HADITS-HADITS TANAWWU' AL-IBADAH
Novia Nasyomia
Program
Magister Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
211803400000012
ABSTRAK
Hadiths tanawwu
`al-ibadah are hadiths that explain certain religious practices conducted or
taught the Prophet Muhammad, but from each other so that there is a difference
illustrates the diversity of the teachings in the implementation of the
worship. Differences or religious doctrine is sometimes in the form of
implementing procedures (actions) and sometimes in the form of words or
passagesthat are read by the Prophet Muhammad in worship. If all tanawu
`al-hadith is considered acceptable worship and that there is a difference between
one and the other does not lead to conflict that cannot be compromised, then the
hadith must be received and acknowledged his position to be practiced. The
teachings were brought to be understood as a means or other forms of execution,
or the various forms of literature, which may be followed and practiced, and
which of them is selected, it has qualified for the worship syahnya. It
contains wisdom that the teachings of Islam’s Agana Lues and always makes it
easy for people.
Keywords: Hadith, Tanawwu `al-Ibadah
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah al-Quran yang salah satu fungsinya sebagai penjelas dari ayat-ayat
al-Qur`an yang datang dalam bentuk umum. Penjelasan tersebut bisa dalam bentuk
perkataan (qauliyah), perbuatan (fi`liyah), maupun ketetapan (taqririyah).
Dalam al-Qur`an banyak sekali ayat yang bicara tentang shalat, tetapi tidak
terdapat satu ayatpun yang menjelaskan tata caranya. Di sinilah makanya Rasulullah
perlu menjelaskan tata cara pelaksanaannya, maka keluarlah hadits beliau yang
berbunyi,
وَصَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
"Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat"
Hadits di atas menerangkan bahwa, mengerjakan
shalat harus melihat contoh yang telah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Mafhum
mukhalafahnya, manakala pelaksanaan shalat tidak sesuai dengan apa yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka hal itu termasuk pekerjaan yang salah
yang dalam dalam ibadah disebut dengan bid`ah.
Namun persoalannya adalah, apabila
merujuk kepada Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan tata cara
pelaksanaan ibadah shalat, maka ditemukan banyaknya Hadits-hadits yang
menerangkan tata cara pelaksanaan; baik berupa perkataan atau bacaan-bacaan
tertentu (qauliyah), maupun
berupa perbuatan atau pekerjaan dan gerakan (fi`liyah) Nabi Muhammad
SAW. Yang bermacam-macam. Hal ini akan menimbulkan kebingungan, manakah yang
harus dipegang dan diamalkan.
Sebagai contoh dalam bentuk perbuatan
atau gerakan-gerakan shalat, mulai dari cara berwudhu` yang merupakan praktek
persiapan shalat, takbiratul ihram, bersedekap, takbir ketika `itidal,
dan bangkit dari sujud yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. dengan cara yang
berbeda-beda. Begitu juga dalam bentuk bacaaan-bacaan tertentu di dalam shalat,
misalnya doa iftitah yang bervariasi, bahkan syekh Muhammad Nashiruddin
al-Bani menyebutkan ada dua belas macam bacaan doa tersebut,[1]
begitu pula dengan bacaan tasbih, tahmid dan doa-doa di dalam ruku`,
sujud, duduk di antara dua sujud, dan tahiyat.
Dari segi kualitas, masing-masing
hadits yang berbeda-beda itu ternyata memiliki kualitas yang sama-sama shahih
sehingga dapat dijadikan hujjah dan harus diamalkan. Di sinilah
pengtinya penelitian ini dilakukan untuk dapat dikethui bagaimana pemahaman
terhadap hadits-hadits tanawu`al-ibadah ini dan apa sikap yang harus
diambil terhadap persoalan tersebut.
