Friday, 11 November 2016

BAGIAN 4

A.  Taqsîm atau Jenis Hadis
Dilihat dari rawinya, hadis ini tidak termasuk kategori hadis mutawatir, karena memang jumlah râwi tiap tingkatannya tidak mencapai jumlah mutawatir. Akan tetapi, secara keseluruhan hadis ini bisa dikatakan sebagai hadis ahad masyhur.[1] Dari sisi matan, pernyataan memberikan hak waris kepada yang berhak dari ahli waris yang disebutkan sahabat Nabi di sini tergolong marfû’, khususnya marfu’ hukmiy.[2] Alhasil, hadis ini adalah shahîh li dzâtih.
Sedang dari aspek kebersambungan sanadnya, seluruh hadis yang berjumlah 24 jalur sanad, semuanya muttasil sampai kepada Rasûlullah. Termasuk hadis dari kitab Bulugul Maram, yang sanadnya hanya disandarkan sampai kepada Rasulullah Saw, sepintas lalu dapat dikatakan terputus dan termasuk hadis Mauquf.[3] Akan tetapi kalau diperhatikan lebih teliti, maka akan kelihatan bahwa hadis tersebut bersambungan.

B.  Tathbîq atau Aplikasi Hadis
Dari sisi tathbîq, hadits tentang anjuran memberikan hak waris kepada yang lebih berhak termasuk dalam kategori Maqbul Ma’mul bihi.[4] Hadits tentang pembagian hak waris ini termasuk dalam golongan hadits yang Muhkam, sebab               di dalam hadits ini banyak sekali membahas aspek hukum terutama yang menitikberatkan kepada pembagian hak waris bagi laki-laki[5] dan pembagian hak waris pagi perempuan.[6] Pembagian kepada ahli waris sudah tertulis dalam al-Qur’an yaitu dalam surat an-Nisa ayat 7-14 :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (7)[7] وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (8)[8] وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (9)[9] إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (10)[10] يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)[11]وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)[12] تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13)[13] وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ (14)[14]
           
Dengan demikian pembagian bagi ahli waris telah di tentukan di dalam               al-Qur’an dan aplikasinya sesuai dengan yang sudah Allah Swt atur di dalam                   al-Qur’an.

C.  Mufradat dan Maksud Lafal
Dari 24mashadir ashliyyah yang secara detail hadisnya berjumlah 17buah, jika dikelompokkan berdasarkan kemiripan redaksi maka didapatkan 3 kelompok hadis yang memiliki kemiripan redaksi. Dalam redaksi intinya, 14 hadis menggunakan frasa أمرuntuk mengartikulasikan bentuk perintah, 2 hadis menggunakan frasaوجب serta 1 hadis menggunakan frasaمباح Selain karna sudah maklum sesuai kaidah ushul, bahwasanya hukum asal dari perintah itu adalah menunjukkan hukum wajib,[15]juga karna dalam redaksi hadis lain jelas tersurat frasa wajib, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan perintah dalam hadis ini adalah bermakna wajib untuk melakukannya.
            Kemudian dalam substansi perintah yang diwajibkannya, yaitu pembagian waris, dari 17 hadis semuanya menggunakan frasa فرائض. Semua menunjukkan kearah makna yang sama, yaitu pemberian waris yang didefinisikan sebagai bentuk pembagian sisa harta warisan setelah diambil oleh pemilik bagian-bagian yang telah ditentukan itu menjadi milik ahli waris yang mendapat bagian ashabah. Dalam pelaksanaannya laki-laki yang mendapatkan bagian sisa ini adalah yang paling dekat dengan mayit. Jadi, laki-laki yang jauh tidak dapat bagian ini selama ada laki-laki yang lebih dekat. Dalam kasus ini saudara perempuan mendapat ½ sisanya menjadi milik saudara laki-laki.
            Waris berasal dari kata(ورث يرث ارثا و ميراثا) yang berarti warisan. Kata waris menurut bahasa artinya berpindah sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah fiqh pengertian waris ialah berpindahnya hak milik dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang berupa harta benda, tanah, maupun sesuatu dari hak-hak syara’. Mawaris juga disebut faraidh, bentuk jama’ dari kata (faridho) atau (faradho) yang artinya ketentuan atau menentukan.
            Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kalimatأولى رجلٍyang terdapat di sebagian besar hadis diatas adalah ahli waris yang terdekat nasabnya. Kata أولى berasa dari kataالوحي  yang sewazan dengan kataالرمي. Dalam sebagian besar hadis ini kalimat diatas bukan diartikan dengan “yang paling berhak”, berbeda dengan perkataan,الرجل أولى بماله,karna perkataan itu bisa diartikan “laki-laki itu berhak atas hartanya”. Jika kalimat أولى رجل diartikan dengan “laki-laki yang paling berhak” maka perkataan itu tidak ada faedahnya, sebab kita tidak tahu siapa yang paling berhak dalam masalah ini.
            Sabda Rasulullah Saw.رجلٍ ذكرٍ“ahli waris laki-laki”. Penyebutan kata laki-laki dalam hadis diatas untuk menjelaskan bahwa jenis kelamin laki-laki itu penyebab utama mendapatkan bagian ashabah (sisa pembagian harta waris) dan jatah yang banyak dalam warisan. Untuk itulah, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.[16]
D.  Istinbath Ahkam dan Hikmah
Setelah ketentuan hak waris telah ditentukan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, para ulama tidak ada perbedaan di dalam menentukan bagian bagi ahli waris dan semua ulama sepakat bahwa pembagian hak waris yang telah ditetapkan Allah Swt dapat di amalkan dan terapkan di kehidupan.

