PEMAHAMAN HADIS LARANGAN
MENGUCAPKAN SALAM KEPADA NON MUSLIM
Jung
Nurshabah Natsir MB
Program
Magister Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21180340000003
ABSTRAK
Memahami
suatu hadis, tidak cukup hanya dengan melihat teks hadisnya saja. Khususnya jika
hadis tersebut mempunyai asbab al-wurud, akan tetapi harus melihat juga
konteks hadisnya. Banyak hal yang perlu di perhatikan sehingga pesan moral dari
hadis itu bisa tersampaikan. Termasuk
dalam memahami hadis larangan mengucapkan salam bagi non-muslim. Pokok masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana memahami hadis larangan mengucapkan salam
bagi non-muslim? Adakah hadis-hadis anjuran mengucapkan salam kepada non muslim?
Dalam menjawab permasalahan ini,
digunakan metode kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan (library research).
Pengumpulan data dilakukan dengan mengutip, menyalur dan menganalisis
literatur-literatur yang representatif dan relevan dengan masalah yang dibahas,
kemudian mengulas dan menyimpulkannya.
Penelitian
ini menunjukkan bahwa tindakan melarang mengucapkan salam kepada non-muslim
lalu kemudian memepetnya dijalan ketika bertemu adalah proses perbuatan dan
perkataan yang tidak dicontohkan oleh Nabi, hadis ini kemudian perlu untuk
dikontekstualkan dengan melihat asba>b al-wuru>d, kepada sama Nabi
berucap, dalam keadaan bagaimana Nabi berucap dan seterusnya perlu untuk
ditinjau sehingga makna hadis itu dipahami dengan baik. Al-Qur’an dan hadis
banyak menjelaskan tentang cara bergaul dengan orang lain, baik itu sesama muslim
ataupun non-muslim. Mengenai hadis-hadis tentang salam terhadap non-muslim,
terdapat banyak hikmah bisa dipetik didalamnya. Diantaranya jangan terburu-buru
melakukan tindakan tanpa mengetahui seluk beluk permasalahannya, setidaknya
lakukan sesuatu yang masih bisa diusahakan dengan cara yang benar dan
menanamkan sikap toleransi kepada yang berbeda keyakinan terlebih jika tinggal
di negara majemuk.
Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan Salam
kepada Non Muslim
A.
Teks Hadis Larangan Mengucapkan
Salam kepada non Muslim
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي
الدَّرَاوَرْدِيَّ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا
تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ، فَإِذَا لَقِيتُمْ
أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ، فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ»[1]
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id; Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz yaitu Al-Darawardi dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah kalian mendahului orang-orang Yahudi dan Nasrani memberi salam. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit. (HR. Muslim)
Sebagian orang memahami hadis ini sebagai sesuatu yang final untuk di pahami. Sekalipun yang di singgung di dalam hadis di atas adalah orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang kafir lainnya pun berlaku hukum yang sama dalam hal ini, yakni dilarang memulai salam kepada mereka.
Pemahaman ini dikuatkan oleh fatwa yang mereka ambil dari situs Islamweb.net yang diterangkan: “Tidak ada bedanya antara ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan penganut agama-agama lain, dari tinjauan bahwa mereka adalah kafir, seluruhnya berada pada jalan yang salah. Siapa diantara mereka yang meninggal dunia, sementara ia masih berpegang pada keyakinan kufur, dia berada di neraka selamanya.”
B. Memahami Konteks Hadis Larangan Mengucapkan Salam kepada non Muslim
Memahami suatu hadis, tidak cukup hanya dengan melihat teks hadisnya saja. Khususnya jika hadis tersebut mempunyai asbab al-wurud, akan tetapi harus melihat juga konteks hadisnya. Banyak hal yang perlu di perhatikan sehingga pesan moral dari hadis itu bisa tersampaikan. Perlu memperhatikan konteks historisnya, kepada siapa hadis tersebut ditujukan, dalam kondisi seperti apakah Nabi ketika menyampaikan hadis tersebut. Karena memahami sebuah hadis memang sedikit rumit, karena harus melihat dari berbagai aspek yang dinisbatkan kepada Nabi Saw., baik itu ucapan, perbuatan atau pun ketetapannya. Bagi generasi awal upaya-upaya itu tidak banyak memenuhi hambatan karena mereka hidup bersama Nabi Saw. sehingga ketika ada permasalahan baik masalah agama atau sosial kemasyarakatan, mereka langsung merujuk kepada Nabi Saw,. asbab al-wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam memahami sebuah hadis, mengabaikan pemahaman asbab al-wurud, cenderung akan terjebak pada makna tekstual saja dan bahkan membawa pada pemahaman yang keliru.