PENGERTIAN DAN CONTOH-CONTOH
HADIS-HADIS TANAWWU' AL-IBADAH
Secara etimologis, kata tanawwu'
berasal dari kata tanawwa' a-yatanawwa' u yang artinya bermacam-macam
rupanya[2],
Ibadah berasal dari kata abada-ya' budu yang artiya menyembah, mengabdi,
menghinakan diri kepada Allah SWT.[3]
Sedangkan Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan, ketetapan, serta sifat Nabi SAW.[4]
Secara
terminologis, Hadits-hadits tanawwu` al-ibadah adalah Hadits-hadits yang
menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Nabi Muhammad
SAW, akan tetapi antara satu dan lainnya terdapat perbedaan sehingga
menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[5]
Perbedaan atau keberagamaan ajaran dimaksud adakalanya dalam bentuk tata cara
pelaksana (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-bacaan
yang dibaca oleh Nabi Muhammad SAW dalam ibadah.[6] Hadits-hadits
yang berbeda-beda tersebut menempati kualitas yang sama, yaitu sama-sama maqbul
yang harus diamalkan.
Berdasarkan
pengertian di atas, hadits-hadits tanawwu` al-ibadah dikelompokan dalam
dua bentuk yaitu hadits-hadits yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan (fi`liyah)
ibadah Nabi Muhammad SAW., dan ada yang berupa ucapan atau perkataan yang dibaca
dalam ibadah tertentu (qauliah) Nabi Muhammad SAW.
Adapun yang menyangkut tata cara
pelaksanaan Nabi Muhammad SAW., di antaranya dapat dilihat dari tata cara berwudhu`
yang merupakan praktek persiapan shalat, Nabi Muhammad SAW mengajarkan dengan
berbagai cara berbeda, sebagai berikut :
"Dari
Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi SAW berwudhu' dengan satu kali satu kali
basuhan" (HR. Jama'ah kecuali Muslim)
"Dari Abdullah bin Zaid ia berkata:,
"Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu' dengan dua kali, dua kali basuhan
(HR. Bukhari dan Abu Dawud)
أَنَّ عُثْمَانَ تَوَضَّأَ بِالْمَقَاعِدِ، فَقَالَ:
" أَلَا أُرِيكُمْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا[9]
“Sesungguhnya
Utsman berwudu` di atas tempat duduknya, ia berkata, Tidakkah kalian melihat
wudhu` Rasulullah SAW? Lalu ia berwudhu`dengan tiga kali-tiga kali basuhan”(HR. Muslim dan Abu Dawud)
Tiga buah hadits yang berbicara
persoalan tata cara berwudhu` di atas-dilihat dari segi kualitasnya, masing-masingnya
berkualias shahih karena ketiganya terdapat dalam kitab-kitab hadits
utama dan perawinya dapat dipercaya, namun dari segi kandungan makna yang
terdapat di dalamnya, menunjukan ada berbagai bentuk tata cara pelaksanaan yang
ketiga-tiganya berbeda-beda yang tidak mungkin untuk dikompromikan.
Riwayat dari Ibnu Abbas menyebutkan
Nabi Muhammad SAW melaksanakan wudhu` dengan membasuh satu kali-satu kali saja,
sedangkan riwayat dari Abdullah Ibn Zaid menyebutkan Nabi Muhammad SAW berwudhu`
dengan dua kali-dua kali basuhan, sedangkan riwayat dari Utsman menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad SAW berwudhu` dengan membasuh anggota wudhu`nya
tiga-tiga kali basuhan.
