Tuesday, 24 March 2020

Pemahaman Hadis Hadiah, Risywah, dan Pungli



Choiriah Ikrima
Program Magister Fakultas Ushuluddin
 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21180340000013

ABSTRAK
Pergeseran makna hadiah pada dunia modern mengalami sebuah degradasi sekaligus gradasi, karena bentuk hadiah menjadi sebuah apresiasi terhadap sesuatu atau lambang pengakuan terhadap seseorang sekaligus bisa diartikan sebagai konotasi yang cukup menympang jika hadiah tersebut diarahkan kepada pemangku jabatan penting secara struktural dalam pemerintahan.
Penelitian ini menggunakan meted deskriptif-Analitis yang mencoba mendeskripsikan masalah hadiah lalu dianalisa struktur pembangun stigma negative yang hadir pada kata hadiah, yang belakangan malah menimbulkan terma baru yaitu gratifikasi. Sumber penelitian ini didapatkan melalui analisis kasus yang terjadi pada iklim masyarakat demokrasi Indonesia.
Kesimpulan pada makalah ini penulis berkesimpulan bahwa hadiah pada makna baiknya adalah sesuatu pemberian yang dilakukan atas dasar kecintaan, namun jika bersinggungan dengan pemangku jabatan tertentu maka bisa jadi hal tersebut barulah dinamakan gratifikasi -bahasa halusnya suap-, sementara jika hadiah diarahkan kepada sesame manusia terlebih tidak berkepentingan tertentu dan tanpa maksud tertentu pula, hal ini justru sangat dianjurkan nabi. sehingga penulis mengambil kesimpulan secara besar bahwa hadiah meliputi empat hal: kepentingan, intensitas, besaran hadiah, dan posisi ketika menerima hadiah.
Keyword: Hadiah, Struktural, Gratifikasi



