Tuesday, 24 March 2020

HADITS-HADITS TANAWWU' AL-IBADAH


HADITS-HADITS TANAWWU' AL-IBADAH

Novia Nasyomia
Program Magister Fakultas Ushuluddin
 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
211803400000012

ABSTRAK
Hadiths tanawwu `al-ibadah are hadiths that explain certain religious practices conducted or taught the Prophet Muhammad, but from each other so that there is a difference illustrates the diversity of the teachings in the implementation of the worship. Differences or religious doctrine is sometimes in the form of implementing procedures (actions) and sometimes in the form of words or passagesthat are read by the Prophet Muhammad in worship. If all tanawu `al-hadith is considered acceptable worship and that there is a difference between one and the other does not lead to conflict that cannot be compromised, then the hadith must be received and acknowledged his position to be practiced. The teachings were brought to be understood as a means or other forms of execution, or the various forms of literature, which may be followed and practiced, and which of them is selected, it has qualified for the worship syahnya. It contains wisdom that the teachings of Islam’s Agana Lues and always makes it easy for people.

Keywords: Hadith, Tanawwu `al-Ibadah





PENDAHULUAN

Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran yang salah satu fungsinya sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur`an yang datang dalam bentuk umum. Penjelasan tersebut bisa dalam bentuk perkataan (qauliyah), perbuatan (fi`liyah), maupun ketetapan (taqririyah). Dalam al-Qur`an banyak sekali ayat yang bicara tentang shalat, tetapi tidak terdapat satu ayatpun yang menjelaskan tata caranya. Di sinilah makanya Rasulullah perlu menjelaskan tata cara pelaksanaannya, maka keluarlah hadits beliau yang berbunyi,

          وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat"

Hadits di atas menerangkan bahwa, mengerjakan shalat harus melihat contoh yang telah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Mafhum mukhalafahnya, manakala pelaksanaan shalat tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka hal itu termasuk pekerjaan yang salah yang dalam dalam ibadah disebut dengan bid`ah.
Namun persoalannya adalah, apabila merujuk kepada Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan tata cara pelaksanaan ibadah shalat, maka ditemukan banyaknya Hadits-hadits yang menerangkan tata cara pelaksanaan; baik berupa perkataan atau bacaan-bacaan tertentu  (qauliyah), maupun berupa perbuatan atau pekerjaan dan gerakan (fi`liyah) Nabi Muhammad SAW. Yang bermacam-macam. Hal ini akan menimbulkan kebingungan, manakah yang harus dipegang dan diamalkan.
Sebagai contoh dalam bentuk perbuatan atau gerakan-gerakan shalat, mulai dari cara berwudhu` yang merupakan praktek persiapan shalat, takbiratul ihram, bersedekap, takbir ketika `itidal, dan bangkit dari sujud yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. dengan cara yang berbeda-beda. Begitu juga dalam bentuk bacaaan-bacaan tertentu di dalam shalat, misalnya doa iftitah yang bervariasi, bahkan syekh Muhammad Nashiruddin al-Bani menyebutkan ada dua belas macam bacaan doa tersebut,[1] begitu pula dengan bacaan tasbih, tahmid dan doa-doa di dalam ruku`, sujud, duduk di antara dua sujud, dan tahiyat.
Dari segi kualitas, masing-masing hadits yang berbeda-beda itu ternyata memiliki kualitas yang sama-sama shahih sehingga dapat dijadikan hujjah dan harus diamalkan. Di sinilah pengtinya penelitian ini dilakukan untuk dapat dikethui bagaimana pemahaman terhadap hadits-hadits tanawu`al-ibadah ini dan apa sikap yang harus diambil terhadap persoalan tersebut.