Adapun hukumnya adalah Fardlu ‘Ain[17] apabila tidak ada yang mempelajarinya selain dirinya dan Fardlu Kifayah[18] apabila sudah ada yang mempelajarinya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang di riwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan               Imam al-Hakim dalam kitab Mustadrak,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : تعلموا الفرائض و علّموه النّاس فإنّه نصف العلم و هو يُنسي وهو أوّل علم يُنزع من أمتي.[19]
           
Kemudian harta waris tidak akan bisa di bagikan apabila belum memenuhi rukun dari waris, yaitu Waarits, Muwarrits, dan Haqqun Mauruts. Adapun sebab diharuskannya melakukan pembagian waris adalah Al-Nasab, Al-Nikah, dan Al-Wala’. Jadi apabila mayyit meninggalkan anak maka hak waris jatuh kepada keturunanya, kemudian apabila masih ada Istri/Suami maka ia mendapatkan hak warisnya, lalu Budak ia juga mendapatkan hak waris dari tuannya.[20]
            Selain itu ada syarat-syarat seseorang harus mendapatkan hak waris, diantaranya adalahPertama, hidupnya ahli waris ini harus jelas setelah kematian mayit. Kedua, kematian mayit harus jelas, dan Ketiga, mengetahui siapa yang harus mendapatkan hak waris. Adapun larangan seseorang tidak mendapatkan hak waris yaitu, Pertama, karena sebab membunuh, Kedua, sebab Murtad (keluar dari islam), dan Ketiga, Perbedaan Agama[21] sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad Saw yaitu,
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ وَأَبُو بَكْرٍ : أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ وَأَبُو مُحَمَّدِ بْنُ أَبِى حَامِدٍ الْمُقْرِئُ وَأَبُو صَادِقٍ : مُحَمَّدُ بْنُ أَبِى الْفَوَارِسِ الصَّيْدَلاَنِىُّ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ : مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّغَانِىُّ أَخْبَرَنِى أَبُو عَاصِمٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَلِىِّ بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ أَبِى عَاصِمٍ.[22]
          Jadi dengan demikian terputusnya hak waris salah satu penyebabnya adalah perbedaan agama, karena seseorang yang berbeda agama tidak bisa mewariskan antara satu dengan yang lainnya sehingga terputuslah hak warisnya.
            Adapun hikmahnya adalah Pertama, Memahami hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah Swt yang berkaitan dengan harta peninggalan. Kedua, Terhindar dari ketidak tahuan dan kelangkaan orang-orang yang paham terhadap pembagian waris. Ketiga, Pembagian waris dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Dan Keempat, Terhindarnya dari perselisihan dari pembagian harta waris karena tidak ada aturannya atau ketidak tahuan dalam masalah pembagian waris ini.
F.   Musykilat fi Tafhim dan Tathbiq
Adapun yang biasanya terjadi kesulitan itu dalam pemahaman tentang pembagian hak waris dan juga penerapannya, sehingga para ulama menjelaskan bagian-bagian yang telah ditetapkan oleh Allah Swt didalam al-Qur’an. Dalam ilmu waris itu terbagi menjadi dua yaitu, Pertama, Ashabul Furudh al-Muqaddarah.[23]Kedua, ‘Asabah.[24]

          Ashabul Furudh al-Muqaddarah terbagi menjadi ke dalam enam bagian diantaranya adalah :
·     Bagian Setengah ( ½ ) yang mendapatkan setengah ada tiga orang yaitu Pertama, Zaujh (Suami) ia bisa dapet setengah apabila si mayit tidak punya anak (keturunan) sebagimana yang Allah firmankan,
لقوله سبحانه وتعالى : {وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ}.
Kedua, Anak perempuan yang sendiri dapat setengah apabila tidak anak laki-laki yang bersamanya sebagaimana yang Allah firmankan,
لقوله عز وجل : {وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ}.
Ketiga, Saudara sebapak dan seibu dapat setengah apabila tidak ada anak perempuan dan saudara laki-laki sekandung dari si mayit sebagimana firman Allah,
لقوله سبحانه وتعالى : {وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ}.

