Tuesday, 24 March 2020

MAKALAH TENTANG AL-QUR'AN


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam. Umat islam percaya bahwa Al- Quran merupakan puncak dan penutup Wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Malaikat Jibril. Dan sebagai Wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW, sebagaimana terdapat dalam surat Al-Alaq ayat 1-5. Al-Quran merupakan salah satu kitab yang mempunyai sejarah panjang yang dimiliki oleh umat Islam dan sampai sekarang masih terjaga keasliannya.
Al-Quran dalam pengumpulannya mempunyai dua tahap yaitu tahap petama pengumpulan Al-Qur’an dalam arti menghafal Al-Qur’an pada masa Nabi, tahap kedua dalam arti penulisan Al-Quran, hal ini dinamakan penghafalan dan pembukuan Al-Quran.
Setelah Wafatnya Nabi Muhammad SAW, proses pengumpulan Al-Quran terus dilaksanakan oleh para khalifah sehingga terbentuklah Mushaf Usmani seperti yang ada pada saat sekarang ini.
Penyebaran islam bertambah luas membuat para Qurra pun tersebar dan memiliki latar bealakang yang berbeda sehingga menimbulkan perbedaan dalam membaca Al-Qur’an. Hal ini menimbullkan kecemasan dikalangan sahabat. Sehingga Khalifah Usman bin Affan memerintahkan keempat orang quraisy yaitu, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-zubair, Said bin Al-Ash, Abdulrahman bin Al-Harisi bin Hisyam. Keempat orang tersebutlah yang ditugas untuk menyalin dan memperbanyak Al-Qur’an dengan satu pedoman dalam cara-cara membacanya, hal ini telah di sepakati oleh para sahabat.
Dan Al-Quran juga memiliki multi fungsi dan selalu mempunyai hubungan yang pasti dalam fenomena-fenomena kehidupan, hal ini diantaranya mukjizat, akidah, ibadah, muamalah, akhlak, hukum, sejarah, dan dasar-dasar sains.
Serta beberapa kaitan al-Quran dengan kitab suci lainnya, dan beberpa kelebihan al-Qur’an dari beberapa kitab suci lainnya.