PENGERTIAN DAN CONTOH-CONTOH HADIS-HADIS TANAWWU' AL-IBADAH

Secara etimologis, kata tanawwu' berasal dari kata tanawwa' a-yatanawwa' u yang artinya bermacam-macam rupanya[2], Ibadah berasal dari kata abada-ya' budu yang artiya menyembah, mengabdi, menghinakan diri kepada Allah SWT.[3] Sedangkan Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, ketetapan, serta sifat Nabi SAW.[4]
          Secara terminologis, Hadits-hadits tanawwu` al-ibadah adalah Hadits-hadits yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Nabi Muhammad SAW, akan tetapi antara satu dan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[5] Perbedaan atau keberagamaan ajaran dimaksud adakalanya dalam bentuk tata cara pelaksana (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-bacaan yang dibaca oleh Nabi Muhammad SAW dalam ibadah.[6] Hadits-hadits yang berbeda-beda tersebut menempati kualitas yang sama, yaitu sama-sama maqbul yang harus diamalkan.
          Berdasarkan pengertian di atas, hadits-hadits tanawwu` al-ibadah dikelompokan dalam dua bentuk yaitu hadits-hadits yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan (fi`liyah) ibadah Nabi Muhammad SAW., dan ada yang berupa ucapan atau perkataan yang dibaca dalam ibadah tertentu (qauliah) Nabi Muhammad SAW.
Adapun yang menyangkut tata cara pelaksanaan Nabi Muhammad SAW., di antaranya dapat dilihat dari tata cara berwudhu` yang merupakan praktek persiapan shalat, Nabi Muhammad SAW mengajarkan dengan berbagai cara berbeda, sebagai berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " تَوَضَّأَ النَّبِيُّ مَرَّةً مَرَّةً [7]

"Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi SAW berwudhu' dengan satu kali satu kali basuhan" (HR. Jama'ah kecuali Muslim)
عن عبد الله بن زيد أنّ النبي صلى الله عليه و سلّم توضّأ مرّت مرّت[8]
         
"Dari Abdullah bin Zaid ia berkata:, "Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu' dengan dua kali, dua kali basuhan (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
أَنَّ عُثْمَانَ تَوَضَّأَ بِالْمَقَاعِدِ، فَقَالَ: " أَلَا أُرِيكُمْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ  ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا[9]
“Sesungguhnya Utsman berwudu` di atas tempat duduknya, ia berkata, Tidakkah kalian melihat wudhu` Rasulullah SAW? Lalu ia berwudhu`dengan tiga kali-tiga kali basuhan”(HR. Muslim dan Abu Dawud)

Tiga buah hadits yang berbicara persoalan tata cara berwudhu` di atas-dilihat dari segi kualitasnya, masing-masingnya berkualias shahih karena ketiganya terdapat dalam kitab-kitab hadits utama dan perawinya dapat dipercaya, namun dari segi kandungan makna yang terdapat di dalamnya, menunjukan ada berbagai bentuk tata cara pelaksanaan yang ketiga-tiganya berbeda-beda yang tidak mungkin untuk dikompromikan.
Riwayat dari Ibnu Abbas menyebutkan Nabi Muhammad SAW melaksanakan wudhu` dengan membasuh satu kali-satu kali saja, sedangkan riwayat dari Abdullah Ibn Zaid menyebutkan Nabi Muhammad SAW berwudhu` dengan dua kali-dua kali basuhan, sedangkan riwayat dari Utsman menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW berwudhu` dengan membasuh anggota wudhu`nya tiga-tiga kali basuhan.
Untuk bentuk yang kedua, yakni hadits-hadits tanawu` al-ibadah menyangkut bacaan yang dibaca, sebagai contoh, di antaranya dapat dilihat dari hadits-hadits menyangkut bacaan tasyahud berikut :

Tasyahhud Ibn Mas'ud

Ibnu Mas`ud berkata, Rasulullah SAW mengajariku tasyahhud-[sedangkan] telapak tanganku berada di antara dua telapak tangan beliau-sebagaimana beliau mengajariku surat al-Qur`an :

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عبده ورَسُولُه[10]

“Semua ucapan penghormatan, pengagungan, dan pujian hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan-Nya dicurahkan kepadamu wahai Nabi. Semoga keselamatan dicurahkan kepda kami semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya.”(HR. Bukhari Muslim)

