Friday, 11 November 2016

Pengertian Istihsan, Maslahah mursalah dan ruang lingkup

1.      ISTIHSAN

A.     Pengertian Istihsan

Istihsan, secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik”.Sedangkan menurut istilah ulama Ushul Fiqh istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy kepada tuntutan qiyas khafy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya mujtahid dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.Yang dimaksud dengan qiyas jaliy ialah qiyas yang jelas ‘illat nya, tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syari’at lemah; ia sering diungkapkan dengan nama qiyas. Sedangkan qiyas khafiy ialah qiyas yang samar ‘illat nya, akan tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syari’at kuat. Adapun hukum kully ialah kaidah hukum yang bersifat universal dan berdaya laku umum, sedangkan hukum juz’iy ialah kaidah hukum yang bersifat particular dan berdaya laku spesifik[1].
Adapun definisi lain menyebutkan istilah istihsan dibagi menjadi 3 :
1.      Secara adil menundukkan suatu masalah hukum dengan cara meneliti dalil-dalil khusus dalam kitab dan Sunnah atau mengembalikan hukum dari dalil khos kepada dalil yang lebih kuat [2] .
2.      Apa-apa yang dianggap baik oleh sang mujtahid dengan pertimbangan akalnya.
3.      Dalil dari sang mujtahid tanpa ta’bir yang jelas.
Nah, dari definisi pertama adalah definisi yang benar yang dipakai oleh madzhab Imam Ahmad (W.855 M)[3]dan Imam Malik (W.795) . Imam Qurthubi (W. 671 H)  berkata “Sesungguhnya istihsan yang diakui oleh Imam Malik yaitu mengambil perkataan yang kuat dalilnya”. Definisi kedua merupakan definisi yang batil dan di ingkari oleh jumhur ulama karena berasal dari syahwat dan hawa nafsu[4] . Imam Syafi’I (W. 820 M) mengenai hal ini berkata " مَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ “ . Imam Asyaukani (W. 1834 M) menukil perkataan As-Sam’ani :“ Jikalau yang dimaksud istihsan adalah perkataan sesuatu yang dianggap baik tanpa dalil maka batil, tak ada seorang pun berkata demikian “[5]. Ibnu Hazm (W. 1064 M) berkata “ Al-Haq adalah haq walaupun seluruh manusia menjelekkannya dan batil adalah batil walaupun seluruh manusia memandangnya baik (istihsan). Jelas istihsan merupakan hawa nafsu sedang mengikuti hawa nafsu pasti sesat”[6].

Istihsan terdapat dalam Ushul Fiqh Malikiyah dan Hanafiah , artinya mazhab Imam Malik dan Imam Hanafi (W. 767 M) ialah yang melakukan istinbath hukum dengan istihsan, sedangkan Imam Syafi’i (W. 820 M) merupakan ulama yang sangat tegas dalam mengkritik istihsan tersebut. Para ulama Maliki merupakan golongan ulama yang sering mengaplikasikan dalil istihsan sebagai dalil hukum. Ada sejumlah definisi istihsandikemukakan oleh mereka, sebagaimana dipaparkan berikut ini.

Menurut Wahbah az-Zuhaili mengemukakan dua definisi yaitu :

1.      Memakai qiyas hkafiy dan meninggalkan qiyas jaliy karena ada petunjuk untuk itu
2.      Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal terebsut.

Menurut Ibnu Al Arabi (W. 1240 M) , istihsanadalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsahkarena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Ia pun menambahkan bahwa istihsan adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat; berpegang kepada dalil umum apabila dalil itu bisa terus berlaku dan berpegang kepada qiyas apabila qiyas itu berlaku umum. [7]
           
Imam Malik berpendapat bahwa dalil umum bisa di takhsisdengan dalil apapun, baik dengan dalil yang zahir maupun dengan al-ma’na. Imam Malik melakukan istihsan dengan cara men-takhsis dalil umum dengan al mashlahah. Beliau berpandangan boleh men-takhsis dan menggugurkan ‘illat dengan al mashlahah.[8]
           
Menurut Ibnu Rusyd (W. 1198 M), istihsan berarti meninggalkan qiyas dalam menetapkan suatu hukum karena qiyas itu menimbulkan ketentuan hukum yang terkesan berlebihan/tidak wajar. Ibnu Rusyd berpandangan, pada beberapa kasus penetapan hukum tidak dilakukan dengan qiyas, tetapi dialihkan darinya karena ada pengertian yang mempengaruhi dalam penetapan hukum yang mengkhususkan kasus tersebut.
           