Untuk bentuk yang kedua, yakni
hadits-hadits tanawu` al-ibadah menyangkut bacaan yang dibaca, sebagai
contoh, di antaranya dapat dilihat dari hadits-hadits menyangkut bacaan tasyahud
berikut :
Tasyahhud Ibn Mas'ud
Ibnu Mas`ud berkata, Rasulullah SAW
mengajariku tasyahhud-[sedangkan] telapak tanganku berada di antara dua
telapak tangan beliau-sebagaimana beliau mengajariku surat al-Qur`an :
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ
الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عبده ورَسُولُه[10]
“Semua
ucapan penghormatan, pengagungan, dan pujian hanyalah milik Allah. Semoga
keselamatan, rahmat, dan keberkahan-Nya dicurahkan kepadamu wahai Nabi. Semoga
keselamatan dicurahkan kepda kami semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad
SAW hamba dan rasul-Nya.”(HR. Bukhari Muslim)
Tasyahhud Ibn Abbas
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: " كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ،
كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ، فَكَانَ يَقُولُ: التَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ "[11]
“Dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah SAW
mengajari kami tasyahud sebagimana beliau mengajari kami surat al-Qur`an,
beliau mengucapkan: Semua ucapan penghormatan dan keberkahan, juga pengagungan
dan pujian,hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan-Nya
dianugerahkan kepadamu wahai Nabi. Semoga keselamatan dicurahkan kepada kami
semua dan pra hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan
rasul-Nya.”(HR. Muslim)
Tasyahhud Ibnu Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ: التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ،
السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يُصَلِّي
عَلَى النَّبِيِّ ". هَذَا لَفْظُ ابْنِ أَبِي عُثْمَانَ، مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ
وَخَارِجَةُ ضَعِيفَانِ[12]
“Dari Ibnu Umar, diriwayatkan dari
Rasulullah SAW, bahwasanya beliau membaca dalam tasyahudnya: Semua ucapan
penghormatan, pengagungan dan pujian hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan,
dan rahmat Allah dianugerahkan kepadamu wahai Nabi. Inu Umar menambahkan pada
bacaan ini kalimat, begitu pula keberkahanNya Semoga keselamatan dicurahkan kepada kami semua dan
pra hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan
rasul-Nya”
Tasyahhud Abu Musa al-Asy'ari
أَنَّ أَبَا مُوسَى صَلَّى بِالنَّاسِ، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ: عَنِ
النَّبِيِّ : " فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْقُعُودِ فَلْيَقُلْ أَوَّلَ مَا
يَتَكَلَّمُ بِهِ: التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الزَّاكِيَّاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا
اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ". رَوَاهُ مسلم فِي
الصَّحِيحِ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ، عَنْ عَبْدِ
الرَّزَّاقِ[13]
“Dari
Abu Musa al-Asy`ari, Bahwa Rasulullah SAW bersabda: .jika seseorang duduk
(tasyahud) hendaklah yang pertama diucapkannya adalah: Semua ucapan
penghormatan,pujian dan pengagungan hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan,
rahmat dan keberkahan-Nya dianugerahkan kepadamu wahai Nabi. semoga keselamatan
dicurahkan kepada kami semua dan para hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan
Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya”
Tasyahhud Umar Bin al-Khattab
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ:
التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ
اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ
لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ".
هَذَا لَفْظُ ابْنِ أَبِي عُثْمَانَ، مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ وَخَارِجَةُ ضَعِيفَانِ[14]
“Aku menyaksikan Umar berkhutbah di atas mimbar, beliau
mengajari manusi bacaan tasyahud, Nabi SAW bersabda: Semua ucapan penghormatan,
pensucian dan pujian. Semoga keselamatan dicurahkan kepadamu wahai Nabi SAW.
Semoga keselamatan dicurahkan kepda kami semua dan para hamba Allah yang
shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar
kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya.”(HR. Malik dan
Baihaqi)
Tasyahhud `Aisyah
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ يَقُولُ فِي التَّشَهُّدِ فِي
الصَّلاةِ فِي وَسَطِهَا، وَفِي آخِرِهَا، قَوْلا وَاحِدًا: بِسْمِ اللَّهِ
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ الزَّاكِيَّاتُ لِلَّهِ، أَشْهَدُ
أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ،
السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، وَيَعُدُّ لَنَا
بِيَدِهِ عَدَدَ الْعَرَبِ "
“Sesungguhnya
istri Nabi SAW (Aisyah) ia berkata; Ketika tasyahud aku membaca: Semua ucapan penghormatan,
pujian, pengagungan dan pensucian hanyalah milik Allah. Aku bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah,satu-satunya,
tidak ada sekutu bagi- Nya dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad SAW hamba
dan rasul-Nya.”(HR. Malik dan Baihaqi)
Enam macam bacaan atau lafal tasyahud
yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya juga menjadi persoalan
yang harus diselesaikan. Apakah enam macam lafal tasyahud itu dibaca
dalam shalat yang sama, atau pada shalat-shalat yang berbeda. Berkaitan dengan
bacaan-bacaan atau lafal tahmid, tasbih, doa-doa dalam shalat
juga masih banyak yang lain yang antara satu sama lainnya berbeda. Sebagaiamana
contoh bacaan doa iftitah, lafal ruku`, i`tidal dan sujud.
