1.
ISTIHSAN
A.
Pengertian Istihsan
Istihsan,
secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik”.Sedangkan menurut istilah ulama Ushul Fiqh istihsan adalah berpalingnya
sang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy kepada tuntutan qiyas khafy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya mujtahid
dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan hukum juz’iy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.Yang dimaksud dengan qiyas
jaliy ialah qiyas yang jelas ‘illat nya, tetapi pengaruhnya
dalam mencapai tujuan syari’at lemah; ia sering diungkapkan dengan nama qiyas.
Sedangkan qiyas khafiy ialah qiyas yang samar ‘illat nya,
akan tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syari’at kuat. Adapun hukum
kully ialah kaidah hukum yang bersifat universal dan berdaya laku umum,
sedangkan hukum juz’iy ialah kaidah hukum yang bersifat particular dan
berdaya laku spesifik[1].
Adapun
definisi lain menyebutkan istilah istihsan dibagi menjadi 3 :
1.
Secara adil
menundukkan suatu masalah hukum dengan cara meneliti dalil-dalil khusus dalam
kitab dan Sunnah atau mengembalikan hukum dari dalil khos kepada dalil yang
lebih kuat [2]
.
2.
Apa-apa yang dianggap baik oleh sang mujtahid dengan pertimbangan
akalnya.
3.
Dalil dari sang
mujtahid tanpa ta’bir yang jelas.
Nah, dari definisi pertama adalah
definisi yang benar yang dipakai oleh madzhab
Imam Ahmad (W.855 M)[3]dan
Imam Malik (W.795) . Imam Qurthubi (W. 671 H) berkata “Sesungguhnya istihsan yang diakui
oleh Imam Malik yaitu mengambil perkataan yang kuat dalilnya”. Definisi kedua
merupakan definisi yang batil dan di ingkari oleh jumhur ulama karena berasal
dari syahwat dan hawa nafsu[4]
. Imam Syafi’I (W. 820 M) mengenai hal
ini berkata " مَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ “ . Imam
Asyaukani (W. 1834 M) menukil perkataan As-Sam’ani :“ Jikalau yang
dimaksud istihsan adalah perkataan sesuatu yang dianggap baik tanpa dalil maka
batil, tak ada seorang pun berkata demikian “[5]. Ibnu
Hazm (W. 1064 M) berkata “ Al-Haq adalah haq walaupun seluruh manusia
menjelekkannya dan batil adalah batil walaupun seluruh manusia memandangnya
baik (istihsan). Jelas istihsan merupakan hawa nafsu sedang mengikuti hawa
nafsu pasti sesat”[6].
Istihsan terdapat dalam Ushul Fiqh Malikiyah
dan Hanafiah , artinya mazhab Imam Malik dan Imam Hanafi (W. 767 M)
ialah yang melakukan istinbath hukum dengan istihsan, sedangkan Imam Syafi’i
(W. 820 M) merupakan ulama yang sangat tegas dalam mengkritik istihsan
tersebut. Para ulama Maliki merupakan golongan ulama yang sering
mengaplikasikan dalil istihsan sebagai dalil hukum. Ada
sejumlah definisi istihsandikemukakan oleh mereka, sebagaimana
dipaparkan berikut ini.
Menurut Wahbah az-Zuhaili
mengemukakan dua definisi yaitu :
1. Memakai qiyas hkafiy dan meninggalkan qiyas
jaliy karena ada petunjuk untuk itu
2. Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum
karena ada petunjuk untuk hal terebsut.
