Hari Putra Z
Program
Magister Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21180340000005
ABSTRAK
Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh sebuah hadis tentang kepemimpinan Quraisy yang
diriwayatkan oleh al-Bukhāri, hadis tersebut secara tekstual
mengisyaratkan bahwa kepemimpinan berada di tangan Quraisy, jika hadis
tersebut dipahami demikian, tentu akan menimbulkan masalah karena Islam sudah
menyebar keberbagai belahan dunia dan dianut oleh bermacam ras, suku dan bangsa.
Berangkat dari permasalahan tersebut penulis perlu melakukan penelitian
terhadap hadis kepemimpinan Quraisy.
Penelitian
ini mencoba melakukan studi pemahaman hadis terhadap hadis kepemimpinan
Quraisy secara komprehensif serta mencoba mengaplikasikannya untuk
Indonesia masa sekarang. Penelitian ini dalam penulisannya berbentuk kajian
pustaka dan teknik pengumpulan data bersifat kualitatif yang dibantu dengan
metode takhrij hadis, untuk menganalisa menggunakan metode analisis
deskriptif, langkah-langkahnya dengan pengumpulan data tentang hadis
kepemimpinan Quraisy dan beberapa pendapat ulama serta pakar tentang
pemimpin, kegiatan ini berguna untuk memahami apa itu pemimpin dan
kepemimpinan serta mengetahui kualiatas
hadis yang menjadi objek penelitian ini, dalam memaknai hadis tersebut
penelitian ini menggunakan metode Semantik, yaitu metode yang menggunakan tanda
dalam menggali makna, kata Quraisy diposisikan sebagai tanda untuk
dianalisa agar menghasilkan makna konotasi sebagai makna lapis kedua/ makna lain
yang bersifat implisit/ tersembunyi. Metode-metode tersebut ditempuh, kemudian
diteliti dan dianalisa sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bagaiman makna
hadis kepemimpinan Quraisy tersebut.
Setelah
semua langkah tersebut ditempuh, maka dari hasil penelitian ditemukan bahwa
kata Quraisy yang dimaksud oleh Nabi Saw. dalam matan hadis tersebut
bersifat simbolik, kata Quraisy merujuk kepada keriteria-kriteria yang
hanya dimiliki suku Quraisy kala itu yaitu: mempunyai keluhuran tata
sosial (amanah, mempunyai solidaritas yang kuat), dominan dan berpengaruh
(cerdas, kekuatan sosial ekonomi yang cukup kuat sehingga mampu memberikan
perlindungan kepada anggota yang mengikuti/ dipimpin). Setelah menemukan secara
utuh tentang makna hadis kepemimpinan Quraisy tesebut, penelitian ini
mencoba mengaplikasikan hadis tersebut untuk konteks Indonesia masa sekarang.
Semua langkah-langkah yang ditempuh merupakan bentuk jawaban dari rumusan
masalah penelitian ini, yakni: Memahami Hadis kepemimpinan Quraisy. Maka
diambil kesimpulan bahwasanya yang berhak memegang kepemimpinan di Indonesia
adalah yang mempunyai keluhuran tata sosial, dominan serta berpengaruh atau
yang mempunyai karakteristik-karakteristik suku Quraisy dahulu.
A.
Latar Belakang
Pemimpin menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia/ KBBI secara bahasa berarti orang yang memimpin.[1] Di
dalam sistem pemerintahan Islamiah, seseorang yang melaksanakan fungsi
kekhilafahan, keimaman dan keamiran disebut khalifah, Khalifah berasal dari
kata khalafa yang berarti pengganti,[2]
yaitu “seseorang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa
persoalan.”[3]
Menurut istilah, khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung
jawab umum terhadap agama untuk membuat manusia tetap mengikuti aturan-Nya
dalam keadilan di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama
dan mengatur dunia.[4]
Di dalam buku Fiqh Siasah karangan
Pulungan J. Suyuti yang mengutip perkataan Al-Maududi (w. 1979 H) mengatakan
bahwa khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai
penganti Rasul. Dengan demikian kata khalifah yang semulanya pengganti telah
berkembang menjadi titel atau gelaran pemimpin tertinggi masyarakat muslim.[5]
Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang membimbing, memimpin
dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan penerimaan sukarela oleh
para pengikutnya.[6]
Menurut Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H), Khalifah adalah pemerintahaan Islam
yang berorientasi untuk kemaslahatan agama dan dunia,[7]
yang berarti seorang pemimpin mempunyai kepandaian dalam mengurus urusan dunia
dan cakap dalam masalah keagamaan.