BAB II
Pembahasan
A.    Cakupan Makna al-Qur’an
Kata al-Quran secara bahasa diambil dari kata:  قرأ – يقرأ – قرأة - قرأنا  yang berarti sesuatu yang dibaca.[1] Arti ini mempunyai makna anjuran kepada umat Islam untuk membaca al-Qur’an. Al-Quran juga bentuk masdar dari القرأة yang berarti menghimpun dan mengumpulkan. Dikatakan demikian karena al-Quran menghimpun beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun rapi dan benar.[2]
Menurut M. Quraish Shihab, secara harfiyah al-Qur’an berarti bacaan yang sempurna. Ia merupakan satu nama pilihan Allah yang tepat, karena tiada suatu bacaanpun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi, bacaan sempurna lagi mulia.[3]
Sedangkan dalam pengertian secara bahasa Ibnu Katsir dari mazhab Syafii, mengatakan bahwa lafal al-Quran adalah isim jamid yang serupa dengan lafal khusus yang diberikan terhadap kitab-kitab sebelumnya, layaknya taurat, injil dan zabur. Berbeda dengannya ulama yang berpendapat bahwa al-Quran itu isim mustaq, dibagi menjadi dua golongan:[4]
1.      Golongan yang berpendapat bahwa huruf nun adalah huruf asli sehingga isim tersebut dikategorikan isim mustaq dari materi: قرن  Qa-ra-na
2.      Golongan yang berpendapat bahwa huruf alif dalam kata al-Quran adalah huruf asli. Dan didalamnya juga terdapat dua pendapat dalam menanggapi hal itu, pertama, yang diwakili oleh al-Lihyanin berpendapat lafal al-Qur’an adalah dalam bentuk masdar mengikuti wajan al-Ghufran, dan ia merupakan mustaq dari kata qaraa yang mempunyai arti sama dengan talā. Sementara yang Kedua, diwakili al-Zujaj, yang berpendapat bahwa lafal al-Qur’an disitu diidentikkan dengan wazan Fulan, yang merupakan mustaq dari lafal al-Qaru yang mempunyai arti al-Jamu.
Sementara secara terminologi al-Quran diartikan sebagai kalam Allah swt, yang diturunkan kepada nabi muhammad saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawattir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat jibril dan membaca al-Quran dinilai ibadah kepada Allah swt.
Pengertian menurut para ahli ikut memainkan andilnya, ali al-shabuni menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah swt yang tiada tandingannya, diturunkan  kepada nabi  muhammad saw penutup  para nabi  dan  rasul  dengan perantaraan malaikat jibril as, ditulis pada mushaf-mushaf kemudian disampaikan kepada kita secara mutawattir, membaca dan mempelajari al-Quran dimulai dengan surat al-fatihah serta ditutup dengan surat al-nas.[5]  Subhi al-Salih menjelaskan al-Quran adalah kalam Allah swt merupakan mukjizat yang diturunkan kepada nabi muhammad saw ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Sementara Syeikh Muhammad Khudari Beik menjelaskan al-Quran adalah firman Allah yang berbahasa arab diturunkan kepada nabi muhammad saw untuk dipahami isinya, disampaikan kepada kita secara mutawatir ditulis dengan mushaf dimulai surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-nas.
Sementara redefinisi ulang kata al-Quran ditawarkan oleh Al-Jabiri melalui kitab Madkhal-nya. Secara garis besar pembahasan seputar asal kata al-Quran dibagi dua. Pertama adalah kelompok yang berpendapat kata al-Qur’an berasal dari kata qarana, tanpa hamzah.[6] Kedua kelompok yang berpendapat bahwa kata al-Quran berasal dari kata quru yang memiliki arti al jam’u (mengumpulkan) dan qaraa yang memiliki arti membaca (talâ). Kata al-Quran merupakan masdar dari kata qaraa, mengikuti wajan fulan. Masdar Quran boleh juga dikatakan qiraat yang juga berarti bacaan.[7] Menurut al-Jabiri hal ini dianggap sesuai dengan ayat yang pertama kali turun.
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan
Al-Jabiri menilai penting untuk dilakukan kembali penyegaran terhadap definisi al-Quran, meskipun telah banyak dirumuskan oleh ulama-ulama klasik. Dalam mendefinisikan al-Quran, Al-Jabiri mengungkapkan poin-poin definisi al-Quran yang telah ada sebelumnya, seperti: al-Quran adalah hal yang dibaca kaum muslim dan ditulis dalam mushaf, al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat jibri, tertulis dalam mushaf , diawali dengan surat al-fatihah dan di-akhiri dengan surat al-nas, dan al-Quran adalah firman dan wahyu Allah yang diturunkan kepada penutup para nabi, nabi Muhammad, tertulis dalam mushaf, yang dinukil secara mutawattir, yang melemahkan bagi yang menantangnya karena ke-mukjizatannya. Bagi Al-Jabiri berbagai definisi tersebut membuat tujuan-tujuan yang bersifat ideologis atau dogmatis.
Al-Jabiri mencoba mendefinisikan ulang al-Quran dengan merujuk pada al-Quran sendiri, karena al-Quran menurutnya saling menafsiri satu sama lain.[8]
1)     Q.S. al-Syu’ara [26]: 192-196
 وَإِنَّهُۥ لَتَنزِيلُ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٩٢ نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ ١٩٣  عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ ١٩٤ بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ ١٩٥  وَإِنَّهُۥ لَفِي زُبُرِ ٱلۡأَوَّلِينَ ١٩٦
Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab- kitab orang yang dahulu.

2)     Qs. Al-Isrā [17]: 106
وَقُرۡءَانٗا فَرَقۡنَٰهُ لِتَقۡرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكۡثٖ وَنَزَّلۡنَٰهُ تَنزِيلٗا ١٠٦
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.