Tasyahhud Ibn Abbas

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ، كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ، فَكَانَ يَقُولُ: التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ "[11]

“Dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah SAW mengajari kami tasyahud sebagimana beliau mengajari kami surat al-Qur`an, beliau mengucapkan: Semua ucapan penghormatan dan keberkahan, juga pengagungan dan pujian,hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan-Nya dianugerahkan kepadamu wahai Nabi. Semoga keselamatan dicurahkan kepada kami semua dan pra hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya.”(HR. Muslim)

Tasyahhud Ibnu Umar


عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ: التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ". هَذَا لَفْظُ ابْنِ أَبِي عُثْمَانَ، مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ وَخَارِجَةُ ضَعِيفَانِ[12]

“Dari Ibnu Umar, diriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwasanya beliau membaca dalam tasyahudnya: Semua ucapan penghormatan, pengagungan dan pujian hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan, dan rahmat Allah dianugerahkan kepadamu wahai Nabi. Inu Umar menambahkan pada bacaan ini kalimat, begitu pula keberkahanNya Semoga keselamatan dicurahkan kepada kami semua dan pra hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya”

Tasyahhud Abu Musa al-Asy'ari

أَنَّ أَبَا مُوسَى صَلَّى بِالنَّاسِ، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ: عَنِ النَّبِيِّ : " فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْقُعُودِ فَلْيَقُلْ أَوَّلَ مَا يَتَكَلَّمُ بِهِ: التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الزَّاكِيَّاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ". رَوَاهُ مسلم فِي الصَّحِيحِ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ[13]
“Dari Abu Musa al-Asy`ari, Bahwa Rasulullah SAW bersabda: .jika seseorang duduk (tasyahud) hendaklah yang pertama diucapkannya adalah: Semua ucapan penghormatan,pujian dan pengagungan hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan-Nya dianugerahkan kepadamu wahai Nabi. semoga keselamatan dicurahkan kepada kami semua dan para hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya”

Tasyahhud Umar Bin al-Khattab
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ: التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ". هَذَا لَفْظُ ابْنِ أَبِي عُثْمَانَ، مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ وَخَارِجَةُ ضَعِيفَانِ[14]
 “Aku menyaksikan Umar berkhutbah di atas mimbar, beliau mengajari manusi bacaan tasyahud, Nabi SAW bersabda: Semua ucapan penghormatan, pensucian dan pujian. Semoga keselamatan dicurahkan kepadamu wahai Nabi SAW. Semoga keselamatan dicurahkan kepda kami semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya.”(HR. Malik dan Baihaqi)

Tasyahhud `Aisyah

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ يَقُولُ فِي التَّشَهُّدِ فِي الصَّلاةِ فِي وَسَطِهَا، وَفِي آخِرِهَا، قَوْلا وَاحِدًا: بِسْمِ اللَّهِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ الزَّاكِيَّاتُ لِلَّهِ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، وَيَعُدُّ لَنَا بِيَدِهِ عَدَدَ الْعَرَبِ "
“Sesungguhnya istri Nabi SAW (Aisyah) ia berkata; Ketika tasyahud aku membaca: Semua ucapan penghormatan, pujian, pengagungan dan pensucian hanyalah milik Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah,satu-satunya, tidak ada sekutu bagi- Nya dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Nya.”(HR. Malik dan Baihaqi)
Enam macam bacaan atau lafal tasyahud yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya juga menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Apakah enam macam lafal tasyahud itu dibaca dalam shalat yang sama, atau pada shalat-shalat yang berbeda. Berkaitan dengan bacaan-bacaan atau lafal tahmid, tasbih, doa-doa dalam shalat juga masih banyak yang lain yang antara satu sama lainnya berbeda. Sebagaiamana contoh bacaan doa iftitah, lafal ruku`, i`tidal dan sujud.
Di sini penulis hanya mengambil contoh dari tata cara berwudhu, dan lafal-lafal tahiyat, hal ini penulis pandang sudah mewakili dari sekian banyak persoalan-persoalan hadits-hadits tanawu` al-ibadah.


