Tuesday, 24 March 2020

HADIS KEPEMIMPINAN QURAISY



Hari Putra Z
Program Magister Fakultas Ushuluddin
 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21180340000005

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sebuah hadis tentang kepemimpinan Quraisy yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, hadis tersebut secara tekstual mengisyaratkan bahwa kepemimpinan berada di tangan Quraisy, jika hadis tersebut dipahami demikian, tentu akan menimbulkan masalah karena Islam sudah menyebar keberbagai belahan dunia dan dianut oleh bermacam ras, suku dan bangsa. Berangkat dari permasalahan tersebut penulis perlu melakukan penelitian terhadap hadis kepemimpinan Quraisy.
Penelitian ini mencoba melakukan studi pemahaman hadis terhadap hadis kepemimpinan Quraisy secara komprehensif serta mencoba mengaplikasikannya untuk Indonesia masa sekarang. Penelitian ini dalam penulisannya berbentuk kajian pustaka dan teknik pengumpulan data bersifat kualitatif yang dibantu dengan metode takhrij hadis, untuk menganalisa menggunakan metode analisis deskriptif, langkah-langkahnya dengan pengumpulan data tentang hadis kepemimpinan Quraisy dan beberapa pendapat ulama serta pakar tentang pemimpin, kegiatan ini berguna untuk memahami apa itu pemimpin dan kepemimpinan  serta mengetahui kualiatas hadis yang menjadi objek penelitian ini, dalam memaknai hadis tersebut penelitian ini menggunakan metode Semantik, yaitu metode yang menggunakan tanda dalam menggali makna, kata Quraisy diposisikan sebagai tanda untuk dianalisa agar menghasilkan makna konotasi sebagai makna lapis kedua/ makna lain yang bersifat implisit/ tersembunyi. Metode-metode tersebut ditempuh, kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bagaiman makna hadis kepemimpinan Quraisy tersebut.
Setelah semua langkah tersebut ditempuh, maka dari hasil penelitian ditemukan bahwa kata Quraisy yang dimaksud oleh Nabi Saw. dalam matan hadis tersebut bersifat simbolik, kata Quraisy merujuk kepada keriteria-kriteria yang hanya dimiliki suku Quraisy kala itu yaitu: mempunyai keluhuran tata sosial (amanah, mempunyai solidaritas yang kuat), dominan dan berpengaruh (cerdas, kekuatan sosial ekonomi yang cukup kuat sehingga mampu memberikan perlindungan kepada anggota yang mengikuti/ dipimpin). Setelah menemukan secara utuh tentang makna hadis kepemimpinan Quraisy tesebut, penelitian ini mencoba mengaplikasikan hadis tersebut untuk konteks Indonesia masa sekarang. Semua langkah-langkah yang ditempuh merupakan bentuk jawaban dari rumusan masalah penelitian ini, yakni: Memahami Hadis kepemimpinan Quraisy. Maka diambil kesimpulan bahwasanya yang berhak memegang kepemimpinan di Indonesia adalah yang mempunyai keluhuran tata sosial, dominan serta berpengaruh atau yang mempunyai karakteristik-karakteristik suku Quraisy dahulu.
















