ILMU MA'ANI AL-HADIS
A.
Pengertian
Kata ma’ani (معانى) adalah bentuk jamak dari kata ma’na (معنى). Secara bahasa kata ma’ani berarti
maksud atau arti. Para ahli ilmu ma’ani mendefinisikannya sebagai
pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut
juga sebagai gambaran dari pikiran. Adapun menurut istilah, ilmu ma’anil hadits
berarti ilmu yang mempelajari hal ihwal lafazh atau kata bahasa arab yang
sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.[1]
B.
Sejarah Perkembangan
Pada zaman Nabi dan sahabat, bahkan tabi’in dan tabi’ut tabi’in
belum dikenal istilah ilmu ma’anil hadits.
Istilah tersebut merupakan istilah baru dalam studi hadis kontemporer. Namun,
menurut sejarah, ilmu tersebut telah diaplikasikan pada zaman beliau Shallallaahu ‘alayhi wa Sallam, meski
mungkin masih sangat sederhana.
Ilmu ma’ani pertama
kali di kembangkan oleh Abd al- Qahir al- Jurzani. Objek kajian ilmu ma’ani adalah
kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan
untuk mengungkap kemukjijatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia
kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu,
objek kajian ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu.
Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan
pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak pada
wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat murad (berdiri
sendiri) sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi
faktor lain). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hasan Tamam, bahwa
tugas ilmu nahwu hanya mengutak ngatik kalimah dalam suatu jumlah tidak sampai
melangkah pada jumlah yang lain.[2]
C.
Objek Kajian
Objek kajian dari ilmu ma’anil
hadits ini adalah hadis Nabi, yang merupakan bukti kebijaksanaan Nabi dalam
mengajarkan agama Allah. Hadis yang menjadi kajian ilmu ini adalah seluruh hadis,
baik yang tekstual maupun kontekstual, agar tidak terjadi pemaknaan ganda atau
pemahaman yang bertentangan.
Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang
bersangkutan, setelah dihubungkan segi-segi yang berkaitan dengannya, misal
latar belakang kejadiannya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang
tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Sedangkan, pemahaman dan penerapan
hadis yang kontekstual dilakukan bila dari suatu hadis tersebut, ada petunjuk yang
kuat yang mengharuskan hadis tersebut dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana
maknanya yang tersurat, melainkan dengan makna tersirat atau kontekstual (bukan
makna sebenarnya).[3]
D.
Arti Penting
Ilmu ma’anil hadits sangat penting dealam konteks
pengembangan studi hadis, antara lain:
1.
Untuk
memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami hadis.
2.
Untuk
mengembangkan pemahaman hadis secara kontekstual dan progresif.
3.
Untuk
melengkapi kajian ilmu hadits riwayah,
sebab kajian hadits riwayah saja
tidak cukup.
4.
Sebagai
kritik terhadap model pemahaman hadis yang terasa rigid dan kaku.[4]
E.
Indikasi (Qarinah) Hadis
Pemahaman
hadis secara tekstual dan kontekstual ditentukan oleh faktor-faktor yang
disebut qarinah atau indikasi yang
dibawa oleh teks itu sendiri.[5]
Hal-hal yang menjadi indikasi tersebut adalah :
1.
Bentuk
matan hadits Nabi dan cakupan petunjuknya, berupa :
a.
Jamawi’ Al Kalim,
yaitu ungkapan yang singkat namun padat makna. Contoh:
الحَرْبُ خُدْعَةٌ. (رواه البخارى و مسلم و غيرهماا عن جابر بن
عبدالله)
“Perang
adalah siasat.” (H.R. Bukhari dan Muslim dan lain-lain, dari Jabir bin ‘Abdullah)
Pemahaman terhadap hadis tersebut adalah
sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap peperangan pastilah memakai
siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak
terikat oleh tempat dan waktu tertentu.[6]
Perang, secara pasti, memerlukan siasat dan jika tanpa siasat, maka sama halnya
menyerah kepada musuh.
b.
Tamsil, yaitu perumpamaan. Contoh:
المُؤمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ
بَعْضًا (رواه البخاري و مسلم و الترمذى عن أبى موسى الأشعرى)
“Orang yang beriman
terhadap orang beriman lainnya ibarat bangunan, bagian satu memperkokoh
terhadap bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Turmudzi, dari Abu Musa
Al Asy’ari)[7]
Hadis tersebut mengungkapkan perumpamaan
bagi orang-orang beriman layaknya bangunan yang saling menguatkan. Orang-orang
beriman tersebut hendaknya saling memperkuat ukhuwah islamiyyah dengan
yang lainnya dan bukan untuk saling menjatuhkan sesamanya.
c.