METODE PEMAHAMAN HADITS-HADITS TANAWWU` AL-`IBADAH
Melihat beberapa contoh hadits-hadits mukhtalif berkaitan dengan tanawwu` al-ibadah di atas, baik yang menyangkut tata cara pelaksanaan ibadah, maupun yang menyangkut bacaan tertentu yang antar satu dan lainnya berbeda, ini menimbulkan pertanyaan dan bahkan bisa menimbulkan kebingungan di kalangan umat, manakah yang harus diikuti dan diamalkan karena masing-masingnya memiliki kualitas yang sama, yaitu sama-sama shahih. Oleh karena itu, persoalan yang harus diselesaikan menyangkut hadits-hadits tanawu` al-ibadah tersebut yakni bagaimana memahami perbedaan-perbedaan yang ada, apakah dengan menggunakan metode tarjih, pengkompromian, melihat konteknya, atau tawaquf sampai ada dalil yang menguatkann di antara hadits-hadits tersebut.[15]
Hadits-hadits tersebut tidak dapat dipahami masing-masing secara tersendiri, terpisah dari yang lainnya dan hanya berpedoman kepada makna lahiriyah saja, melainkan haruslah dengan memperhatikan keterkaitan makna yang erat antara satu dengan yang lainnya, agar maksud yang dituju atau yang dikandung oleh hadits-hadits tersebut dapat diketahui dengan baik serta pertentangan atau perbedaan-perbedaan yang tampak dapat ditemukan pengkompromiannya. Dengan demikian, keraguan-raguan dalam menerima dan mengamalkan hadits-hadits tersebut dapat dihindari. Sehubungan hal itu, dapat dikatakan bahwa bila ada orang yang menilai suatu hadits bertentangan dengan hadits lainnya, maka jelas bahwa penilaiannya tersebut disebabkan kekeliruan dan kesalahannya dalam memahami makna yang dikandung atau maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut.[16]
Hal tersebut menurut penulis beralasan, karena Nabi Muhammad SAW sebagai seorang rasul, setiap ucapan, perbuatan dan bahkan taqrir (ketetapan) beliau, selalu dibimbing oleh wahyu, sebagaimana firman Allah:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣  إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
 “Tidaklah apa yang keluar dari mulut Nabi itu berdasarkan hawa nafsunya belaka, melainkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS.An-najm; 3-4)

Jadi semua hadits-hadits mukhtalif yang menyangkut tanawwu` al-`ibadah yang berkualitas shahih tidaklah bertentangan secara mutlak, karena Allah melalui hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tidak mungkin menurunkan  syari`at yang bertentangan. Perbedaan dalam tata cara pelaksanaan (fi`liyah) ibadah Nabi Muhammad SAW., maupun yang berupa ucapan atau perkataan yang dibaca dalam ibadah tertentu (qauliah) Nabi Muhammad SAW tersebut, tidak lain adalah bentuk keluesan ajaran Islam.
Edi Safri menyebutkan bahwa Hadits-hadits mukhtalif apakah yang menyangkut tanawu` al-ibadah atau tidak, sebenarnya bersifat relatif. Artinya,adakalanya Hadits hadits tertentu oleh sebagian orang dipandang sebagai mengandung makna saling bertentangan, sementara menurut pandangan sebagan yang lain bukanlah bertentangan. Hal ini tergantung kepada keluasan dan intensitas ilmu yang dimiliki oleh seseorang untuk mempelajari dan memahami hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.[17]
Penulis berpandangan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dalam ibadah, apakah yang menyangkut berbagai bentuk perbuatan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW seperti pada pelaksanaan wudhu` yang dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW di atas dengan membasuhnya satu kali, dua kali dan atau tiga kali. Atau pada bacaan-bacaan dalam shalat, apakah bacaan doa iftitah, tahmid, tasbih dan doa-doa di dalam shalat termasuk bacaan-bacaan tasyahud seperti dicontohkan di atas, masing-masingnya tidaklah terjadi pertentangan yang berkaitan boleh dikerjakan atau harus ditinggalkan. Akan tetapi perbedaan yang ada dari segi makna tidaklah terdapat pertentangan namun kesemuanya masih dalam satu makna yang sama atau yang menuntut untuk memilih salah satu cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW tanpa memamdang cara yang lain itu salah.


