Choiriah Ikrima
Program
Magister Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21180340000013
ABSTRAK
Pergeseran makna hadiah
pada dunia modern mengalami sebuah degradasi sekaligus gradasi, karena bentuk
hadiah menjadi sebuah apresiasi terhadap sesuatu atau lambang pengakuan
terhadap seseorang sekaligus bisa diartikan sebagai konotasi yang cukup
menympang jika hadiah tersebut diarahkan kepada pemangku jabatan penting secara
struktural dalam pemerintahan.
Penelitian ini
menggunakan meted deskriptif-Analitis yang mencoba mendeskripsikan masalah
hadiah lalu dianalisa struktur pembangun stigma negative yang hadir pada kata
hadiah, yang belakangan malah menimbulkan terma baru yaitu gratifikasi. Sumber penelitian
ini didapatkan melalui analisis kasus yang terjadi pada iklim masyarakat
demokrasi Indonesia.
Kesimpulan pada makalah
ini penulis berkesimpulan bahwa hadiah pada makna baiknya adalah sesuatu
pemberian yang dilakukan atas dasar kecintaan, namun jika bersinggungan dengan
pemangku jabatan tertentu maka bisa jadi hal tersebut barulah dinamakan
gratifikasi -bahasa halusnya suap-, sementara jika hadiah diarahkan kepada sesame
manusia terlebih tidak berkepentingan tertentu dan tanpa maksud tertentu pula,
hal ini justru sangat dianjurkan nabi. sehingga penulis mengambil kesimpulan
secara besar bahwa hadiah meliputi empat hal: kepentingan, intensitas, besaran
hadiah, dan posisi ketika menerima hadiah.
Keyword:
Hadiah, Struktural, Gratifikasi
A.
Pendahuluan
Saat ini telah banyak terjadi praktek risywah dalam
lingkar interaksi dan transaksi kontemporer, hal ini dipandang lumrah dan wajar
karena dianggap sebagai wujud prestasi dan dedikasi. sesuatu yang datang
dianggap merupakan hasil jerih payah yang telah dilakukan sehingga setiap
pemasukan selalu diidentikkan dengan rezeki. Oleh karenanya antara risywah
dan hadiah bagaikan benang tipis yang sulit dibedakan, hampir setiap tahun para
pejabat menerima bingkisan dengan dalih memberi hadiah. Padahal,dalam Islam
terdapat perbedaan antara hadiah dan risywah. Memang sumuanya berupa pemberian.
Namun, hadiah adalah pemberian yang dianjurkan dan risywah adalah
pemberian yang diharamkan. Diriwayatkan dalam sebuah hadis:
حَدَّثَنا أزهرُ
ابنُ مَروانَ البَصْرِيُّ حدثنا محمدُ بنُ سَواءٍ حدثنا أبوْ مَعْشَرٍ عن سعيدٍ عن
أبي هريرةَ انّ النبيّ صلى الله عليه و سلم قال تَهادُوْا فَإنَّ الهَدِيّةَ تُذْهِبُ
وَحَرَ الصَّدْرِ ولا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها و لو شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ (رواه
الترمذي)[1]
Artinya: “telah menceritakan kepada kami azhar ibn Marwan
al-Bashri menceritakan kepada kami Muhammad ibn Sawa menceritakan kepada kami
Abu ma’syar dari Sa’id dari abi Hurairah ra dari Nabi saw. bersabda hendaklah
saling memberi hadiah karena hadiah menghilangkan kedengkian dalam dada dan
janganlah seorang tetangga perempuan merendahkan (hadiah dari tetangga
perempuannya), meskipun hadiah itu hanya berupa separuh kaki kambing.” (HR.
al-Tirmidzi)
Jika
melihat konteks hadits diatas, maka hadiah secara umum disyariatkan bahkan
dianjurkan. Namun, jika dikorelasikan
dengan hadits di bawah ini, maka kita akan mendapatkan perbedaan antara hadiah
yang murni dan hadiah yang berkedok risywah.
حَدَّثَنا عبدُ اللهِ بن محمد: حدثنا سُفْيان عنِ
الزُّهْرِي عن عُرْوة بن زُبَيْر عن ابي حميد الساعدي رضي الله عنه قال:
اِسْتَعْمَلَ النّبِي صلى الله عليهِ و سلمَ رَجُلًا مِن الأزدِي , يقالُ لَه ابنُ
اللُّتْبِيّة , على الصّدَقة, فلما قَدِمَ قال: هذا لَكُمْ وَ هذا اُهْدِيَ لي .