Ramzi, yaitu ungkapan simbolik. Contoh :
المُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ, وَ
الكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أمْعَاءٍ. (رواه البخارى و الترمذى و أحمد عن ابن
عمر)
“Orang yang beriman itu
makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.” (H.R. Bukhari, Turmudzi dan Ahmad, dari
Ibn ‘Umar)[8]
Perbedaan usus dalam matan hadis
tersebut menunjukkan perbedaan sikap orang beriman dengan orang kafir dalam
menghadapi nikmat Allah, termasuk dalam makan. Orang beriman tidak menjadikan
makan sebagai tujuan hidupnya, berbeda dengan orang kafir yang menjadikan makan
sebagai tujuan hidupnya. Selain itu, dapat dipahami juga, bahwa orang beriman
bersyukur atas nikmat Allah, termasuk dalam hal makan, tidak seperti orang
kafir yang mengingkari dan tamak serta tidak puas dengan apa yang dikaruniakan
oleh-Nya.
d.
Bahasa percakapan atau dialog, yaitu hadis yang
berisi percakapan Nabi dan masyarakat sekitar. Contoh:
قالو : يا رسولَ الله, أيُّ الإسْلَامِ أفْضَلُ؟ قال
: مَنْ سَلَمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (متفق عليه عن أبى موسى
الأشعرى)
“Mereka (para sahabat)
bertanya: ‘Ya Rasulullaah, amalan islam yang manakah yang lebih utama?’ Beliau
menjawab: ‘(Yaitu) orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) mulutnya
dan tangannya.’” (Muttafaq ‘alayh, dari Abu Musa Al Asy’ari)[9]
e. Ungkapan analogi atau qiyas,
yaitu ungkapan yang didalamnya mempunyai hubungan yang sangat logis. Contoh:
Sahabat bertanya pada Nabi: “Apakah
menyalurkan hasrat seksual kami (kepada istri-istri) kami mendapat pahala?”
Nabi menjawab:
أ رَأيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أ
كَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَالِكَ إذَا وَضَعَهَا فِي الحَلَالِ كَانَ لَهُ
أجْرٌ (رواه مسلم عن أبى ذر)
“Bagaimanakah pendapatmu
sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkannya di jalan haram, apakah (dia)
menaggung dosa? Maka demikianlah,bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang
halal, dia mendapat pahala.” (H.R Muslim, dari Abu Dzarr).[10]
Hadis ini menyatakan bahwa jika
penyaluran hasrat di jalan haram (zina) merupakan perbuatan dosa, maka jika
disalurkan secara halal (hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah) adalah
merupakan perbuatan yang diberi pahala.
2. Kandungan
hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad, yaitu bahwa Nabi bukan hanya
seorang rasul, tetapi juga sebagai kepala negara, panglima perang, hakim, tokoh
masyarakat, suami dan pribadi. Berikut contoh hadis Nabi yang dihubungkan
dengan fungsi-fungsi Nabi tersebut.
إنْ أشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ
يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُوْنَ (رواه البخارى و مسلم و غيرهما عن عبد الله بن
مسعود)
“Sesungguhnya orang-orang
yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak
ialah para pelukis.” (H.R bukhari, Muslim dan lainnya, dari ‘Abdullah bin Mas’ud)[11]
Banyak hadis yang melarang perbuatan
melukis makhluk yang bernyawa. Dikatakan bahwa pelukis, pada hari kiamat kelak,
dituntut untuk memberikan nyawanya kepada apa yang dilukisnya. Dan dikatakan
juga bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat lukisan di
dalamnya. Hadis yang disampaikan Nabi ini merupakan salah satu bukti dari
kapasitas beliau sebagai rasulullah, sebab dalam hadits itu menyatakan mengenai
nasib para pelukis di hari kiamat.