Menurut Ibnu Al Arabi (W. 1240 M) , istihsanadalah
meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsahkarena
berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Ia pun menambahkan bahwa istihsan
adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat; berpegang
kepada dalil umum apabila dalil itu bisa terus berlaku dan berpegang kepada
qiyas apabila qiyas itu berlaku umum. [7]
Imam Malik
berpendapat bahwa dalil umum bisa di takhsisdengan dalil apapun, baik
dengan dalil yang zahir maupun dengan al-ma’na. Imam Malik
melakukan istihsan dengan cara men-takhsis dalil umum dengan al
mashlahah. Beliau berpandangan boleh men-takhsis dan menggugurkan ‘illat
dengan al mashlahah.[8]
Menurut Ibnu Rusyd (W. 1198 M), istihsan berarti meninggalkan qiyas dalam
menetapkan suatu hukum karena qiyas itu menimbulkan ketentuan hukum yang
terkesan berlebihan/tidak wajar. Ibnu Rusyd berpandangan, pada beberapa kasus
penetapan hukum tidak dilakukan dengan qiyas, tetapi dialihkan darinya
karena ada pengertian yang mempengaruhi dalam penetapan hukum yang mengkhususkan
kasus tersebut.
B. Macam-Macam Istihsan
Dari definisi yang dikemukakan di
atas, terlihat bahwa Ibnu Al Arabi memberikan pengertian yang lebih luas
terhadap istihsan, berpegang kepada dalil apapun yang bertentangan
dengan ke umuman nash atau qiyas. Sesuai dengan pengertian itu , menurut para ulama Malikiyah membagi istihsan
menjadi 4 macam, yaitu :
a. Istihsan dengan ‘Urf
Imam Maliki mengatakan bahwa mazhabnya
meninggalkan dalil umum karena ada ‘urf. Contoh kasusnya, yakni apabila si B
bersumpah tidak akan memasuki rumah maka menurut qiyas lughowi , dengan
memasuki setiap tempat yang bernama rumah, masjid, misalnya, si B berarti telah
melanggar sumpahnya. Akan tetapi, berdasarkan istihsan, dengan men-takhsis
keumuman lafal dengan ‘urf, masuk masjid tidaklah melanggar sumpah
tersebut karena masjid itu menurut ‘urf tidaklah dinamakan rumah.[9]
b. Istihsan dengan Al Mashlahah
Adapun meninggalkan dalil umum dengan dasar al
mashlahah, dicontohkan dengan kasus beban penjaminan/pertanggungan buruh
yang berkongsi. Berdasarkan kaidah al-asl, buruh berkongsi merupakan orang yang
terpercaya; dan orang yang demikian tidak perlu dibebani
penjaminan/pertanggungan kecuali jika telah nampak jelas perbuatan khianatnya.
Akan tetapi berdasarkan istihsan, Imam Maliki berpandangan bahwa si
buruh tersebut tetap dibebani penjaminan/pertanggungan dan beliau meninggalkan
kaidah al-asl di atas pada masa beliau hidup, dikalangan buruh nyaris
lenyap rasa tanggung jawab dan maraknya kelakuan khianat; dan inilah sisi al-mashlahah
yang dimaksud. Jadi, al-mashlahah ini dijadikan dasar dari pengecualian
kaidah al-asl.[10]
C. Istihsan dengan Ijma’
Adapun meninggalkan kaidah umum atau dalil
umum dengan dasar ijma’, dicontohkan dengan kasus kewajiban orang yang
memotong ekor keledai tunggangan untuk membayar seluruh harga keledai itu. Hal
ini dianggap pengecualian dari kaidah umum karena kaidah umum atau al-asl
menetapkan kewajiban seseorang membayar kerugian sebesar harga yang berkurang
dari benda milik orang lain yang rusak yang disebabkan perbuatannya. Kalau si B
memotong ekor keledai tunggangan, dia wajib membayar kerugian sebesar harga
yang berkurang dari keledai itu sebagai akibat perbuatannya; inilah kaidah umum
tersebut. Akan tetapi, ijma’menyatakan keledai tunggangan yang digunakan
untuk kendaraan bila dicacatkan atau dirusak sebagian tubuhnya, harus diganti
secara keseluruhan. Imam Maliki menjadikan ijma’ ini sebagai sandaran
bagi aplikasi istihsan terhadap kasus tersebut, yakni si pemotong ekor harus
membayar seluruh harga keledai itu. [11]
D. Istihsan dengan Kaidah Raf’al-Harj wa
al-Masyaqqah
Ini merupakan kaidah yang bersifat qot’iy.