·      Bagian seperempat ( ¼ ) yang mendapatkan seperempat yaitu Suami apabila mayit punya anak dan Istri apabila si mayit tidak punya anak sebagaimana firman Allah Swt,
لقوله سبحانه وتعالى : {فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ}.
·      Bagian seperdelapan ( 1/8 ) yang mendapatkan seperdelapan bagi Istri apabila si mayit mempunyai anak sebagaimana firman Allah Swt,
لقوله سبحانه وتعالى : {فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم}.
·      Bagian sepertiga ( 1/3 ) yang mendapatkan sepertiga ada dua orang yaitu, Pertama, Ibu dapat sepertiga apabila si mayit tidak mempunyai anak dan tidak ada dua saudara perempuan dari mayit, sebagaimana yang Allah Swt firmankan,
لقوله عز وجل : {فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ}.
Kedua, dua anak dari ibu baik yang laki-laki ataupun yang perempuan dan keduanya sama, sebagaimana firman Allah,
لقوله سبحانه وتعالى : {فَإِن كَانُوَا أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ}.
·      Bagian seperenam ( 1/6 ) yang mendapatkan seperenam ada tujuh orang diantaranya adalah :
Pertama, Bapak jika si mayit gak punya anak, dan Ibu apabila si mayit punya anak, atau ada dua orang saudara dari mayit, maka yang demikian mendapatkan seperenam sebagaimana firman Allah,
لقوله سبحانه وتعالى : {وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ}.
Kedua, saudara perempuan sebapak atau lebih, saudara laki-laki se ibu atau saudara perempuan se ibu maka mereka dapat seperenam, sebagaimana yang Allah firmankan dalam al-Qur’an,
لقوله سبحانه وتعالى : {وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ}.
·      Bagian dua pertiga ( 2/3 ) yang mendapatkan dua pertiga ada empat orang diantaranya adalah :
Pertama, dua anak perempuan kandung dia dapet dua pertiga selama tidak ada anak laki-laki kandung, sebagaimana Allah firmankan dalam al-Qur’an,
لقوله سبحانه وتعالى : {فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}.
Kedua, dua saudara perempuan dari bapak atau dari ibu mereka dapet dua pertiga sebagaimana yang Allah firmankan dalam al-Qur’an,
لقوله سبحانه وتعالى : {فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ}.
Ketiga, dua cucu perempuan dari anak laki-laki dapet dua pertiga.
Keempat, dua saudara perempuan kandung atau lebih maka mereka dapat dua pertiga.
            Dengan demikian pembagian yang telah dituliskan di dalam al-Qur’an maka dari itu sebaiknya apabila ada masalah tentang pembagian hak waris harus kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.

G. Fiqh Syarh

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ طَاوُوسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin 'Abdurrahman; telah mengabarkan kepada kami Muslim bin Ibrahim; telah menceritakan kepada kami Wuhaib; telah menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihiwasallam, beliau bersabda: "Serahkanlah urusan Al Fara`idh kepada ahlinya. Sedangkan apa yang tersisa maka itu untuk laki-laki.[25]
Hadits ini lebih spesifik membahas warisan yang diterima ahli waris dengan bagian ashabah[26]. Para ulama telah sepakat bahwa sisa harta warisan setelah diambil oleh pemilik bagian-bagian yang telah ditentukan itu menjadi milik ahli waris yang mendapat bagian ashabah. Dalam pelaksanaannya laki-laki yang mendapat bagian sisa ini adalah yang paling dekat dengan mayit. Contohnya, seseorang meninggal dunia dan ahli warisnya hanya terdiri dari saudara perempuan, saudara laki-laki, dan paman. Dalam kasus ini saudara perempuan mendapat setengah, sisanya menjadi milik saudara laki-laki, sementara paman tidak mendapatkan apa-apa.[27]
Para sahabat kami membagi ashabah menjadi tiga;
1.    Ashabah bi nafsih[28] (ahli waris yang menjadi ashabah dengan sendirinya), yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari ank laki-laki, ayah, paman, anak laki-laki dari paman (sepupu), paman ayah, kakek, dan seterusnya. Khusus untuk ayah dan kakek terkadang mereka berdua mendapat bagian ashabah saja, atau seperenam, atau mendapat kedua-duannya, ashabah dan seperenam. Contohnya, jika seseorang meninggal dunia, dan ahli warisnya adalah anak laki-laki, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka ayah hanya mendapatkan bagian seperenam. Jika mayit tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka ayah mendapat bagian ashabah saja. Dan jika ahli waris terdiri dari satu anak perempuan, atau satu cucu perempuan dari anak laki-laki, atau dua anak perempuan, atau dua cucu perempuan dari anak laki-laki, maka mereka mengambil bagian yang telah ditentukan, dan ayah mendapatkan seperenam dan ashabah.
2.    Ashabah bi ghairihi[29](ahli waris yang menjadi ashabah karena ada ahli waris lainnya), yaitu anak perempuan jika ada anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki jika ada cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan saudara perempuan jika ada saudara laki-laki.
3.    Ashabah ma’a ghairihi[30](ahli waris yang menjadi ashabah bersama ahli waris yang lain), yaitu saudara-saudara perempuan kandung atau seayah bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Cintohnya, seseorang mati meninggalkan anak perempuan dan saudara perempuan sekandung atau seayah, maka anak perempuan mendapatkan setengah, dan saudara perempuan mendapatkan ashabah (sisa). Jika ia meninggalkan ahli waris yang terdiri dari 2 anak perempuan, 2 cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan kandung atau seayah, maka 2 anak perempuan mendapatkan dua ertiga, dan sisanya untuk saudara perempuan, sedangkan cucu perempuan tidak mendapatkan apa-apa karena telah diberikan kepada ahli waris perempuan yang lain dimana mereka mendapatkan dua pertiga.
       Para sahabat kami mengatakan, “Ashabah bi nafsih adalah setiapa laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengan mayit dan tidak melalui jalur perempuan”. Kaidahhnya, jika mereka menjadi ahli waris sendirian maka mereka mendapat semua harta warisan. Dan jika bersama dengan orang-orang yang mendapatkan bagian yang telah ditentukan dan mereka menghabiskan harta warisan, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Dan jika mereka tidak menghabiskannya maka dia mendapatkan sisanya.