Dipertegas oleh al-Ghazali (w. 505 H), kepemimpinan merupakan tata nilai/
sistem yang diusung untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar karena mencakup
seluruh aspek kehidupan sebuah bangsa. bahasa, agama, seni serta norma-norma,
seorang pemimpin yang memang tidak bisa dijamin dengan kualitas dan ukuran
ibadah seseorang.[8]
Ada kemampuan-kemampuan dan spesifikasi khusus yang harus menjadi dasar
fundamental bagi seseorang untuk mampu memimpin. Dan menurut George R. kepemimpinan adalah kegiatan
memengaruhi orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan- tujuan kelompok.[9]
Seperti dalam tulisannya M. Suryadinata bahwa seorang pemimpin harus mempunyai
beberapa ketentuan/ spesifikasi yang harus dimiliki agar bisa menjadi pemimpin
yang ideal menurut Islam, yaitu: Beriman dan Bertaqwa, sehat jasmani dan rohani,
jujur serta mempunyai kemampuan, adil dan professional, bertangguang jawab dan
amanah, berani dan tegas, cinta kebenaran dan musyawarah.[10]
Namun, di dalam kitab Irsyādu
al-Sari li Syarhi Sahih al-Bukhāri disebutkan
ke-khalifahan itu yang pantas mendapatkan adalah orang Quraisy,[11]
sebagaimana juga dikatakan dengan jelas oleh Nabi Saw. melalui hadis berikut:
Redaksi Hadis:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ
بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَلَغَ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ
عِنْدَهُ فِي وَفْدٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يُحَدِّثُ
أَنَّهُ سَيَكُونُ مَلِكٌ مِنْ قَحْطَانَ فَغَضِبَ فَقَامَ فَأَثْنَى عَلَى
اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ
رِجَالًا مِنْكُمْ يُحَدِّثُونَ أَحَادِيثَ لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا
تُوثَرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُولَئِكَ
جُهَّالُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَالْأَمَانِيَّ الَّتِي تُضِلُّ أَهْلَهَا فَإِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذَا
الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ فِي
النَّارِ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ[12]
“Telah menceritakan kepada kami Abul
Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari al-Zuhri mengatakan, bahwa
Muhammad ibn Jubair menceritakan, Mu’awiyah mendapat informasi darinya, ketika
itu Jubair berada di sampingnya saat berada dalam rombongan Quraisy, bahwa
Abdullah ibn Amru menceritakan, bahwa akan ada yang menjadi raja dari
orang Qahtan, maka dia seketika
murka, ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah dengan pujian semestinya,
kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita kepadaku bahwa beberapa
orang di antara kalian menceritakan hadist yang tidak terdapat dalam kitabullah
dan tidak pula berasal dari Rasulullah , mereka itu adalah orang-orang jahil
(bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang menyesatkan, sebab aku
mendengar Rasulullah bersabda:
“Kepemimpinan ini di (tangan) Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka
(orang-orang Quraisy), kecuali Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam
neraka di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”
Hadis
tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada yang boleh mengurusi masalah
kepemimpinan atau kekhalifahan kecuali orang Quraisy, namun sebelum
benar-benar mengamini pemahaman tersebut, sebaiknya ditinjau terlebih dahulu
konteks kesejarahan yang melahirkan pemahaman ini. Apakah benar hadis ini
dipahami sebagaimana yang tertera di atas, dan bagaimana penerapan hadis
tersebut terhadap kepemimpinan di Nusantara.
B.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dalam penulisannya bertujuan
serta membatasi masalah hanya dari segi pemahaman pemimpin menurut hadis Quraisy/
memahami maksud dari Hadis Quraisy.
C.
Hadis-hadis tentang Kepemimpinan
Quraisy
Yang menjadi bahan utama dalam
pengolahan data yaitu hadis Quraisy tentang kepemimpinan yang diambil dari
kitab Sahih al-Bukhāri, hadis di bawah ini dipilih menjadi sumber primer karena
diriwayatkan oleh al-Bukhāri dalam kitabnya Sahīh al-Bukhārī, mengikuiti
perkataan Ibn Sallah dan al-Qasthalani[13]
bahwasanya kitab Sahīh al-Bukhārī paling tinggi derjat ke-Sahīh-an nya, berikut
redaksi hadis tersebut:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا
يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ عَلَى وَجْهِهِ مَا
أَقَامُوا الدِّينَ[14]
“Kepemimpinan
ini di (tangan) Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang
Quraisy), kecuali Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka di
atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”
Sebelum dianalisa lebih lanjut,
terlebih dahulu dilakukan penelusuran bagaimana penyebaran hadis tersebut
dengan menggunakan metode Takhrij Hadis, metode pencarian yang digunakan dalam
penelitian ini dengan mengetahui kata-kata yang jarang digunakan dari suatu
bagian matan hadis, menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts
al-Nabâwî karya A.J. Wensinck. Kitab ini
memuat indeks kata yang terdapat dalam sembilan sumber hadis atau Kutub
al-Tis’ah dengan hasil:
1. penelusuran menggunakan kata al-amr, Quraisy dan kata baqīa
yang dibantu kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts
al-Nabâwî, dan diperoleh informasi periwayatan lewat jalur Sahīh
al-Bukhāri, dengan memuat empat riwayat.[15]
Dua riwayat dalam kitab Manāqib, pada bab Manāqib al-Quraisy,
dan dua riwayat yang lain dalam kitab al-Ahkām, yaitu pada bab al-Umarā
Min Quraisy, namun yang di tampilkan hanya beberapa, Berikut redaksi hadis
dalam al-Bukharī
Hadis
pertama:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ
بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَلَغَ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ
عِنْدَهُ فِي وَفْدٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يُحَدِّثُ
أَنَّهُ سَيَكُونُ مَلِكٌ مِنْ قَحْطَانَ فَغَضِبَ فَقَامَ فَأَثْنَى عَلَى
اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ
رِجَالًا مِنْكُمْ يُحَدِّثُونَ أَحَادِيثَ لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا
تُوثَرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُولَئِكَ
جُهَّالُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَالْأَمَانِيَّ الَّتِي تُضِلُّ أَهْلَهَا فَإِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذَا
الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ فِي
النَّارِ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ[16]
“Telah
menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari
al-Zuhri mengatakan, Muhammad ibn Jubair menceritakan, Mu’awiyah mendapat
informasi darinya, ketika itu Jubair berada di sampingnya saat berada dalam
rombongan Quraisy, bahwa Abdullah ibn Amru menceritakan, bahwa akan ada yang
menjadi raja dari orang Qahtan, maka
dia seketika murka, ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah
dengan pujian semestinya, kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita
kepadaku bahwa beberapa orang di antara kalian menceritakan hadist yang tidak
terdapat dalam kitabullah dan tidak pula berasal dari Rasulullah, mereka itu
adalah orang-orang jahil (bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang
menyesatkan, sebab aku mendengar Rasulullah
bersabda: “‘Kepemimpinan ini berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi
mereka (orang-orang Quraisy), kecuali Allah yang menelungkupkannya (yang
memusuhi) dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy)
menegakkan agama.”