فقال "فَهَلّا جَلَسَ في بَيْتِ اَبِيْهِ اَوْ بَيْتِ اُمِّهِ فَيَنْظُرُ
يُهْدَي له امْ لا؟ وَالّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لا يَأْخُذُ اَحَدٌ مِنْكُمْ
شَيْئًا اِلّا جاَء بِهِ يَوْمَ القِيامَةِ يَحْمِلُهُ علَى رَقَبَتِهِ, اِنْ كانَ
بَعِيْرًا لهُ رُغَاءٌ, او بَقَرَةً لَها خُوارٌ, او شَاةً تَيْعَرُ" ثُمّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتّى رَأَيْنا عُفْرَةَ
إبْطَيْهِ: " الَلّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ الَلّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ"
ثَلاثًا (رواه بخاري)[2]
Artinya: “Dikabarkan kepada kami
oleh Abdullah bin Muhammad yang mengatakan: dikabarkan kepada kami oleh Sufyan
dari al-Zuhri, dari ‘Urwah bin al-Zubair dari Abi Humaid al-Sa’idi mengatakan:
“Nabi saw. menugasi seorang laki-laki dari suku Azdi yang bernama Ibnu Uthbiyyah
untuk menarik zakat. Ketika ia datang kepada Nabi, ia berkata: ‘ini untuk ada
(harta zakat) sedangkan yang ini hadiah untukku’. Lalu Nabi berdiri diatas
mimbar dan berkata “kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapaknya atau di rumah
ibunya kemudian ia menunggu apakah ada orang yang akan memberikan ia hadiah
atau tidak? Demi dzat yang jiwaku berada di kekuasaannya, tidak ada orang yang
mengambil hadiah tersebut sedikitpun kecuali nanti –pada hari kiamat- ia akan
datang membawa hadiah tersebut diatas tengkuknya. Kalau ia berupa sapi maka ia
akan bersuara seperti sapi, kalau ia berupa unta maka ia akan bersuara seperti
unta, kalau ia berupa kambing maka ia akan bersuara seperti kambing.” Kemudian
Nabi mengangkat tangannya sampai kami melihat putihnya ketiak beliau dan
bersabda: “Ya Allah, ya Tuhan bukankah telah aku sampaikan? Ya Allah ya Tuhan
bukankah telah aku sampaikan? Tiga kali”. (HR. Bukhori)[3]
B.
Makna dan Derajat Hadis
Hadiah menurut etimologi berasal dari kata هادي maknanya berkisar
pada dua hal. Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk jalan, karena dia
tampil duluan. Kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata
هداية
hidayah yang merupakan penyampaian sesuatu
dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.[4]
Adapun menurut istilah fikih, Zakaria al-Anshari mendefinisikan hadiah ialah
penyerahan hak milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan
kepada penerima untuk memuliakannya.[5]
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa mukhorij dan
untuk menemukannya yaitu menggunakan kitab al-Mu‟jam
al-Mufahros
li al-Fazh al-Hadits al-Nabawi sebagai alat bantunya, kemudian dikelompokkan sesuai dengan
pembahasan yang akan dibahas. Hadis ini masuk kepada pembahasan Hadis tentang
Pejabat yang menerima hadiah. Terdapat dalam Sahih Bukhari dalam kitab Al-Ahkam
nomor hadis 6658, Sunan Abu Daud dalam kitab al-Jihad nomor hadis
2711, dan Sunan An-Nasai dalam kitab al-Imam wa An-Nudzhur nomor hadis
3767.
Kualitas sanad hadits Imam Bukhari dapat dikatakan Shahih,
karna telah terbukti bahwa periwayatannya dapat dikatakan memenuhi kriteria
keshahihan hadits yang dapat kita lihat yang pertama bersambungnya Sanad
dilihat dari silsilah belajarnya seorang perawi hadits. Yaitu dari mulai perawi
tertinggi hingga perawi terendah, seperti Sanad hadits Imam Bukhari dapat
dikatakan shahih, dari gambaran teks hadits sebagaimana terdapat dalam riwayat
Imam Bukhari dalam kitab Shahih nya, dapat disimpulkan bahwa antara para perawi
tersebut Muhammad, ‘Abdah, Hisyam bin Urwah, Urwah bin Zubair, hingga Abu
Humaid Assa’idi, yang dipakai dalam periwayatannya adalah Akhbarana,
yang
jelas mengindikasikan pernah bertemu. Hanya dari Hisyam bin Urwah sampai Abu
Humaid As-Saidi yang memakai kata an. Meskipun demikian berdasarkan
tahun lahir dan wafatnya, para perawi ini diyakini pernah bertemu dan memiliki
hubungan guru dan murid.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits ini muttashil
sampai kepada Rasulullah SAW. Dan rata-rata gelar yang diberikan ulama
kepada para perawi hadits ini adalah Tsiqah.