A.   Pendahuluan
Saat ini telah banyak terjadi praktek risywah dalam lingkar interaksi dan transaksi kontemporer, hal ini dipandang lumrah dan wajar karena dianggap sebagai wujud prestasi dan dedikasi. sesuatu yang datang dianggap merupakan hasil jerih payah yang telah dilakukan sehingga setiap pemasukan selalu diidentikkan dengan rezeki. Oleh karenanya antara risywah dan hadiah bagaikan benang tipis yang sulit dibedakan, hampir setiap tahun para pejabat menerima bingkisan dengan dalih memberi hadiah. Padahal,dalam Islam terdapat perbedaan antara hadiah dan risywah. Memang sumuanya berupa pemberian. Namun, hadiah adalah pemberian yang dianjurkan dan risywah adalah pemberian yang diharamkan. Diriwayatkan dalam sebuah hadis:
حَدَّثَنا أزهرُ ابنُ مَروانَ البَصْرِيُّ حدثنا محمدُ بنُ سَواءٍ حدثنا أبوْ مَعْشَرٍ عن سعيدٍ عن أبي هريرةَ انّ النبيّ صلى الله عليه و سلم قال تَهادُوْا فَإنَّ الهَدِيّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ ولا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها و لو شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ (رواه الترمذي)[1]
Artinya: “telah menceritakan kepada kami azhar ibn Marwan al-Bashri menceritakan kepada kami Muhammad ibn Sawa menceritakan kepada kami Abu ma’syar dari Sa’id dari abi Hurairah ra dari Nabi saw. bersabda hendaklah saling memberi hadiah karena hadiah menghilangkan kedengkian dalam dada dan janganlah seorang tetangga perempuan merendahkan (hadiah dari tetangga perempuannya), meskipun hadiah itu hanya berupa separuh kaki kambing.” (HR. al-Tirmidzi)
Jika melihat konteks hadits diatas, maka hadiah secara umum disyariatkan bahkan dianjurkan.  Namun, jika dikorelasikan dengan hadits di bawah ini, maka kita akan mendapatkan perbedaan antara hadiah yang murni dan hadiah yang berkedok risywah.
حَدَّثَنا عبدُ اللهِ بن محمد: حدثنا سُفْيان عنِ الزُّهْرِي عن عُرْوة بن زُبَيْر عن ابي حميد الساعدي رضي الله عنه قال: اِسْتَعْمَلَ النّبِي صلى الله عليهِ و سلمَ رَجُلًا مِن الأزدِي , يقالُ لَه ابنُ اللُّتْبِيّة , على الصّدَقة, فلما قَدِمَ قال: هذا لَكُمْ وَ هذا اُهْدِيَ لي . فقال "فَهَلّا جَلَسَ في بَيْتِ اَبِيْهِ اَوْ بَيْتِ اُمِّهِ فَيَنْظُرُ يُهْدَي له امْ لا؟ وَالّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لا يَأْخُذُ اَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا اِلّا جاَء بِهِ يَوْمَ القِيامَةِ يَحْمِلُهُ علَى رَقَبَتِهِ, اِنْ كانَ بَعِيْرًا لهُ رُغَاءٌ, او بَقَرَةً لَها خُوارٌ, او شَاةً تَيْعَرُ"  ثُمّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتّى رَأَيْنا عُفْرَةَ إبْطَيْهِ: " الَلّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ الَلّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ" ثَلاثًا (رواه بخاري)[2]
Artinya: “Dikabarkan kepada kami oleh Abdullah bin Muhammad yang mengatakan: dikabarkan kepada kami oleh Sufyan dari al-Zuhri, dari ‘Urwah bin al-Zubair dari Abi Humaid al-Sa’idi mengatakan: “Nabi saw. menugasi seorang laki-laki dari suku Azdi yang bernama Ibnu Uthbiyyah untuk menarik zakat. Ketika ia datang kepada Nabi, ia berkata: ‘ini untuk ada (harta zakat) sedangkan yang ini hadiah untukku’. Lalu Nabi berdiri diatas mimbar dan berkata “kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapaknya atau di rumah ibunya kemudian ia menunggu apakah ada orang yang akan memberikan ia hadiah atau tidak? Demi dzat yang jiwaku berada di kekuasaannya, tidak ada orang yang mengambil hadiah tersebut sedikitpun kecuali nanti –pada hari kiamat- ia akan datang membawa hadiah tersebut diatas tengkuknya. Kalau ia berupa sapi maka ia akan bersuara seperti sapi, kalau ia berupa unta maka ia akan bersuara seperti unta, kalau ia berupa kambing maka ia akan bersuara seperti kambing.” Kemudian Nabi mengangkat tangannya sampai kami melihat putihnya ketiak beliau dan bersabda: “Ya Allah, ya Tuhan bukankah telah aku sampaikan? Ya Allah ya Tuhan bukankah telah aku sampaikan? Tiga kali”. (HR. Bukhori)[3]

B.   Makna dan Derajat Hadis
Hadiah menurut etimologi berasal dari kata هادي maknanya berkisar pada dua hal. Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk jalan, karena dia tampil duluan. Kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata هداية hidayah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.[4] Adapun menurut istilah fikih, Zakaria al-Anshari mendefinisikan hadiah ialah penyerahan hak milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.[5]
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa mukhorij dan untuk menemukannya yaitu menggunakan kitab al-Mujam al-Mufahros li al-Fazh al-Hadits al-Nabawi sebagai alat bantunya, kemudian dikelompokkan sesuai dengan pembahasan yang akan dibahas. Hadis ini masuk kepada pembahasan Hadis tentang Pejabat yang menerima hadiah. Terdapat dalam Sahih Bukhari dalam kitab Al-Ahkam nomor hadis 6658, Sunan Abu Daud dalam kitab al-Jihad nomor hadis 2711, dan Sunan An-Nasai dalam kitab al-Imam wa An-Nudzhur nomor hadis 3767.
Kualitas sanad hadits Imam Bukhari dapat dikatakan Shahih, karna telah terbukti bahwa periwayatannya dapat dikatakan memenuhi kriteria keshahihan hadits yang dapat kita lihat yang pertama bersambungnya Sanad dilihat dari silsilah belajarnya seorang perawi hadits. Yaitu dari mulai perawi tertinggi hingga perawi terendah, seperti Sanad hadits Imam Bukhari dapat dikatakan shahih, dari gambaran teks hadits sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Bukhari dalam kitab Shahih nya, dapat disimpulkan bahwa antara para perawi tersebut Muhammad, ‘Abdah, Hisyam bin Urwah, Urwah bin Zubair, hingga Abu Humaid Assa’idi, yang dipakai dalam periwayatannya adalah Akhbarana, yang jelas mengindikasikan pernah bertemu. Hanya dari Hisyam bin Urwah sampai Abu Humaid As-Saidi yang memakai kata an. Meskipun demikian berdasarkan tahun lahir dan wafatnya, para perawi ini diyakini pernah bertemu dan memiliki hubungan guru dan murid.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits ini muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. Dan rata-rata gelar yang diberikan ulama kepada para perawi hadits ini adalah Tsiqah.