B.     Macam-Macam Istihsan

Dari definisi yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa Ibnu Al Arabi memberikan pengertian yang lebih luas terhadap istihsan, berpegang kepada dalil apapun yang bertentangan dengan ke umuman nash atau qiyas. Sesuai dengan pengertian itu , menurut para ulama Malikiyah membagi istihsan menjadi 4 macam, yaitu :

a.      Istihsan dengan ‘Urf

Imam Maliki mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada ‘urf. Contoh kasusnya, yakni apabila si B bersumpah tidak akan memasuki rumah maka menurut qiyas lughowi , dengan memasuki setiap tempat yang bernama rumah, masjid, misalnya, si B berarti telah melanggar sumpahnya. Akan tetapi, berdasarkan istihsan, dengan men-takhsis keumuman lafal dengan ‘urf, masuk masjid tidaklah melanggar sumpah tersebut karena masjid itu menurut ‘urf tidaklah dinamakan rumah.[9]

b.      Istihsan dengan Al Mashlahah

Adapun meninggalkan dalil umum dengan dasar al mashlahah, dicontohkan dengan kasus beban penjaminan/pertanggungan buruh yang berkongsi. Berdasarkan kaidah al-asl,  buruh berkongsi merupakan orang yang terpercaya; dan orang yang demikian tidak perlu dibebani penjaminan/pertanggungan kecuali jika telah nampak jelas perbuatan khianatnya. Akan tetapi berdasarkan istihsan, Imam Maliki berpandangan bahwa si buruh tersebut tetap dibebani penjaminan/pertanggungan dan beliau meninggalkan kaidah al-asl di atas pada masa beliau hidup, dikalangan buruh nyaris lenyap rasa tanggung jawab dan maraknya kelakuan khianat; dan inilah sisi al-mashlahah yang dimaksud. Jadi, al-mashlahah ini dijadikan dasar dari pengecualian kaidah al-asl.[10]

C.     Istihsan dengan Ijma’

Adapun meninggalkan kaidah umum atau dalil umum dengan dasar ijma’, dicontohkan dengan kasus kewajiban orang yang memotong ekor keledai tunggangan untuk membayar seluruh harga keledai itu. Hal ini dianggap pengecualian dari kaidah umum karena kaidah umum atau al-asl menetapkan kewajiban seseorang membayar kerugian sebesar harga yang berkurang dari benda milik orang lain yang rusak yang disebabkan perbuatannya. Kalau si B memotong ekor keledai tunggangan, dia wajib membayar kerugian sebesar harga yang berkurang dari keledai itu sebagai akibat perbuatannya; inilah kaidah umum tersebut. Akan tetapi, ijma’menyatakan keledai tunggangan yang digunakan untuk kendaraan bila dicacatkan atau dirusak sebagian tubuhnya, harus diganti secara keseluruhan. Imam Maliki menjadikan ijma’ ini sebagai sandaran bagi aplikasi istihsan terhadap kasus tersebut, yakni si pemotong ekor harus membayar seluruh harga keledai itu. [11]

D.     Istihsan dengan Kaidah Raf’al-Harj wa al-Masyaqqah

Ini merupakan kaidah yang bersifat qot’iy. Contohnya, kasus pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah harga sewa, lama masa pemakaian, dan jumlah air yang digunakan. Menurut kaidah umum kasus demikian dilarang sebab mengandung garar. Berdasarkan istihsan, kasus demikian dibolehkan dengan dasar pertimbangan kaidah raf’ al-harj wa al-masyaqqah dikarenakan pemakaian kamar mandi umum seperti demikian sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dihindari (li al-hajah). [12]

