 2008.
Suratmaputra, Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam.
Syarbashi Al-Ghazali Wa Al Tasawuf.


[1] Abu Hamid Al-Ghazali, Al Mustasfha Min Ilm Al Ushul,  (Daar Hadist: Mesir, 2011) Juz 1, Hal 8.
[2] Imam Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, (Daar Fikr Baierut: Libanon, 2010).
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Daar Qolam,1942) Hal. 11.
[4] Imam Subki, Thabaqhat As Safiiyah, Juz IV, Hal. 102-103.
[5] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Rosda, 1995). Hal. 177.
[6] Lihat Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Hal. 178.
[7] Lihat Mukhtasar Ihya Ulumuddin, Hal. 4.
[8] Lihat Mukadimah Kitab Bughyatul Murtad, Hal. 110.
[9] Naqdl Al Mantiq, Hal. 53.
[10] Disadur dari Syarbashi Al-Ghazali Wa Al Tasawuf, Hal. 125.
[11] Lihat Hujjah Al Islam Al-Ghazali, Hal. 186.
[12] Ibnu Imad, Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.: Juz 6) Hal. 19.
[13] Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT Nimas Multima, 1997), Cet, II), Hal. 170
[14] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994), Hal. 140.
[15] Asafri Jaya, Konsep Maqashid, Hal. 62. bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam,1966), Hal. 12
[16] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta :Amzah, 2010). Hal. 211
[17] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, (Tazkia Cendekia, 2001), Hal. 102.
[18] Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Hal.144.
[19] Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comaparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, (Selangor: IIUM dan IIIT, 1996), Hal. 8-9.
[20] Lihat al-Mustashfa, Hal. 8-10
[21] Lihat al-Mustashfa, Hal. 11-18
[22] Lihat al-Mustashfa, Hal. 19-68
[23] Al-Ghazali, tt : 100

No comments:

Post a Comment