C.   Sejarah Hadis
Pada hadis diatas Nabi sangat melarang pejabat amil zakat mengambil hadiah dari zakat yang dipungutnya. Melihat dari konteks hadis tersebut kalaulah dia bukan berstatus sebagai pejabat pemungut zakat tentunya tidak mungkin diberi hadiah. Jadi, hadiah yang ia dapatkan semata-mata karena kedudukannya sebagai pejabat. Maka hadiah disini masuk kepada kategori risywah, kecuali si pemberi hadiah ketika penerima belum menjadi pejabat sudah sering memberi hadiah. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menjelaskan permasalahan ini pada pembahasannya yang mengatakan: (ولا يقبل هدية من لم يكن يهدي إليه قبل ولايته[6]) “dan tidak menerima hadiah (bagi pejabat) kecuali dari orang yang terbiasa memberi hadiah sebelum ia menduduki jabatannya.” Ia melanjutkan alasannya dalam larangan memberikan hadiah kepada pejabat karena hadiah secara umum bertujuan agar yang diberi hadiah hatinya condong sehingga diperhatikan ketika terjadi masalah hukum. Dari sinilah ia berpendapat hadiah kepada pejabat menyerupai dengan risywah.
Terdapat juga dalam kitab sahih Imam Bukhari bab yang melarang pemberian hadiah, terdapat di dalamnya perkataan Umar bin Abdul Aziz:
قال عمر بن عبد العزيزكانت هدية في زمن النبي ضلى الله عليه و سلم و اليوم رشوة[7]
“berkata Umar bin Abdul Aziz hadiah pada zaman Rasulullah saw adalah hadiah, namun pada masa ini (sekarang) hadiah sama hal nya dengan risywah.”

Ungkapan ini hadir pada masa Umar bin Abdul Aziz, praktik risywah kembali menggejala sehingga ia mengatakan bahwa hadiah pada masanya telah berubah menjadi suap. Dan beliau dikenal gigih menolak hadiah yang dikirimkan kepadanya. Sampai suatu ketika seorang pria memberitahukan padanya bahwa Rasulullah saw. dulu menerima hadiah padahal beliau sedang menjabat kepala pemerintahan. Mendengar hal itu khalifah Umar menjawab dengan tegas, “harta tersebut bagi Nabi saw. adalah hadiah, sedangkan bagi kita (umatnya) adalah suap. Orang memberikan hadiah kepada beliau karena melihat posisinya sebagai Nabi saw. bukan sebagai kepala pemerintahan, sedangkan kita. Orang memberikan hadiah karena melihat posisi kita sebagai seorang birokrat.[8]
Berangkat dari penjelasan diatas, secara historis dapat dibuktikan bahwa gejala terjadinya perubahan substansi hadiah kepada risywah telah berlangsung di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau tidak mau menerima  hadiah karena praktek hadiah di tengah-tengah masyarakat tekah terjadi pergeseran makna.