      Adapun Mazhab Hanafiyah membuat klasifikasi istihsan sebagai berikut:

a.       Istihsan dengan Nash

Istihsan dengan nash adalah berpalingnya mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash yang spesifik. Pada dasarnya, kaidah umum sudah menaungi masalah-masalah semakna yang dicakupnya tu , akan tetapi pada faktanya terdapat nash spesifik yang menetapkan hukum masalah tertentu dari masalah-masalah semakna yang dicakup oleh kaidah umum itu, yang berbeda dengan hukum yang ditarik dari kaidah umum tersebut. Contoh , masalah minum di siang hari pada saat bulan puasa. Berdasarkan qiyas/atau kaidah umum, ia telah membatalkan puasanya karena telah merusak salah sayu rukun puasa, yakni menahan diri (al imsak). Akan tetapi , pada kasus minum di siang hari karena lupa pada bulan puasa, dilakukan pemalingan dari tuntutan kaidah umum tersebut pada tuntutan nash spesifik, [13] yakni hadis Abu Hurairah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإَنَّمَا أَطْمَعَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Orang berpuasa yang makan atau minum karena lupa maka hendaklah ia sempurnakan puasanya; karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.“ (H.R. Bukhari dan Muslim)
Apabila berdasarkan qiyas atau kaidah umum , tentu puasa tersebut hukumnya batal. Begitulah keadaannya pada setiap nash spesifik yang ada, yang berlawanan dengan kaidah-kaidah pokok atau kaidah umum yang dihasilkan dengan cara istinbat. Maka, ulama Hanafiyah berpegang pada nash yang spesifik itu dan cara yang demikian mereka namakan istihsan bin nash. [14]

b.      Istihsan dengan Ijma’

Istihsan dengan ijma’ berarti meninggalkan qiyas, baik berupa qiyas pokok (ushuli) maupun kaidah-kaidah umum, dalam hal adanya ijma’ yang menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang di tetapkan oleh qiyas tersebut. Contohnya , masalah akad pemakaian kamar mandi umum tanpa kejelasan kadar air yang digunakan dan lamanya masa pemakaian. Berdasarkan dalil qiyas, akad ini batal karena kan akad tersebut termasuk akad sewa-menyewa yang didalamnya diharuskan ada kejelasan kadar objek dan lamanya masa penyewaan, sedangkan di dalam akad pemakaian kamar mandi umum tersebut tidak ada kejelasan yang dimaksud. Namun, berdasarkan dalil istihsan, akad pemakaian kamar mandi umum tersebut dibolehkan karena hal ini sudah ada ijma’ dan menjadi ‘urf bagi kaum muslim. [15]

c.       Istihsan dengan Qiyas Khafiy

Adapun istihsan dengan qiyas khafiy ini adalah suatu macam istihsan yang masalahnya dapat diselesaikan dengan dua macam dalil qiyas yang saling berlawanan, yaitu qiyas jaliy dan qiyas khafiy, namun mujtahid lebih mengutamakan dalil qiyas khafiy untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jadi, substansinya berupa qiyas khafiy maka dari itu  cara ber istinbath seperti ini dinamakan istihsan qiyasiy. [16]

Berkenaan dengan ini, para ulama Hanafiyah memberikan contoh kasus tidak najisnya air sisa minuman burung buas seperti elang. Menurut logika qiyas jaliy, air tersebut najis hukumnya, air sisa minuman elang tersebut di-qiyas kepada air sisa minuman bintang buas yang lain dan ‘illah-nya itu keharaman daging hewan yang menyatu dengan kenajisannya. Ketika minum air, binatang buas menggunakan lidahnya yang mengandung air liur, yang kemudian air liur ini bercampur dengan air sisa minumannya sehingga jadilah air ini najis hukumnya dan sekilas hal ini terjadi pula pada kasus burung buas. Nah akan tetapi , apabila diperhatikan dengan seksama dan teliti, terbukti bahwa burung buas minum air tidak dengan lidahnya, tetapi dengan paruhnya yang tidak mengandung air liur sehingga air sisa minumannya itu tidak menjadi najis. Lebih dari itu ‘illah berupa keharaman pada daging hewan yang menyatu dengan najisnya tidak terdapat pada burung buas. Sebabnya , meskipun najis , daging burung tersebut tidak bersentuhan dengan air, mengingat ia meminum dengan paruhnya dan bukan lidahnya. Dengan demikian, harus dicari qiyas lain untuk masalah ini. Maka, air sisa minuman burung buas ini di-qiyas kepada air sisa minuman binatang yang halal, dengan ‘illah berupa ketiadaan unsur najis pada dagingnya sehingga air itu tidak najis hukumnya. [17]