SIKAP TERHADAP HADITS-HADITS TANAWWU’ AL-IBADAH
Persoalan hadits-hadits mukhtalif yang berkaitan dengan tanawwu’ al-ibadah secara umum telah dibahas oleh Imam al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm dan al-Risalah dalam bentuk contoh-contoh. Jadi kalau bicara persoalan sikap terhadap hadits-hadits tanawwu` al-ibadah, maka apa yang telah ditulis oleh Imam al-Syafi`i di dalam kedau kitabnya menjadi bahan pertimbangan.
Berdasarkan dua bentuk contoh Hadits-hadits tanawwu` al-ibadah di atas; untuk bentuk pertama yakni bentuk perbuatan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW seperti pada pelaksanaan wudhu` yang dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW di atas yang melalui jalur yang berbeda-beda. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW membasuh anggota wudhu`nya dengan membasuhnya satu kali. Abdullah bin Zaid meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan dan mencontohkan membasuh anggota wudhu` dua kali masing-masingnya. Sedangkan Ustman bin Affan meriwayatkan bahwa basuhan dalam berwudhu` itu tiga kali.
Ketiga cara pelaksanan wudhu` yang riwayatnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW tersebut masing-masingnya bisa diamalkan. Karena perbedaan itu tidak mengarah kepada pertentangan, tetapi hanya dalam bentuk suatu pilihan cara mana yang akan dipakai dan juga disesuaikan dengan kondisi yang ada ketika itu.
Untuk bentuk kedua, yakni pada bacaan-bacaan dalam shalat apakah bacaan doa iftitah, tahmid, tasbih dan doa-doa di dalam shalat termasuk bacaan bacaan tasyahud Seperti dicontohkan di atas. Dalam contoh riwayat-riwayat di atas, Nabi Muhammad SAW mengajarkan para sahabatnya dengan beberapa macam tasyahud yang masing-masingnya berbeda, apakah yang diajarakan kepada Ibnu Mas`ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa al-Asy`ari, Umar bin Khattab, maupun yang diajarkan kepada Aisyah R.A.
Masalah yang muncul berkenaan dengan Hadits-hadits tanawu` al-ibadah menurut Edi Safri ialah bagaimana harusnya sikap kita dalam menghadapinya, dan manakah di antaranya yang harus diperpegangi dan diamalkan.[18] Oleh sebagian orang-sebagaimana tersirat dalam penjelasan al-Syafi`i-Hadits-hadits tersebut dinilai sebagai hadits mukhtalif yang mengandung pertentangan.[19]
Penilaian sebagai mukhtalif ini mungkin timbul karena mereka memandang apabila salah satunya diperpegangi dan diamalkan, maka konsekuensinya yang lain harus ditolak. Edi safri menilai, anggapan seperti itu keliru dan tidak benar, sebab seperti dikatakan al-Syafi`i, Hadits-hadits tersebut satu sama lainnya tidak mengandung makna yang saling bertentanganan antara halal dan haram, antara perintah dan larangan, yang tidak mungkin di kompromikan atau dicarikan titik temunya.[20]
Menurut al-Syafi`i, ajaran atau ketentuan yang dibawa oleh hadits-hadits tersebut meskipun antara satu dan lainnya mengandung perbedaan, namun tidak berarti hanya satu yang harus diterima dan yang lainnya harus ditolak, melainkan semua haruslah dipahami sebagai cara-cara atau bentuk-bentuk pelaksanaan ibadah tersebut yang boleh diikuti diamalkan (al-ikhtilaf min jihat al-mubah).[21] Artinya sebagai bentuk tata cara pelaksanaan suatu ibadah seperti berapa kali membasuh anggota wudhu`, satu, dua atau tiga kali. Begitu juga mengenai apa yang dibaca dalam doa iftitah, ruku`, i`tidal, sujud, duduk antara dua sujud dan tasyahud dengan berbagai versi yang Nabi Muhammad SAW ajarkan, semuanya boleh diikuti dan diamalkan dan sama-yang ada dari segi makna tidaklah terdapat pertentangan namun kesemuanya masih dalam satu makna yang sama atau yang menuntut untuk memilih salah satu cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW tanpa memamdang cara yang lain itu salah.
Jadi, dalam menghadapi Hadits-hadits tanawu` al-ibadah seperti pada contoh-contoh di atas, sikap yang harus di ambil adalah:
Pertama, harus diperhatikan apakah hadits-hadits tersebut semua dalam kategori hadits maqbul atau tidak. Kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang terkandung oleh masing-masingnya membawa pertentangan (kontradiksi) atau tidak. Edi Safri berpandangan bahwa apabila hadits-hadits tersebut termasuk kategori maqbul dan perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadits-hadits tersebut semua haruslah diterima dan diakui ke-hujjah-annya untuk diikuti dan diamalkan, dan mana saja yang dipilih, hal itu telah memenuhi syarat bagi sahnya ibadah tersebut.[22]
Apa yang dikemukakan oleh Edi Safri menurut penulis adalah cara yang paling tepat dan adil terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, karena kalau semua hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits maqbul, keontentisitasnya tidak dikeragui lagi bahwa ia benar-benar dari Nabi SAW. Sikap ini perlu dimiliki dalam rangka menjaga dan memelihara hadits-hadits Nabi SAW serta mengamalkannya sebagai hujjah agama.
Kedua, manakah di antaranya yang lebih baik (afdhal) untuk diikuti dan diamalkan? Mencari yang lebih utama dari yang utama itu perlu, guna meningkatkan kualitas amal dan pengaruhnya bagi pelaku maupun orang lain. Karena semua hadits-hadits tanawu` al-ibadah boleh diikuti dan diamalkan. Jawabannya adalah yang lebih sempurna di antaranya.
Khusus menyangkut hadits-hadits tentang tata cara berwudhu`, dari ke tiga hadits tersebut, menurut al-Syafi`i, bahwa dari ketiga hadits tersebut sebenarnya dapat ditarik satu ajaran bahwa cara minimal yang dituntut untuk sahnya wudhu` adalah dengan membasuh anggota wudhu` masing-masingnya satu kali, satu kali (berdasarkan hadits Ibnu Abbas), dan sempurnanya ada lah tiga kali, tiga kali (berdasarkan hadits Utsman).[23] Namun Edi Safri ber pandangan, yang afdhal untuk didahulukan mengamalkannya adalah yang lebih sempurna di antaranya, yakni membasuhnya tiga kali-tiga kali. Bahkan dalam situasi tertentu, mungkin saja pilihan terbaik adalah satu kali, satu kali seperti ketika air sulit atau cuaca sangat dingin.[24]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cara yang terbaik bagi seseorang dalam berwudhu` adalah dengan membasuhnya tiga kali, tiga kali. Boleh juga memilih membasuh dua kali, dua kali atau satu kali, satu kali seperti dengan alasan di atas. Penulis berpandangan, adanya pilihan tiga kali, dua kali, maupun satu kali dalam membasuh anggota wudhu` itu berlaku umum. Akan tetapi apa bila adanya riwayat yang menjelaskan bagi anggota-anggota tertentu hanya di basuh satu kali, dan riwayat itu banyak, sebagai contoh, membasuh kepala dalam banyak riwayat dianjurkan satu kali[25] dengan mengusap air ke seluruh kepala, lalu telinga, maka ini yang paling tepat untuk dilaksanakan.
Demikian juga hadits tentang bacaan dalam doa iftitah, ruku`, i`tidal, su jud, duduk antara dua sujud dan tasyahud, yang memiliki berbagai versi bacaan, semuanya mengandung makna yang sama yaitu mengagungkan Allah dan permohonan. Dalam persoalan bacaan tasyahud, al-Syafi`i memilih hadits dari Ibnu Abbas sebagai yang afdhal untuk diamalkan, dengan alasan karena hadits ini memiliki redaksi yang lebih luas dan lebih lengkap, baik dari segi kata-kata maupun dari segi makna, di samping sama-sama berkualitas shahih. Meskipun demikian, ditegaskannya bahwa dengan pemilihannya terhadap hadits Ibn Abbas tersebut, ia tidak bermaksud untuk mencela atau meremehkan orang-orang yang beramal dengan hadits yang lain.[26]
Penulis sependapat dengan pendapat al-Syafi`i di atas dalam menentukan yang afdhal untuk diamalkan. Tapi, ada yang lebih penting untuk menjadi pertimbangan dalam memilih bacaan mana yang akan dibaca dalam doa iftitah, ruku`, i`tidal, sujud, dan tasyahud, sesuai dengan kapan, di mana dan dalam shalat apa Nabi Muhammad SAW sering membaca bacaan-bacaan tersebut. Sebagai contoh bacaan doa iftitah yang berjumlah dua belas macam, ada yang biasa Nabi SAW baca ketika shalat fardhu, dalam shalat sunat, dalam shalat fardhu dan sunat[27] dan sebagainya. Karena dalam ibadah-terutama shalat harus mencontoh apa yang telah dilakukan oleh NabiMuhammad SAW. Sebagaimana sabda beliau.
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat

Ketiga, adanya beberapa cara atau bentuk-bentuk pelaksanaan suatu ibadah seperti dalam membasuh anggota wudhu`, tata cara takbir, bersidekap, doa iftitah, ruku`, i`tidal, sujud, dan tasyahud yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, haruslah dipahami sebagai mengandung hikmah yang membawa kemudahan bagi umat.












KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut;

Pertama, Hadits-hadits tanawwu` al-ibadah adalah hadits-hadits yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, akan tetapi antara satu dan lainnya terdapat perbedaan, sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tertentu.
Kedua, Hadits-hadits tersebut harus dipahami secra utuh dan haruslah diperhatikan keterkaitan makna yang erat antara satu dengan lainnya, sehingga pertentangan atau perbedaan yang tampak dapat ditemulkan pengkompromiannya. Dengan demikian, keragu-raguan dalam menerima dan mengamalkan hadits-hadits tersebut dapat dihindari.
Ketiga, apabila semua hadits tanawu` al-ibadah tersebut dikategorikan maqbul dan perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadits-hadits tersebut haruslah diterima dan diakui ke-hujjah-annya untuk diamalkan. Ajaran-ajaran yang dibawanya haruslah dipahami sebagi cara-cara atau bentukbentuk pelaksanaan, atau macam-macam bentuk bacaan, yang boleh Diikuti dan diamalkan, dan mana saja yang di antaranya yang dipilih, hal itu telah memenuhi syarat bagi syahnya ibadah tersebut. Hal ini mengandung hikmah bahwa ajaran agama Islam ini luwes dan selalu memberikan kemudahan Bagi umatnya.