C.
Sejarah Hadis
Pada hadis diatas Nabi sangat melarang
pejabat amil zakat mengambil hadiah dari zakat yang dipungutnya. Melihat dari
konteks hadis tersebut kalaulah dia bukan berstatus sebagai pejabat pemungut
zakat tentunya tidak mungkin diberi hadiah. Jadi, hadiah yang ia dapatkan
semata-mata karena kedudukannya sebagai pejabat. Maka hadiah disini masuk
kepada kategori risywah, kecuali si pemberi hadiah ketika penerima belum
menjadi pejabat sudah sering memberi hadiah. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni
menjelaskan permasalahan ini pada pembahasannya yang mengatakan:
(ولا يقبل هدية من لم يكن يهدي إليه قبل
ولايته[6]) “dan
tidak menerima hadiah (bagi pejabat) kecuali dari orang yang terbiasa memberi
hadiah sebelum ia menduduki jabatannya.” Ia melanjutkan alasannya dalam larangan
memberikan hadiah kepada pejabat karena hadiah secara umum bertujuan agar yang
diberi hadiah hatinya condong sehingga diperhatikan ketika terjadi masalah
hukum. Dari sinilah ia berpendapat hadiah kepada pejabat menyerupai dengan risywah.
Terdapat juga dalam kitab sahih Imam
Bukhari bab yang melarang pemberian hadiah, terdapat di dalamnya perkataan Umar
bin Abdul Aziz:
“berkata Umar
bin Abdul Aziz hadiah pada zaman Rasulullah saw adalah hadiah, namun pada masa
ini (sekarang) hadiah sama hal nya dengan risywah.”
Ungkapan ini hadir pada masa Umar bin Abdul Aziz, praktik risywah
kembali menggejala sehingga ia mengatakan bahwa hadiah pada masanya telah
berubah menjadi suap. Dan beliau dikenal gigih menolak hadiah yang dikirimkan
kepadanya. Sampai suatu ketika seorang pria memberitahukan padanya bahwa
Rasulullah saw. dulu menerima hadiah padahal beliau sedang menjabat kepala
pemerintahan. Mendengar hal itu khalifah Umar menjawab dengan tegas, “harta
tersebut bagi Nabi saw. adalah hadiah, sedangkan bagi kita (umatnya) adalah
suap. Orang memberikan hadiah kepada beliau karena melihat posisinya sebagai
Nabi saw. bukan sebagai kepala pemerintahan, sedangkan kita. Orang memberikan
hadiah karena melihat posisi kita sebagai seorang birokrat.[8]
Berangkat dari penjelasan diatas, secara historis dapat
dibuktikan bahwa gejala terjadinya perubahan substansi hadiah kepada risywah
telah berlangsung di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau tidak mau
menerima hadiah karena praktek hadiah di
tengah-tengah masyarakat tekah terjadi pergeseran makna.
D.
Masalah Yang Terkandung
Dalam Hadis
Praktik
risywah melibatkan tiga unsur utama, yaitu pihak pemberi (الراشي), pihak penerima pemberian
tersebut (المرتشي) dan barang bentuk dan jenis
pemberian yang diserahterimakan. Akan tetapi dalam kasus risywah tertentu boleh
jadi bukan hanya melibatkan unsur pemberi, penerima, dan barang sebagai objek risywah-nya,
melainkan juga melibatkan pihak keempat sebagai perantara antara pihak pertama
dan kedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima, misalnya pihak yang
bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para pihak yang dimaksud.