d.      Istihsan dengan Daruurah

Adalah sang mujtahid berpaling dari tuntutan qiyas kepada tuntutan daruurah yang menghendaki hukum lain. Contohnya, masalah membersihkan sumur dari najis, yakni apabila suatu najis jatuh ke dalam sumur air maka air sumur itu tidak mungkin dibersihkan/disucikan dari najis karena setiap air yang dituangkan ke dalam sumur –untuk mensucikannya- akan menjadi najis lantaran bercampur dengan najis yang ada di dalam sumur itu. Atas dadar ini, sebagian ulama berpendapat bahwa air sumur tersebut selamanya berstatus mutanajjis.Pendapat demikian tentu mendatangkan kesukaran dan kendala bagi masyarakat untuk memenuhi hajat hidupnya atas air, baik untuk urusan kebutuhan pokok keduniaan maupun peribadatan. Atas dasar pertimbangan ini, sebagian ulama (ulama Hanafiyah) menetapkan bahwa air sumur tersebut dapat suci/bersih kembali dengan cara menuangkan beberapa timba air ke dalamnya. Dasar pertimbangan inilah yang dinamakan istihsan bil daarurah.[18]

E.     Kedudukan Istihsan

Para ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpandangan bahwa istihsan dapat menjadi dalil syara’ (hujjah syar’iyyah). Untuk mendukung pandangan ini mereka mengemukakan argumen-argumen Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ seperti yang akan di uraikan berikut ini.[19]

Ø  Q.S. Az Zumar ayat 18

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ
“ Yaitu , (merekalah) orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya “

Ø  Q.S. Al Baqarah ayat 185

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“ Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran kepada kalian “
Ø  Hadits

مَا رَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهَ حَسَنٌ
“ Apa yang dipandang baik oleh kaum muslim maka hal itu juga baik di sisi Allah “ (H.R. Ahmad) .

Ø  Ijma’

Adapun ijma’ yang mereka jadikan argumen ialah ijma’ tentang kebolehan akad pemakaian kamar mandi umum tanpa ada kejelasan kadar air yang digunakan dan lamanya masa pemakaian.

F.      Implikasi dari Perbedaan Pandangan

Perbedaan pandangan/pendapat tentang kedudukan istihsan mengimplikasikan perbedaan pendapat hukum atas sejumlah kasus, yang sebagiannya dikemukakan berikut ini :
a)      Perihal kesejajaran posisi laki-laki dan perempuan dalam satu shaf shalat[20]
b)      Perihal menyedekahkan seluruh harta tanpa meniatkan zakat[21]
c)      Mempersyaratkan hak khiyar bagi orang ketiga yang tidak ikut ber akad jual beli[22]
d)      Akad jual beli dengan mempersyaratkan pembayaran harga secara tempo[23]
e)      Perihal penerima hibah menguasai barang hibah tanpa seizin pemberi hibah[24]

2. MASHLAHAH

A.     Pengertian Mashlahah

Dalam Bahasa arab, kata mashlahah selain merupakan bentuk mashdar juga merupakan isim yang bentuk jama’ (plural)-nya adalah masaalih. Dalam kamus Lisaan al-‘Arab disebutkan bahwa al-mashlahah,al-shalaah;wa al-mashlahahwaahidat al-mashaalih ( al-mashlahah,al-shalah; dan mashlahah artinya kebaikan dan ia merupakan bentuk tunggal dari kata masaalih. Makna al-shalah (kebaikan) merupakan lawan kata dari kata al-fasad (kerusakan). Jadi, kata mashlahah adalah bentuk tunggal dari kata mashalih; dan makna al-istishlah ialah mencari mashlahat, memandang baik,mendapatkan kebaikan; ia merupakan kebalikan dari kata al-istifad yang berarti memandang buruk/rusak, mendapatkan keburukan/kerusakan. Dalam Kamusal-Misbah al-Munir dinyatakan bahwa kata shaluha lawan kata dari fasada, dan bentuk mashdar-nya ialah shalah dan mashlahah yang berarti khair wa sawab (baik dan benar) dan bentuk jamaknya ialah mashaalih.[25]
Secara terminologis, al mashlahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka. Adapun menurut Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa al mashlahah adalah sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hokum unutk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.[26]