Berikut ini adalah urutan ashabah mulai dari yang paling dekat nasabnya:
1.    Anak laki-laki
2.    Anak laki-laki dari anak laki-lakinya (cucu laki-laki dari anak laki-laki)
3.    Ayah
4.    Kakek jika tidak ada saudara laki-laki
5.    Saudara laki-laki jika tidak ada kakek, jika keduanya ada maka ulama berbeda pendapat tentangnya
6.    Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki
7.    Anak laki-laki dari cucu laki-laki sampai berikutnya
8.    Paman ayah
9.    Anak laki-laki dari paman ayah sampai berikutnya
10.    Paman kakek
11.    Anak laki-laki dari paman kakek sampai berikutnya
12.    Paman dari kakek ayah
13.    Anak laki-lakinya, dan seterusnya.
       Ashabah yang berhubungan nasab dengan mayit lewat jalur kedua orang tua lebih diutamakan daripada ahli waris yang mempunyai hubungan lewat jalur ayah saja. Untuk itu, saudara kandung lebih diutamakan daripada paman seayah. Saudara seayah lebih didahulukan daripada keponakan dari saudara kandung, karena garis nasab saudara lebih dekat dan kuat. Keponakan dari saudara laki-laki seayah lebih didahulukan daripada paman kandung. Paman seayah lebih didahulukan daripada anak laki-laki paman kandung, dan seterusnya.
       Jika seseorang meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan kandung, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya menurut madzhab kami dan mayoritas ulama adalah anak perempuan mendapatkan bagian setengah dan sisanya untuk saudara perempuan. Sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan apa-apa. Sementara menurut Ibnu Abbas pembagiannya adalah anak perempuan mendapatkan bagian  setengah dan sisanya untuk saudara laki-laki seayah. Sedanglan saudara perempuan tidak memdapatkan apa-apa. Dan hadis di atas lebih dekat dengan pendapat Ibnu Abbas ini.[31]

Makna Global
       Nabi saw memerintahkan pihak yang membagikan warisan agar membagikan kepada yang berhak secara adil seperti yang dikehendaki Allah swt. para pemilik bagian-bagian yang telah ditentukan dalam kitab Allah swt berhak mendapat bagiannya, yaitu dua pertiga, sepertiga, seperenam, separuh, seperempat, dan seperdelapan.
Jika ada sisa setelah itu diberikan kepada laki-laki yang paling dekat dengan mayit karena mereka adalah asal ashabah. Mereka lebih didahulukan sesuai urutan kedudukan dan kedekatan dengan mayit, seperti yang akan dijelaskan berikut setelah penjelasan ashabul furudh (para ahli waris yang mendapat bagian tertentu).[32]
      
Ringkasan Waris Dan Cara Pembagiannya Bersumber Dari Al-Qur’an Dan Hadis Di Atas.

       Kita mulai dari pembagian waris untuk para ahli waris yang memiliki bagian tertentu seperti yang dimulai dan disebutkan Allah dengan bagian-bagian yang telah Dia tentukan agar kita mengetahui seberaa besar bagian mereka. Seperti telah disinggung sebelumnya, para ahli waris yang mengambil sisa setelah bagian ashabul furudh[33] adalah ashabah. Bagian-bagian yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya ada 6: separuh, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Masing-masing ada pemilik tersendiri.