3. Petunjuk hadis Nabi
yang dihubungkan dengan latar belakang terjadinya, yaitu hadis yang memiliki
sebab tertentu berupa sebuah peristiwa secara khusus dan dapat berupa suasana
atau keadaan yang bersifat umum yang menjadi latar belakangnya. Hadis ini
digolongkan menjadi: (1) Hadis yang tidak mempunyai sebab secara khusus,
seperti hadis tentang kewajiban menunaikan zakat fithri; (2) Hadis yang
mempunyai sebab khusus, seperti hadis mengenai urusan dunia; dan (3) Hadis yang
berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi, seperti hadis yang berbicara
mengenai dibelenggunya setan pada bulan Ramadhan.
4. Petunjuk hadis Nabi
yang tampak saling bertentangan, yaitu hadis yang sama-sama memiliki kualitas
sahih namun kandungannya tampak bertentangan. Untuk menyelesaikan masalah ini,
cara yang ditempuh ulama berbeda-beda. Ada yang menempuh satu cara dan ada yang
menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda. Istilah-istilah
yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:
a. al-tarjih, yaitu meneliti dan menentukan
petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat.
b. al-jam’u atau al-taufiq
atau al-talfiq, yaitu kedua hadis yang tampak bertentangan
dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya.
c. al-naskh wa al mansukh, yaitu
petunjuk hadis yang satu dinyatakan sebagai penghapus, sedang yang lain sebagai
yang dihapus.
d. al-tauqif, yaitu menunggu
sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjerihkan dan menyelesaikan
pertentangan.[12]
Contoh hadis dari indikasi ini adalah
hadis tentang larangan dan kebolehan menulis hadis.
F. Contoh Penerapan Ilmu Ma’anil Hadits
وَ عَنْ أبى هريرة رضي
الله عنه قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم : انْظُرُوا إلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ
وَلَا تَنْظُرُوا إلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ
اللهِ عَلَيْكُمْ (متفق عليه)
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
menceritakan, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wa Sallam bersabda,
“Pandanglah orang yang ada di bawahmu, jangan kamu pandang orang yang ada di
atasmu, karena hal ini akan lebih menyadarkanmu untuk tidak meremehkan nikmat
Allah yang ada pada dirimu.” (Muttafaq ‘alayh).[13]
Hadis ini menjelaskan perintah untuk melihat
orang-orang yang nasibnya kurang baik (miskin) daripada kita, dan larangan
untuk memandang atau melihat orang-orang yang lebih kaya raya dari kita, karena
hal seperti itu dapat memunculkan rasa iri dan menjadi kufur nikmat dengan apa
yang Allah berikan pada kita. Hadis ini secara tersirat menuntun kita untuk
selalu bersyukur dan tidak meremehkan nikmat-Nya serta membantu orang-orang
yang membutuhkan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan:
a. Ilmu ma’anil hadits adalah ilmu yang mempelajari hal ihwal
lafazh atau kata bahasa arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan
kondisi.
b. Ilmu ma’anil hadits
dikembangkan oleh Abd al- Qahir al- Jurzani.
c. Objek kajiannya adalah hadis yang bersifat tekstual maupun kontekstual.
d. Arti penting dari ilmu ma’anil
hadits yaitu: (1) Untuk
memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami hadis, (2) Untuk mengembangkan pemahaman hadis
secara kontekstual dan progresif, (3) Untuk melengkapi kajian ilmu hadits
riwayah, sebab kajian hadits riwayah saja tidak cukup, (4) Sebagai kritik terhadap model
pemahaman hadis yang terasa rigid dan kaku.
e. Indikasi atau qarinah dari
suatu matan adalah: (1) bentuk matan dan cakupan hadis Nabi, (2) peran dan
fungsi Nabi, (3) latar belakang historis suatu hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Muhammad. Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis,
Yogyakarta: Teras, 2009.
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran yangUniversal, Temporal dan Lokal, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994.
Thohari, Hamim. Terjemah Bulughul Maram (Abu Hajar Al
‘Asqalani), Yogyakarta: Al Birr Press, 2009.
http://komex.wapsite.me/Ilmu%20Maanil%20Hadits
diakses tanggal 2 Mei 2013.
http://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/pengertian-ilmu-ma%E2%80%99ani/ diakses tanggal 2 Mei 2013.
[2] Ibid.
[3] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran
Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm. 6.
[5] Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 21.
[6] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran
Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm. 11.
[7] Ibid., hlm. 14.
[9] Ibid., hlm. 23.
[11] Ibid., hlm. 36.
[12] Ibid., hlm. 73.
No comments:
Post a Comment