B. Macam-macam Mashlahah

Nah , dengan mengacu pada arti terminologisnya , para ulama ushul fiqh kemudian membuat kategorisasi al-mashlahah. Dari segi tingkatannya ,al-mashlahah dibagi menjadi 3 macam :
1.      Al Daaruriyat, yakni al-mashlahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan yang tidak boleh tidak, demi tegaknya kehidupan manusia di dunia; jika sekiranya ia tidak ada maka akan rusaklah dan hancurlah kehidupan manusia secara keseluruhan, terutama ke-lima jenis al-mashlahah diatas (memelihara agama, jiwa, akal budi, kehormatan diri/keturunan, dan harta kekayaan).

2.      Al Hajiyyat, yakni al-mashlahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan demi mendatangkan kelancaran, kemudahan, dan kesuksesan bagi kehidupan manusia secara utuh-menyeluruh.

3.      Al Tahsiiniyyat, yakni al-mashlahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan demi mendatangkan keindahan, kesantunan, dan kemuliaan bagi kehidupan manusia secara utuh-menyeluruh.[27]

Adapun dari segi pengakuan al-Syari’atasnya ,al mashlahah di kategorisasikan oleh ulama ushul fiqh menjadi 3 macam pula,[28] yaitu :

1.      Al mashlahah al mu’tabarah, yakni al mashahah yang diakui secara eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh dalil/ nash yang spesifik. Para ulama pun menyepakati jenis ini sebagai hujjah syar’iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi organik dari jenis al-mashlahah ini adalah aplikasi qiyas. Sebagai contoh, dalam Q.S. Al Baqarah ayat 222 terdapat norma bahwa istri yang sedang menstruasi/haid tidak boleh alias haram disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan. Bagaimanakah dengan istri yang sedang nifas? Bolehkah? Nah , dalam masalah ini dapat diaplikasikan qiyas, yakni qiyas kasus istri yang sedang nifas dengan kasus istri yang haid tersebut; konsekuensinya maka si istri itu haram untuk disetubuhi oleh suaminya karena adanya faktor bahaya penyakit yang ditimbulkan.

2.      Al mashlahah al mulghah, yakni al mashlahah yang tidak diakui oleh syara’, bahkan ditolak dan dianggap batil.Dianggap palsu karena kenyataanya bertentangan dengan ketentuan syari’at. Contohnya, opini hukum yang menyatakan bahwa porsi hak waris anatara laki-laki harus sama besar dan setara dengan hak waris perempuan, dengan mengacu kepada dasar pikiran semangat kesetaraan gender. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syari’at dalam Q.S. An Nisa ayat 11 yang mana menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki itu dua kali pembagian anak perempuan.

3.      Al mashlahah al mursalah, yakni al mashlahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap batil oleh syara’, tetapi masih sejalan dengan substantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Contohnya, kebijakan hokum perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan demikian tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi, kebijakan demikian jutsru sejalan secarasubstantif dengan kaidah ukum yang universal, yakni tasarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manut-un bi al-mashlahah. Nah, dengan demikian kebijakan tersebutmempunyai landasan syar’iyyah,yakni mashlahah murshalah.

C. Kedudukan Mashalah Mursalah

Kalangan ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum islam. Ada beberapa argumen yang mereka kemukakan.[29] Diantaranya :

a.       Adanya perintah Al Quran pada Q.S. An Nisaa ayat 59 agar mengembalikan persoalan yang di perselisihkan kepada Al Quran dan Sunnah, dengan wajh al istidlal bahwa perselisihan itu terjadi karena ia merupakan masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya di dalam Al Quran dan Sunnah. Untuk memecahkan masalah semacam itu, selain dapat ditempuh lewat metode qiyas, tentu juga dapat ditempuh lewat metode lain seperti ishtishlah. Sebab, tidak semua kasus semacam itu dapat diselesaikan dengan metode qiyas. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidak langsung juga memerintahkan mujtahid untuk mengembalikan persoalan baru yang dihadapi kepada Al Quran dan Sunnah dengan mengacu kepada prinsip mashlahah yang selalu ditegakkan oleh Al Quran dan Sunnah. Cara ini dapat ditempuh melalui metode istishlah, yakni dengan menjadikan mashlahah mursalah sebagai dasar pertimbangan penetapan hukum islam.

b.      Tujuan pokok penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia. Kemashlahatan manusia akan selalu berubah dan bertamba sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh Al Qur’an dan Sunnah. Kalaulah pemecahan masalah baru itu hanya ditempuh melalui metode qiyas maka akan terjadi banyak masalah baru yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum islam. Hal ini menjadi persoalan yang sangat serius dan hukum islam akan ketinggalan zaman. Dan untuk mengatasi hal tersebut, dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain diantaranya adalah istishlah.