Hadis kedua:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ
سَمِعْتُ أَبِي عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ
فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمُ اثْنَانِ[17]
“Menceritakan
kepada kami Abū al-Walīd, menceritakan kepada kami ‘Āsīm ibn Muhammad ia
berkata, aku mendengarkan dari ayahku dari Ibn ‘Umar ra, dari nabi Saw. beliau
bersabda “Kepemimpinan ini tetap ada di (tangan) Quraisy selama masih ada dua
orang di antara mereka”
2.
Penelusuran selanjutnya menggunakan
kata kepemimpinan Quraisy dapat ditelusuri dalam
kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal memuat delapan riwayat yakni: Juz II ada
tiga riwayat, Juz III ada dua riwayat dan Juz IV ada tiga riwayat.[18] Berikut
beberapa matan dan sanad hadis tersebut:
Hadis
pertama
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُعَاذٌ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ سَمِعْتُ
أَبِى يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم لاَ يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْشٍ مَا بَقِىَ مِنَ
النَّاسِ اثْنَانِ ». قَالَ وَحَرَّكَ أُصْبُعَيْهِ يَلْوِيهِمَا هَكَذَا[19]
"Abdullāh menceritakan kepada kami
bahwasanya ayahnya berkata: menceritakan kepada kami Mu’āz, menceritakan kepada
kami ‘Asim ibn Muhammad ia berkata: aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Abdullāh ibn ‘Umar
berkata, Nabi Saw. bersabda: “Kepemimpinan ini tetap berada pada Quraisy,
selama sisa manusia hanya tinggal dua, ibn Umar menambahkan, beliau (Nabi)
menggerakkan jari jemarinya dengan menunjukkan bilangan dua seperti ini."
Hadis kedua
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَلِىٍّ أَبِى الأَسَدِ قَالَ
حَدَّثَنِى بُكَيْرُ بْنُ وَهْبٍ الْجَزَرِىُّ قَالَ قَالَ لِى أَنَسُ بْنُ
مَالِكٍ أُحَدِّثُكَ حَدِيثاً مَا أُحَدِّثُهُ كُلَّ أَحَدٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَامَ عَلَى بَابِ الْبَيْتِ وَنَحْنُ فِيهِ فَقَالَ «
الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا وَلَكُمْ عَلَيْهِمْ
حَقًّا مِثْلَ ذَلِكَ َا إِنِ اسْتُرْحِمُوا فَرَحِمُوا وَإِنْ عَاهَدُوا وَفُّوا
وَإِنْ حَكَمُوا عَدَلُوا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[20]
“Abdullahāh
menceritakan, menceritakan kepadaku ayahku, Muhammad ibn Ja’far bercerita
Syu’bah dari ‘Alī Abī al-Asad ia berkata: Menceritakan kepadaku Bukair ibn
Wahab al-Jazarī ia berkata: berkata kepadaku Anas ibn Mālik, aku akan menceritakan kepadamu hadis yang aku certakan pada setiap
orang, yaitu sesungguhnya Rasulullah saw. berdiri di depan pintu rumah, dan
kami berada disitu, dan beliau bersabda: “Pemimpin itu dari Quraisy”
sesungguhnya mereka mempunyai hak atas kalian dan kalian pun mempunyai hak atas
mereka juga. Apabila mereka diminta untuk berbelas
kasih, mereka akan memberikan belas kasih, apabila mereka berjanji, mereka
menepati janji, dan apabila mereka menghakimi, mereka berlaku adil. Barang
siapa di antara mereka tidak melaksanakan hal tersebut, maka atas mereka laknat
Allah, malaikat, dan seluruh manusia.”
D. Siapa itu Quraisy?
Hadis kepemimpinan Quraisy
ditemukan di sembilan kitab hadis, bahkan di antaranya diriwayatkan oleh
al-Bukhārī, sebagai perawi hadis yang paling selektif, ketat dan dan mempunyai
standar tinggi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Dengan demikian, kualitas hadis
pemimpin Quraisy secara umum bisa dikatakan sebagai Shahih.
Tetapi bagaimana dengan pemaknaan hadis tersebut?
Kata Quraisy yang dimaksud
adalah salah satu suku dari bangsa Arab keturunan Nabi Ibrahim yang terkuat.[21]
Mereka diduga berasal dari keturunan Ismail (Bani Ismail) melalui anaknya
Adnan, ada juga yang menyebut dengan nama Arab Adnan dan Quraisy
termasuk cabang dari ini, mereka adalah adalah anak dari Fihr ibn Mālik ibn Nadar
ibn kinānāh.