Di sini penulis hanya mengambil contoh
dari tata cara berwudhu, dan lafal-lafal tahiyat, hal ini penulis
pandang sudah mewakili dari sekian banyak persoalan-persoalan hadits-hadits tanawu`
al-ibadah.
METODE
PEMAHAMAN HADITS-HADITS TANAWWU`
AL-`IBADAH
Melihat beberapa contoh hadits-hadits mukhtalif
berkaitan dengan tanawwu` al-ibadah di atas, baik yang menyangkut tata
cara pelaksanaan ibadah, maupun yang menyangkut bacaan tertentu yang antar satu
dan lainnya berbeda, ini menimbulkan pertanyaan dan bahkan bisa menimbulkan
kebingungan di kalangan umat, manakah yang harus diikuti dan diamalkan karena
masing-masingnya memiliki kualitas yang sama, yaitu sama-sama shahih. Oleh
karena itu, persoalan yang harus diselesaikan menyangkut hadits-hadits tanawu`
al-ibadah tersebut yakni bagaimana memahami perbedaan-perbedaan yang ada,
apakah dengan menggunakan metode tarjih, pengkompromian, melihat
konteknya, atau tawaquf sampai ada dalil yang menguatkann di antara hadits-hadits
tersebut.[15]
Hadits-hadits tersebut tidak dapat
dipahami masing-masing secara tersendiri, terpisah dari yang lainnya dan hanya
berpedoman kepada makna lahiriyah saja, melainkan haruslah dengan memperhatikan
keterkaitan makna yang erat antara satu dengan yang lainnya, agar maksud yang
dituju atau yang dikandung oleh hadits-hadits tersebut dapat diketahui dengan
baik serta pertentangan atau perbedaan-perbedaan yang tampak dapat ditemukan
pengkompromiannya. Dengan demikian, keraguan-raguan dalam menerima dan
mengamalkan hadits-hadits tersebut dapat dihindari. Sehubungan hal itu, dapat
dikatakan bahwa bila ada orang yang menilai suatu hadits bertentangan dengan
hadits lainnya, maka jelas bahwa penilaiannya tersebut disebabkan kekeliruan
dan kesalahannya dalam memahami makna yang dikandung atau maksud yang dituju
oleh hadits-hadits tersebut.[16]
Hal tersebut menurut penulis beralasan,
karena Nabi Muhammad SAW sebagai seorang rasul, setiap ucapan, perbuatan dan
bahkan taqrir (ketetapan) beliau, selalu dibimbing oleh wahyu, sebagaimana
firman Allah:
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ
إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
“Tidaklah apa yang keluar dari mulut Nabi itu berdasarkan
hawa nafsunya belaka, melainkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya
(QS.An-najm; 3-4)
Jadi semua hadits-hadits mukhtalif
yang menyangkut tanawwu` al-`ibadah yang berkualitas shahih tidaklah
bertentangan secara mutlak, karena Allah melalui hadits-hadits Nabi Muhammad
SAW tidak mungkin menurunkan syari`at
yang bertentangan. Perbedaan dalam tata cara pelaksanaan (fi`liyah) ibadah
Nabi Muhammad SAW., maupun yang berupa ucapan atau perkataan yang dibaca dalam
ibadah tertentu (qauliah) Nabi Muhammad SAW tersebut, tidak lain adalah
bentuk keluesan ajaran Islam.