Dari segi matan, hadis di atas masuk kategori hadis shahih, tetapi tentu menjadi muskil untuk dipatuhi jika dikaitkan dengan konteks masyarakat majemuk. Jika hadis di atas dipahami apa adanya, orang-orang kafir akan dipaksa minggir, bahkan memepet mereka di jalan baik dengan motor atau mobil. Bahkan mengetahui mereka kafir atau bukan akan ada razia KTP yang memeriksa agama pengguna jalan. Atau terpaksa dibuatkan jalur khusus non muslim di pinggir jalan raya. Inikah yang diinginkan Nabi saw., selaku pembawa rahmat bagi semesta alam? Tentu saja sukar dipercaya jika suasana seperti itulah yang dikehendaki oleh Nabi saw.[2]
Dari segi matan, sudah banyak para ulama yang membahas benarkah muslim dilarang mendahului mengucapkan salam pada non-muslim? Sebagian memahami apa adanya larangan dalam hadis di atas, sebagian lagi mengatakan bahwa memulai salam pada Yahudi dan Nasrani itu tidak boleh, tetapi menjawabnya itu tidak masalah. Bahkan ada pula yang membolehkan jika dalam keadaan darurat, adanya keperluan/hajat, dan sebab tertentu.[3]
Hadis ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak siapa saja di antara mereka di pinggir jalan.[4]
Hadis lain yang dijadikan dalil untuk mengucapkan salam kepada orang-orang non muslim adalah:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ "[5]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah, telah menceritakankepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami Ubaidillah bin Abi Bakr bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memberi salam kepada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa’alaikum.”(HR. Bukhari)
Kedua hadis diatas kualitasnya sama-sama shahih. Yusuf al-Qardhawi dalam memahami sunnah dengan berpedoman pada al-Qur’an berpendapat, kalaupun ada sebagian dari kita memperkirakan adanya pertentangan dalam memahami hadis, hal itu disebabkan apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan pertentangan hakiki.[6] Sesuai dengan teori Yusuf al-Qardhawi bahwa pemahaman hadis harus selalu diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Yusuf al-Qaardhawi berpendapat bahwa, keanekaragaman agama terjadi sesuai dengan kehendak Allah Swt., yang pasti memiliki hikmah besar. Dalam surah (Yunus [10]: 99):
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Terjemahan:
Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau memaksa manusia supaya mereka menjadi mukmin semuanya. (Yunus[10] 99).
Masyarakat pertama yang digambarkan pertama kali tentang konteks kehidupan agama yang berbeda adalah masyarakat Nabawi di Madinah, ketika Rasulullah Saw., hijrah ke Madinah. Saat itu sudah ada penduduk asli yakni Yahudi disana. Nabi Saw., mengakui keberadaan Yahudi disana dan melakukan banyak interaksi, baik itu urusan perdagangan, sosial, dan keberagaman. Sejarah telah mencatat bahwa juga Nabi Saw., mengadakan perjanjian yang dikenal dengan istilah piagaman madinah. Islam dan Yahudi saat itu hidup rukun, saling menghargai, membantu dalam keadaan susah maupun senang satu sama lain.
Indikasi lain mengani hadis terkait, diriwayatkan dalam Bukhari pada kitab Adab al-Mufrad bahwa Nabi Saw., hendak pergi berperang dengan menaiki kendaraan beliau ke tempat perkampungan Yahudi dan mengatakan jangan memulai salam pada mereka. Tentu saja mau perang, tidak mungkin untuk mengucapkan salam. Sementara itu, suasana ingin berangkat perang, jika ketemu bakal musuh di jalan, tentu kita harus menunjukkan kebesaran dengan menguasai jalan hingga mereka terdesak ke pinggir. Dengan demikian konteksnya adalah suasana perang, bukan suasana normal sehari-hari.[7]
Dalam konteks sosiohistoris perawi, Abu Hurairah yang hanya bersama Nabi Saw., dalam periode 3 tahun sebelum Nabi wafat. Abu Hurairah yang bergabung dalam perang Khaibar. Dalam periode akhir kehidupan Nabi, memang relasi umat Islam dengan Yahudi berubah menjadi tegang akibat penghianatan kaum Yahudi terhadap nota perjanjian yang sudah ada. Untuk itulah Syekh Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa hadis riwayat Abu Hurairah di atas itu diucapkan Nabi dalam konteks perang.[8]
Para ulama seperti Ibnu Abbas, Imam al-Thabari, Sufyan bin uyainah, Abu Umamah, Ibnu Abi Syaibah, Imam Malik dan Imam ibnu Hanifah tidak melarang kita untuk memulai ucapan salam kepada non muslim. Sering kali pada masa kini hubungan antara umat-beragama menjadi penuh ketegangan dan konflik karena kita tidak bisa memilah mana perkara akidah dan mana perkara muamalah.[9]
Dalam konteks ke Indonesiaan saat ini dimana banyak muslim dan non muslim yang bersahabat atau paling tidak, tidak bermusuhan. Maka sikap ramah terlebih dahulu hendaknya lebih utama di condongkan. Oleh karenanya hukum menguucapkan salam kepada non muslim harus berdasarkan kemaslahatan dan hikmah.