Contohnya, kasus pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah harga sewa,
lama masa pemakaian, dan jumlah air yang digunakan. Menurut kaidah umum kasus
demikian dilarang sebab mengandung garar. Berdasarkan istihsan, kasus
demikian dibolehkan dengan dasar pertimbangan kaidah raf’ al-harj wa
al-masyaqqah dikarenakan pemakaian kamar mandi umum seperti demikian sudah
menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dihindari (li al-hajah). [12]
Adapun Mazhab Hanafiyah membuat
klasifikasi istihsan sebagai berikut:
a. Istihsan dengan Nash
Istihsan dengan nash
adalah berpalingnya mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum
kepada hukum yang dikehendaki oleh nash yang spesifik. Pada dasarnya,
kaidah umum sudah menaungi masalah-masalah semakna yang dicakupnya tu , akan
tetapi pada faktanya terdapat nash spesifik yang menetapkan hukum masalah
tertentu dari masalah-masalah semakna yang dicakup oleh kaidah umum itu, yang
berbeda dengan hukum yang ditarik dari kaidah umum tersebut. Contoh , masalah
minum di siang hari pada saat bulan puasa. Berdasarkan qiyas/atau kaidah
umum, ia telah membatalkan puasanya karena telah merusak salah sayu rukun
puasa, yakni menahan diri (al imsak). Akan tetapi , pada kasus minum di
siang hari karena lupa pada bulan puasa, dilakukan pemalingan dari tuntutan
kaidah umum tersebut pada tuntutan nash spesifik, [13]
yakni hadis Abu Hurairah:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ
صَوْمَهُ فَإَنَّمَا أَطْمَعَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Orang
berpuasa yang makan atau minum karena lupa maka hendaklah ia sempurnakan
puasanya; karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.“ (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Apabila berdasarkan qiyas atau kaidah
umum , tentu puasa tersebut hukumnya batal. Begitulah keadaannya pada setiap nash
spesifik yang ada, yang berlawanan dengan kaidah-kaidah pokok atau kaidah
umum yang dihasilkan dengan cara istinbat. Maka, ulama Hanafiyah
berpegang pada nash yang spesifik itu dan cara yang demikian mereka
namakan istihsan bin nash. [14]
b. Istihsan dengan Ijma’
Istihsan dengan ijma’ berarti
meninggalkan qiyas, baik berupa qiyas pokok (ushuli)
maupun kaidah-kaidah umum, dalam hal adanya ijma’ yang menetapkan hukum
yang berbeda dengan hukum yang di tetapkan oleh qiyas tersebut.
Contohnya , masalah akad pemakaian kamar mandi umum tanpa kejelasan kadar air
yang digunakan dan lamanya masa pemakaian. Berdasarkan dalil qiyas, akad
ini batal karena kan akad tersebut termasuk akad sewa-menyewa yang didalamnya
diharuskan ada kejelasan kadar objek dan lamanya masa penyewaan, sedangkan di
dalam akad pemakaian kamar mandi umum tersebut tidak ada kejelasan yang
dimaksud. Namun, berdasarkan dalil istihsan, akad pemakaian kamar mandi
umum tersebut dibolehkan karena hal ini sudah ada ijma’ dan menjadi ‘urf
bagi kaum muslim. [15]
c.