A.   Latar Belakang
Pemimpin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/ KBBI secara bahasa berarti orang yang memimpin.[1] Di dalam sistem pemerintahan Islamiah, seseorang yang melaksanakan fungsi kekhilafahan, keimaman dan keamiran disebut khalifah, Khalifah berasal dari kata khalafa yang berarti pengganti,[2] yaitu “seseorang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan.”[3] Menurut istilah, khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap agama untuk membuat manusia tetap mengikuti aturan-Nya dalam keadilan di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia.[4]
Di dalam buku Fiqh Siasah karangan Pulungan J. Suyuti yang mengutip perkataan Al-Maududi (w. 1979 H) mengatakan bahwa khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai penganti Rasul. Dengan demikian kata khalifah yang semulanya pengganti telah berkembang menjadi titel atau gelaran pemimpin tertinggi masyarakat muslim.[5] Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan penerimaan sukarela oleh para pengikutnya.[6] Menurut Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H), Khalifah adalah pemerintahaan Islam yang berorientasi untuk kemaslahatan agama dan dunia,[7] yang berarti seorang pemimpin mempunyai kepandaian dalam mengurus urusan dunia dan cakap dalam masalah  keagamaan. Dipertegas oleh al-Ghazali (w. 505 H), kepemimpinan merupakan tata nilai/ sistem yang diusung untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar karena mencakup seluruh aspek kehidupan sebuah bangsa. bahasa, agama, seni serta norma-norma, seorang pemimpin yang memang tidak bisa dijamin dengan kualitas dan ukuran ibadah seseorang.[8] Ada kemampuan-kemampuan dan spesifikasi khusus yang harus menjadi dasar fundamental bagi seseorang untuk mampu memimpin. Dan menurut George R. kepemimpinan adalah kegiatan memengaruhi orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan- tujuan kelompok.[9] Seperti dalam tulisannya M. Suryadinata bahwa seorang pemimpin harus mempunyai beberapa ketentuan/ spesifikasi yang harus dimiliki agar bisa menjadi pemimpin yang ideal menurut Islam, yaitu: Beriman dan Bertaqwa, sehat jasmani dan rohani, jujur serta mempunyai kemampuan, adil dan professional, bertangguang jawab dan amanah, berani dan tegas, cinta kebenaran dan musyawarah.[10]
Namun, di dalam kitab Irsyādu al-Sari li Syarhi Sahih al-Bukhāri disebutkan ke-khalifahan itu yang pantas mendapatkan adalah orang Quraisy,[11] sebagaimana juga dikatakan dengan jelas oleh Nabi Saw. melalui hadis berikut:
Redaksi Hadis:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَلَغَ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ عِنْدَهُ فِي وَفْدٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَيَكُونُ مَلِكٌ مِنْ قَحْطَانَ فَغَضِبَ فَقَامَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ رِجَالًا مِنْكُمْ يُحَدِّثُونَ أَحَادِيثَ لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا تُوثَرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُولَئِكَ جُهَّالُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَالْأَمَانِيَّ الَّتِي تُضِلُّ أَهْلَهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ[12]
“Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari al-Zuhri mengatakan, bahwa Muhammad ibn Jubair menceritakan, Mu’awiyah mendapat informasi darinya, ketika itu Jubair berada di sampingnya saat berada dalam rombongan Quraisy, bahwa Abdullah ibn Amru menceritakan, bahwa akan ada yang menjadi raja dari orang  Qahtan, maka dia seketika murka, ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah dengan pujian semestinya, kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita kepadaku bahwa beberapa orang di antara kalian menceritakan hadist yang tidak terdapat dalam kitabullah dan tidak pula berasal dari Rasulullah , mereka itu adalah orang-orang jahil (bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang menyesatkan, sebab aku mendengar Rasulullah  bersabda: “Kepemimpinan ini di (tangan) Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang Quraisy), kecuali Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”
Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada yang boleh mengurusi masalah kepemimpinan atau kekhalifahan kecuali orang Quraisy, namun sebelum benar-benar mengamini pemahaman tersebut, sebaiknya ditinjau terlebih dahulu konteks kesejarahan yang melahirkan pemahaman ini. Apakah benar hadis ini dipahami sebagaimana yang tertera di atas, dan bagaimana penerapan hadis tersebut terhadap kepemimpinan di Nusantara.

B.   Tujuan Penelitian
Penelitian ini dalam penulisannya bertujuan serta membatasi masalah hanya dari segi pemahaman pemimpin menurut hadis Quraisy/ memahami maksud dari Hadis Quraisy.

C.   Hadis-hadis tentang Kepemimpinan Quraisy
Yang menjadi bahan utama dalam pengolahan data yaitu hadis Quraisy tentang kepemimpinan yang diambil dari kitab Sahih al-Bukhāri, hadis di bawah ini dipilih menjadi sumber primer karena diriwayatkan oleh al-Bukhāri dalam kitabnya Sahīh al-Bukhārī, mengikuiti perkataan Ibn Sallah dan al-Qasthalani[13] bahwasanya kitab Sahīh al-Bukhārī paling tinggi derjat ke-Sahīh-an nya, berikut redaksi hadis tersebut:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ[14]
“Kepemimpinan ini di (tangan) Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang Quraisy), kecuali Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”

Sebelum dianalisa lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan penelusuran bagaimana penyebaran hadis tersebut dengan menggunakan metode Takhrij Hadis, metode pencarian yang digunakan dalam penelitian ini dengan mengetahui kata-kata yang jarang digunakan dari suatu bagian matan hadis, menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî karya A.J. Wensinck.  Kitab ini memuat indeks kata yang terdapat dalam sembilan sumber hadis atau Kutub al-Tis’ah dengan hasil:
1.     penelusuran menggunakan kata al-amr, Quraisy dan kata baqīa yang dibantu kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî, dan diperoleh informasi periwayatan lewat jalur Sahīh al-Bukhāri, dengan memuat empat riwayat.[15] Dua riwayat dalam kitab Manāqib, pada bab Manāqib al-Quraisy, dan dua riwayat yang lain dalam kitab al-Ahkām, yaitu pada bab al-Umarā Min Quraisy, namun yang di tampilkan hanya beberapa, Berikut redaksi hadis dalam al-Bukharī
Hadis pertama:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَلَغَ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ عِنْدَهُ فِي وَفْدٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَيَكُونُ مَلِكٌ مِنْ قَحْطَانَ فَغَضِبَ فَقَامَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ رِجَالًا مِنْكُمْ يُحَدِّثُونَ أَحَادِيثَ لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا تُوثَرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُولَئِكَ جُهَّالُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَالْأَمَانِيَّ الَّتِي تُضِلُّ أَهْلَهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ[16]
“Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari al-Zuhri mengatakan, Muhammad ibn Jubair menceritakan, Mu’awiyah mendapat informasi darinya, ketika itu Jubair berada di sampingnya saat berada dalam rombongan Quraisy, bahwa Abdullah ibn Amru menceritakan, bahwa akan ada yang menjadi raja dari orang  Qahtan, maka dia seketika murka, ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah dengan pujian semestinya, kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita kepadaku bahwa beberapa orang di antara kalian menceritakan hadist yang tidak terdapat dalam kitabullah dan tidak pula berasal dari Rasulullah, mereka itu adalah orang-orang jahil (bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang menyesatkan, sebab aku mendengar Rasulullah  bersabda: “‘Kepemimpinan ini berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang Quraisy), kecuali Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”