Menerima
suap atau memberi suap untuk mendapatkan harta oranglain adalah tindakan yang dilarang
agama, sehingga sudah tentu Allah swt tidak menghalalkan perbuatan itu, karena
tergolong kepada perbuatan bathil. Sebagaimana dijelaskan didalam suroh
Al-Maidah ayat 42:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ
لِلسُّحْتِ ۚ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ
وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[9]
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)
datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. Q.S Al-Maidah :
42”
Ayat diatas menjelaskan janganlah kalian mengambil harta orang
lain tanpa hak atau penguasaan, dan janganlah pula meminta kepada hakim dan
penguasa supaya membantu kalian untuk mengambil harta orang lain dengan jalan
kekerasan, setelah kalian memberi suap agar mereka mengambil keputusan yang
menguntungkan kalian, padahal kalian mengetahui bahwa kalian tidak mempunyai
hak sama sekali atas harta orang lain itu.[10]
Dan mengajarkan kita untuk dapat memutuskan suatu perkara dengan adil dan
bijaksana, sesungguhnya Allah bersama mereka yang tidak mendzholimi hak
oranglain. Adapun permaslahan yang terkait yaitu:
1.
Bagaimana bentuk risywah
dalam Penegakan hukum?
Praktik
risywah dapat terjadi dalam masalah hukum yaitu lembaga peradilan baik
itu peradilan umum maupun peradilan agama (fi al-hukmi). Namun, disisi
lain suap juga dapat terjadi di luar lembaga peradilan (fi ghair al-hukmi).
Lembaga peradilan didirikan untuk menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Ia didirikan sebagai salah satu pilar untuk menciptakan keadilan dan
kemaslahatan umat manusia. Apabila telah dikotori dengan praktik suap-menyuap
dan menjamurnya mafia peradilan, maka hukum dapat dipermainkan dan diputarbalikkan
sesuai selera para hakim.[11]
Seorang hakim yang menerima suap untuk melakukan kebatilan, berarti sudah
berbuat fasik, dikarenakan dua alasan berikut ini: (a) Menerima suap untuk
sarana melakukan kebatilan, (b) menetapkan suatu hukum secara tidak sah, dan
itu diharamkan secara qath’i, serta pelakunya terkena hukum fasik. Sedangkan
penyuap dianggap sudah berbuat fasik, dikarenakan dua alasan pula, yaitu: (a)
menyerahkan barang suap, (b) menyebabkan terjadinya kezaliman baik dirinya
maupun orang lain.[12]
2.
Bagaimana membedakan antara
risywah dan hadiah?
Pada dasarnya Islam
menganjurkan para pemeluknya untuk saling memberikan hadiah agar tercipta
keharmonisan hubungan antara pemberi dan penerima hadiah. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda. تهادوا
تحابوا "Salinglah memberikan hadiah, niscaya kalian
akan saling mencintai". Akan
tetapi, bila hadiah diberikan oleh bawahan kepada atasan di tempat kerja
instansi pemerintahan ataupun swasta, dari seorang murid kepada seorang guru,
dari seorang pengusaha kepada seorang pejabat, dari seorang yang bersengketa
kepada hakim ataupun jaksa, dari seorang rakyat pengguna jasa kepada pegawai
yang melayani Urusan mereka, dll. Maka hadiah dalam
kasus tersebut tidak lagi murni sebagai hadiah, akan tetapi telah berubah
menjadl risywah. Baik diberikan sebelum urusannya selesai maupun setelah
urusannya selesai. Baik hadiah berupa uang, barang atau apapun bentuknya.
Suatu saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam
mengangkat Ibnu Lutbiyyah untuk menarik zakat bani Sulaym. Kemudian lbnu
Lutbiyyah datang menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seraya
berkata," Ini adalah zakat, aku serahkan kepadamu dan ini adalah hadiah
dari bani Sulaym untukku". Seketika itu juga, rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam menaiki mimbar, lalu bersabda,"Apa gerangan seorang pekerja
yang kami amanahkan, Ialu dia datang, seraya berkata: ini untukmu dan ini
hadiah dari masyarakat untukku. Andaikan dia duduk saja di rumah bapaknya atau
di rumah ibunya, apakah ada orang yang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi jiwa
Muhammad di TanganNya, tidak seorang pekerjapun yang menerima hadiah apapun,
melainkan hadiah tersebut akan dibawanya di atas pundaknya, mungkin seekor unta
yang mengeluarkan suara keras, mungkin juga seekor sapi yang mengoak, atau seekor
kambing yang mengembek". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
mengangkat tinggi kedua tangannya sehingga lengan jubahnya turun dan kelihatan
kilauan pangkal lengannya, lalu beliau bersabda, "Ya Allah, bukankah aku
telah menyampaikannya? (HR. Bukhari dan Muslim). [13]
Pada
hadis diatas Nabi sangat melarang pejabat amil zakat mengambil hadiah dari
zakat yang dipungutnya. Melihat dari konteks hadis tersebut kalaulah dia bukan
berstatus sebagai pejabat pemungut zakat tentunya tidak mungkin diberi hadiah.