3)     Qs. Āli Imrān [3]: 3-4
 نَزَّلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَأَنزَلَ ٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ ٣ مِن قَبۡلُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَأَنزَلَ ٱلۡفُرۡقَانَۗ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٞ ذُو ٱنتِقَامٍ ٤
Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).
Ayat-ayat diatas memberikan penjelasan al-Quran secara holistik tentang dirinya sendiri. Berdasarkan ayat-ayat, tersebut, al-Jabiri mendefinisikan al-Quran melalui metode self referensial sebagai zahiriyah qur’ani, yang didalamnya termuat dua elemen: elemen historis/keberlanjutan dan aspek a-historis, keazalian. Elemen pertama, yakni elemen historis ditunjukkan oleh ayat 195 dari surat al-Syuara bi lisanin ‘arabiyyin mubin”. Elemen yang kedua yang disebut elemen azaliyyah atau a-historis, ditunjukkan oleh ayat ke-196 dari surat al-Syuara wa innahu lafi zubur al-awwalin. Dengan demikian, dua ayat tersebut menunjukkan adanyan persentuhan atau hubungan bagian eksternal al-Qur’an dengan waktu (historis dan a-historis).
Tiga ayat sebelumnya dari surat al-Syuara memberikan penjelasan tambahan. Ayat ke-192 tanzilun min rabb al-alamin” menunjukkan bahwa al- Quran adalah teks ilahiyyah. Ayat ke-193 nazzala bihi al-ruh al-amin” menjelaskan keberadaan malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Ayat selanjutnya menjelaskan  bahwa  nabi  Muhammad  adalah  sang  penerima  wahyu  sekaligus sebagai pembawa peringatan. Dua elemen al-Quran yang disimpulkan Al-Jabiri dari ayat-ayat diatas menjelaskan al-Quran adalah wahyu dari Allah yang dibawa malaikat jibril untuk disampaikan kepada nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa arab dan termasuk dalam jenis wahyu yang termaktub dalam kitab-kitab para rasul terdahulu.[9]
Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa al-Quran terdiri dari tiga unsur 1) tidak terkait waktu (bu’dun lazimaniyyun), ini tergambar dalam hubungan eksternal al-Quran dengan risalah-risalah samawiyyah. 2) unsur ruhani (bu’dun ruhiyyun) yang tercermin dalam pengalaman nabi ketika menerima wahyu, dan 3) unsur sosial (bu’dun ijtimaiyyun) yang tercermin dalam perjalanan dakwah nabi berikut pelbagai respon terhadap dakwahnya.[10]
Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah bahwa kita harus mampu melihat dan memahami al-Quran tidak hanya semata-mata sebagai nash yang tersusun dari beberapa halaman dalam sebuah mushaf yang telah menjadi korpus resmi, melainkan juga harus dilihat sebagai nash yang mengalami beberapa fase yang terbentuk pada masa dakwah nabi selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, sejak pertama kali nabi menerima wahyu dan menyampaikannya kepada umat manusia hingga nabi meninggal.[11]
Kesadaran dengan adanya hubungan logis antara masa dakwah nabi dengan al-Quran mendorong Al-Jabiri untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan logis tersebut. Bagi Al-Jabiri, hal ini bisa dicapai dengan menggunakan susunan al- Quran berdasarkan tartib nuzuli. Hal ini kemudian direalisasikan dalam karyanya yang berjudul fahm al-Qur’an al-karim al-tafsir al-wadih hasba tartib al-nuzuli. Tujuannya adalah, pertama, supaya al-Quran kontemporer pada masanya. Kedua, sekaligus agar al-Quran kontemporer untuk kekinian kita.[12]
Menurut Nasr Hamid Abu Zayd ia tidak akan membicarakan panjang lebar mengenai perbedaan penafsiran seputar kata al-Qur’an; apakah ia mashdar dari kata qaraa dengan arti mengulang-ulang, atau dari kata qaraa dengan arti mengumpulkan. Hal itu tentu telah dijelaskan panjang lebar dalam kajian tentang ilmu-ilmu al-Quran.
B.     Perbedaan Penyebutan Al-Qur’an
1.      Al-Kitâb
Istilah al-Kitab merupakan kata yang populer setelah kata al-Quran itu sendiri, dalam pengertiannya memang terdapat perbedaan yang fundamental. Menurut Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata: ia dikatakan al-Qur’an karena ia dibaca” dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia ditulis” dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya.[13] Hal ini pula memberikan isyarat bahwa selayaknya ia di pelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila salah satu diantaranya melenceng, maka yang lainnya meluruskannya.
Dalam mafhum al-nash karya Nasr Hamid, Teks dalam hal ini menamakan dirinya dengan al-Kitab, pertama kali muncul dalam surat Shad ayat 29 yang dilihat dalam segi urutan turunnya.[14]
 كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٩
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”
Penamaan teks dengan penamaan dengan sebutan al-kitab” tidak sekedar mengindikasikan perbedaannya” dari teks-teks lain. Sebab teks ini kenyataannya merupakan teks pertama yang dibukukan dalam sejarah kebudayaan (arab), dengan catatan apabila mengabaikan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan kodifikasi mu’allaqat yang digantungkan di dinding kabah.
Konsep tulisan” (al-kitabah) dalam kebudayaan sebelum teks (pra-Islam), memiliki keterkaitan dengan sifat rahasia sebagaimana yang terkandung dalam konsep wahyu menurut bahasa. Oleh karena itu pengarang kamus Lisân al-Arab menempatkan kata tulisan” sebagai salah satu makna wahyu. Namun demikian penggunaan dan pemakaian dalam teks tidak kita dapati, yang muncul justru kata kitabah dalam pengertian kodifikasi, pencatatan, dan penetapan.[15]
Lebih lanjut Nasr Hamid memberikan pernyataan bahwa teks berperan dalam mentransformasikan peradaban dari fase kelisanan ke fase kodifikasi melalui nama al-kitab yang diberikan kepada dirinya sendiri, dan melalui makna tulisan yang dinegasikan sebagai bagian dari pengertian wahyu” dengan segala karakter yang terkait dengannya, seperti samar dan tidak jelas. Maka  yang dimaksudkannya dengan teks bukan sekedar sebuah fakta bahasa saja, tetapi yang menganggapnya sebagai teks dasar mereka.[16]
2.      Al-Furqân
Nama lain yang menjadi sebutan untuk al-Qur’an juga hadir dengan bentuk makna pembeda yakni al-Furqân.  Kata itu sendiri berasal dari kata Farraqa- yufarriqu yang memiliki arti memisahkan, membedakan, membagi, membubarkan, menceraikan.[17] Sementara dalam istilah, al-Jabiri memberikan poin khusus untuk pembahasan ini dengan arti sesuatu yang membedakan antara hak dan yang batil. Yang pertama yang menggambarkan perbedaan antara yang hak dan yang batil yaitu, kepercayaan yang dibawa oleh nabi Muhammad yang berhadapan dengan kepercayaan orang-orang musyrik.[18]
Kalimat al-Furqân sendiri juga termaktub dalam al-Quran dan diabadikan dengan menjadi salah satu nama surah, dan dalam surah tersebut pula terdapat ayat yang mengandung kata al-furqân sendiri, berikut ini ayatnya:
تَبَارَكَ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا ١
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furn (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.
sebelum al-Quran diturunkan, manusia telah berinteraksi dengan berbagai system peradaban, agama, dan tradisi, maka hadirnya al-Quran memberi penekanan untuk membedakan, mana saja tradisi yang perlu dihentikan. Dan dengan al-Qur’anlah yang membedakan konsep pemikiran agama yang sebelumnya, yaitu agama samawi (yahudi dan nasrani) atau agama ardhi.
3.      Al-Dzikr
Kata al-Dzikr berasal dari kata ذكر – يذكر - ذكرا  yang berarti mengingat, menyebut, dan mengenang. Hal ini pula bagian pemberian nama al-Dzikr yang merupakan salah satu fungsi al-Quran yaitu pemberi peringatan, menurut al- Zarkasyi, al-Qur’an mengandung peringatan-peringatan, nasehat-nasehat, serta informasi mengenai umat yang telah lalu yan tentu saja sebagai peringatan dan nasehat juga bagi orang yang bertakwa.  Berikut ini ayat yang menjelaskan penggunaan kata al-Dzikr sebagai nama lain al-Qur’an dalam surah al-nahl ayat 44:
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan

C.    Al-Qur’an dan Kitab Suci Lainnya
Posisi kitab al-Qur’an yang muncul belakangan sebagai penyempurna tentu memberikan pengaruh yang sangat luas dalam kehidupan manusia. Sebagai kitab terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi terakhir (khataman nabiyyin), Al- Quran memiliki beberapa keistimewaan:
·         Menjaga kitab-kitab sebelumnya (al-Muhaimin).
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.  Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba- lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu

·         Menjadi hakim terhadap apa yang diperselisihkan oleh manusia.
Al-Quran, selain membenarkan kandungan kitab-kitab suci terdahulu, juga menyalahkan beberapa doktrin yang terdapat di dalamnya. Karena kitab-kitab yang asal mulanya dari Allah, telah mengalami perubahan makna dan posisi oleh pemuka-pemuka Bani Israil. Jadi, kebenaran yang termuat telah bercampur dengan kesalahan akibat perubahan yang dilakukan manusia.

·         Menghapus syariat kitab-kitab sebelumnya.
وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ ٨٩
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (al-Nahl [16]:89)

وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرِۢۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ١٠١
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui (al-Nahl [16]:101)

إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَبِيرٗا ٩
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu´min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar (al-Isra[17]:9)

۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١٠٦
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Baqarah [2]: 106)

Al-Quran telah me-nasakh hukum kitab-kitab suci sebelumnya. Syariat yang dibawa oleh kitab sebelumnya hanya bersifat terbatas regional (lokalitas sempit) dan untuk bangsa tertentu. Sedangkan Al-Quran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW berlaku universal dan tidak terbatas ruang. Jadi, syariat Nabi- Nabi sebelumnya dihapus oleh Al-Quran yang semuanya telah terserap di dalamnya.