Suku Quraisy adalah suku yang berhak
memegang kunci Kakbah, dahulu menjelang Qushay[22]
meninggal dia berpesan kepada anaknya Abdul al-Dar, “wahay anakku, aku akan
menetapkan siapa yang bakal menjadi pemimpin semua orang. Tidak ada yang dapat
memasuki Kakbah kecuali engkau yang membukakannya, selain tanganmu tiada yang
boleh menandai peperangan bagi kaum Quraisy. Tidak ada yang boleh
meminum air di Makkah dalam perjalanan hajinya kecuali engkau yang yang
memberinya, tidak ada yang yang boleh makan kecuali engkau yang memberinya, tak
ada yang boleh segala urusan tentang Quraisy kecuali dalam rumahmu”.
Qushay memewarisakan seluruh hak dan kekuasaannya kepada putra[23]
kesayangannya tersebut, termasuk kepemilikkan Rumah Majelis.[24]
Kota Makkah yang dihuni oleh Suku Quraisy dari Arab Utara yang dalam
waktu singkat berkembang menjadi masyarakat perdagangan yang penting.[25]
Data-data di atas menunjukkan bagai mana kekuatan politik dan ekonomi yang
mapan dari Suku Quraisy.
Pada masa kelahiran Nabi Muhammad Saw (571M)
penduduk kota Makkah terdiri dari berbagai suku bangsa. Elemen Sentral dan yang
berkuasa terkenal dengan sebutan Quraisy Dalam (Quraisy of
Inside),[26]
Pertama, terdiri dari sekelompok saudagar bisnis yang aristokratis,
bankir-bankir dan pedagang-pedagang, wirasuasta dan tokoh-tokoh yang sebenarnya
berkuasa terhadap perdangan transisto. Kedua, sesudah mereka adalah
kelempok yang disebut dengan Quraisy Luar (Quraisy of the
Outsider), yaitu sejumlah penduduk yang lebih kecil, terdiri dari
pedagang-pedagang, pemukim-pemukim yang lebih muda dan statusnya lebih rendah, terahir,
sekelompok proletar yang terdiri dari orang asing dan Badui. Di luar kota
Makkah ada Quraisy Arab, yaitu hidupnya yang tergantuk pada situasi dan
kondisi, pemerintahan kota Makkah dilukiskan oleh Lammens sebagai Republik Kota
Saudagar.[27]
Menurut sejarah mereka dikatan sebagai suku yang paling kuat, paling dominan,
terkemuka, mempunyai kekuatan politik yang kuat,[28]
dan berwibawa dibandingkan suku Mudhar lainnya. Tidak hanya itu mereka juga
paling disegani di jazirah Arab pada masa dahulu, masyarakat arab sangat patuh
dan tunduk pada mereka.[29]
Dari fakta sejarah yang telah
dipaparkan di atas, penulis membuat point-point penting terkait dengan Suku Quraisy,
yaitu: Quraisy adalah nama dari suku bangsa Arab keturunan Ibrahim yang
terkuat, Quraisy termasuk sebagai suku tertua di daerah Makkah, Quraisy
menguasai kota Makkah sebagai pemegang kunci Kakbah dan penyelenggara Haji,
aliansi antar suku yang kuat, Suku Quraisy memiliki sikap amanah,
solidaritas sosial yang kuat. Suku Quraisy dapat memberikan
perlindungan, mampu melerai konflik dan perpecahan, suku-suku lain sangat segan
dan patuh serta tunduk kepada Qurais, serta mempunyai kekuatan politik yang
kuat karna secara otomatis disokong oleh poin-poin yang telah disebutkan
sebelumnya.
Dari poin-point tersebut disimpulkan
bahwa dibalik kata Quraisy yang yang menjadi fokus penelitian ini
ternyata mempunyai makna yang berbeda dari arti tekstualnya, dalam tulisan ini
saya memaknai Quraisy menjadi dua kriteria ;
1. Keluhuran
tata sosial
- Dengan
alasan, Suku Quraisy dikenal memiliki sikap amanah, berwibawa dan
solidaritas yang kuat, hal ini sangat penting bagi seorang pemimpin,
sebagaimana di bab II sebelumnya disebutkan.[30]
2. Dominan/
berpengaruh (berwibawa, cerdas, mempunyai kekuatan ekonomi dan stabilitas
politik)
- Perekonomian
Suku Quraisy yang mapan serta kekuatan politik yang kuat dan masa yang
banyak sehingga mampu memberikan perlindungan dan melerai konflik dan
perpecahan.
E. Hadis Quraisy Sebagai Simbol
Untuk memahami hadis di atas, ada
beberapa hal yang harus di bahas. Pertama yang harus dipertimbangkan adalah
faktor geo-politis.[31]
Hadis ini tentu tidak bisa digeneralisir untuk seluruh pemerintahan yang ada di
negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya agama Islam. Karena memang
tidak mungkin misalnya orang Indonesia mengangkat orang Quraisy untuk
memimpin negara. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka. Bagaimana
kondisi alamnya, politiknya, ekonominya, budayanya dan agamanya.