Hadis kedua:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمُ اثْنَانِ[17]
“Menceritakan kepada kami Abū al-Walīd, menceritakan kepada kami ‘Āsīm ibn Muhammad ia berkata, aku mendengarkan dari ayahku dari Ibn ‘Umar ra, dari nabi Saw. beliau bersabda “Kepemimpinan ini tetap ada di (tangan) Quraisy selama masih ada dua orang di antara mereka”

2.     Penelusuran selanjutnya menggunakan kata kepemimpinan Quraisy dapat ditelusuri dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal memuat delapan riwayat yakni: Juz II ada tiga riwayat, Juz III ada dua riwayat dan Juz IV ada tiga riwayat.[18] Berikut beberapa matan dan sanad hadis tersebut:





Hadis pertama
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُعَاذٌ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ سَمِعْتُ أَبِى يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْشٍ مَا بَقِىَ مِنَ النَّاسِ اثْنَانِ ». قَالَ وَحَرَّكَ أُصْبُعَيْهِ يَلْوِيهِمَا هَكَذَا[19]
"Abdullāh menceritakan kepada kami bahwasanya ayahnya berkata: menceritakan kepada kami Mu’āz, menceritakan kepada kami ‘Asim ibn Muhammad ia berkata: aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Abdullāh ibn ‘Umar berkata, Nabi Saw. bersabda: “Kepemimpinan ini tetap berada pada Quraisy, selama sisa manusia hanya tinggal dua, ibn Umar menambahkan, beliau (Nabi) menggerakkan jari jemarinya dengan menunjukkan bilangan dua seperti ini."

Hadis kedua
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَلِىٍّ أَبِى الأَسَدِ قَالَ حَدَّثَنِى بُكَيْرُ بْنُ وَهْبٍ الْجَزَرِىُّ قَالَ قَالَ لِى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أُحَدِّثُكَ حَدِيثاً مَا أُحَدِّثُهُ كُلَّ أَحَدٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَامَ عَلَى بَابِ الْبَيْتِ وَنَحْنُ فِيهِ فَقَالَ « الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا وَلَكُمْ عَلَيْهِمْ حَقًّا مِثْلَ ذَلِكَ َا إِنِ اسْتُرْحِمُوا فَرَحِمُوا وَإِنْ عَاهَدُوا وَفُّوا وَإِنْ حَكَمُوا عَدَلُوا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[20]
Abdullahāh menceritakan, menceritakan kepadaku ayahku, Muhammad ibn Ja’far bercerita Syu’bah dari ‘Alī Abī al-Asad ia berkata: Menceritakan kepadaku Bukair ibn Wahab al-Jazarī ia berkata: berkata kepadaku Anas ibn Mālik, aku akan menceritakan kepadamu hadis yang aku certakan pada setiap orang, yaitu sesungguhnya Rasulullah saw. berdiri di depan pintu rumah, dan kami berada disitu, dan beliau bersabda: “Pemimpin itu dari Quraisy” sesungguhnya mereka mempunyai hak atas kalian dan kalian pun mempunyai hak atas mereka juga. Apabila mereka diminta untuk berbelas kasih, mereka akan memberikan belas kasih, apabila mereka berjanji, mereka menepati janji, dan apabila mereka menghakimi, mereka berlaku adil. Barang siapa di antara mereka tidak melaksanakan hal tersebut, maka atas mereka laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia.”