D.  Masalah Yang Terkandung Dalam Hadis
Praktik risywah melibatkan tiga unsur utama, yaitu pihak pemberi (الراشي), pihak penerima pemberian tersebut (المرتشي) dan barang bentuk dan jenis pemberian yang diserahterimakan. Akan tetapi dalam kasus risywah tertentu boleh jadi bukan hanya melibatkan unsur pemberi, penerima, dan barang sebagai objek risywah-nya, melainkan juga melibatkan pihak keempat sebagai perantara antara pihak pertama dan kedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima, misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para pihak yang dimaksud.
Menerima suap atau memberi suap untuk mendapatkan harta oranglain adalah tindakan yang dilarang agama, sehingga sudah tentu Allah swt tidak menghalalkan perbuatan itu, karena tergolong kepada perbuatan bathil. Sebagaimana dijelaskan didalam suroh Al-Maidah ayat 42:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ ۚ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[9]
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. Q.S Al-Maidah : 42”
Ayat diatas menjelaskan janganlah kalian mengambil harta orang lain tanpa hak atau penguasaan, dan janganlah pula meminta kepada hakim dan penguasa supaya membantu kalian untuk mengambil harta orang lain dengan jalan kekerasan, setelah kalian memberi suap agar mereka mengambil keputusan yang menguntungkan kalian, padahal kalian mengetahui bahwa kalian tidak mempunyai hak sama sekali atas harta orang lain itu.[10] Dan mengajarkan kita untuk dapat memutuskan suatu perkara dengan adil dan bijaksana, sesungguhnya Allah bersama mereka yang tidak mendzholimi hak oranglain. Adapun permaslahan yang terkait yaitu:
1.       Bagaimana bentuk risywah dalam Penegakan hukum?
Praktik risywah dapat terjadi dalam masalah hukum yaitu lembaga peradilan baik itu peradilan umum maupun peradilan agama (fi al-hukmi). Namun, disisi lain suap juga dapat terjadi di luar lembaga peradilan (fi ghair al-hukmi). Lembaga peradilan didirikan untuk menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Ia didirikan sebagai salah satu pilar untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan umat manusia. Apabila telah dikotori dengan praktik suap-menyuap dan menjamurnya mafia peradilan, maka hukum dapat dipermainkan dan diputarbalikkan sesuai selera para hakim.[11] Seorang hakim yang menerima suap untuk melakukan kebatilan, berarti sudah berbuat fasik, dikarenakan dua alasan berikut ini: (a) Menerima suap untuk sarana melakukan kebatilan, (b) menetapkan suatu hukum secara tidak sah, dan itu diharamkan secara qath’i, serta pelakunya terkena hukum fasik. Sedangkan penyuap dianggap sudah berbuat fasik, dikarenakan dua alasan pula, yaitu: (a) menyerahkan barang suap, (b) menyebabkan terjadinya kezaliman baik dirinya maupun orang lain.[12]
2.       Bagaimana membedakan antara risywah dan hadiah?
Pada dasarnya Islam menganjurkan para pemeluknya untuk saling memberikan hadiah agar tercipta keharmonisan hubungan antara pemberi dan penerima hadiah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. تهادوا تحابوا  "Salinglah memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai". Akan tetapi, bila hadiah diberikan oleh bawahan kepada atasan di tempat kerja instansi pemerintahan ataupun swasta, dari seorang murid kepada seorang guru, dari seorang pengusaha kepada seorang pejabat, dari seorang yang bersengketa kepada hakim ataupun jaksa, dari seorang rakyat pengguna jasa kepada pegawai yang melayani Urusan mereka, dll. Maka hadiah dalam kasus tersebut tidak lagi murni sebagai hadiah, akan tetapi telah berubah menjadl risywah. Baik diberikan sebelum urusannya selesai maupun setelah urusannya selesai. Baik hadiah berupa uang, barang atau apapun bentuknya.
Suatu saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat Ibnu Lutbiyyah untuk menarik zakat bani Sulaym. Kemudian lbnu Lutbiyyah datang menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata," Ini adalah zakat, aku serahkan kepadamu dan ini adalah hadiah dari bani Sulaym untukku". Seketika itu juga, rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menaiki mimbar, lalu bersabda,"Apa gerangan seorang pekerja yang kami amanahkan, Ialu dia datang, seraya berkata: ini untukmu dan ini hadiah dari masyarakat untukku. Andaikan dia duduk saja di rumah bapaknya atau di rumah ibunya, apakah ada orang yang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi jiwa Muhammad di TanganNya, tidak seorang pekerjapun yang menerima hadiah apapun, melainkan hadiah tersebut akan dibawanya di atas pundaknya, mungkin seekor unta yang mengeluarkan suara keras, mungkin juga seekor sapi yang mengoak, atau seekor kambing yang mengembek". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tinggi kedua tangannya sehingga lengan jubahnya turun dan kelihatan kilauan pangkal lengannya, lalu beliau bersabda, "Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya? (HR. Bukhari dan Muslim). [13]
Pada hadis diatas Nabi sangat melarang pejabat amil zakat mengambil hadiah dari zakat yang dipungutnya. Melihat dari konteks hadis tersebut kalaulah dia bukan berstatus sebagai pejabat pemungut zakat tentunya tidak mungkin diberi hadiah. Jadi, hadiah yang ia dapatkan semata-mata karena kedudukannya sebagai pejabat. Maka hadiah disini masuk kepada kategori risywah, kecuali si pemberi hadiah ketika penerima belum menjadi pejabat sudah sering memberi hadiah
E.     Klasifikasi Risywah
Secara umum, jenis risywah dapat diklasifikasikan menurut niat pemberi risywah. Menurut niatnya, risywah terbagi tiga, yaitu:
a.  Risywah untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil
Risywah (suap) yang digunakan untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil adalah suatu tindakan yang sangat merugikan orang lain dan dosa. Karena haq itu kekal dan batil itu sirna.[14] Maksutnya adalah bahwa sesuatu yang haq (benar) adalah suatu kebenaran yang hakiki, sedangkan sesuatu yang batil adalah suatu yang dosa. Praktik suap ini haram hukumnya, karena mengalahkan pihak yang mestinya menang dan memenangkan pihak yang mestinya kalah.[15]
b. Risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman
Banyak alasan mengapa seseorang harus melakukan risywah, salah satunya adalah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kebatilan serta kezaliman. Kalau terpaksa harus melalui jalan menyuap untuk maksud diatas, dosanya adalah untuk yang menerima suap.[16] Para Ulama’ telah bersepakat mengenai hukum risywah yang sedemikian ini, karena dilakukan untuk kebaikan dan untuk memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi risywah. Hal ini didasarkan pada kisah Ibnu Mas’ud, ketika ia ada di Habasyah, tiba-tiba ia dihadang oleh orang yang tidak dikenal, maka ia memberinya uang dua dinar, yang kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
c.     Risywah untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan
Jabatan atau pekerjaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan atas keahlian diri, akan tetapi dalam praktiknya masih terdapat beberapa orang yang mendapatkannya dengan cara-cara yang salah. Salah satunya dengan memberi suap kepada pihak terkait atau kepada pejabat tertentu dengan tujuan untuk dinaikkan jabatannya atau untuk mendapatkan pekerjaan.





