Edi Safri menyebutkan bahwa
Hadits-hadits mukhtalif apakah yang menyangkut tanawu` al-ibadah
atau tidak, sebenarnya bersifat relatif. Artinya,adakalanya Hadits hadits
tertentu oleh sebagian orang dipandang sebagai mengandung makna saling
bertentangan, sementara menurut pandangan sebagan yang lain bukanlah
bertentangan. Hal ini tergantung kepada keluasan dan intensitas ilmu yang
dimiliki oleh seseorang untuk mempelajari dan memahami hadits-hadits Nabi
Muhammad SAW.[17]
Penulis berpandangan bahwa
perbedaan-perbedaan yang ada dalam ibadah, apakah yang menyangkut berbagai
bentuk perbuatan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW seperti pada pelaksanaan wudhu`
yang dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW di atas dengan
membasuhnya satu kali, dua kali dan atau tiga kali. Atau pada bacaan-bacaan
dalam shalat, apakah bacaan doa iftitah, tahmid, tasbih
dan doa-doa di dalam shalat termasuk bacaan-bacaan tasyahud seperti
dicontohkan di atas, masing-masingnya tidaklah terjadi pertentangan yang
berkaitan boleh dikerjakan atau harus ditinggalkan. Akan tetapi perbedaan yang
ada dari segi makna tidaklah terdapat pertentangan namun kesemuanya masih dalam
satu makna yang sama atau yang menuntut untuk memilih salah satu cara yang dicontohkan
Nabi Muhammad SAW tanpa memamdang cara yang lain itu salah.
SIKAP TERHADAP HADITS-HADITS TANAWWU’
AL-IBADAH
Persoalan hadits-hadits mukhtalif yang
berkaitan dengan tanawwu’ al-ibadah secara umum telah dibahas oleh Imam
al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm dan
al-Risalah dalam bentuk contoh-contoh. Jadi kalau bicara persoalan sikap
terhadap hadits-hadits tanawwu` al-ibadah, maka apa yang telah ditulis
oleh Imam al-Syafi`i di dalam kedau kitabnya menjadi bahan pertimbangan.
Berdasarkan dua bentuk
contoh Hadits-hadits tanawwu` al-ibadah di atas; untuk bentuk pertama
yakni bentuk perbuatan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW seperti pada
pelaksanaan wudhu` yang dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW di
atas yang melalui jalur yang berbeda-beda. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi
Muhammad SAW membasuh anggota wudhu`nya dengan membasuhnya satu kali. Abdullah
bin Zaid meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan dan mencontohkan membasuh
anggota wudhu` dua kali masing-masingnya. Sedangkan Ustman bin Affan
meriwayatkan bahwa basuhan dalam berwudhu` itu tiga kali.
Ketiga cara pelaksanan
wudhu` yang riwayatnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW tersebut
masing-masingnya bisa diamalkan. Karena perbedaan itu tidak mengarah kepada
pertentangan, tetapi hanya dalam bentuk suatu pilihan cara mana yang akan
dipakai dan juga disesuaikan dengan kondisi yang ada ketika itu.
Untuk bentuk kedua, yakni
pada bacaan-bacaan dalam shalat apakah bacaan doa iftitah, tahmid, tasbih
dan doa-doa di dalam shalat termasuk bacaan bacaan tasyahud Seperti
dicontohkan di atas. Dalam contoh riwayat-riwayat di atas, Nabi Muhammad SAW
mengajarkan para sahabatnya dengan beberapa macam tasyahud yang
masing-masingnya berbeda, apakah yang diajarakan kepada Ibnu Mas`ud, Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa al-Asy`ari, Umar bin Khattab, maupun yang diajarkan
kepada Aisyah R.A.