D.  Siapa itu Quraisy?
Hadis kepemimpinan Quraisy ditemukan di sembilan kitab hadis, bahkan di antaranya diriwayatkan oleh al-Bukhārī, sebagai perawi hadis yang paling selektif, ketat dan dan mempunyai standar tinggi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Dengan demikian, kualitas hadis pemimpin Quraisy secara umum bisa dikatakan sebagai Shahih. Tetapi bagaimana dengan pemaknaan hadis tersebut?
Kata Quraisy yang dimaksud adalah salah satu suku dari bangsa Arab keturunan Nabi Ibrahim yang terkuat.[21] Mereka diduga berasal dari keturunan Ismail (Bani Ismail) melalui anaknya Adnan, ada juga yang menyebut dengan nama Arab Adnan dan Quraisy termasuk cabang dari ini, mereka adalah adalah anak dari Fihr ibn Mālik ibn Nadar ibn kinānāh.
Suku Quraisy adalah suku yang berhak memegang kunci Kakbah, dahulu menjelang Qushay[22] meninggal dia berpesan kepada anaknya Abdul al-Dar, “wahay anakku, aku akan menetapkan siapa yang bakal menjadi pemimpin semua orang. Tidak ada yang dapat memasuki Kakbah kecuali engkau yang membukakannya, selain tanganmu tiada yang boleh menandai peperangan bagi kaum Quraisy. Tidak ada yang boleh meminum air di Makkah dalam perjalanan hajinya kecuali engkau yang yang memberinya, tidak ada yang yang boleh makan kecuali engkau yang memberinya, tak ada yang boleh segala urusan tentang Quraisy kecuali dalam rumahmu”. Qushay memewarisakan seluruh hak dan kekuasaannya kepada putra[23] kesayangannya tersebut, termasuk kepemilikkan Rumah Majelis.[24] Kota Makkah yang dihuni oleh Suku Quraisy dari Arab Utara yang dalam waktu singkat berkembang menjadi masyarakat perdagangan yang penting.[25] Data-data di atas menunjukkan bagai mana kekuatan politik dan ekonomi yang mapan dari Suku Quraisy.
Pada masa kelahiran Nabi Muhammad Saw (571M) penduduk kota Makkah terdiri dari berbagai suku bangsa. Elemen Sentral dan yang berkuasa terkenal dengan sebutan Quraisy Dalam (Quraisy of Inside),[26] Pertama, terdiri dari sekelompok saudagar bisnis yang aristokratis, bankir-bankir dan pedagang-pedagang, wirasuasta dan tokoh-tokoh yang sebenarnya berkuasa terhadap perdangan transisto. Kedua, sesudah mereka adalah kelempok yang disebut dengan Quraisy Luar (Quraisy of the Outsider), yaitu sejumlah penduduk yang lebih kecil, terdiri dari pedagang-pedagang, pemukim-pemukim yang lebih muda dan statusnya lebih rendah, terahir, sekelompok proletar yang terdiri dari orang asing dan Badui. Di luar kota Makkah ada Quraisy Arab, yaitu hidupnya yang tergantuk pada situasi dan kondisi, pemerintahan kota Makkah dilukiskan oleh Lammens sebagai Republik Kota Saudagar.[27] Menurut sejarah mereka dikatan sebagai suku yang paling kuat, paling dominan, terkemuka, mempunyai kekuatan politik yang kuat,[28] dan berwibawa dibandingkan suku Mudhar lainnya. Tidak hanya itu mereka juga paling disegani di jazirah Arab pada masa dahulu, masyarakat arab sangat patuh dan tunduk pada mereka.[29]
Dari fakta sejarah yang telah dipaparkan di atas, penulis membuat point-point penting terkait dengan Suku Quraisy, yaitu: Quraisy adalah nama dari suku bangsa Arab keturunan Ibrahim yang terkuat, Quraisy termasuk sebagai suku tertua di daerah Makkah, Quraisy menguasai kota Makkah sebagai pemegang kunci Kakbah dan penyelenggara Haji, aliansi antar suku yang kuat, Suku Quraisy memiliki sikap amanah, solidaritas sosial yang kuat. Suku Quraisy dapat memberikan perlindungan, mampu melerai konflik dan perpecahan, suku-suku lain sangat segan dan patuh serta tunduk kepada Qurais, serta mempunyai kekuatan politik yang kuat karna secara otomatis disokong oleh poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya.
Dari poin-point tersebut disimpulkan bahwa dibalik kata Quraisy yang yang menjadi fokus penelitian ini ternyata mempunyai makna yang berbeda dari arti tekstualnya, dalam tulisan ini saya memaknai Quraisy menjadi dua kriteria ;
1.  Keluhuran tata sosial
-       Dengan alasan, Suku Quraisy dikenal memiliki sikap amanah, berwibawa dan solidaritas yang kuat, hal ini sangat penting bagi seorang pemimpin, sebagaimana di bab II sebelumnya disebutkan.[30]
2.  Dominan/ berpengaruh (berwibawa, cerdas, mempunyai kekuatan ekonomi dan stabilitas politik)
-       Perekonomian Suku Quraisy yang mapan serta kekuatan politik yang kuat dan masa yang banyak sehingga mampu memberikan perlindungan dan melerai konflik dan perpecahan.