Jadi, hadiah yang ia dapatkan semata-mata karena kedudukannya sebagai pejabat.
Maka hadiah disini masuk kepada kategori risywah, kecuali si pemberi hadiah
ketika penerima belum menjadi pejabat sudah sering memberi hadiah
E. Klasifikasi Risywah
Secara
umum, jenis risywah dapat diklasifikasikan menurut niat pemberi risywah.
Menurut niatnya, risywah terbagi tiga, yaitu:
a. Risywah
untuk membatilkan yang haq
atau membenarkan yang batil
Risywah
(suap) yang digunakan untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil
adalah suatu tindakan yang sangat merugikan orang lain dan dosa. Karena haq itu kekal dan
batil itu sirna.[14]
Maksutnya adalah bahwa sesuatu yang haq (benar) adalah suatu kebenaran yang
hakiki, sedangkan sesuatu yang batil adalah suatu yang dosa. Praktik suap ini
haram hukumnya, karena mengalahkan pihak yang mestinya menang dan memenangkan
pihak yang mestinya kalah.[15]
b. Risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah
kezaliman
Banyak alasan mengapa seseorang
harus melakukan risywah, salah satunya adalah untuk mempertahankan
kebenaran atau mencegah kebatilan serta kezaliman. Kalau
terpaksa harus melalui jalan menyuap untuk maksud diatas, dosanya adalah untuk
yang menerima suap.[16]
Para Ulama’ telah bersepakat mengenai hukum risywah
yang sedemikian ini, karena dilakukan
untuk kebaikan dan untuk memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi
risywah. Hal ini didasarkan pada kisah Ibnu Mas’ud, ketika ia ada di Habasyah,
tiba-tiba ia dihadang oleh orang yang tidak dikenal, maka ia memberinya uang
dua dinar, yang kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
c. Risywah untuk
memperoleh jabatan atau pekerjaan
Jabatan atau pekerjaan yang
seharusnya diperoleh berdasarkan atas keahlian diri, akan tetapi dalam
praktiknya masih terdapat beberapa orang yang mendapatkannya dengan cara-cara
yang salah. Salah satunya dengan memberi suap kepada pihak terkait atau kepada pejabat
tertentu dengan tujuan untuk dinaikkan jabatannya atau untuk mendapatkan
pekerjaan.
F.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas, beberapa poin yang menjadi
catatan penting penulis terhadap pergeseran makna hadiah dalam konteks sosial
sehingga dapat menjadi jawaban dari permasalahan yang ada saat ini, yaitu:
1. Praktik
risywah tidak hanya melibatkan antara si pemberi dan si penerima suap,
akan tetapi bisa jadi ada orang yang menjadi perantaranya (broker)
sehingga praktik suap menyuap bisa berjalan lebih mulus. Praktik risywah ini
pada dasarnya telah diharamkan oleh para ulama, akan tetapi apabila untuk
menegakkan kebenaran atau menolak kebatilan, maka tidak haram bagi pemberi dan
tetap haram bagi penerima. Praktik suap bukan hanya dilarang dalam masalah
hukum, akan tetapi tetap diharamkan jika terjadi diluar masalah hukum, karena
adanya di dalam hadis disebutkan bahwa Allah melaknat orang pemberi dan
penerima suap tanpa menyebutkan dalam perkara hukum di dalamnya, oleh karena
itu hadis tersebut lafaznya bersifat ‘am
(umum).
2. Praktik
gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak semua bersifat negatif, tetapi perlu diperhatikan
adanya sebuah larangan bagi pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi. Masyarakat masih menyamakan penggunaan gratifikasi sebagai
hadiah atau suap. Untuk membedakan antara
hadiah dan gratifikasi dari sisi pelaku, ada sebagian orang berpendapat bahwa jika pelaku memberikannya sebelum
selesai proses perkara, hal itu dinilai
sebagai gratifikasi Kemudian masuk dalam ghulûl yang haram ketika seseorang yang memiliki jabatan seperti
pemimpin kota, hakim, seorang bupati, atau siapa pun lainnya, menerima hadiah dan menghalalkan hadiah itu untuk
dirinya. Padahal hadiah itu diberikan
kepadanya karena jabatan yang dia pegang, disamping untuk menjilat, tentunya juga agar orang yang memberi hadiah lebih
diutamakan atau dimenangkan atas lainnya.