1.    Separuh untuk anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah, berdasarkan  firman Allah swt
...وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ...
yang artinya: ”Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). (QS. An-Nisa : 11) Cucu perempuan dari anak laki-laki sama dengan ank perempuan. Ketentuan waris ini disepakati ulama, dengan syarat tidak disertai anak laki-laki. Suami juga mendapat separuh, dengan syarat istri tidak memiliki anak baik laki-laki maupun perempuan berdasarkan firman Allah Swt:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ......
 “Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 13). Juga untuk saudara perempuan sekandung. Jika tidak ada, maka saudara perempuan seayah jika tidak ada anak atau cucu pewaris berdasarkan firman Allah swt:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ......
“ Jika seseorang meninggal dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka baginya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkan”, (QS. An-Nisa: 176)
Anak perempuan yang dimaksud adalah anak kedua orang tua (sekandung), atau anak ayah (seayah) berdasarkan ijma.
2.    Seperempat untuk suami-suami jika ada anak atau cucu, berdasarkan firman Allah swt:
فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْن......
”Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa: 12)
Juga untuk seorang istri atau lebih jika tidak ada anak atau cucu, berdasarkan firman Allah swt:
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ
“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.“ (QS. An-Nisa: 12)
Seperdelapan untuk seorang istri atau lebih jika ada anak cucu berdasarkan firman Allah swt,
فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
”Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (QS. An-Nisa: 12)

3.    Dua pertiga untuk dua cucu perempuan jika tidak disertai cucu lelaki, dalilnya adalah hadis istri Sa’ad bin Rabi’, Sa’ad datang menemui Nabi saw berkata: dua putri ini adalah anak Sa’ad, ayah mereka berdua terbunuh bersama saat perang uhud sebagai syahid, dan paman mereka berdua mengambil harta mereka tanpa memisahkan pun, padahal keduanya tidak bisa menikah tanpa harta.” Nabi saw. ‘bersabda Allah akan memberikan keputusan terkait hal itu’. Setelah itu ayat waris turun, Nabi SAW kemudian memamnggil paman kedua putrinya tersebut lalu bersabda, ‘berikan dua pertiga kepada dua anak perempuan sa’ad, berikan Ibu mereka berdua seperdelapan, dan sisanya untukmu’. Hr Abu daud dan di nilai shahih oleh At-Tirmidzi. Keduanya mendapat duapertiga di kiaskan pada dua anak perempuan yang di sebut dalam nash fiman Alah SWT:
فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ......
“tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang di tinggalkan”. (Qs An-nisa:176).
Dua anak perempuan dan sodara anak perempuan lebih berhak mendapat dua pertiga dari pada dua sodara perempuan. Sementara tiga anak perempuan bersama sejumlah cucu perempuan, mereka semua mendapat dua pertiga berdasarkan firman Allah SWT,
فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ......
“dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang di gunakan. (An-Nisa:11).
Untuk dua atau lebih sodara perempuan sekandung duapertiga bagian. Jika keduanya tidak ada, maka bagiannya di berikan kepada dua atau lebih sodara perempuan seayah. Hal ini di dasarkan pada firman Allah SWT.
فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ......
”tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang di tinggalkan.(Qs An-nisa:176).
Juga berdasarkan ijma’ ulama. Yang di maksud dua anak perempuan lebih disini adalah anak-anak sekandung dan anak-anak seayah. Sodara perempuan lebih dari itu, mereka kiaskan pada keduanya.

4.    Sepertiga untuk ibu ketika tidak ada anak atau cucu dan tidak ada jumlah sodara. Dalil syarat pertama adalah firman Allah SWT,
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ......
“jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia di warisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga “. (QS An-Nisa 11).
Dalil syarat kedua adalah firman Allah SWT,
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ......
” jika dia (yang meninggal mempunyai beberapa sodara, maka ibunya mendapat seperenam”. (Qs An-Nisa 11).
Juga untuk beberapa sodara lelaki seibu, dua atau lebih, lelaki dan perempuan bagiannya sama berdasarkan firman Allah SWT,

وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ...
 “jika seseorang meniggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang sodara laki-laki(seibu) atau seorang sodara perempuan (seibu) maka bagi masing-masing dari kedua jenis sodara itu seperenam harta. Tetapi jika sodara-sodara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu.” (Qs An-nisa 12).

       Ulama sepakat bahwa yang di maksud sodara laki-laki dan saudara perempuan disini adalah saudara seibu. Qiraah ibn mas’ud dan sa’ad bin abi waqqash demikian:
وله اخ او اخت من امه 
5.    Seperenam untuk ibu jika ada ahli waris lain, seperti anak, sejumlah sodara laki-laki atau sodara perempuan, berdasarkan firman Allah SWT,” dan untuk kedua ibu bapak  bagian masing masing seperenam dari harta yang di  tinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak,” sampai firmannya,
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ......
”jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa sodara, maka ibunya mendapat seperenam”. (QS. An-nisa 11).
Juga untuk seorang nenek atau lebih dan seterusnya hingga keatas sesuai garis keibuan, seperti itu juga para nenek yang di hubungkan oleh ayah pewaris. Ada sejumlah atsar terkait hak waris mereka ini. Syarat hak waris mereka adalah tidak ada ibu, mereka semua bersama-sama mendapatkan bagian yang rata, dan mereka saling menghalangi satu sama lain sesuai tindak kedekatan dengan si mayit.  Seperenam juga untuk anak ibu seorang diri, baik lelaki ataupun perempuan berdasarkan ijma’ ulama karna Allah berfirman,

وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ...
“jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang sodara laki-laki (seibu) atau seorang sodara perempuan (seibu) maka bagi masing-masing dari kedua jenis sodara itu seperenam harta” (QS. An-nisa 12) .
Juga berdasarkan qiraah Abdullah bin Mas’ud dan Sa’ad sebelumnya. seperenam untuk seorang cucu perempuan dari anak lelaki atau lebih ketika bersama anak perempuan sekandung berdasarkan kesepakatan ulama seperti di sebutkan dalam hadis Ibn Mas’ud. Ia di tanya tentang (bagian waris)  seorang anak perempuan dan cucu perempuan, Ia berkata, “ aku akan memutuskan tentang keduanya seperti keputusan Rasullah SAW ; anak perempuan mendapat separuh dan cucu mendapatkan seperenam sebagai penggenap duapertiga, dan sisanya untuk sodara perempuan.” Seperti itu juga keputusan bagian untuk anak perempuan dari cucu lelaki bersama cucu perempuan dari anak laki-laki. Sodara perempuan seayah bersama sodara perempuan sekandung juga mendapat seperenam di kiaskan pada cucu perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan. Seperenam untuk juga untuk ayah atau kake ketika tidak ada ayah dan ada anak atau cucu.

       Demikian enam bagian yang telah di tentukan dalam al-Qur’an dan mereka semua itulah yang berhak mendapatkannya. Jika ada harta tersisa setelah itu, maka menjadi hak ahli waris ashobah berdasarkan firman Allah SWT

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ......
“ jika dia (yang meniggal) tidak mempunyai anak dan dia di warisi oleh kedua ibu bapaknya (saja) maka ibunya  mendapat sepertiga.” (QS An-Nisa 11).
Artinya sisanya untuk ayah secara ahobah. Juga berdasarkan sabda nabi SAW dalam hadis kita bahas ini, “ sampaikanlah bagian bagian yang telah ditentukan kepuda yang berhak, kemudian (harta) yang tersisa menjadi hak lelaki yang paling dekat (hubungan kerabatnya dengan mayit). Juga hak waris sodara sa’ad bin rabi’;”dan yang tersisa adalah milikmu”.

       Ashabah memiliki sejumlah jalur, sebagian di antaranya lebih dekat dari yang lain. Mereka mewarisi si mayit berdasarkan kedekatan jalur tersebut. Jalur-jalur ashobah adalah jalur anak, ayah, saudara lelaki dan anak-anaknya, paman dan anak-anaknya, berikutnya wala’ bagi orang yang memerdekakan budak, dan ashobahnya. Mana diantara jalur ini yag lebih dekat hubungannya dengan mayit, itulah yang di dahulukan, seperti anak yang lebih di dahulukan dari ayah. Jika mereka berada pada jalur yang sama, maka yang di dahulukan adalah yang kedudukannya lebih dekat dengan si mayit, misalnya anak lebih di dahulukan dari cucu. Jika mereka berada pada jalur dan tingkatan yang sama, yang di dahulukan adalah yang paling kuat tingkatannya, yaitu yang sekandung lebih di dahulukan dari yang seayah.[34]

       Para ahli waris saling menghalangi satu sama lain secara hirman[35] (menghalangi waris secara keseluruhan) dan nuqhsan[36] (mengurangi bagian dari yang lebih besar menjadi lebih kecil). Halangan nuqshan pada semua ahli waris, sementara halangan hirman tidak masuk pada suami istri, ayah dan ibu, dan anak-anak, karena mereka semua ini terhubung dengan mayit tanpa pelantara. Ayah misalnya menggugurkan kakek, kakek menggugurkan kakek yang lebih atas tingkatannya, ibu menggugurkan nenek, dan nenek menggugurkan nenek yang lebih atas tingkatannya, anak lelaki menggugurkan cucu lelaki, dan setiap cucu lelaki yang tingkatannya lebih tinggi menggugurkan cucu lelaki yang ada di bawahnya. Sodara sodara kandung gugur oleh adanya anak lelaki, ayah, dan kakek menurut pendapat yang shahih. Sodara-sodara seayah gugur oleh ahli waris yang di gugurkan oleh sodara-sodara sekandung. Anak-anak sodara sekandung di gugurkan oleh ayah, kakek seayah, dan para sodara lelaki. Paman gugur oleh sodara lelaki dan anak-anak lelaki mereka. Anak-anak ibu(sodara-sodara seibu) gugur oleh anak dan cucu secara mutlak, juga ushul lelaki (ayah,kakek dan seterusnya hingga keatas). Cucu perempuan gugur oleh dua anak perempuan lebih yang sekandung. Setiap cucu perempuan dan seterusnya hingga kebawah gugur oleh dua cucu perempuan lebih yang tingkatannya lebih atas selama tidak bersama cucu-cucu perempuan atau bersama ahli waris yang menyertakan mereka untuk mendapatkan ashabah, seperti cucu lelaki yang setingkat dengan mereka, atau yang lebih bawa tingkatannya. Saudara-saudara perempuan seayah gugur oleh doa saudara perempuan kandung lebih, selama mereka tidak di sertai saudara-saudara lelaki yang menyertakan mereka mendapat ashabah.