Pengetahuan-pengetahuan tentang sisi sektoral tersebut mesti dipahami oleh
seorang kepala negara sehingga kebijakan-kebijakannya sesuai dengan unsur-unsur
potensial negara.[32]
Berbeda jika kondisinya di Arab pada saat
itu. Tak diragukan lagi, bangsa Quraisy merupakan salah satu gen arya
dikalangan suku-suku Arab. Sebagai salah satu suku tertua dalam garis keturunan
Arab, tentu orang Quraisy memahami apa yang ada di Arab sana. Dengan
bekal ini pula mereka tentu memiliki kekuatan politik yang besar ditimbang
suku-suku lainnya. Dengan jumlah anggota mayoritas dan kerapatan aliansi, tentu
mendorong Nabi untuk mengharuskan kepemimpinan diserahkan kepada bangsa Quraisy.
Karena sebuah pemerintahan akan kuat ketika disokong oleh kekuatan-kekuatan
lainnya. Oleh karena itulah, pemahaman hadis di atas terbatas pada kondisi dan
situasi.[33]
Silap pemahaman ini kemudian membawa hadis ini kepada wilayah pemaknaan yang
lebih simbolik.[34]
Pertimbangan kedua adalah, Hadis ini
disabdakan Nabi Muhammad Saw. sebelum benar-benar muncul fenomena keretakan
politik di kalangan umat Islam. Ringkasnya, hadis semacam ini masuk jenis
hadis-hadis futuristik yang mencoba membaca kondisi masa depan. Oleh karena
itu, pada masa Nabi hadis ini tidak begitu populer. Karena memang posisi Nabi
Muhammad Saw sebagai pemimpin sudah sangat disegani, ideal dan sesuai dengan keinginan
mereka. Tapi, sebagai seorang Nabi dan politikus ulung, Nabi tentu mampu
menjangkau sebuah pemikiran akan kebutuhan hadis yang bernuansa politik ini.
Akhirnya, hadis ini pun ternyata juga dipakai dan mulai tenar ketika keretakan
politik pertama terjadi setelah Rasulullah wafat.[35]
Dari pertimbangan-pertimbangan yang
sudah ditebar sebelumnya, dapat ditarik satu pemahaman bahwa hadis mengenai
kepemimpinan Quraisy merupakan hadis simbolik yang dikemas dengan tata
nilai yang hanya cocok untuk konteks masanya. Maka dari pesan yang disampaikan
Nabi Muhammad SAW melalui hadis pemimpin dari Quraisy adalah
pengangkatan pemimpin bukan hanya semata berasal dari keturuna atau suku
semata, akan tetapi siapa yang mempunyai pengaruh kuat, berwibawa, mampu
memberi perlindungan, cerdas dan paling dominan, pada masa lalu kriteria ini
mungkin hanya diwakili atau dimiliki oleh Suku Quraisy saja. Pada masa
sekarang belum tentu Suku Qurasih memiliki kriteria seperti di atas, dan Islam
sudah menyebar ke berbagai melahan dunia dan dianut oleh bermacam suku dan ras,
mengharuskan pemimpin dari Suku Quraisy tentu hanya menimbulkan
perpecahan dan permasalahan, oleh sebab itu, Sabda Nabi tersebut lebih bersifat
Politis-Sosiologis, bukan teologis.
Maka kepemimpinan adalah kemampuan untuk
merangkul, mengajak, mengarahkan masyarakat atau pengikut demi kemaslahatan
maupun tujuan bersama, untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin dengan kriteria Quraisy
lampau.[36]
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Ryan, Konsep
Kepemimpinan;Said Hawwa;kitab al-asas fi al-tafsir;al-islam, Jakarta:UIN
Syarif Hidayatullah, 2014.
Allee, Jhon Gage, Webster`s New
Standar Dictionary, New York, Mc.Laonglin Brothers Inc, 1969.
Ash-Shiddieqy,
TM. Hasbi, Islam dan Politik Bernegara,
Jakarta, Bulan Bintang, 1971.
al-Asqalanī, Ahmad ibn Ali ibn Hajar,
Tahzib at-Tahzib, Beirut: Dar Shadir, t.ţ
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik
Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernism, Jakarta:
Paramadina, 1996.
al-Baihāqi, Abu Bakar Aḥmad ibn al-ḥusein ibn Ali, al-Sunan al-Kubrā
, India: Majlīs Dā’irah al-Mā’arif an-Niḍāmiyah, 1334 H.
Bakhtiar, Amsal, dkk., Pedoman Akademik
Program Strata I 2012/2013.
al-Bukhārī, Abū Abdillah Muḥammad ibn Ismāīl ibn Ibrāhīm, Saḥīḥ al-Bukhārī, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2009, h. 1293.
al-Dārimī, Abdullah ibn Abdirrahman Abū
Muhammad, Sunan al-Dārimī, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabī, 1407 H.
Djazuli, H. A., Fiqh Siyasah;
Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, Bogor: Kencana,
2003.
Fairchild, Henry Pratt, Dictionary
of Sociology and Ralated Sciences, Littlefield Adam & Co. Paterson, New
Jersey, 1960.
Fata, Ahmad Khoirul, Kepemimpinan
Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam, Jurnal Review Politik, Volume
02, Nomor 01, Juni 2012.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad. Al-Tibr al-Masbūk fi Naṣihat
al-Mulūk. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988
M.
Hakim, Abd Hamid. Mabadi Awwaliyah
fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Jakarta: Maktabah Saadiyah
Putra,tt.
