Friday, 11 November 2016

Kajian Tokoh Orientalis dan pemikirannya (watt, goldziher, edward said, Maxine Rodinson, Duncan Black Macdonald)

MATERI KAJIAN ORIENTALIS

I

Pada masa awal orientalisme muncul hal yang mereka gemar sekali bahas adalah mengenai masalah-masalah apologi dan polemik. Sebagaimana W.Montgomery Watt  dalam tulisannya membahas dua permasalahan yang ia anggap menarik, pertama, mengenai kebenaran al-qur`an?, kedua, mengenai sumber yang dipakai oleh nabi muhammad?. Lalu William St. Sekertaris missionary society inggris mengatakan pengaruh luar lebih banyak lagi yang menjadi sumber bagi al-qur`an.
Barat dan kritik sejarah terhadap teks al-qur`an, orientalisme muncul disebabkan banyak motif diantaranya sebab sejarah agaama sehingga muncullah penerapan metode historis-kritis. salah satu tokohnya adalah abraham geiger, ia adalah seorang anggota wissenchaf des judentum yang dari sinilah ia mengembangkan pemikirannya yang tidak puas bahkan ragu akan tradisi yahudi, sehingga dia menjadi pelopor berdirinya yahudi liberal, geiger yang terangkat naminya dari hasil essaynya yang berjudul apa yang telah muhammad pinjam dari yahudi?  Mencuatkan namanya dan menjadikan dirinya sebagai Doktor pada masa itu. Abraham geiger dalam bukunya  judaisme & islam yang ditulis dari hasil insfirasi awal dari komunitasnya wissenchaf des judentum  disinilah pandangannya berkembang sehingga muncullah formulasi metodologi dalam mengkaji teks-teks agama termasuk idenya mengenai liberalisasi yahudi. Ia mengatakan ia mengatakan ritual yahudi seperti “pengorbanan” tidak seharusnya dilakukan, dan itu memicu kenyaman orang-orang zionis terhadapnya. Lalu ia juga menyebutkan dalam essaynya bahwa hukum fiqih islam merupakan hasil derivasi dari agama yahudi. Bahkan islam dan keristen adalah penjelmaan dari agama yahudi.
Metode historis-kritis yang diusung oleh abraham geiger terdiri dari beberapa poin, diantaranya adaalah, banyaknya kosa kata dalam al-qur`an berasal dari bahasa ibrani seperti taurat, tabut, jahannam, tagut, rrabani, furqon dll. Lalu dalam metode ini juga menyatakan bahwa al-qur`an terpengaruh oleh agama yahudi ketika menyatakan
1.      Hal yang menyangkut keimanan dan doktrin agama
2.      Peraturan hukum dan moral yang ada dalam al-quran itu banyak yang bersumber dari agama yahudi.
3.      Pandangan tentang kehidupan. Termasuk cerita-cerita dalam al-qur`an tak luput dari pengaruh agama yahudi.
Lalu yang lebih ekstrim lagi geiger mengatakan bahwa dokterin islam terhadap yahudi dianggap sebagai penyimpangan atau salah paham nabi muhammad terhadap yahudi.
II
Ada beberapa tokoh yang menggunakan metodologi historis-kritis diantaranya Abraham Geiger, Teodor Noldeke, Arthur Jeffery, W.Montgomery Watt. Itu adalah beberapa tokoh pengguna metode historis-kritis.
Pemikiran W.Montgomery Watt. Yang menarik untuk dibahas adalah masalah kritik atas pengalaman kenabian muhammad. Menurut Watt, dari sekian pandangan, khusus nya beberapa kritik yang  bersifat merugikan, perhatian orang-orang yang berfikir negatif terhadap muhammad lebih ditumpukan pada hadits-hadits tertentu  ketimbang pada al-Qur’an sendiri. Menurutnya, tidak masuk akal jika seorang yang  menderita penyakit ayan, hysteria, atau gangguan emosi yang tidak terkendali bisa  menjadi pemimpin aktif dalam ekspedisi-ekspedisi militer, atau pemandu yang  berpandangan luas dan tenang dari suatu negara-kota dan suatu masyarakat keagamaan  yang sedang berkembang. Dalam masalah-masalah semacam ini prinsip yang seharusnya dipegang oleh sejarawan adalah data al-Q ur’an dan hanya menerima hadits  sepanjang selaras hasil kajian terhadap al-Qur’an. Dengan demikian konsepsi-konsepsi abad pertengahan sudah semestinya dikesampingkan, dan Muhammad harus dipadang  sebagai seorang yang tulus serta telah mengemukakan secara jujur pesan-pesan yang  diyakininya berasal dari Tuhan. William Montgomery Watt beranggapan bahwa pada Muhammad terdapat kedalaman dari imajinasi kreatif, dan gagasan-gahasan yang dilahirkan sebagian besar adalah benar dan baik. Khususnya terdapat pada satu soal yang nampaknya tidak sehat, gagasan bahwa wahyu atau hasil imajinasi kreatif itu lebih tinggi dari tradisi manusia  biasa sebagai sumber fakta sejarah yang telanjang.  