Quraish Shihab mengatakan dalam sebuah tulisannya “Islam mengajarkan agar kedamaian disebarluaskan bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi seluruh makhluk, yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa. Tapi, ini tidak dapat terlaksana sebelum kedamaian terlebih dahulu bersemi di dalam dada penyebarnya. Yang perlu juga digaris bawahi bahwa kedamaian bersemi di hati bukan di akal. Karena itu terang pula bedanya antara ilmu dengan iman. Karena ilmu bersemi di otak, maka ia bisa mengeruhkan pikiran pemiliknya. Sedang iman bersemi di hati, karena itu ia memberi ketenangan dan kedamaian, bukan saja kepada yang beriman, tetapi juga kepada selainnya.”[10]
C. Hadis-hadis Anjuran Menyebarkan Salam
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي الخَيْرِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ»[11]
Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Khalid berkata, Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid dari Abu Al Khair dari Abdullah bin 'Amru; Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Islam manakah yang paling baik?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal".
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا زُرَارَةُ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ سَلَامٍ ح، وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنْ زُرَارَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلَامٍ، قَالَ: لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْجَفَلَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَكُنْتُ فِيمَنِ انْجَفَلَ، فَلَمَّا تَبَيَّنْتُ وَجْهَهُ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ، فَكَانَ أَوَّلُ شَيْءٍ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: " أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ "[12]
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Auf telah bercerita kepada kami Zuzarah berkata; Berkata 'Abdullah bin Salam dan telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami 'Auf dari Zuzarah dari 'Abdullah bin Salam berkata: Saat nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, orang-orang berhamburan mendatangi beliau dan aku termasuk diantaranya, saat aku melihat dengan jelas wajah beliau, aku tahu bahwa wajah beliau bukan wajah pendusta, hal pertama yang aku dengar dari beliau adalah sabda beliau: "Sebarkan salam, berilah makanan, sambunglah tali kekerabatan, shalatlah saat orang-orang tidur niscaya kalian masuk surga dengan selamat."
Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab shahihnya, Ammar berkata “Tiga hal, barangsiapa menyatukan semuanya, ia telah menyatukan iman, bersikap adil terhadap diri sendiri, mengucapkan salam terhadap siapa saja dan bersedekah saat kesusahan.”
Hadis lain yang dijadikan dalil untuk mengucapkan salam kepada orang-orang non muslim adalah:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ "[13]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami Ubaidillah bin Abi Bakr bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memberi salam kepada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa’alaikum.”(HR. Bukhari)
D. Mengeluarkan Fatwa tanpa didukung Kemampuan dan Aturan
Satu hal yang diciptakan oleh kelompok ekstrimis adalah sebuah kondisi yang dinamakan dengan kekacauan fatwa. Keterbukaan ilmu pengetahuan, pemikiran, dan informasi yang dialami oleh kaum muslimin saat ini adalah kondisi unik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak mungkin lagi melakukan pembatasan dan pengaturan saluran-saluran penerimaan, arahan dan fatwa seperti sebelumnya. Sebaliknya, disebabkan oleh beragamnya media informasi tertonton dan terbaca, serta mudahnya akses, seorang muslim bisa mendengar fatwa dan arahan dari mana saja.