       Demikian penjelasan singkat terkait warisan berkenaan dengan syarah hadis diatas. Ulama membahas masalah ini secara panjang lebar di dalam karya-karya tulis tersendiri.[37]

H.  Khulâshaḧ wa Natîjaḧ
Dari paparan sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Terdapat 24 hadis yang menjelaskan tentang anjuran memberikan hak waris kepada yang berhak, dan apabila ada sisa maka yang di utamakan dari laki-laki.
2.      Dari sisi rawinya, seluruh hadis tersebut termasuk kategori hadis ahâd masyhur. Dari sisi matannya, semua hadis tersebut termasuk marfû’ hukmiy. Sedang dari kebersambungan sanadnya, semua hadis tersebut termasuk hadis muttasil. Alhasil, semua hadis tersebut adalah shahîh.





[1]Hadits masyhur diriwayatkan 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqaḧ (tingkatan) dan belum mencapai mutawatir. Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Utsman bin Muhammad al-Sakhawiy, al-Tawdhih al-Abhar li Tadzkirah Ibn al-Mulaqqin fi ‘Ilm al-Atsar, Pen-tahqîq: ‘Abdullah bin Muhammad ‘Abd al-Rahim, (t.tp. Maktabah Adhwa` al-Salaf, 1998), h. 48
[2]Secara lahiriyah matan hadis ini memang berasal (diucapkan) dari sahabat (mawqûf). Tetapi pada dasarnya ia menempati posisi hadis marfû’. Hadis yang termasuk kategori ini di antaranya yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu (seperti  awal penciptaan), peristiwa masa depan (seperti hari kiamat), khabar tentang perbuatan yang dijamin pahala atau dosa secara spesifik, perbuatan sahabat yang tidak ada peluang ijtihad (seperti shalat kusuf yang dilakukan Ali, yang tiap rakaatnya lebih panjang dari dua rakaat shalat biasa), perkatan atau  perbuatan yang dilakukan di masa Nabi tanpa kritikan. Termasuk di dalamnya adalah perkataan sahabat yang berisi perintah atau larangan dari Nabi. Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (Iskandaria: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1415 H), h. 99-100
[3] Hadits Mauquf adalah Hadits yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat, baik yang disandarkan itu berupa perkataan, perbuatan, dan baik sanadnya tersambung atau terputus. Dan lihat juga dalam kitab karangan, Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadits, (Bandung : Alma’arif, 1974), h. 225
[4]Maqbul Ma’mul Bihi adalah hadits yang diterima periwayatannya dan dapat diamalkan oleh siapapunsehingga hadits ini tidak tertolak.
[5] Orang-orang yang mendapatkan hak waris dari laki-laki ada lima belas orang diantaranya adalah Anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki terus ke bawah, bapak dan kakek ke atas, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki se bapak, saudara laki-laki se ibu, anak dari saudara laki-laki kandung, anak dari saudara laki-laki se bapak ke bawah, paman kandung, paman se bapak, anak dari paman sekandung, anak dari paman se bapak ke bawah, suami, dan budak laki-laki. Lihat kitab karya Muhammad bin Hafidz, Takmilah Zubdah al-Hadits Fi Fiqh al-Mawarits, (‘Adn : Dar al-Tafsir, 2005), h. 11
[6] Orang-orang yang mendapatkan hak waris dari perempuan ada sepuluh orang diantaranya adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki ke bawah, ibu, nenek dari ibu, nenek dari bapak ke atas, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan se bapak, saudara perempuan se ibu, istri, budak perempuan.Lihat kitab karya Muhammad bin Hafidz, Takmilah Zubdah al-Hadits Fi Fiqh al-Mawarits, (‘Adn : Dar al-Tafsir, 2005), h. 11
[7]Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya (yang meninggal), dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurutbagian yang telah ditetapkan.
[8] Dan apabila sewaktu pembagian (warisan) itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
[9]Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.
[10]Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
[11] Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
[13]Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka Allah akan memasukkannya ke dalam jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan itulah kemenangan yang besar.
[14]Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar hukum-hukum-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan baginya adzab yang hina.
[15]Lihat `Abdurrahmân bin Hasan al-Isnawiy, Nihâyah al-Sawl Syarh Minhâj al-Wushûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1420), h. 174, dan Badruddîn Muhammad al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhîth fiy al-Ushûl al-Fiqh, (t.t: Dâr al-Kitabiy, 1414), juz. 3, hal. 366.