Kalangan ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah berpandangan bahwa mashlahah mursalah tidak bisa dijadikan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum islam. Ada juga beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka. Diantaranya :[30]

a.       Mashlahah ada yang dibenarkan oleh syara’, ada juga yang ditolak dan ada juga yang diperselisihkan atau tidak ditolak dan tidak pula dibenarkan. Mashalahah mursalah termasuk kategori mashalahah yang diperselishkan. Penyikapannya mashlahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum islam terhadap sesuatu yang meragukan dan menagmbil satu diantara dua  kemungkinan (keboleh jadian) tanpa disertai dalil yang mendukung.
b.      Sikap menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah menodai kesucian hukum islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalil mashlahah. Dengan cara ini akan banyak penetapan hukum islam yang didasarkan atas kepentingan hawa nafsu. Sebab, dunia terus bertambah maju dan seiring dengan itu akan muncul hal-hal baru yang oleh nafsu dipandang mashlahah, padahal menurut syara’membawa mafsadah. Tegasnya, penetapan hukum islam berdasarkan mashlahah adalah penetapan hukum islam berdasarkan hawa nafsu dan jelas sekali hal ini tidak di benarkan

G.    Implikasi dari Perbedaan Pandangan

Perbedaan pandangan/pendapat tentang kedudukan mashlahah mursalah ini mengimplikasikan perbedaan pendapat hukum atas sejumlah kasus , yang sebagaimana contoh berikut ini :

a.       Pertanggungan objek jual beli sebelum dikuasai pembeli[31]
b.      Mengembalikan objek jual beli yang cacat[32]
c.       Pertanggungan karyawan/pekerja yang bersekutu[33]
d.      Pertanggungan objek gadai yang dikuasai penerima gadai[34]


PENUTUP


KESIMPULAN


1.      Fiqh istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy kepada tuntutan qiyas khafy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya mujtahid dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional,sedangkan mashlahah adalah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka.
2.      Menurut ulama Malikiyyah ishtihsan dibagi menjadi 3 macam yaitu ishtihsan dengan ‘urf, ishtihsan dengan Al mashlahah, ishtihsan dengan kaidah, dan ishtihsan dengan Raf’ al-Harj wa Al-Masyaqqah
3.      Secara terminoligis menurut ulama ushul fiqih mashlahat terbagi menjadi 3 macam yaitu Al-Daaruriyah, Al-Hajiyyat, dan Al-Tahsiiniyyat.
4.      Menurut Ulama Malikiyyah dan Hanafiyah berpandangan bahwa ishtihsan dan mashlahat bisa di jadikan hukum syara’ untuk menguatkan ada beberapa argumen-argumen yang menguatkan.















DAFTAR PUSTAKA


1.       Khallaf, Abdul Wahab, 1994. Terjemahan dari kitab ushul fiqih. Semarang:Dina utama
2.       Effendi Satria, 2005. Ushul Fiqih. ;kencana prenada Media Grup
3.       Asmawi, 2011. Perbandingan ushul fiqih. : Amzah
4.       Khallaf, Abdul Wahab, 1970. Ilmu ushul Fiqih. :Kuwait : Dar  al Qalam
5.       Usman Iskandar,1994:. Istihsan dan pembaharuan hukum islam Jakarta : raja grafindo persada.
6.       Dikutip dari syatibi, 1990. Al-Muwafaqat fi ushul al-syari’ah. (Beirut: Dar Al Fikr)
7.       Hissan, Husain Ahmad, 1971. Nazariyat al-Mashlahah fi al fiqh al islamiy, (Beriut: Dar al-nahdah Al-Arabiyyah).
8.       Al-Rabi’ah, Abdul Aziz bin Abdurrahman, 1979, Adillat Tasyri’  al mukhtalaf fi al ihtijaj biha,; Mu’assasat al Risalah.
9.       Abu Zahra Muhammad, Ushul Al-Fiqh. Kairo; Dar al fikr Al-Arabiy
10.   Al-Manzur Ibnu, 1972, Lisan Al-Arab, ; (Beirut Dar Al Fikr)
11.   Al khinn Musthafa sa’id, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qowaid al-Ushuliyyah fi ikhtilaf al-fuqoha; Mu’assasah Al Risalah.