Hanbal, Ahmad ibn Muhammad bin, Musnad
Imam Ahmad ibn Hanbal, Beirut: al-Maktabah al-Islamī, 1398.
Hanbal, Imam Ahmad bin, Musnad Ahmad
ibn Hanbal, Mu’assasah al-Risalāh, 1999 M/1420 H.
al-Hindī, Ala’uddin Alī ibn Hisāmuddin
al-Muttaqi, Kanz al-‘Ummāl fi ṣunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, Mu’assasah al-Risālah.
Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah
fi Ishlah Ra’i wa Ra’iyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1988.
Ismail, M. Syuhdi, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual,Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Ismail, Syuhudi, Metode Penelitian
Hadis Nabi, Bulan Bintang, 2007.
Joesoef, Daoed, Studi Strategi:
Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta: Kompas, 2014.
Kartono, Kartini, Pemimpin Dan
Kepemimpinan, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Lewis, Benard, Bangsa Arab Dalam
Lintasan Sejarah,Pener: Said Jamhuri, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1994.
Lings, Martin, Muhammad, Kissah
Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener: Qomaruddin SF, Jakarta: PT
Serambi Ilmu Merdeka, 2007.
Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad
ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah
al-Diniyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006
al-Misrī, Lihat Muhammad ibn Mukrim ibn
Mansūr, Lisān al-'Arab, Beirut; Dar Sadir, t.th.
al-Mizzī, Jamal al-Din Abī al-Hajjāj
Yusuf, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijal, t.tp: Muassasat al-Risalah,
1985.
al-Mubarakfury, Syaikh Shafyyur-Rahman,
Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiayah, Terj. Faris Khairul Anam, Jakarta:
Robbani Press, 1998.
Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Munawir, Sjadzali, , Islam dan Tata
Negara, Jakarta: UI Press, 1993.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus
al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Munte, Abdul Karim Dkk, Meluruskan
Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, Tangerang Selatan: Yayasan Pengkaji Hadis
el_Bukhori, 2017.
Nizar, H. Samsul, Konsep Negara
dalam Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Demokrasi, Vol.II No.1 Th. 2003.
Piliang, Yasraf Amir, Semiotika dan
Hipersemiotika, Bandung: Matahari, 2012.
Al-Qaradhawy, Yusuf, Fiqh Prioritas,
terj. Bahruddin F,Jakarta: Rabbani Press, 1999.
al-Qastalāni, Ahmad ibn Muhammad ibn Abu
Bakr ibn Abdilmalik, Irsyādu al-Sārī li Sarhi Sahīh
al-Bukhāri, Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H.
al-Qurtubī, Abu al-Hasan Ali ibn Khalaf
ibn Abdilmalik ibn Battal al-Bakri, Syarah Sahih
al-Bukhāri li Ibn al-Battāl, Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 2003 M/ 1423 H.
Ridho, Muhammad Rasyid, al-Khilafah,
Mesir: al-Zahra ulama al-Arobi, T.tt.
Sahabuddin et.al. Ensklopedi
al-Qur'an; Kajian Kosa Kata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sardar, Ziauddin, Kembali ke Masa
Depan, terj. R Cecep Lukman Hakim & Helmi Mustafa, Jakarta: Serambi,
2003.
Subhan, Hadis Kontekstual,
Samarinda:IAIN Samarinda, 2012, h. 3.
Suryadinata, M., Kepemimpinan Non
Muslim Dalam al-Quran, Ilmu Ushuluddin, Vol 2, nomor 3, 2015.
Suyut, Pulungan J. i, Fiqh siasah,
Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 1999.
at-Tabrāni, Sulaiman ibn Aḥmad ibn Ayyūb Abū al-Qāsim,
al-Mu’jam al-Kabīr Maushul: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hikam, 1983 M/1404 H,
h. 337.
al-Tahhan, Mahmud, Usl
al-Takhrîj wa Dirāsah al-Asānid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991.
Al-Turabi, Hasan Abdullah, Fiqh Demokratis, terj. Abdul Haris dan
Zaimul Aim, Jakarta: Arasy, 2003.
Ulum, Hasisul, Studi Pemahaman Ibnu
Taimiyyah Tentang Hadis Kepemimpinan Quraisy, Semarang: IAIN Walisongo,
2012.
Wensinck, A.J, al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfāz al-Ḥadis al-Nabawī,
Leiden: E-J.Brill, 1942.
Yaqub, Ali Mustafa, al-Turuq
al-Sahīhah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah, Ciputat: Darus-Sunnah, 2015.
Zaghlul, Abu Hajar Muhammad al-Sa`id ibn
basyuni, Maus`ah Atraf al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, t.t.
Zakariya,
Abū al-Husain Ahmad ibn Fāris ibn, Mu'jam Maqāyīs al-Lugah, Beirut: Dār
al-Fikr, 1979.
[1] “Kamus Besar Bahasa
Indonesia Online (KBBI Online)”. Artikel diakses pada 16 Januari 2018 dari https://kbbi.web.id/pimpin.
[2] H. Mahmud Yunus, Arab
Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 122.
[3] Pulungan J. Suyuti, Fiqh
siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikira (Jakarta:
PT Radja Grafindo Persada, 1999), h. 48.
[5] Pulungan J. Suyuti, Fiqh
Siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, h. 49.
[6] Kartini Kartono, Pemimpin
Dan Kepemimpinan, h. 33.
[7] Muhammad Rasyid Ridho, al-Khilafah
(Mesir: al-Zahro ulama al-Arobi, T.tt) juz 1, h. 17.