Istihsan dengan
Qiyas Khafiy
Adapun istihsan dengan qiyas khafiy ini adalah suatu
macam istihsan yang masalahnya dapat diselesaikan dengan dua macam dalil
qiyas yang saling berlawanan, yaitu qiyas jaliy dan qiyas khafiy,
namun mujtahid lebih mengutamakan dalil qiyas khafiy untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Jadi, substansinya berupa qiyas khafiy maka dari
itu cara ber istinbath seperti
ini dinamakan istihsan qiyasiy. [16]
Berkenaan dengan ini, para ulama Hanafiyah memberikan contoh kasus
tidak najisnya air sisa minuman burung buas seperti elang. Menurut logika qiyas
jaliy, air tersebut najis hukumnya, air sisa minuman elang tersebut di-qiyas
kepada air sisa minuman bintang buas yang lain dan ‘illah-nya itu
keharaman daging hewan yang menyatu dengan kenajisannya. Ketika minum air,
binatang buas menggunakan lidahnya yang mengandung air liur, yang kemudian air
liur ini bercampur dengan air sisa minumannya sehingga jadilah air ini najis
hukumnya dan sekilas hal ini terjadi pula pada kasus burung buas. Nah akan
tetapi , apabila diperhatikan dengan seksama dan teliti, terbukti bahwa burung
buas minum air tidak dengan lidahnya, tetapi dengan paruhnya yang tidak
mengandung air liur sehingga air sisa minumannya itu tidak menjadi najis. Lebih
dari itu ‘illah berupa keharaman pada daging hewan yang menyatu dengan
najisnya tidak terdapat pada burung buas. Sebabnya , meskipun najis , daging
burung tersebut tidak bersentuhan dengan air, mengingat ia meminum dengan
paruhnya dan bukan lidahnya. Dengan demikian, harus dicari qiyas lain
untuk masalah ini. Maka, air sisa minuman burung buas ini di-qiyas
kepada air sisa minuman binatang yang halal, dengan ‘illah berupa
ketiadaan unsur najis pada dagingnya sehingga air itu tidak najis hukumnya. [17]
d.
Istihsan dengan
Daruurah
Adalah sang mujtahid berpaling dari tuntutan qiyas kepada
tuntutan daruurah yang menghendaki hukum lain. Contohnya, masalah
membersihkan sumur dari najis, yakni apabila suatu najis jatuh ke dalam sumur
air maka air sumur itu tidak mungkin dibersihkan/disucikan dari najis karena
setiap air yang dituangkan ke dalam sumur –untuk mensucikannya- akan menjadi
najis lantaran bercampur dengan najis yang ada di dalam sumur itu. Atas dadar
ini, sebagian ulama berpendapat bahwa air sumur tersebut selamanya berstatus
mutanajjis.Pendapat demikian tentu mendatangkan kesukaran dan kendala bagi
masyarakat untuk memenuhi hajat hidupnya atas air, baik untuk urusan kebutuhan
pokok keduniaan maupun peribadatan. Atas dasar pertimbangan ini, sebagian ulama
(ulama Hanafiyah) menetapkan bahwa air sumur tersebut dapat suci/bersih kembali
dengan cara menuangkan beberapa timba air ke dalamnya. Dasar pertimbangan
inilah yang dinamakan istihsan bil daarurah.[18]
E. Kedudukan Istihsan
Para ulama Malikiyah dan Hanafiyah
berpandangan bahwa istihsan dapat menjadi dalil syara’ (hujjah syar’iyyah).
Untuk mendukung pandangan ini mereka mengemukakan argumen-argumen Al-Qur’an,
hadis, dan ijma’ seperti yang akan di uraikan berikut ini.[19]
Ø
Q.S. Az Zumar
ayat 18
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ
“ Yaitu ,
(merekalah) orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya “
Ø Q.S. Al Baqarah ayat 185
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“ Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran kepada kalian
“
Ø Hadits
مَا رَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللهَ حَسَنٌ
“ Apa yang dipandang baik oleh kaum
muslim maka hal itu juga baik di sisi Allah “ (H.R. Ahmad) .
Ø Ijma’
Adapun ijma’ yang mereka
jadikan argumen ialah ijma’ tentang kebolehan akad pemakaian kamar mandi
umum tanpa ada kejelasan kadar air yang digunakan dan lamanya masa pemakaian.
F.