Masalah yang muncul
berkenaan dengan Hadits-hadits tanawu` al-ibadah menurut Edi Safri ialah
bagaimana harusnya sikap kita dalam menghadapinya, dan manakah di antaranya
yang harus diperpegangi dan diamalkan.[18]
Oleh sebagian orang-sebagaimana tersirat dalam penjelasan
al-Syafi`i-Hadits-hadits tersebut dinilai sebagai hadits mukhtalif yang
mengandung pertentangan.[19]
Penilaian sebagai mukhtalif
ini mungkin timbul karena mereka memandang apabila salah satunya diperpegangi
dan diamalkan, maka konsekuensinya yang lain harus ditolak. Edi safri menilai,
anggapan seperti itu keliru dan tidak benar, sebab seperti dikatakan
al-Syafi`i, Hadits-hadits tersebut satu sama lainnya tidak mengandung makna
yang saling bertentanganan antara halal dan haram, antara perintah dan
larangan, yang tidak mungkin di kompromikan atau dicarikan titik temunya.[20]
Menurut al-Syafi`i,
ajaran atau ketentuan yang dibawa oleh hadits-hadits tersebut meskipun antara
satu dan lainnya mengandung perbedaan, namun tidak berarti hanya satu yang
harus diterima dan yang lainnya harus ditolak, melainkan semua haruslah
dipahami sebagai cara-cara atau bentuk-bentuk pelaksanaan ibadah tersebut yang
boleh diikuti diamalkan (al-ikhtilaf min jihat al-mubah).[21]
Artinya sebagai bentuk tata cara pelaksanaan suatu ibadah seperti berapa kali
membasuh anggota wudhu`, satu, dua atau tiga kali. Begitu juga mengenai apa
yang dibaca dalam doa iftitah, ruku`, i`tidal, sujud, duduk antara dua
sujud dan tasyahud dengan berbagai versi yang Nabi Muhammad SAW ajarkan,
semuanya boleh diikuti dan diamalkan dan sama-yang ada dari segi makna tidaklah
terdapat pertentangan namun kesemuanya masih dalam satu makna yang sama atau
yang menuntut untuk memilih salah satu cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW
tanpa memamdang cara yang lain itu salah.
Jadi, dalam menghadapi
Hadits-hadits tanawu` al-ibadah seperti pada contoh-contoh di atas,
sikap yang harus di ambil adalah:
Pertama, harus diperhatikan
apakah hadits-hadits tersebut semua dalam kategori hadits maqbul atau
tidak. Kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang terkandung
oleh masing-masingnya membawa pertentangan (kontradiksi) atau tidak. Edi Safri
berpandangan bahwa apabila hadits-hadits tersebut termasuk kategori maqbul dan
perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada
pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadits-hadits tersebut semua
haruslah diterima dan diakui ke-hujjah-annya untuk diikuti dan
diamalkan, dan mana saja yang dipilih, hal itu telah memenuhi syarat bagi
sahnya ibadah tersebut.[22]
Apa yang dikemukakan oleh
Edi Safri menurut penulis adalah cara yang paling tepat dan adil terhadap
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, karena kalau semua hadits tersebut
dikategorikan sebagai hadits maqbul, keontentisitasnya tidak dikeragui
lagi bahwa ia benar-benar dari Nabi SAW. Sikap ini perlu dimiliki dalam rangka
menjaga dan memelihara hadits-hadits Nabi SAW serta mengamalkannya sebagai hujjah
agama.
Kedua, manakah di antaranya
yang lebih baik (afdhal) untuk diikuti dan diamalkan? Mencari yang lebih
utama dari yang utama itu perlu, guna meningkatkan kualitas amal dan
pengaruhnya bagi pelaku maupun orang lain. Karena semua hadits-hadits tanawu`
al-ibadah boleh diikuti dan diamalkan. Jawabannya adalah yang lebih
sempurna di antaranya.