E.    Hadis Quraisy Sebagai Simbol
Untuk memahami hadis di atas, ada beberapa hal yang harus di bahas. Pertama yang harus dipertimbangkan adalah faktor geo-politis.[31] Hadis ini tentu tidak bisa digeneralisir untuk seluruh pemerintahan yang ada di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya agama Islam. Karena memang tidak mungkin misalnya orang Indonesia mengangkat orang Quraisy untuk memimpin negara. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka. Bagaimana kondisi alamnya, politiknya, ekonominya, budayanya dan agamanya. Pengetahuan-pengetahuan tentang sisi sektoral tersebut mesti dipahami oleh seorang kepala negara sehingga kebijakan-kebijakannya sesuai dengan unsur-unsur potensial negara.[32]
Berbeda jika kondisinya di Arab pada saat itu. Tak diragukan lagi, bangsa Quraisy merupakan salah satu gen arya dikalangan suku-suku Arab. Sebagai salah satu suku tertua dalam garis keturunan Arab, tentu orang Quraisy memahami apa yang ada di Arab sana. Dengan bekal ini pula mereka tentu memiliki kekuatan politik yang besar ditimbang suku-suku lainnya. Dengan jumlah anggota mayoritas dan kerapatan aliansi, tentu mendorong Nabi untuk mengharuskan kepemimpinan diserahkan kepada bangsa Quraisy. Karena sebuah pemerintahan akan kuat ketika disokong oleh kekuatan-kekuatan lainnya. Oleh karena itulah, pemahaman hadis di atas terbatas pada kondisi dan situasi.[33] Silap pemahaman ini kemudian membawa hadis ini kepada wilayah pemaknaan yang lebih simbolik.[34]
Pertimbangan kedua adalah, Hadis ini disabdakan Nabi Muhammad Saw. sebelum benar-benar muncul fenomena keretakan politik di kalangan umat Islam. Ringkasnya, hadis semacam ini masuk jenis hadis-hadis futuristik yang mencoba membaca kondisi masa depan. Oleh karena itu, pada masa Nabi hadis ini tidak begitu populer. Karena memang posisi Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin sudah sangat disegani, ideal dan sesuai dengan keinginan mereka. Tapi, sebagai seorang Nabi dan politikus ulung, Nabi tentu mampu menjangkau sebuah pemikiran akan kebutuhan hadis yang bernuansa politik ini. Akhirnya, hadis ini pun ternyata juga dipakai dan mulai tenar ketika keretakan politik pertama terjadi setelah Rasulullah wafat.[35]
Dari pertimbangan-pertimbangan yang sudah ditebar sebelumnya, dapat ditarik satu pemahaman bahwa hadis mengenai kepemimpinan Quraisy merupakan hadis simbolik yang dikemas dengan tata nilai yang hanya cocok untuk konteks masanya. Maka dari pesan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW melalui hadis pemimpin dari Quraisy adalah pengangkatan pemimpin bukan hanya semata berasal dari keturuna atau suku semata, akan tetapi siapa yang mempunyai pengaruh kuat, berwibawa, mampu memberi perlindungan, cerdas dan paling dominan, pada masa lalu kriteria ini mungkin hanya diwakili atau dimiliki oleh Suku Quraisy saja. Pada masa sekarang belum tentu Suku Qurasih memiliki kriteria seperti di atas, dan Islam sudah menyebar ke berbagai melahan dunia dan dianut oleh bermacam suku dan ras, mengharuskan pemimpin dari Suku Quraisy tentu hanya menimbulkan perpecahan dan permasalahan, oleh sebab itu, Sabda Nabi tersebut lebih bersifat Politis-Sosiologis, bukan teologis.
Maka kepemimpinan adalah kemampuan untuk merangkul, mengajak, mengarahkan masyarakat atau pengikut demi kemaslahatan maupun tujuan bersama, untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin dengan kriteria Quraisy lampau.[36]

DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Ryan, Konsep Kepemimpinan;Said Hawwa;kitab al-asas fi al-tafsir;al-islam, Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
Allee, Jhon Gage, Webster`s New Standar Dictionary, New York, Mc.Laonglin Brothers Inc, 1969.
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, Jakarta, Bulan Bintang, 1971.
al-Asqalanī, Ahmad ibn Ali ibn Hajar, Tahzib at-Tahzib, Beirut: Dar Shadir, t.ţ
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernism, Jakarta: Paramadina, 1996.
al-Baihāqi, Abu Bakar Amad ibn al-usein ibn Ali, al-Sunan al-Kubrā , India: Majlīs Dā’irah al-Mā’arif an-Niāmiyah, 1334 H.
Bakhtiar, Amsal, dkk., Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013.
al-Bukhārī, Abū Abdillah Muammad ibn Ismāīl ibn Ibrāhīm, Saī al-Bukhārī, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009, h. 1293.
al-Dārimī, Abdullah ibn Abdirrahman Abū Muhammad, Sunan al-Dārimī, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabī, 1407 H.
Djazuli, H. A., Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, Bogor: Kencana, 2003.
Fairchild, Henry Pratt, Dictionary of Sociology and Ralated Sciences, Littlefield Adam & Co. Paterson, New Jersey, 1960.
Fata, Ahmad Khoirul, Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam, Jurnal Review Politik, Volume 02, Nomor 01, Juni 2012.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. Al-Tibr al-Masbūk fi Naihat al-Mulūk. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988 M.
Hakim, Abd Hamid. Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Jakarta: Maktabah Saadiyah Putra,tt.
Hanbal, Ahmad ibn Muhammad bin, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, Beirut: al-Maktabah al-Islamī, 1398.
Hanbal, Imam Ahmad bin, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Mu’assasah al-Risalāh, 1999 M/1420 H.
al-Hindī, Ala’uddin Alī ibn Hisāmuddin al-Muttaqi, Kanz al-‘Ummāl fi unan al-Aqwāl wa al-Af’āl, Mu’assasah al-Risālah.
Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah Ra’i wa Ra’iyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1988.
Ismail, M. Syuhdi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Ismail, Syuhudi, Metode Penelitian Hadis Nabi, Bulan Bintang, 2007.
Joesoef, Daoed, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta: Kompas, 2014.
Kartono, Kartini, Pemimpin Dan Kepemimpinan, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Lewis, Benard, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah,Pener: Said Jamhuri, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Lings, Martin, Muhammad, Kissah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener: Qomaruddin SF, Jakarta: PT Serambi Ilmu Merdeka, 2007.
Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006
al-Misrī, Lihat Muhammad ibn Mukrim ibn Mansūr, Lisān al-'Arab, Beirut; Dar Sadir, t.th.
al-Mizzī, Jamal al-Din Abī al-Hajjāj Yusuf, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijal, t.tp: Muassasat al-Risalah, 1985.
al-Mubarakfury, Syaikh Shafyyur-Rahman, Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiayah, Terj. Faris Khairul Anam, Jakarta: Robbani Press, 1998.
Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Munawir, Sjadzali, , Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Munte, Abdul Karim Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, Tangerang Selatan: Yayasan Pengkaji Hadis el_Bukhori, 2017.
Nizar, H. Samsul, Konsep Negara dalam Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Demokrasi, Vol.II No.1 Th. 2003.
Piliang, Yasraf Amir, Semiotika dan Hipersemiotika, Bandung: Matahari, 2012.
Al-Qaradhawy, Yusuf, Fiqh Prioritas, terj. Bahruddin F,Jakarta: Rabbani Press, 1999.
al-Qastalāni, Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Abdilmalik, Irsyādu al-Sārī li Sarhi Sahīh al-Bukhāri, Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H.
al-Qurtubī, Abu al-Hasan Ali ibn Khalaf ibn Abdilmalik ibn Battal al-Bakri, Syarah Sahih al-Bukhāri li Ibn al-Battāl, Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 2003 M/ 1423 H.
Ridho, Muhammad Rasyid, al-Khilafah, Mesir: al-Zahra ulama al-Arobi, T.tt.
Sahabuddin et.al. Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosa Kata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sardar, Ziauddin, Kembali ke Masa Depan, terj. R Cecep Lukman Hakim & Helmi Mustafa, Jakarta: Serambi, 2003.
Subhan, Hadis Kontekstual, Samarinda:IAIN Samarinda, 2012, h. 3.
Suryadinata, M., Kepemimpinan Non Muslim Dalam al-Quran, Ilmu Ushuluddin, Vol 2, nomor 3, 2015.
Suyut, Pulungan J. i, Fiqh siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 1999.
at-Tabrāni, Sulaiman ibn Amad ibn Ayyūb Abū al-Qāsim, al-Mu’jam al-Kabīr Maushul: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hikam, 1983 M/1404 H, h. 337.
al-Tahhan, Mahmud, Usl al-Takhrîj wa Dirāsah al-Asānid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991.
Al-Turabi, Hasan Abdullah, Fiqh Demokratis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Aim, Jakarta: Arasy, 2003.
Ulum, Hasisul, Studi Pemahaman Ibnu Taimiyyah Tentang Hadis Kepemimpinan Quraisy, Semarang: IAIN Walisongo, 2012.
Wensinck, A.J, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-adis al-Nabawī, Leiden: E-J.Brill, 1942.
Yaqub, Ali Mustafa, al-Turuq al-Sahīhah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah, Ciputat: Darus-Sunnah, 2015.
Zaghlul, Abu Hajar Muhammad al-Sa`id ibn basyuni, Maus`ah Atraf al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
Zakariya, Abū al-Husain Ahmad ibn Fāris ibn, Mu'jam Maqāyīs al-Lugah, Beirut: Dār al-Fikr, 1979.