Implikasi dari Perbedaan Pandangan
Perbedaan
pandangan/pendapat tentang kedudukan istihsan mengimplikasikan perbedaan
pendapat hukum atas sejumlah kasus, yang sebagiannya dikemukakan berikut ini :
a) Perihal kesejajaran
posisi laki-laki dan perempuan dalam satu shaf shalat[20]
b) Perihal menyedekahkan
seluruh harta tanpa meniatkan zakat[21]
c) Mempersyaratkan hak
khiyar bagi orang ketiga yang tidak ikut ber akad jual beli[22]
d) Akad jual beli dengan
mempersyaratkan pembayaran harga secara tempo[23]
e) Perihal penerima hibah
menguasai barang hibah tanpa seizin pemberi hibah[24]
2. MASHLAHAH
A.
Pengertian Mashlahah
Dalam Bahasa
arab, kata mashlahah selain merupakan bentuk mashdar juga merupakan isim
yang bentuk jama’ (plural)-nya adalah masaalih. Dalam kamus Lisaan
al-‘Arab disebutkan bahwa al-mashlahah,al-shalaah;wa
al-mashlahahwaahidat al-mashaalih ( al-mashlahah,al-shalah; dan mashlahah
artinya kebaikan dan ia merupakan bentuk tunggal dari kata masaalih. Makna al-shalah (kebaikan) merupakan
lawan kata dari kata al-fasad (kerusakan). Jadi, kata mashlahah
adalah bentuk tunggal dari kata mashalih; dan makna al-istishlah
ialah mencari mashlahat, memandang baik,mendapatkan kebaikan; ia
merupakan kebalikan dari kata al-istifad yang berarti memandang buruk/rusak,
mendapatkan keburukan/kerusakan. Dalam Kamusal-Misbah al-Munir
dinyatakan bahwa kata shaluha lawan kata dari fasada, dan bentuk
mashdar-nya ialah shalah dan mashlahah yang berarti khair wa
sawab (baik dan benar) dan bentuk jamaknya ialah mashaalih.[25]
Secara
terminologis, al mashlahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh
Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa pemeliharaan agama mereka,
pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan
mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta
kekayaan mereka. Adapun menurut Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa al mashlahah
adalah sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hokum unutk
merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun
yang menolaknya.[26]
B. Macam-macam Mashlahah
Nah
, dengan mengacu pada arti terminologisnya , para ulama ushul fiqh kemudian
membuat kategorisasi al-mashlahah. Dari segi tingkatannya ,al-mashlahah
dibagi menjadi 3 macam :
1. Al Daaruriyat, yakni al-mashlahah yang dikandung
oleh segala perbuatan dan tindakan yang tidak boleh tidak, demi tegaknya
kehidupan manusia di dunia; jika sekiranya ia tidak ada maka akan rusaklah dan
hancurlah kehidupan manusia secara keseluruhan, terutama ke-lima jenis
al-mashlahah diatas (memelihara agama, jiwa, akal budi, kehormatan
diri/keturunan, dan harta kekayaan).
2. Al Hajiyyat, yakni al-mashlahah yang dikandung
oleh segala perbuatan dan tindakan demi mendatangkan kelancaran, kemudahan, dan
kesuksesan bagi kehidupan manusia secara utuh-menyeluruh.
