Friday, 11 November 2016

Yusuf al-Qardhawi dan metode pemahaman hadis

Metode kontemporer memahami hadis Nabi :  Yusuf Al Qardhawi

1.      Biografi
Yusuf Al-Qardhawi adalah pemikir kontemporer yang lahir di Mesir pada tahun 1926 di desa Saft al-Turab. Ketika usianya belum genap sepuh tahun, ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an. Sama dengan Al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi juga mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun. Banyak karya yang dihasilkan dari Al-Qardhawi yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.[1]
2.      Sikap Yusuf Qardhawi Terhadap Hadis
Al-Qardhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurutnya, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh.
Al-Qardhawi menetapkan tiga hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu penyimpangan kaum ekstrim, manipulasi orang-orang sesat Intihal al-Mubthilin (pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah), dan penafsiran orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.[2]
3.      Metode Pemahaman Hadis Yusuf al-Qardhawi
a.       Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad dan matan.
b.      Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis.
c.       Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.[3]
4.      Delapan Langkah Prinsip Dasar Pemahaman Hadis al-Qardhawi
a.       Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an. Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan benar harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang berisi keterangan-keterangan  yang jelas dan pasti.
Pertentangan tersebut bisa saja terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang kurang tepat, atau yang dianggap bertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, setiap muslim diharuskan untuk mentawaqqufkan hadis yang terkesan bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, selama tidak ada penafsiran (ta’wil) yang dapat diterima.[4]
Dalam hal ini, Al-Qardhawi mengemukakan contoh hadis tentang nisab tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya. Yang dijadikan dasar para ulama fikih untuk membatasi jenis atau macam tanaman tertentu (bukan berbentuk sayuran) yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an Q.S. Al-An’am (6): 41. Ia tidak menyetujui pemahaman yang menganggap bahwa tidak diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak sehingga tidak dapat di simpan di bait al-mal terlalu lama.[5]
b.      Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.[6] Dalam hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum pertanian. Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa alat pertanian masuk rumah.
Dari abu ‘Umamah al-Bahili ketika melihat alat untuk membajak, ia berkata; saya mendengar Nabi saw bersabda:  لايدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذلّ
(‘Tidak akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya)
Setelah itu, ia mengemukakan pula hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
(Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.).[7]
c.       Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.[8]
Dalam hal ini, Al-Qardhawi memberikan sebuah contoh hadis tentang larangan ziarah kubur bagi perempuan. “Dari abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw melaknat kaum perempuan yang sering menziarahi kuburan.” Hadis ini sahih. Diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas dan Hasan ibn Sabit dengan lafaz “nabi melaknat para perempuan peziarah kuburan”.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum perempuan diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti laki-laki. Diantara  riwayatnya adalah    كنت نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
(Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahlah” atau “ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut).[9]
d.      Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau terkait dengan suatu illat tertentu  yang dinyatakan dalam hadis, atau dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa yang bersifat khusus dan  yang umum, yang sementara dan abadi.  Dengan demikian, menurutnya, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nas akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung dan bukan pengertian harfiyahnya.[10]
Misalnya dalam hadits tentang larangan wanita bepergian kecuali dengan mahramnya. Alasannya adalah kekhawatiran akan keselamatan apabila bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram karena menggunakan kendaraan unta, bighal dan keledai untuk mengarungi padang pasir yang luas. Tetapi, melihat kondisi sekarang dengan pesawat terbang, bus yang mengangkut orang banyak, tidak ada kekhawatiran keselamatan wanita yang berpergian sendiri, tidak ada salahnya ditinjau dalam syariat. [11]
e.       Membedakan antara Sarana yang Berubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis nabi harus memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.[12] Misalnya hadits tentang siwak. Menurut Al-Qardhawi, peyebutan siwak atau kayu arak oleh Nabi tidak mengikat kita agar terus menggunakannya. Tujuan hadits ini agar terjaganya kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut sehingga mendapat keridhaan Allah. Alat yang digunakan tergantung kondisi suatu tempat dan waktu tertentu. Di zaman sekarang, pemakaian sikat dan pasta gigi sama nilainya dengan pemakaian siwa di masa Nabi.[13]
f.  Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.[14] Misalnya hadits tentang penyakit demam. Hadist ini dijadikan senjata bagi misionaris Nasrani untuk menyerang ideologi Islam sebagai mempercayai khufarat dan bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Ia berkata: penyakit demam tidak bersala dari panasnya Jahannam, tetapi dari panasnya bumi serta kotoran yang mengakibatkan bakteri. Al-Qardhawi menyatakan bahwa hadits ini harus dipahami secara majaz. Ketika udara panas yang memuncak, sering dikaitkan ada jendela Jahannam yang terbuka.[15]
g.      Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentang makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya.[16]
h.      Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dalam suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.[17]



[1] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 40.
[2] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 136-137
[3] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 137.
[4] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 138.
[5] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 139-140.
[6] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 145-146.
[7] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 148-150.
[8] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 153.
[9] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 155-157.
[10] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 160-161.
[11] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 164.
[12] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 168.
[13] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 171
[14] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 175-176
[15] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 181.
[16] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 184-186
[17] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 187-188.

No comments:

Post a Comment