DAFTAR PUSTAKA

Al-Azadiy, Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as al-Sajastaniy, t.th, Sunan Abu Dawud, Bairut: Dar al-Fikr
al-Bani, Syeik Muhammad Nashirudin, 2010, Sifat Shalat Nabi, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, judul Asli “Shifat Shalat al-Nabiy Shalallahu Alaihi Wa Sallam”, Solo: At-Tibyan.
al-Bukhariy, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, t.th, Shahih al-Bukhariy, Bairut: Dar al-Ma`arif Al-Hurriyah, Vol. 14, No. 1, Januari-Juni 2013
al-Naisaburiy, Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajaj al-Qusyairiy, 1998, Shahih Muslim, Bairut: Dar al-Fik
Sabiq, Sayid, 1983, Fiqh Sunnah, Bairut: Dar al-Fikr
Safri, Edi, 1999, al-Imam al-Syafi,i, Metode Penyesalan Hadits-hadis Mukhtalif, Padang: IAIN Imam Bonjol Press
al-Syafi`i, Muhammad Ibn Idris t.th, al-Umm, Bairut: Dar al- Fikr, tth
al-Syaukani, Muhammad Ibn Aliy Ibn Muhammad 1982, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar Min Sayyid al-Akhyar, Bairut: Dar al-Fikr
Taimiyah, Ibn, 1389 H, Majmu` al-Fatawa, Bairut: Dar al-`Arabiyah
Thahan, Mahmud, t.th, Taisir Mushthalah al-Hadits, tt: Dar al-Fikr
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah


[1] Lihat Syeikh Muhammad Nashirudin al-Bani, Sifat Shalat Nabi, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, judul Asli “Shifat Shalat al-Nabiy Shalallahu Alaihi wa Sallam”, (Solo: At-Tibyan, 2010), Cet.ke-1, h.106-113.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah,1990), Cet. Ke-8, h.474           
[3] Mahmud Yunus, Kamus..., h.252
[4] Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, (tt: Dar al-Fikr, t.th), h. 14
[5] Ibn Taimiyah, Majmu` al-Fatawa, (Bairut: Dar al-`Arabiyah, 1389 H) J. 22, h. 335
[6] Edi Safri, al-Imam al-Syafi,i, Metode Penyesalan Hadits-hadis Mutawatir, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999) Cet. Ke-1, h.3
[7] Muhammad Ibn Aliy Ibn Muhammad al-Syaukani [Selanjutnya di sebut al-Syaukani],Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar Min Sayyid al-Akhyar, (Bairut: Dar al-Fikr, 1982) Jilid 1, h. 213-215.
[8] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy [selanjutnya di sebut al-Bukhariy], Shahih al-Bukhariy, (Bairut: Dar al-Ma`arif, tth), Jilid 1, h. 40 dan juga lihat: Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as al-Sajastaniy al-Azadiy [selanjutnya di sebut Abu Dawud], Sunan Abu Dawud, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), Jilid 1, h. 34
[9] Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajaj al-Qusyairiy al-Nasaiburiy [selanjutnya di sebut Muslim], Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1998) Jilid 1 h.124., Abu Dawud, Sunan..., h.34
[10] Muhammad Ibn Idris al-Syafi`i, al-Umm, (Bairut: Dar al- Fikr, tth.), J. 8, h. 600
[11] Muslim, Shahih..., h. 134
[12] Abu Dawud, Sunan..., h.37
[13] Muslim, Shahih..., h.135
[14] Al-Bani, Shifat Shalat..., h. 196
[15] Albani, Shifat shalat..., h.194
[16] Edi Safri, al-Imam al-Syafi`i; Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999), Cet.ke-1, h. 90
[17] Edi Safri, al-Imam al-Syafi`i..., h.90
[18] Edi Safri, al-Imam al-Syafi`i..., h.136
[19] Al-Syafi`i, al-Umm..., h. 599
[20] Edi Safri, al-Imam al-Syafi`i..., h.136
[21] Al-Syafi`i, al-Umm..., h. 599
[22] Edi Safri, al-Imam al-Syafi`i..., h.137
[23] Al-Syafi`i, al-Umm..., h. 599
[24] Edi Safri, al-Imam al-Syafi`i..., h.138
[25] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), Cet.ke- 4, Jilid 1, h.42
[26] Al-Syafi`i, Al-Risalah..., h.276
[27] Al-Bani, Sifat Shalat..., h. 106-113

No comments:

Post a Comment