3. Al Tahsiiniyyat, yakni al-mashlahah yang dikandung
oleh segala perbuatan dan tindakan demi mendatangkan keindahan, kesantunan, dan
kemuliaan bagi kehidupan manusia secara utuh-menyeluruh.[27]
Adapun dari segi pengakuan al-Syari’atasnya
,al mashlahah di kategorisasikan oleh ulama ushul fiqh menjadi 3 macam
pula,[28]
yaitu :
1. Al mashlahah al mu’tabarah, yakni al mashahah yang diakui secara
eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh dalil/ nash yang
spesifik. Para ulama pun menyepakati jenis ini sebagai hujjah syar’iyyah
yang valid dan otentik. Manifestasi organik
dari jenis al-mashlahah ini adalah aplikasi qiyas. Sebagai
contoh, dalam Q.S. Al Baqarah ayat 222 terdapat norma bahwa istri yang sedang
menstruasi/haid tidak boleh alias haram disetubuhi oleh suaminya karena faktor
adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan. Bagaimanakah dengan istri yang sedang
nifas? Bolehkah? Nah , dalam masalah ini dapat diaplikasikan qiyas,
yakni qiyas kasus istri yang sedang nifas dengan kasus istri yang haid
tersebut; konsekuensinya maka si istri itu haram untuk disetubuhi oleh suaminya
karena adanya faktor bahaya penyakit yang ditimbulkan.
2. Al mashlahah
al mulghah, yakni al
mashlahah yang tidak diakui oleh syara’, bahkan ditolak dan dianggap
batil.Dianggap palsu karena kenyataanya bertentangan dengan ketentuan syari’at.
Contohnya, opini hukum yang menyatakan bahwa porsi hak
waris anatara laki-laki harus sama besar dan setara dengan hak waris perempuan,
dengan mengacu kepada dasar pikiran semangat kesetaraan gender. Akan tetapi,
kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syari’at dalam Q.S. An
Nisa ayat 11 yang mana menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki itu dua kali
pembagian anak perempuan.
3. Al mashlahah
al mursalah, yakni al
mashlahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak
pula ditolak dan dianggap batil oleh syara’, tetapi masih sejalan dengan
substantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Contohnya, kebijakan
hokum perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan demikian tidak
diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap
palsu oleh syara’. Akan tetapi, kebijakan demikian jutsru sejalan secarasubstantif dengan kaidah ukum yang universal,
yakni “tasarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah
manut-un bi al-mashlahah”. Nah, dengan demikian kebijakan
tersebutmempunyai landasan syar’iyyah,yakni mashlahah murshalah.
C. Kedudukan
Mashalah Mursalah
Kalangan
ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah merupakan
hujjah syar’iyyah dan dalil hukum islam. Ada beberapa argumen yang mereka
kemukakan.[29]
Diantaranya :
a. Adanya perintah Al Quran
pada Q.S. An Nisaa ayat 59 agar mengembalikan persoalan yang di perselisihkan
kepada Al Quran dan Sunnah, dengan wajh al istidlal bahwa perselisihan itu
terjadi karena ia merupakan masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya di dalam
Al Quran dan Sunnah. Untuk memecahkan masalah semacam itu, selain dapat
ditempuh lewat metode qiyas, tentu juga dapat ditempuh lewat metode lain
seperti ishtishlah. Sebab, tidak semua kasus semacam itu dapat diselesaikan
dengan metode qiyas. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidak langsung juga
memerintahkan mujtahid untuk mengembalikan persoalan baru yang dihadapi kepada
Al Quran dan Sunnah dengan mengacu kepada prinsip mashlahah yang selalu
ditegakkan oleh Al Quran dan Sunnah. Cara ini dapat ditempuh melalui metode
istishlah, yakni dengan menjadikan mashlahah mursalah sebagai dasar
pertimbangan penetapan hukum islam.
b. Tujuan pokok penetapan
hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
Kemashlahatan manusia akan selalu berubah dan bertamba sesuai dengan kemajuan
zaman. Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru yang hukumnya
belum ditegaskan oleh Al Qur’an dan Sunnah. Kalaulah pemecahan masalah baru itu
hanya ditempuh melalui metode qiyas maka akan terjadi banyak masalah baru yang
tidak dapat diselesaikan oleh hukum islam. Hal ini menjadi persoalan yang
sangat serius dan hukum islam akan ketinggalan zaman. Dan untuk mengatasi hal
tersebut, dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain diantaranya adalah
istishlah.
