Metode kontemporer
memahami hadis Nabi : Yusuf Al Qardhawi
1. Biografi
Yusuf Al-Qardhawi adalah pemikir kontemporer yang
lahir di Mesir pada tahun 1926 di desa Saft al-Turab. Ketika usianya belum
genap sepuh tahun, ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an. Sama dengan
Al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi juga mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun. Banyak
karya yang dihasilkan dari Al-Qardhawi yang dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia.[1]
2.
Sikap
Yusuf Qardhawi Terhadap Hadis
Al-Qardhawi memberikan penjelasan yang luas
tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode
sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurutnya, sunnah nabi mempunyai 3
karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj
mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga
karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh.
Al-Qardhawi menetapkan tiga hal yang harus dihindari
dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu penyimpangan kaum ekstrim, manipulasi
orang-orang sesat Intihal al-Mubthilin (pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai
macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah), dan penafsiran
orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap
sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak
berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi
kelompok yang bodoh.[2]
3.
Metode
Pemahaman Hadis Yusuf al-Qardhawi
a.
Meneliti
kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan pakar hadis yang dapat
di percaya, baik sanad dan matan.
b.
Memahami
sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis.
c. Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan
dengan nash-nash yang lebih kuat.[3]
4.
Delapan Langkah Prinsip Dasar Pemahaman Hadis al-Qardhawi
a.
Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an. Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan
benar harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang
signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin
kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang
berisi keterangan-keterangan yang jelas dan pasti.
Pertentangan tersebut bisa saja terjadi karena hadis
tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang kurang tepat, atau yang dianggap
bertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Dengan demikian, menurut
Al-Qardhawi, setiap muslim diharuskan untuk mentawaqqufkan hadis yang terkesan
bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, selama tidak ada penafsiran (ta’wil) yang
dapat diterima.[4]
Dalam hal ini, Al-Qardhawi mengemukakan contoh hadis
tentang nisab tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya. Yang dijadikan dasar
para ulama fikih untuk membatasi jenis atau macam tanaman tertentu (bukan
berbentuk sayuran) yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hadis itu bertentangan
dengan al-Qur’an Q.S. Al-An’am (6): 41. Ia tidak menyetujui pemahaman yang
menganggap bahwa tidak diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak
sehingga tidak dapat di simpan di bait
al-mal terlalu lama.[5]
b.
Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam
memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain
yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema
kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam,
mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad,
yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk
menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.[6] Dalam
hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum pertanian.
Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa alat
pertanian masuk rumah.
Dari abu ‘Umamah al-Bahili ketika melihat alat untuk
membajak, ia berkata; saya mendengar Nabi saw bersabda: لايدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذلّ
(‘Tidak
akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan
kehinaan ke dalamnya)
Setelah itu, ia mengemukakan pula hadis-hadis yang
menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم يغرس غرسا
او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
(Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya
dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.).[7]
c.
Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang
Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash
syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi
adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusi
yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau
pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis
yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.[8]
Dalam hal ini, Al-Qardhawi memberikan sebuah contoh
hadis tentang larangan ziarah kubur bagi perempuan. “Dari abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw melaknat kaum perempuan yang sering menziarahi kuburan.” Hadis
ini sahih. Diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas dan Hasan ibn Sabit dengan lafaz
“nabi melaknat para perempuan peziarah kuburan”.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya
berlawanan dengan hadis hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya,
bahwa kaum perempuan diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti laki-laki.
Diantara riwayatnya adalah كنت نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا
القبور فإنها تذكر الموت
(Aku
pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahlah” atau “ziarahilah
kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut).[9]
d. Memahami Hadis Sesuai dengan
Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat
memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau
terkait dengan suatu illat tertentu yang dinyatakan dalam hadis, atau
dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi
dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer.
Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa
yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan abadi. Dengan
demikian, menurutnya, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi,
maka hukum yang berkenaan dengan suatu nas akan gugur dengan sendirinya. Hal
itu sesuai dengan kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal
ada maupun tidak adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung
dan bukan pengertian harfiyahnya.[10]
Misalnya dalam hadits tentang larangan wanita
bepergian kecuali dengan mahramnya. Alasannya adalah kekhawatiran akan
keselamatan apabila bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram
karena menggunakan kendaraan unta, bighal dan keledai untuk mengarungi padang
pasir yang luas. Tetapi, melihat kondisi sekarang dengan pesawat terbang, bus yang
mengangkut orang banyak, tidak ada kekhawatiran keselamatan wanita yang berpergian
sendiri, tidak ada salahnya ditinjau dalam syariat. [11]
e.
Membedakan antara Sarana yang Berubah dan Tujuan
yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis nabi harus
memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis
tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu
tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis
dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis
menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak
bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya
perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.[12]
Misalnya hadits tentang siwak. Menurut Al-Qardhawi, peyebutan siwak atau kayu
arak oleh Nabi tidak mengikat kita agar terus menggunakannya. Tujuan hadits ini
agar terjaganya kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut sehingga mendapat
keridhaan Allah. Alat yang digunakan tergantung kondisi suatu tempat dan waktu
tertentu. Di zaman sekarang, pemakaian sikat dan pasta gigi sama nilainya
dengan pemakaian siwa di masa Nabi.[13]
f. Membedakan antara yang
Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas
atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah.
Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang
sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli,
isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak
bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang
menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.[14]
Misalnya hadits tentang penyakit demam. Hadist ini dijadikan senjata bagi
misionaris Nasrani untuk menyerang ideologi Islam sebagai mempercayai khufarat
dan bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Ia berkata: penyakit demam tidak
bersala dari panasnya Jahannam, tetapi dari panasnya bumi serta kotoran yang
mengakibatkan bakteri. Al-Qardhawi menyatakan bahwa hadits ini harus dipahami
secara majaz. Ketika udara panas yang memuncak, sering dikaitkan ada jendela
Jahannam yang terbuka.[15]
g.
Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan
dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentang makhluk-mahluk yang
tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan
sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan
Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah
tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya.[16]
h.
Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk
dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi penting sekali
untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan
hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dalam suatu
masyarakat ke masyarakat lainnya.[17]
[1] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 40.
[2] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 136-137
[3] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 137.
[4] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 138.
[5] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 139-140.
[6] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 145-146.
[7] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 148-150.
[8] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer
Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 153.
[9] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 155-157.
[10] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 160-161.
[11] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 164.
[12] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 168.
[13] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 171
[14] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer
Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 175-176
[15] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 181.
[16] Ibid., Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 184-186
[17] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer
Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 187-188.
No comments:
Post a Comment