F.   Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas, beberapa poin yang menjadi catatan penting penulis terhadap pergeseran makna hadiah dalam konteks sosial sehingga dapat menjadi jawaban dari permasalahan yang ada saat ini, yaitu:

1.      Praktik risywah tidak hanya melibatkan antara si pemberi dan si penerima suap, akan tetapi bisa jadi ada orang yang menjadi perantaranya (broker) sehingga praktik suap menyuap bisa berjalan lebih mulus. Praktik risywah ini pada dasarnya telah diharamkan oleh para ulama, akan tetapi apabila untuk menegakkan kebenaran atau menolak kebatilan, maka tidak haram bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima. Praktik suap bukan hanya dilarang dalam masalah hukum, akan tetapi tetap diharamkan jika terjadi diluar masalah hukum, karena adanya di dalam hadis disebutkan bahwa Allah melaknat orang pemberi dan penerima suap tanpa menyebutkan dalam perkara hukum di dalamnya, oleh karena itu hadis tersebut lafaznya bersifat ‘am (umum).

2.      Praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak semua bersifat negatif, tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah larangan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi. Masyarakat masih menyamakan penggunaan gratifikasi sebagai hadiah atau suap. Untuk membedakan antara hadiah dan gratifikasi dari sisi pelaku, ada sebagian orang berpendapat bahwa jika pelaku memberikannya sebelum selesai proses perkara, hal itu dinilai sebagai gratifikasi Kemudian masuk dalam ghulûl yang haram ketika seseorang yang memiliki jabatan seperti pemimpin kota, hakim, seorang bupati, atau siapa pun lainnya, menerima hadiah dan menghalalkan hadiah itu untuk dirinya. Padahal hadiah itu diberikan kepadanya karena jabatan yang dia pegang, disamping untuk menjilat, tentunya juga agar orang yang memberi hadiah lebih diutamakan atau dimenangkan atas lainnya. 