Kalangan
ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah berpandangan bahwa mashlahah mursalah
tidak bisa dijadikan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum islam. Ada juga beberapa
argumen yang dikemukakan oleh mereka. Diantaranya :[30]
a.
Mashlahah ada yang dibenarkan oleh syara’, ada juga yang
ditolak dan ada juga yang diperselisihkan atau tidak ditolak dan tidak pula
dibenarkan. Mashalahah mursalah termasuk kategori mashalahah yang
diperselishkan. Penyikapannya mashlahah mursalah sebagai hujjah berarti
mendasarkan penetapan hukum islam terhadap sesuatu yang meragukan dan menagmbil
satu diantara dua kemungkinan (keboleh
jadian) tanpa disertai dalil yang mendukung.
b.
Sikap menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah
menodai kesucian hukum islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalil
mashlahah. Dengan cara ini akan banyak penetapan hukum islam yang didasarkan
atas kepentingan hawa nafsu. Sebab, dunia terus bertambah maju dan seiring
dengan itu akan muncul hal-hal baru yang oleh nafsu dipandang mashlahah,
padahal menurut syara’membawa mafsadah. Tegasnya, penetapan hukum islam
berdasarkan mashlahah adalah penetapan hukum islam berdasarkan hawa nafsu dan
jelas sekali hal ini tidak di benarkan
G.
Implikasi dari Perbedaan Pandangan
Perbedaan
pandangan/pendapat tentang kedudukan mashlahah mursalah ini mengimplikasikan
perbedaan pendapat hukum atas sejumlah kasus , yang sebagaimana contoh berikut
ini :
a.
Pertanggungan objek jual beli sebelum dikuasai pembeli[31]
b.
Mengembalikan objek jual beli yang cacat[32]
c.
Pertanggungan karyawan/pekerja yang bersekutu[33]
d.
Pertanggungan objek gadai yang dikuasai penerima gadai[34]
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Fiqh istihsan
adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy kepada
tuntutan qiyas khafy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional
atau berpalingnya mujtahid dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan hukum
juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional,sedangkan
mashlahah adalah adalah
kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa
pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan
kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun
berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka.
2.
Menurut ulama Malikiyyah ishtihsan dibagi menjadi 3 macam
yaitu ishtihsan dengan ‘urf, ishtihsan dengan Al mashlahah, ishtihsan dengan
kaidah, dan ishtihsan dengan Raf’ al-Harj wa Al-Masyaqqah
3.
Secara terminoligis menurut ulama ushul fiqih mashlahat
terbagi menjadi 3 macam yaitu Al-Daaruriyah, Al-Hajiyyat, dan Al-Tahsiiniyyat.
4.
Menurut Ulama Malikiyyah dan Hanafiyah berpandangan bahwa
ishtihsan dan mashlahat bisa di jadikan hukum syara’ untuk menguatkan ada
beberapa argumen-argumen yang menguatkan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Khallaf, Abdul Wahab, 1994. Terjemahan dari kitab
ushul fiqih. Semarang:Dina utama
2.
Effendi Satria, 2005. Ushul Fiqih. ;kencana
prenada Media Grup
3.
Asmawi, 2011. Perbandingan ushul fiqih. : Amzah
4.
Khallaf, Abdul Wahab, 1970. Ilmu ushul Fiqih.
:Kuwait : Dar al Qalam
5.
Usman Iskandar,1994:. Istihsan dan pembaharuan hukum
islam Jakarta : raja grafindo persada.
6.
Dikutip dari syatibi, 1990. Al-Muwafaqat fi ushul
al-syari’ah. (Beirut: Dar Al Fikr)
7.
Hissan, Husain Ahmad, 1971. Nazariyat al-Mashlahah fi
al fiqh al islamiy, (Beriut: Dar al-nahdah Al-Arabiyyah).
8.
Al-Rabi’ah, Abdul Aziz bin Abdurrahman, 1979, Adillat
Tasyri’ al
mukhtalaf fi al ihtijaj biha,; Mu’assasat al Risalah.