BAB III
Kesimpulan
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang berarti sebuah bacaan” oleh beberapa pendapat ulama, disamping ada juga yang memberikan pengertian bahwa alquran berasal dari kata yang berbeda, semisal al-Quru, Qarana dengan tanpa hamzah, ataupun lainnya. Namun pada taraf istilah, tidak ada perbedaan secara signifikan, semua sepakat bahwa al-Quran merupakan wahyu dari Allah Swt, yang diturunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dan yang membacanya bernilai ibadah.
Pada beberapa penyebutan al-qur’an, terdapat beberapa nama yang mewakili al-qur’an itu sendiri, semisal al-Kitab, al-Furqon, dan al-Dzikr. Sejauh penulis analisa bahwa penamaan ini memang tidak terlepas dari sifatnya al-Quran itu sendiri, disebut al-Kitab karena berbentuk tulisan, disebut pula al-Furqon dikarenakan membedakan antara yang hak dan yang batil. Al-Dzikr karena al- qur’an sendiri mengandung peringatan bagi manusia. Sekaligus penyempurna bagi kitab kitab yang telah lalu.













DAFTAR PUSTAKA
Al-Azami, M. M. 2005. The History of The Quranic Text (Sejarah Teks Al-Quran).  Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Jazairi, Thahir bin Saleh. t.t. Jawahirul Kalamiyah (Terjemah Jawahirul Kalamiyah, Mahrus Ali). Surabaya: Al-Hidayah.
Al-Qarni, Aidh bin Abdullah. 2006. Ala Maidati Al-Quran (Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an, AM. Halim). Jakarta: Maghfirah Pustaka.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. 1997. Dirasat fi Ulum Al-Quran (Ulumul Quran, Amirul Hasan dan Muhammad Halabi). Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Azhim, Said Abdul. 2006. Alaamaat Al-Qiyaamah Al-Kubraa (Keagungan Mukjizat Nabi Muhammad SAW, Masturi Irham dan Moh. Asmuitaman). Tangerang: Quantum Media.
Izzan, Ahmad. 2009. Ulumul Quran. Bandung: Tafakur.
Marifat, Muhammad Hadi. 2007. Tarikh Al-Quran (Sejarah Al-Quran, Thoha Musawa) . Jakarta: Al-Huda.
Masyhur, Kahar. 1992. Pokok-Pokok Ulumul Quran. Jakarta : Rineka Cipta.
Amal, Taufik Adnan. 2005. Rekonstruksi Sejarah Al-Quran. Ciputat: Pustaka Alvabet.
Abu Zaid, Nasr Hamid. 2016. Tekstualitas Al-Quran. Yogyakarta: IRCISod.
Sirry, Munim. 2015. Kontroversi Islam Awal. Bandung: Mizan.



[1] Abid al-Jabiri, Madkhal ilâ al-Qurân al-Karîm, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahidah al-‘Arabiyah, 2006), h. 160
[2] Ansori, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 17
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 3
[4] Fadh  bin  Abdurrahman  al-Rumi,  Ulumul  Qur’an:  Studi  Kompleksitas  al-Qur’an, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 38
[5] Muhammad Ali al-Ṣabuni, al-Tibyan fi al-Ulumal-Qur’an, (Beirut: Dār al-Irsyad, 1970), h. 10
[6] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 54
[7] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ilā Al-quran al-Karim, (Beirut: Markaz Dirasat al- Wahidah al-Arabiyah, 2006), h.150
[8] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ilā Al-quran al-Karim, (Beirut: Markaz Dirasat al- Wahidah al-Arabiyah, 2006), h.24
[9] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ilā Al-quran al-Karim, h. 24
[10] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ilā Al-quran al-Karim, h. 24
[11] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ilā Al-quran al-Karim, h. 25
[12] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ilā Al-quran al-Karim, h. 233
[13] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,2011), h. 19
[14] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, (Yogyakarta: IRCISod, 2016), h. 57
[15] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, (Yogyakarta: IRCISod, 2016), h. 58
[16] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, (Yogyakarta: IRCISod, 2016), h. 60
[17] Aplikasi Kamus Bahasa Arab V.3
[18] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ilā Al-quran al-Karim, (Beirut: Markaz Dirasat al- Wahidah al-Arabiyah, 2006), h. 162

No comments:

Post a Comment