3.      Di dalam hadis Nabi praktik gratifikasi juga disebut dengan ghulûl dalam bentuk hadiyyah. Tindakan ghulûl ini merupakan tindakan yang diharamkan. Salah satu bentuk praktik korupsi atau pemberian berupa hadiah kepada para pejabat sudah ada pada zaman Rasulullah saw, yaitu ketika Rasul mengutus seorang petugas untuk mengumpulkan zakat kabilah Azad yang dikenal dengan Ibn al-Lutbiyyah. Begitu sampai di hadapan Nabi saw., ia menahan sebagian uang yang dibawanya dan berkata, “Ini untuk kalian sedangkan yang ini untukku sebagai hadiah. Nabi saw., murka dan bersabda, “jika engkau benar, tidakkah lebih baik kamu duduk di rumah ayah dan ibumu,apakah hadiah itu menghampirimu. Pelarangan ini menjelaskan bahwa jika seorang pejabat menerima hadiah dari masyarakatnya dikhawatirkan aka nada perasaan tidak enak jika menghukumi sehingga terjadilah penetapan keputusan yang tidak sesuai.















DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhori , Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Ibn Katsir, 1407H/1987M), jilid V
Al-Bukhori, Al-Jami’ al-Shohih, (Mesir: Dar al-Sya’b, 1987), cet ke-1, juz 3
Al-Kasymiry, Muhammad Anwal, Faidul bari, Juz 4, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 2005)
Al-Thuraiqi, Abdullah bin Abdul Muhsin, Hukum Suap Dalam Islam, Terj. K.H.A Aziz Mashuri, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003)
An-Nadwi, Sori Monang Rangkuti, Pemimpin Teladan Perspektif Hadis dalam Islam, (Bandung: Citapustaka Media Printis, 2013)
Arifin, Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009)
Bin Saurah, Muhammad bin Isa, Al-Jam’u Sahih Sunan Al-Tirmidzi, bab fi hatstsi al-Nabiyyi Shallallaahu alaihi Wasallam, no. 2056
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya,
Hasan, Ali, Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Irfan, Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fikih Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009)
Jamaluddin, Hadis-hadis Tematik, (Medan, Johor: LPPM UISU, 2015)
Muhsin, Abdullah Bin Abdul, Jariimatur-Rasyati fi Syariati al-Islamiyyati,terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta, Gema Insani Pers, 2001)
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), cet ke-1
Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)


[1] Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Al-Jam’u Sahih Sunan Al-Tirmidzi, bab fi hatstsi al-Nabiyyi Shallallaahu alaihi Wasallam, no. 2056.
[2] Syeikh Muhammad Anwal al-Kasymiry, Faidul bari, Juz 4, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 2005), h. 925.
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Ibn Katsir, 1407H/1987M), jilid V, h.2624.
[4] Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 261.
[5] Abi Yahya Zakaria Al-Anshari al-Syafi’i, Asnal Mathalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), juz 5, h. 566.
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), cet ke-1, juz 10, h. 437.
[7] Al-Bukhori, Al-Jami’ al-Shohih, (Mesir: Dar al-Sya’b, 1987), cet ke-1, juz 3, h. 208.
[8] Sori Monang Rangkuti an-Nadwi , Pemimpin Teladan Perspektif Hadis dalam Islam, (Bandung: Citapustaka Media Printis, 2013), h. 51.
[9] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya,h. 166
[10] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fikih Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), h. 96.
[11] Jamaluddin, Hadis-hadis Tematik, (Medan, Johor: LPPM UISU, 2015), hlm 149
[12] Abdullah bin Abdul Muhsin Al-Thuraiqi, Hukum Suap Dalam Islam, Terj. K.H.A Aziz Mashuri, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003), hlm 5
[13] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Ibn Katsir, 1407H/1987M), jilid V, h.2624.
[14] Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati fi Syariati al-Islamiyyati,terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta, Gema Insani Pers, 2001)  hlm. 11
[15] Muhammad Nurul Arifin, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 119
[16] Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 230

No comments:

Post a Comment