9.
Abu Zahra Muhammad, Ushul Al-Fiqh. Kairo; Dar al
fikr Al-Arabiy
10.
Al-Manzur Ibnu, 1972, Lisan Al-Arab, ; (Beirut Dar
Al Fikr)
11.
Al khinn Musthafa sa’id, Atsar al-Ikhtilaf fi
al-Qowaid al-Ushuliyyah fi ikhtilaf al-fuqoha; Mu’assasah Al Risalah.
[7]Ini sebagaimana dikutip dari al-Syathibi,
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al Fikr,1990), juz ke-2 hlm.
140.
[8]Ini sebagaimana dikutip dari al-Syathibi,
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al Fikr,1990), juz ke-2 hlm.
140.
[9]Husain Hamid Hissan, Nazariyat al-Mashlahah fi
al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971).hlm.250.
[10]Husain Hamid Hissan, Nazariyat al-Mashlahah fi al-Fiqh
al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971).hlm.250.
[11]Husain Hamid Hissan, Nazariyat al-Mashlahah fi
al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971).hlm.250-251.
[12]Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 251
[13]Abdul Aziz bin Abdurrahman al Rabi’ah, Adillat al
Tasyri’ al Mukhtalaf fi al Ihtijaj Biha,(t.tp.: Mu’asssasat al Risalah, 1979),
hlm. 165-166
[14]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al
Fiqh al Islamiy, hlm. 589.
[15]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al
Fiqh al Islamiy, hlm. 590.
[16]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo:Dar al
Fikr al-‘Arabiy,t.th.), hlm 264-265.
[17]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al
Fiqh al Islamiy, hlm.590-591.
[18]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al
Fiqh al Islamiy, hlm. 594-595
[19]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al
Fiqh al Islamiy, hlm. 597-599
[20]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah
al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy,
(Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm.152-153.
[21]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah
al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy,
(Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 152-153
[22]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf
fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar
al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 155-157.
[23]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah
al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy,
(Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 157-159.
[24]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah
al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy,
(Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 159-161
[25] Ibnu al-manzur, Lisan
al-Arab, (Beirut:Dar al Fikr,1972), Juz ke-2, hlm. 348. Lihat pula al-Razi,
Mukhtar al-Sihah, (Beirut: t.np., 1952), hlm. 75; dan al-Fairuzzabadi, al-Qamus
al-Muhit, (Beirut: t.np., 1965)), Juz ke 1, hlm. 227; dan Al-Fayumi, al-Misbah
al Munir, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi,
1950), Juz ke-1, hlm. 157; dan al-Jauhari, Taj al-Lugah, (Beirut: t.np., 1964),
Juz ke-1, hlm.184.
[26] Abu Hamid Muhammad
al-Ghazali, al-Mustasfa, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz ke-1, hlm. 286-287.
[27] Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar
al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, (t.tp.:
Mu’assasah al-Risalah, t.th), hlm. 552-553.
[30] Wahbah al-Zuhaili, Usul
Al-Fiqh Al-Islamy, Juz ke 2, hlm 761-764. Lihat juga badran Abu al-‘Ainain
Badran, Ushul al Fiqh al-Islamy, (iskandariyah: Mu’assasah Syabab al-Jami’ah,
t.th.), hlm.120.
[31] Lihat Musthafa Dib al-bunga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir
al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al-Fiqh al-islamy, (Damaskus: Dar al-Imam
al-Bukhari, t.th.) ,hlm 62-67.
[32] Lihat Musthafa Dib al-Buga, Atsar al-Abdillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir
al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al-Fiqh al-islamy, hlm.67-71.
[33] Lihat Musthafa Dib
al-Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri’ al Taba’iyyah)
fi al-Fiqh al-islamy, hlm 67-71.
[34] Lihat Musthafa Dib
al-Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri’ al Taba’iyyah)
fi al-Fiqh al-islamy, hlm. 75-80.
No comments:
Post a Comment