Kaum ekstrimis telah memanfaatkan kondisi ini sebagaimana telah memanfaatkan kemampuan-kemampuan mereka untuk menyediakan banyak saluran guna menyebarkan fatwa-fatwa mereka. Sayangnya sebagian mereka, belum memiliki kompetensi untuk berfatwa dan membumikan hukum—hukum agama kea lam nyata kaum muslimin.jika seorang muslim menelaah hakikat fatwa beserta syarat dan etika yang harus dipenuhi oleh seorang mufti, maka akan tahu bahwa orang-orang itu sangat jauh dari kemampuan untuk mengeluarkan fatwa.[14]
Kaum ekstrimis berpegang teguh kepada sejumlah masalah yang sebenarnya tidak mewakili karakter umat, tetapi sekedar masalah-masalah cabang (far’iyyah), lalu mereka jadikan sebagai tolok ukur untuk mengelompokkan kaum muslimin. Sudah menjadi opini umum di kalangan mereka bahwa masalah-masalah itu adalah qath’i (pasti) yang tidak mungkin dipedebatkan, dan bahwasanya kebenaran hanya milik mereka, sehingga orang-orang yang berkata lain telah murtad, fasiq, menyimpang, atau minimal tidak taat atau menggampangkan, atau dituduh tidak ittiba’ Rasul Saw. Mereka benar-benar menyibukkan kaum muslimin dengan masalah-masalah itu. Padahal pandangan-pandangan mereka kebanyakan lemah, bahkan nyeleneh.[15]
E. Kesimpulan
Masalah ucapan salam yang sejatinya menjadi interaksi sosial hendaklah tidak menjadi bagian dari masalah akidah. Hendaknya kita mengetahui mana ketentuan umum yang berhak diberlakukakan untuk kesejahteraan bersama demi tercapainya hubungan damai antara sesama makhluk Allah Swt., tanpa memandang jenis keimanannya, serta mengetahui pula ketentuan khusus yang berlaku seperti dalam kondisi konflik dan peperangan. Jika hal-hal yang ini mampu dibedakan antara keduanya niscaya dunia tidak akan terjadi ketegangan dan konflik isu-isu agama. Al-Qur’an dan hadis banyak menjelaskan tentang cara bergaul dengan orang lain, baik itu sesama muslim ataupun non muslim. Mengenai hadis-hadis tentang salam terhadap non muslim, terdapat banyak hikmah bisa dipetik didalamnya. Diantaranya jangan terburu-buru melakukan tindakan tanpa mengetahui seluk beluk permasalahannya, setidaknya lakukan sesuatu yang masih bisa diusahakan dengan cara yang benar dan menanamkan sikap toleransi kepada yang berbeda keyakinan terlebih jika tinggal di negara majemuk.
DAFTAR PUSTAKA
Hosen, Nadirsyah. Saring sebelum Sharing. Cet. I. Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2019.
https://panrita.id/2019/03/25/salam-dari-damai-pasif-ke-damai-aktif.
Al-Ju’fi, Muh}ammad bin Isma’il Abu
‘Abdillah al-Bukhari. Sahih al-Bukhari. Juz VIII. Cet.
I. Dar Tauq al-Najah. 1422 H.
Jum’ah, Ali. Bukan
Bid’ah Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang Bersikap Keras dalam Beragama,
judul asli: Al-Mutasyaddidun; Manhajuhum...wa Munaqasyat Ahamm QadhayahumI. Cet.
I. Lentera Hati: Ciputat Timur. 2012.
Komarudin, Acep. Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam
terhadap Non Musim Studi Metode Yusuf Al-Qardhawi. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah. 2015.
Al-Naisabury, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan
al-Qusyairy. Sahih Muslim. Juz IV. Dar Ihya al-Turas al-‘Araby. t.th.
Al-San’ani, Muhammad bin Ismail bin Shalah
bin Muhammad al-Husaini. Subulus al-Salam. Juz II. Dar al-Hadis.
Al-Syaibani, Abu
Abdillah Ahmad bin Muhammad bin hanbal bin Hilal bin Asad. Musnad
Ahmad bin Hanbal. Juz
XXXIX. Cet. I.
Muassasah al-Risalah. 1421.
[1] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairy al-Naisabury, Sahih
Muslim, Juz IV, (Dar Ihya al-Turas al-‘Araby,
t.th) h. 1707.
[3] Nadirsyah Hosen, Saring
sebelum Sharing, h. 230. Lihat juga Muhammad bin Ismail bin Shalah bin Muhammad al-Husaini
al-San’ani, Subulus al-Salam, Juz II (Dar al-Hadis) h. 499.
[4] Acep Komarudin, Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan
dan Menjawab Salam terhadap Non Musim Studi Metode Yusuf Al-Qardhawi,
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2015) h.
69.
[5] Muh}ammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhari al-Ju’fi, Sahih al-Bukhari,
Juz VIII, (Cet. I, Dar Tauq al-Najah, 1422 H) h. 57.
[12] Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin hanbal bin Hilal bin
Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz XXXIX, (Cet. I, Muassasah
al-Risalah, 1421) h. 201
[13] Muh}ammad bin Isma>’i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>ri>
al-Ju’fi>, S}ah}i>h} al—Bukha>ri>, Juz VIII, (Cet. I,
Da>r Tauq al-Naja>h, 1422 H) h. 57.
[14] Prof. Dr. Ali Jum’ah, Bukan Bid’ah Menimbang Jalan
Pikiran Orang-orang Bersikap Keras dalam Beragama, judul asli: Al-Mutasyaddidun;
Manhajuhum...wa Munaqasyat Ahamm QadhayahumI, (Cet. I, Lentera Hati:
Ciputat Timur, 2012) h. 75.
[15] Prof. Dr. Ali Jum’ah, Bukan Bid’ah Menimbang Jalan
Pikiran Orang-orang Bersikap Keras dalam Beragama, judul asli: Al-Mutasyaddidun;
Manhajuhum...wa Munaqasyat Ahamm QadhayahumI, h. 27
No comments:
Post a Comment