[8] Pemimpin menurut
al-Ghazāli (w. 505 H) wajib melaksanakan salat jumat dan menggunakan waktu
tersebut untuk bertafakkur. Ketika Nabi Muhammad Saw. misalnya bersabda bahwa
hari jum’at adalah “sayyid al-ayyām”, maka dalam konteks kepemimpinan, ia
merupakan hari penting untuk mempertimbangkan segalanya. Boleh seorang pemimpin
mengabaikan hari-hari lainnya karena berbagai kesibukan yang dimiliki, tapi
tidak hari jumat. Tapi yang perlu diperhatikan, kewajiban salat jumat
sebagaimana yang dimaksud al-Ghazāli di atas sama sekali tidak ada kaitannya dengan
seorang pemimpin itu harus muslim. Agama dan keyakinan seseorang bukanlah tolak
ukur serta jaminan kualitas kadar keadilan seorang pemimpin. Sebagai khalifah
Allah di muka bumi, ada hal lain yang mesti dipenuhi yaitu berupa pengetahuan
dan daya jangkau nalar yang luas. Ini seperti yang diperlihatkan oleh al-Imām
al-Ghazāli ketika beliau mendudukkan beberapa tokoh pemimpin ideal yang berasal
dari non-Islam seperti Raja Kisra Anusyirwan. Baca: al-Imām al-Ghazāli, Al-Tibr
al-Masbūk fi Naṣihat al-Mulūk, h. 44.
[9] Kartini Kartono, Pemimpin
Dan Kepemimpinan (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 49.
[10] Pemimpin
ideal menurut Islam sudah pernah dijelaskan oleh M. Suryadinata, baca: M
.Suryadinata, “Kepemimpinan Non Muslim Dalam al-Quran,” Ilmu Ushuluddin
Vol 2, nomor 3, (2015), h. 3-6.
[11] Ahmad ibn Muhammad ibn
Abu Bakr ibn Adullmalik al-Qastalānī, Irsyādu al-Sari li Syarhi
Sahih al-Bukhāri (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H), h.
6.
[12] Abū Abdillah Muḥammad
bin Ismāīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h.
1293.
[13] Ahmad
ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Abdullmalik al-Qastalānī, Irsyādu
al-Sari li Syarhi Sahih al-Bukhāri (Mesir: al-Mathba’ah
al-Kubra, 1323 H), jil. 1, h. 19.
[14] Abū Abdillah Muḥammad
bin Ismāīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h.
1293.
[15] A.J. Wensinck, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī, Juz I, h. 87.
[16] Abu Abdullah Muhammad ibn
Isma’il al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhāri (t.tp.: Dar Mutabī
Syabī, t.t.) Juz IV, h. 217-218.
[18] A.J. Wensinck,
al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī (Leiden: E-J.Brill, 1942)
Juz I, h. 92
[19] Ahmad ibn Muhammad ibn
Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal (Beirut: al-Maktabah al-Islamī,
1398) Juz II, h. 29. Selanjutnya akan disebut sebagai Ahmad ibn
Hanbal.
[20] Ahmad ibn Hanbal, Musnad
Imam Ahmad ibn Hanbal, h. 129.
[21]Martin Lings, Muhammad,
Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener: Qomaruddin SF, (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Merdeka, 2007), h. 16.
[22] Salah seorang pemimpin
Quraisy sebelum masa kelahiran Nabi Saw. yang nanti mempersatukan suku-suku
yang ada di Makkah. Baca: Hari Putra Z,
Skripsi, Memahami Hadis Kepemimpinan Quraisy, (Jakarta, UIN Jkt, 2018),
h. 57-64.
[23] Suatu karakter khas
dari keturunan Qushay adalah setiap generasi harus ada pemimpin bagi semua,
dari empat putra Qushay, Abdul Manaf adalah sebagai putra yang dihormati semasa
Qushay hidup, akan tetapi dia milih Abdul al-Dar meskipun dia yang paling
kurang kecakapannya sebagai pengganti. Baca: Martin Lings, Muhammad, Kisah
Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener: Qomaruddin SF, h. 17.
[24] Martin Lings, Muhammad,
Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 19. Abdul Manaf mematuhi
keinginan ayahnya tanpa protes, akan tetapi pada generasi berikutnya, separo
kaum Quraisy berdiri di belakang putra Abdul Manaf, Hasyim, lelaki
paling terkemuka saat itu, dan menuntuk agar pemerintahan dialihkan dari klan
Abdul al-Dar ke Klan Abdul Manaf, mereka yang mendukung Hasyim dan
saudara-saudaranya itu adalah keturunan Zuhrah dan Taym dan seluruh anak cucu
Qushay kecuali dari anak pertama. Keturunan Makhzum dan para sepupu yang lebih
jauh menerima pemerintahan bani Abdul al-Dar. Kaum wanita dari Bani Abdul Manaf
kemudian membawa secawan minyak wangi dan meletakkannya di sebelah Kakbah.