[1] “Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI Online)”. Artikel diakses pada 16 Januari 2018 dari https://kbbi.web.id/pimpin.
[2] H. Mahmud Yunus, Arab Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 122.
[3] Pulungan J. Suyuti, Fiqh siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikira  (Jakarta: PT Radja Grafindo Persada, 1999), h. 48.
[4] Pulungan J. Suyuti, Fiqh siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, h. 48.
[5] Pulungan J. Suyuti, Fiqh Siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, h. 49.
[6] Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 33.
[7] Muhammad Rasyid Ridho, al-Khilafah (Mesir: al-Zahro ulama al-Arobi, T.tt) juz 1, h. 17.
[8] Pemimpin menurut al-Ghazāli (w. 505 H) wajib melaksanakan salat jumat dan menggunakan waktu tersebut untuk bertafakkur. Ketika Nabi Muhammad Saw. misalnya bersabda bahwa hari jum’at adalah “sayyid al-ayyām”, maka dalam konteks kepemimpinan, ia merupakan hari penting untuk mempertimbangkan segalanya. Boleh seorang pemimpin mengabaikan hari-hari lainnya karena berbagai kesibukan yang dimiliki, tapi tidak hari jumat. Tapi yang perlu diperhatikan, kewajiban salat jumat sebagaimana yang dimaksud al-Ghazāli di atas sama sekali tidak ada kaitannya dengan seorang pemimpin itu harus muslim. Agama dan keyakinan seseorang bukanlah tolak ukur serta jaminan kualitas kadar keadilan seorang pemimpin. Sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada hal lain yang mesti dipenuhi yaitu berupa pengetahuan dan daya jangkau nalar yang luas. Ini seperti yang diperlihatkan oleh al-Imām al-Ghazāli ketika beliau mendudukkan beberapa tokoh pemimpin ideal yang berasal dari non-Islam seperti Raja Kisra Anusyirwan. Baca: al-Imām al-Ghazāli, Al-Tibr al-Masbūk fi Naṣihat al-Mulūk, h. 44.
[9] Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 49.
[10] Pemimpin ideal menurut Islam sudah pernah dijelaskan oleh M. Suryadinata, baca: M .Suryadinata, “Kepemimpinan Non Muslim Dalam al-Quran,” Ilmu Ushuluddin Vol 2, nomor 3, (2015), h. 3-6.
[11] Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Adullmalik al-Qastalānī, Irsyādu al-Sari li Syarhi Sahih al-Bukhāri (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H), h. 6.
[12] Abū Abdillah Muḥammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī  (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h. 1293.
[13] Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Abdullmalik al-Qastalānī, Irsyādu al-Sari li Syarhi Sahih al-Bukhāri (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H), jil. 1, h. 19.
[14] Abū Abdillah Muḥammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī  (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h. 1293.
[15] A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī, Juz I, h. 87.
[16] Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhāri (t.tp.: Dar Mutabī Syabī, t.t.) Juz IV, h. 217-218.
[17] Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, Juz IX, h. 217-218
[18] A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī (Leiden: E-J.Brill, 1942) Juz I, h. 92
[19] Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal (Beirut: al-Maktabah al-Islamī, 1398) Juz II, h. 29. Selanjutnya akan disebut sebagai Ahmad ibn Hanbal.
[20] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, h. 129.
[21]Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener: Qomaruddin SF, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Merdeka, 2007), h. 16.
[22] Salah seorang pemimpin Quraisy sebelum masa kelahiran Nabi Saw. yang nanti mempersatukan suku-suku yang ada di Makkah. Baca:  Hari Putra Z, Skripsi, Memahami Hadis Kepemimpinan Quraisy, (Jakarta, UIN Jkt, 2018), h. 57-64.
[23] Suatu karakter khas dari keturunan Qushay adalah setiap generasi harus ada pemimpin bagi semua, dari empat putra Qushay, Abdul Manaf adalah sebagai putra yang dihormati semasa Qushay hidup, akan tetapi dia milih Abdul al-Dar meskipun dia yang paling kurang kecakapannya sebagai pengganti. Baca: Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener: Qomaruddin SF, h. 17.
[24] Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 19. Abdul Manaf mematuhi keinginan ayahnya tanpa protes, akan tetapi pada generasi berikutnya, separo kaum Quraisy berdiri di belakang putra Abdul Manaf, Hasyim, lelaki paling terkemuka saat itu, dan menuntuk agar pemerintahan dialihkan dari klan Abdul al-Dar ke Klan Abdul Manaf, mereka yang mendukung Hasyim dan saudara-saudaranya itu adalah keturunan Zuhrah dan Taym dan seluruh anak cucu Qushay kecuali dari anak pertama. Keturunan Makhzum dan para sepupu yang lebih jauh menerima pemerintahan bani Abdul al-Dar. Kaum wanita dari Bani Abdul Manaf kemudian membawa secawan minyak wangi dan meletakkannya di sebelah Kakbah. Hasyim beserta seluruh pengikutnya mencelupkan tangan ke cawan dan mengangkat sumpah agar tidak menggangu satu sama lain, kelompok ini dikenal sebagai Kelompok Harum (al-Muthayyibun), kemudian kelompok dari Abdul al-Dar mengangkat sumpah dikenal dengan nama Kelompok Sekutu (al-Ahlaf).