[16] Imam Nawawi, Syarah Shahi Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah, 2013), j. 7, h. 883.
[17]Fardlu ‘Ain adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh masing-masing mukallaf. Tidak cukup seorang mukallaf menjadi wakil yang lain, seperti shalat, zakat, haji, menepati janji, menjauhi minum khamr dan judi dan masih banyak lagi. Lihat dalam kitab karya Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Darul Qalam, 1977), h. 149
[18]Fardlu Kifayah adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan kelompok mukallaf, tidak boleh oleh masing-masing mukallaf, artinya jika sebagian mukallaf sudah melakukan maka kewajiban itu sudah dilakukan dan gugurlah dosa bagi mukallaf yang lain. Tapi apabila tidak ada yang melakukan maka semua mukallaf berdosa sebab mengabaikan kewajiban tersebut, seperti Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Shalat Jenazah, membangun rumah sakit, menyelamatkan orang yang tenggelam, memadamkan kebakaran dan lain sebagainya. Lihat dalam kitab karya Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Darul Qalam, 1977), h. 149
[19] Dari Abi Hurairah r.a berkata, Nabi Muhammad Saw bersabda : “Pelajarilah oleh kaliah Faraidh (Ilmu Waris) dan ajarkan kepada manusia, karena ia sebagian dari agama dan dia dilupakan dan dia ilmu pertama yang akan dicabut oleh Allah Swt dari umatnyaku (Muhammad Saw) HR. Ibn Majah dan Hakim dalam kitab Mustadrak.
[20] Muhammad bin Hafidz, Takmilah Zubdah al-Hadits Fi Fiqh al-Mawarits, (‘Adn : Dar al-Tafsir, 2005), h. 10
[21] Muhammad bin Hafidz, Takmilah Zubdah al-Hadits Fi Fiqh al-Mawarits, h. 10-11
[22] Dari Usamah bin Zaid ia berkata, Rasulullah Saw bersabda : “ Tidak mewarisi seorang muslim kepada orang kafir dan juga seorang kafir tidak mewarisi kepada orang muslim.” HR. Bukhari. Lihat juga dalam kitab karya Abu Bakar Ahmad bin Husein bin ‘Ali al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra wa fi Zailihi al-Jauhar al-Naqi, (Hind : Majelis Dairah al-Ma’arif, 1344 H), Vol. 6, h. 217
[23]Ashabul Furudh al-Muqaddarah adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh Allah Swt didalam al-Qur’an yaitu ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3.
[24]‘Asabah adalah bagian-bagian yang belum ditentukan didalam al-Qur’an dan Hadits.
[25] Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin adl-Dlahhak, Sunan at-Tirmidzi (Kairo :Daar el-Hadis,2010)j.4,h.418
[26]Ashabah adalah semua ahli waris yang mendapatkan semua harta pusaka apabila sendirian dan mengambil sisa harta pusaka setelah ashabul furudh mengambil bagiannya masing-masing.
[27] Imam Nawawi, Syarah Shahi Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah, 2013), j. 7, h. 884.
[28]Ashabah bi nafsih yaitu golongan laki-laki yang dipertalikan dengan si mayit tanpa diselingi oleh perempuan.
[29]Ashabah bi ghairihi yaitu orang-orang yang ditarik untuk bersama-sama memperoleh sisa harta pusaka oleh saudaranya yang laki-laki.
[30]Ashabah ma’a ghairihi yaitu khusus untuk saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah yang mewarisi harta pusaka bersama-sama dengan anak-anak perempuan atau cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki.
[31] Imam Nawawi, Syarah Shahi Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah, 2013), j. 7, h. 885-886.
[32] Abdullah bin Abdurrahman bin Shaleh, Fikih Hadits Bukhari Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), cet. 1, h. 884.
[33]Ashabul Furudh (Zawil Furudh) adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syariat Islam (al-Qur’an dan Hadits) berkenaan dengan orang yang mendapatkan harta warisan.
[34] Abdullah bin Abdurrahman bin Shaleh, Fikih Hadits Bukhari Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), cet. 1, h. 855-858.
[35]Hirman adalah hijab yang menyebabkan ahli waris kehilangan haknya atas harta warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat atau yang lebih berhak.
[36]Nuqshan adalah hijab yang dapat mengurangi harta bagian dari harta warisan bagi ahli waris tertentu karena bersama-sama dengan ahli waris lain tertentu pula.
[37] Abdullah bin Abdurrahman bin Shaleh, Fikih Hadits Bukhari Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), cet. 1, h. 859.

No comments:

Post a Comment