Khusus menyangkut
hadits-hadits tentang tata cara berwudhu`, dari ke tiga hadits tersebut,
menurut al-Syafi`i, bahwa dari ketiga hadits tersebut sebenarnya dapat ditarik
satu ajaran bahwa cara minimal yang dituntut untuk sahnya wudhu` adalah dengan
membasuh anggota wudhu` masing-masingnya satu kali, satu kali (berdasarkan
hadits Ibnu Abbas), dan sempurnanya ada lah tiga kali, tiga kali (berdasarkan
hadits Utsman).[23] Namun Edi Safri ber
pandangan, yang afdhal untuk didahulukan mengamalkannya adalah yang
lebih sempurna di antaranya, yakni membasuhnya tiga kali-tiga kali. Bahkan
dalam situasi tertentu, mungkin saja pilihan terbaik adalah satu kali, satu
kali seperti ketika air sulit atau cuaca sangat dingin.[24]
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa cara yang terbaik bagi seseorang dalam berwudhu` adalah dengan
membasuhnya tiga kali, tiga kali. Boleh juga memilih membasuh dua kali, dua
kali atau satu kali, satu kali seperti dengan alasan di atas. Penulis
berpandangan, adanya pilihan tiga kali, dua kali, maupun satu kali dalam
membasuh anggota wudhu` itu berlaku umum. Akan tetapi apa bila adanya
riwayat yang menjelaskan bagi anggota-anggota tertentu hanya di basuh satu
kali, dan riwayat itu banyak, sebagai contoh, membasuh kepala dalam banyak riwayat
dianjurkan satu kali[25]
dengan mengusap air ke seluruh kepala, lalu telinga, maka ini yang paling tepat
untuk dilaksanakan.
Demikian juga hadits
tentang bacaan dalam doa iftitah, ruku`, i`tidal, su jud, duduk antara
dua sujud dan tasyahud, yang memiliki berbagai versi bacaan, semuanya
mengandung makna yang sama yaitu mengagungkan Allah dan permohonan. Dalam
persoalan bacaan tasyahud, al-Syafi`i memilih hadits dari Ibnu Abbas
sebagai yang afdhal untuk diamalkan, dengan alasan karena hadits ini memiliki
redaksi yang lebih luas dan lebih lengkap, baik dari segi kata-kata maupun dari
segi makna, di samping sama-sama berkualitas shahih. Meskipun demikian,
ditegaskannya bahwa dengan pemilihannya terhadap hadits Ibn Abbas tersebut, ia
tidak bermaksud untuk mencela atau meremehkan orang-orang yang beramal dengan
hadits yang lain.[26]
Penulis sependapat dengan
pendapat al-Syafi`i di atas dalam menentukan yang afdhal untuk
diamalkan. Tapi, ada yang lebih penting untuk menjadi pertimbangan dalam
memilih bacaan mana yang akan dibaca dalam doa iftitah, ruku`, i`tidal,
sujud, dan tasyahud, sesuai dengan kapan, di mana dan dalam shalat
apa Nabi Muhammad SAW sering membaca bacaan-bacaan tersebut. Sebagai contoh
bacaan doa iftitah yang berjumlah dua belas macam, ada yang biasa Nabi
SAW baca ketika shalat fardhu, dalam shalat sunat, dalam shalat fardhu dan
sunat[27]
dan sebagainya. Karena dalam ibadah-terutama shalat harus mencontoh apa yang
telah dilakukan oleh NabiMuhammad SAW. Sebagaimana sabda beliau.
وَصَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat”
Ketiga, adanya beberapa
cara atau bentuk-bentuk pelaksanaan suatu ibadah seperti dalam membasuh anggota
wudhu`, tata cara takbir, bersidekap, doa iftitah, ruku`, i`tidal,
sujud, dan tasyahud yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, haruslah
dipahami sebagai mengandung hikmah yang membawa kemudahan bagi umat.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas,
maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut;
Pertama, Hadits-hadits tanawwu`
al-ibadah adalah hadits-hadits yang menerangkan praktek ibadah tertentu
yang dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, akan tetapi antara satu
dan lainnya terdapat perbedaan, sehingga menggambarkan adanya keberagaman
ajaran dalam pelaksanaan ibadah tertentu.
Kedua, Hadits-hadits
tersebut harus dipahami secra utuh dan haruslah diperhatikan keterkaitan makna
yang erat antara satu dengan lainnya, sehingga pertentangan atau perbedaan yang
tampak dapat ditemulkan pengkompromiannya. Dengan demikian, keragu-raguan dalam
menerima dan mengamalkan hadits-hadits tersebut dapat dihindari.