[24] Peperangan benar-benar di tidak hanya di Kakbah saja, tapi juga dalam kawasan Makkah dalam radius beberapa mil. Kedua pihak harus mendirikan perjanjian dan menghindari pertumpahan darah.[24] Maka disepakati bahwa keturunan Abdul Manaf berhak menentukan pajak dan menyediakan makanan dan minuman bagi para jamaah haji, dan keturunan Abdul al-Dar berhak memegang kunci Kakbah dan hak-hak mereka yagn lain, dan tempat tinggal mereka harus diteruskan fungsinya sebagai Rumah Majelis. Baca: Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 18. Dalam sumber lain lain Rumah Majelis disebut sebagai sebagai Darun-Nadwah. Baca : Syaikh Shafyyur-Rahman al-Mubarakfury, Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiayah, h. 22.
[25]Benard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah,Pener: Said Jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 16.
[26]Benard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pener: Said Jamhuri, h. 17-18.
[27] Benard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pener: Said Jamhuri, h. 17.
[28] Hari Putra Z, Skripsi, Memahami Hadis Kepemimpinan Quraisy, (Jakarta, UIN Jkt, 2018), h. 57-64.
[29] Abdul Karim Munte , Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Tangerang Selatan: Yayasan Pengkaji Hadis el_Bukhori, 2017), h. 94-95.
[30] Pemimpin dan kepemimpinan itu di manapun dan kapanpun juga selalu diperlukan.  Kesimpulan yang senada dengan para pemikir muslim, keberadaan pemimpin adalah sebuah keharusan (wajib/ fardhu).  Kewajiban itu didasarkan pada ijma’ para sahabat dan tabi’in. Secara konsep, persyaratan dari kepemimpinan itu selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu kekuasaan, kewibawaan dan kemampuan.  Dan bagi seorang pemimpin dibutuhkan spesifikasi khusus yang harus dimiliki agar kepemimpinan berjalan sebagaimana yang seharusnya yaitu; seorang pemimpin harus mempunyai kapasitas (kecerdasan, kewaspadaan, kemapuan untuk berbicara serta kemampuan untuk menilai/ menimbang) melebihi anggota yang dipimpin, pemimpin harus bertanggung jawab  (mandiri, mempunyai sosiabilitas yang tinggi,  tekun, percaya diri, mampu melindungi dan punya hasrat yang unggul) terhadap yang dipimpin dan pemimpin harus mempunyai status meliputi sosial-ekonomi yang cukup tinggi serta popoler, hal ini senada dengan kepemimpinan menurut Islam yaitu, kepemimpinan merupakan tata nilai yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama,  pemimpin di dalam Islam merupakan sebuah keharusan/ wajib, dan pemimpin diharuskan memiliki kemampuan untuk  menjaga agama serta kehidupan duniawi dengan tujuan kemaslahatan
[31] Baca lebih jauh tentang metode jughrafiyah al-hadis dalam: Ali Mustafa Yaqub, al-Turuq al-Sahīhah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ciputat: Darus-Sunnah, 2015), h. 73-82. 
[32] Daoed Joesoef, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional (Jakarta: Kompas, 2014), h. 29-63.
[33] Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Ibnu al-Battāl dalam syarhnya. Baca: Abu al-Hasan Ali ibn Khalaf ibn Abdilmalik ibn Battal al-Bakri al-Qurtubī, Sharah Sahih al-Bukhāri li Ibn al-Battāl (Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 2003 M/ 1423 H), ji. 8, h. 211.
[34] Hadis tersebut lebih bersifat Politis-Sosiologis, karena keharusan pemimpin dari Suku Quraisy saat ini tentu akan menimbulkan perpecahan dan permasalahan. Baca: Abdul Karim Munte, Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 95.
[35] Kaum Anshar ingin mengangkat pemimpin dari Anshar, begitu juga Muhajirin. Hadis ini semakin kuat pengaruhnya ketika ada pertentangan antara kelompok Ali dan kelompok Mu’awiyah.[35] Muncullah kemudian faksi Quraisy yaitu kelompok Ali dan faksi Qathān yaitu kelompok Mu’awiyah. Unsur ideologis semacam ini yang kemudian membawa kebakuan dalam memahami hadis-hadis berbau politik; salah satunya hadis Quraisy.
[36] Didalam buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis yang ditulis Abdul Karim Munte dkk, dalam buku tersebut fokus membahas tentang hadis-hadis yang dipakai oleh kaum jihadis seperti IS sebagai landasan dalam menyebarkan fahamnya/ ideologinya, dalam buku tersebut Munte mengkritik IS dalam pemakaian hadis jihad dengan menggunakan pendekatan ilmu hadis, Munte juga menyinggung sedikit tentang hadis kepemimpinan Quraisy, tapi dalam penjabarannya hanya mengutip perkataan Ibnu Khaldun yang berkata hadis Quraisy bersifat simbolik, dan tidak rinci menjelaskan bagaimana studi pemahaman terhadap hadis Quraisy. Baca: Abdul Karim Munte, Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 95.

No comments:

Post a Comment