3. Di
dalam hadis Nabi praktik gratifikasi juga disebut dengan ghulûl dalam
bentuk hadiyyah. Tindakan ghulûl ini merupakan tindakan yang
diharamkan. Salah satu bentuk praktik korupsi atau pemberian berupa hadiah
kepada para pejabat sudah ada pada zaman Rasulullah saw, yaitu ketika Rasul
mengutus seorang petugas untuk mengumpulkan zakat kabilah Azad yang dikenal
dengan Ibn al-Lutbiyyah. Begitu sampai di hadapan Nabi saw., ia menahan
sebagian uang yang dibawanya dan berkata, “Ini untuk kalian sedangkan yang ini
untukku sebagai hadiah. Nabi saw., murka dan bersabda, “jika
engkau benar, tidakkah lebih baik kamu duduk di rumah ayah dan ibumu,apakah hadiah itu
menghampirimu. Pelarangan
ini menjelaskan bahwa jika seorang pejabat menerima hadiah dari masyarakatnya
dikhawatirkan aka nada perasaan tidak enak jika menghukumi sehingga terjadilah
penetapan keputusan yang tidak sesuai.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Bukhori , Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Ibn Katsir, 1407H/1987M), jilid V
Al-Bukhori, Al-Jami’ al-Shohih,
(Mesir: Dar al-Sya’b, 1987), cet ke-1, juz 3
Al-Kasymiry, Muhammad Anwal, Faidul
bari, Juz 4, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 2005)
Al-Thuraiqi, Abdullah bin Abdul Muhsin,
Hukum Suap Dalam Islam, Terj. K.H.A Aziz Mashuri, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
2003)
An-Nadwi, Sori Monang Rangkuti,
Pemimpin Teladan Perspektif Hadis dalam Islam, (Bandung: Citapustaka Media
Printis, 2013)
Arifin,
Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif
Fiqih Jinayah, (TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009)
Bin Saurah, Muhammad bin Isa, Al-Jam’u
Sahih Sunan Al-Tirmidzi, bab fi hatstsi al-Nabiyyi Shallallaahu alaihi
Wasallam, no. 2056
Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahannya,
Hasan,
Ali, Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di
Dunia Terhormat di Akhirat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Irfan, Muhammad Nurul, Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fikih Jinayah, (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009)
Jamaluddin, Hadis-hadis Tematik,
(Medan, Johor: LPPM UISU, 2015)
Muhsin,
Abdullah Bin Abdul, Jariimatur-Rasyati fi Syariati
al-Islamiyyati,terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta, Gema Insani Pers,
2001)
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1984), cet ke-1
Sahabuddin,
Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
[1] Abu Isa Muhammad bin
Isa bin Saurah, Al-Jam’u Sahih Sunan Al-Tirmidzi, bab fi hatstsi al-Nabiyyi
Shallallaahu alaihi Wasallam, no. 2056.
[2] Syeikh Muhammad Anwal
al-Kasymiry, Faidul bari, Juz 4, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 2005),
h. 925.
[3] Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Ibn Katsir,
1407H/1987M), jilid V, h.2624.
[4] Sahabuddin, Ensiklopedia
Al-Quran: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 261.
[5] Abi Yahya Zakaria
Al-Anshari al-Syafi’i, Asnal Mathalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th), juz 5, h. 566.
[6] Ibnu Qudamah,
Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), cet ke-1, juz 10, h. 437.
[8] Sori Monang Rangkuti
an-Nadwi , Pemimpin Teladan Perspektif Hadis dalam Islam, (Bandung: Citapustaka
Media Printis, 2013), h. 51.
[9] Departemen Agama RI, Alquran
dan Terjemahannya,h. 166
[10] Muhammad
Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fikih
Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), h.
96.
[11] Jamaluddin,
Hadis-hadis Tematik, (Medan, Johor: LPPM UISU, 2015), hlm 149
[12] Abdullah bin Abdul Muhsin
Al-Thuraiqi, Hukum Suap Dalam Islam, Terj. K.H.A Aziz Mashuri,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003), hlm 5
[13] Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar
Ibn Katsir, 1407H/1987M), jilid V, h.2624.
[14] Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati fi Syariati al-Islamiyyati,terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta,
Gema Insani Pers, 2001) hlm.
11
[15] Muhammad Nurul Arifin, Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (TK: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2009), hlm. 119
[16] Ali Hasan, Manajemen Bisnis
Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 230
No comments:
Post a Comment