Ketiga, apabila semua
hadits tanawu` al-ibadah tersebut dikategorikan maqbul dan perbedaan
yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang
tidak dapat dikompromikan, maka hadits-hadits tersebut haruslah diterima dan
diakui ke-hujjah-annya untuk diamalkan. Ajaran-ajaran yang dibawanya haruslah
dipahami sebagi cara-cara atau bentukbentuk pelaksanaan, atau macam-macam
bentuk bacaan, yang boleh Diikuti dan diamalkan, dan mana saja yang di
antaranya yang dipilih, hal itu telah memenuhi syarat bagi syahnya ibadah
tersebut. Hal ini mengandung hikmah bahwa ajaran agama Islam ini luwes dan
selalu memberikan kemudahan Bagi umatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Azadiy, Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as
al-Sajastaniy, t.th, Sunan Abu Dawud, Bairut: Dar al-Fikr
al-Bani, Syeik Muhammad Nashirudin, 2010, Sifat
Shalat Nabi, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, judul Asli “Shifat Shalat
al-Nabiy Shalallahu Alaihi Wa Sallam”, Solo: At-Tibyan.
al-Bukhariy, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail,
t.th, Shahih al-Bukhariy, Bairut: Dar al-Ma`arif Al-Hurriyah, Vol. 14,
No. 1, Januari-Juni 2013
al-Naisaburiy, Abu al-Husain Muslim Ibn
al-Hajaj al-Qusyairiy, 1998, Shahih Muslim, Bairut: Dar al-Fik
Sabiq, Sayid, 1983, Fiqh Sunnah, Bairut:
Dar al-Fikr
Safri, Edi, 1999, al-Imam al-Syafi,i,
Metode Penyesalan Hadits-hadis Mukhtalif, Padang: IAIN Imam Bonjol Press
al-Syafi`i, Muhammad Ibn Idris t.th, al-Umm,
Bairut: Dar al- Fikr, tth
al-Syaukani, Muhammad Ibn Aliy Ibn Muhammad
1982, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar Min Sayyid al-Akhyar, Bairut:
Dar al-Fikr
Taimiyah, Ibn, 1389 H, Majmu` al-Fatawa, Bairut:
Dar al-`Arabiyah
Thahan, Mahmud, t.th, Taisir Mushthalah
al-Hadits, tt: Dar al-Fikr
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud
Yunus Wadzuriyah
[1]
Lihat
Syeikh Muhammad Nashirudin al-Bani, Sifat Shalat Nabi, Penerjemah Abu
Ihsan al-Atsari, judul Asli “Shifat Shalat al-Nabiy Shalallahu Alaihi wa
Sallam”, (Solo: At-Tibyan, 2010), Cet.ke-1, h.106-113.
[2]
Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah,1990),
Cet. Ke-8, h.474
[6]
Edi
Safri, al-Imam al-Syafi,i, Metode Penyesalan Hadits-hadis Mutawatir, (Padang:
IAIN Imam Bonjol Press, 1999) Cet. Ke-1, h.3
[7]
Muhammad Ibn Aliy Ibn Muhammad al-Syaukani [Selanjutnya di sebut
al-Syaukani],Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar Min Sayyid al-Akhyar, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1982) Jilid 1, h. 213-215.
[8]
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy [selanjutnya di
sebut al-Bukhariy], Shahih al-Bukhariy, (Bairut: Dar al-Ma`arif, tth),
Jilid 1, h. 40 dan juga lihat: Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as al-Sajastaniy
al-Azadiy [selanjutnya di sebut Abu Dawud], Sunan Abu Dawud, (Bairut:
Dar al-Fikr, tth.), Jilid 1, h. 34
[9]
Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajaj al-Qusyairiy al-Nasaiburiy
[selanjutnya di sebut Muslim], Shahih Muslim, (Bairut: Dar
al-Fikr, 1998) Jilid 1 h.124., Abu Dawud, Sunan..., h.34
[16]
Edi Safri, al-Imam al-Syafi`i; Metode Penyelesaian
Hadits-hadits Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press,
1999), Cet.ke-1, h. 90
No comments:
Post a Comment