Hasyim beserta seluruh pengikutnya mencelupkan tangan ke cawan dan mengangkat
sumpah agar tidak menggangu satu sama lain, kelompok ini dikenal sebagai
Kelompok Harum (al-Muthayyibun), kemudian kelompok dari Abdul al-Dar mengangkat
sumpah dikenal dengan nama Kelompok Sekutu (al-Ahlaf).[24]
Peperangan benar-benar di tidak hanya di Kakbah saja, tapi juga dalam kawasan Makkah
dalam radius beberapa mil. Kedua pihak harus mendirikan perjanjian dan
menghindari pertumpahan darah.[24]
Maka disepakati bahwa keturunan Abdul Manaf berhak menentukan pajak dan
menyediakan makanan dan minuman bagi para jamaah haji, dan keturunan Abdul
al-Dar berhak memegang kunci Kakbah dan hak-hak mereka yagn lain, dan tempat
tinggal mereka harus diteruskan fungsinya sebagai Rumah Majelis. Baca: Martin
Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 18.
Dalam sumber lain lain Rumah Majelis disebut sebagai sebagai Darun-Nadwah. Baca
: Syaikh Shafyyur-Rahman al-Mubarakfury, Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiayah,
h. 22.
[25]Benard Lewis, Bangsa
Arab Dalam Lintasan Sejarah,Pener: Said Jamhuri (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1994), h. 16.
[26]Benard Lewis, Bangsa
Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pener: Said Jamhuri, h. 17-18.
[27] Benard Lewis, Bangsa
Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pener: Said Jamhuri, h. 17.
[28] Hari Putra Z, Skripsi, Memahami
Hadis Kepemimpinan Quraisy, (Jakarta, UIN Jkt, 2018), h. 57-64.
[29] Abdul Karim Munte ,
Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Tangerang Selatan: Yayasan
Pengkaji Hadis el_Bukhori, 2017), h. 94-95.
[30] Pemimpin dan
kepemimpinan itu di manapun dan kapanpun juga selalu diperlukan. Kesimpulan yang senada dengan para pemikir
muslim, keberadaan pemimpin adalah sebuah keharusan (wajib/ fardhu). Kewajiban itu didasarkan pada ijma’ para sahabat
dan tabi’in. Secara konsep, persyaratan dari kepemimpinan itu selalu dikaitkan
dengan tiga hal penting, yaitu kekuasaan, kewibawaan dan kemampuan. Dan bagi seorang pemimpin dibutuhkan
spesifikasi khusus yang harus dimiliki agar kepemimpinan berjalan sebagaimana
yang seharusnya yaitu; seorang pemimpin harus mempunyai kapasitas (kecerdasan,
kewaspadaan, kemapuan untuk berbicara serta kemampuan untuk menilai/ menimbang)
melebihi anggota yang dipimpin, pemimpin harus bertanggung jawab (mandiri, mempunyai sosiabilitas yang
tinggi, tekun, percaya diri, mampu
melindungi dan punya hasrat yang unggul) terhadap yang dipimpin dan pemimpin harus
mempunyai status meliputi sosial-ekonomi yang cukup tinggi serta popoler, hal
ini senada dengan kepemimpinan menurut Islam yaitu, kepemimpinan merupakan tata
nilai yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama, pemimpin di dalam Islam merupakan sebuah keharusan/
wajib, dan pemimpin diharuskan memiliki kemampuan untuk menjaga agama serta kehidupan duniawi dengan
tujuan kemaslahatan
[31] Baca lebih jauh tentang
metode jughrafiyah al-hadis dalam: Ali Mustafa Yaqub, al-Turuq
al-Sahīhah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ciputat: Darus-Sunnah, 2015),
h. 73-82.
[32] Daoed Joesoef, Studi
Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional (Jakarta: Kompas,
2014), h. 29-63.
[33] Hal ini sesuai dengan
yang dikatakan Ibnu al-Battāl dalam syarhnya. Baca: Abu al-Hasan Ali ibn Khalaf
ibn Abdilmalik ibn Battal al-Bakri al-Qurtubī, Sharah Sahih
al-Bukhāri li Ibn al-Battāl (Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 2003 M/ 1423
H), ji. 8, h. 211.
[34] Hadis tersebut lebih
bersifat Politis-Sosiologis, karena keharusan pemimpin dari Suku Quraisy
saat ini tentu akan menimbulkan perpecahan dan permasalahan. Baca: Abdul Karim
Munte, Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 95.
[35] Kaum
Anshar ingin mengangkat pemimpin dari Anshar, begitu juga Muhajirin. Hadis ini
semakin kuat pengaruhnya ketika ada pertentangan antara kelompok Ali dan
kelompok Mu’awiyah.[35]
Muncullah kemudian faksi Quraisy yaitu kelompok Ali dan faksi Qathān
yaitu kelompok Mu’awiyah. Unsur ideologis semacam ini yang kemudian membawa
kebakuan dalam memahami hadis-hadis berbau politik; salah satunya hadis Quraisy.
[36] Didalam
buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis yang ditulis Abdul Karim
Munte dkk, dalam buku tersebut fokus membahas tentang hadis-hadis yang dipakai
oleh kaum jihadis seperti IS sebagai landasan dalam menyebarkan fahamnya/
ideologinya, dalam buku tersebut Munte mengkritik IS dalam pemakaian hadis
jihad dengan menggunakan pendekatan ilmu hadis, Munte juga menyinggung sedikit
tentang hadis kepemimpinan Quraisy, tapi dalam penjabarannya hanya
mengutip perkataan Ibnu Khaldun yang berkata hadis Quraisy bersifat
simbolik, dan tidak rinci menjelaskan bagaimana studi pemahaman terhadap hadis Quraisy.
Baca: Abdul Karim Munte, Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis,
h. 95.
No comments:
Post a Comment