[1]Al Sarakhsi,al-Mabsuth, (Mesir:Matba’ah al Sa’adah,1321 H),juz ke-10,hlm. 145. Lihat juga Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr,1980) hlm.250,dan Iskandar Usman,Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994), hlm. 45.
[2]Ushulul Ahkam (4/213)
[3]Roudhatu Nadhir, Ibnu Qudamah 147
[4]Irsyadul Fuhul (3/240)
[5]Irsyadul Fuhul (3/241)
[6]Ahkam min Ushulil Ahkam (2/196)
[7]Ini sebagaimana dikutip dari al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al Fikr,1990), juz ke-2 hlm. 140.
[8]Ini sebagaimana dikutip dari al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al Fikr,1990), juz ke-2 hlm. 140.
[9]Husain Hamid Hissan, Nazariyat al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971).hlm.250.
[10]Husain Hamid Hissan, Nazariyat al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971).hlm.250.
[11]Husain Hamid Hissan, Nazariyat al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971).hlm.250-251.
[12]Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 251
[13]Abdul Aziz bin Abdurrahman al Rabi’ah, Adillat al Tasyri’ al Mukhtalaf fi al Ihtijaj Biha,(t.tp.: Mu’asssasat al Risalah, 1979), hlm. 165-166
[14]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al Fiqh al Islamiy, hlm. 589.
[15]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al Fiqh al Islamiy, hlm. 590.
[16]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo:Dar al Fikr al-‘Arabiy,t.th.), hlm 264-265.
[17]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al Fiqh al Islamiy, hlm.590-591.
[18]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al Fiqh al Islamiy, hlm. 594-595
[19]Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al Mashlahah fi al Fiqh al Islamiy, hlm. 597-599
[20]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm.152-153.
[21]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 152-153
[22]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 155-157.
[23]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 157-159.
[24]Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Imam al Bukhari, t.th.) hlm. 159-161
[25] Ibnu al-manzur, Lisan al-Arab, (Beirut:Dar al Fikr,1972), Juz ke-2, hlm. 348. Lihat pula al-Razi, Mukhtar al-Sihah, (Beirut: t.np., 1952), hlm. 75; dan al-Fairuzzabadi, al-Qamus al-Muhit, (Beirut: t.np., 1965)), Juz ke 1, hlm. 227; dan Al-Fayumi, al-Misbah al Munir, (Mesir: Mustafa al-Bab  al-Halabi, 1950), Juz ke-1, hlm. 157; dan al-Jauhari, Taj al-Lugah, (Beirut: t.np., 1964), Juz ke-1, hlm.184.
[26] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz ke-1, hlm. 286-287.
[27]  Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, (t.tp.: Mu’assasah al-Risalah, t.th), hlm. 552-553.
[28] Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), juz ke 2, hlm.452-452.
[29] Ibid hlm 761-764
[30] Wahbah al-Zuhaili, Usul Al-Fiqh Al-Islamy, Juz ke 2, hlm 761-764. Lihat juga badran Abu al-‘Ainain Badran, Ushul al Fiqh al-Islamy, (iskandariyah: Mu’assasah Syabab al-Jami’ah, t.th.), hlm.120.
[31] Lihat Musthafa Dib al-bunga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al-Fiqh al-islamy, (Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.th.) ,hlm 62-67.
[32] Lihat Musthafa Dib al-Buga, Atsar al-Abdillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri’ al-Taba’iyyah) fi al-Fiqh al-islamy, hlm.67-71.
[33] Lihat Musthafa Dib al-Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri’ al Taba’iyyah) fi al-Fiqh al-islamy, hlm 67-71.
[34] Lihat Musthafa Dib al-Buga, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir al-Tasyri’ al Taba’iyyah) fi al-Fiqh al-islamy, hlm. 75-80.

No comments:

Post a Comment