Terdapat beberapa ayat dalam al- Qur’an (11: 49; 3: 39; 12: 103) yang menyatakan bahwa orang bisa mengakui bahwa imajinasi kreatif mampu memberikan interprestasi yang baru dan lebih benar tentang  suatu peristiwa sejarah, akan tetapi membuatnya sebagai sumber dari fakta telanjang adalah berlebih-lebihan dan tidak benar. Jadi, menurut William Montgomery Watt, Muhammad adalah seorang yang imajinasi kreatifnya bekerja dalam tingkat yang paling dalam dan menghasilkan gagasan-gagasan yang relevan pada pertanyaan sentral keberadaan manusia, sehingga  agamanya mempunyai himbauan yang tersebar luas, tidak hanya pada abadnya  melainkan pada abad-abad sesudahnya. Tidak semua gagasan-gagasan yang  didakwahkannya benar dan tidak, akan tetapi rahmat  Tuhan telah memungkinkan  memberikan agama yang lebih baik pada jutaan manusia dari yang mereka punyai  sebelum “mengakui tak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”   
III
Tipologi tafsir Ignaz Goldziher pendekatan yang dipakai Goldziher adalah comparative religion dalam mengkaji kitab suci, dan historical otenticity dalam mengkaji hadis. Secara spesifik, menurut Ignaz Goldziher, Islam adalah agama yang paling memuaskan akal, dan Islam tidak bertolak belakang dengan kemajuan ilmu, karena jika bertolak belakang, maka berarti Islam itu bertentangan dengan semangat pembawanya. Sementara itu, Goldziher dalam memandang al-Quran mengatakan, “Tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh kelompok keagamaan bahwa ia adalah teks yang diturunkan atau diwahyukan, di mana pada masa awal peredaran teks tersebut datang dalam bentuk kacau dan tidak pasti sebagaimana yang kita temukan dalam al-Quran.” Demikian tanggapan Goldziher terhadap al-Quran yang menurutnya banyak perbedaan dalam hal qira’at dan tidak konsisten dalam hal tafsirnya dan ingin mengubah susunan ayat dan surat dalam al-Quran secara kronologis, mengoreksi bahasa al-Quran ataupun mengubah redaksi sebagian ayat-ayatnya.
Sosok yang paling pas disebut sebagai “dedengkot” orientalis yang mengkaji religiusitas Islam secara spesifik dan mendalami kajian spiritual secara umum adalah Ignaz Goldziher. Dengan penuh dedikasi dan semangat pantang menyerah Goldziher sangat pintar dan mampu memahami seluk beluk al-Quran, bahkan sampai dengan perbedaan qira’atnya. Dengan demikian, motivasi Goldziher dalam mengkaji dunia Islam secara umum adalah motivasi keagamaan. Alasannya dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1. Mencemarkan aqidah Islam Dengan berbagai karyanya, Goldziher sangat lantang dalam usaha merusak aqidah Islam dengan mengatakan Islam cenderung lebih dekat kepada Judaisme. Menurut penulis sangat wajar jika Goldiher berkata demikian mengingat latar belakang Goldziher yang lahir dari darah Yahudi.
2. Meragukan al-Quran Goldziher dalam bukunya yang membahas qira’at, dianggap telah melakukan penyimpangan yang sangat jauh, mengabaikan petunjuk yang benar, dengan sengaja mementahkan kebenaran al-Quran.
Kemudian di tahun 1927, sejalan dengan pemikiran Goldziher, Alphonse Mingana menyatakan “Sudah saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.” Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka terbukti tidak asli. Terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan. 

IV
Ignaz Goldziher dan otentisitas hadits Hasil kritik hadits (oleh ulama) itu diantaranya adalah pengakuan terhadap enam kitab hadits sebagai kitab induk. Hal ini terjadi pada tahun ketujuh Hijrah. Dalam kitabkitab itu, sebagian ulama pada abad ketiga Hijriyah menghimpun bermacam-macam
hadits yang bercecer yang mereka nilai sebagai hadits-hadits shahih. Prasangka buruk Goldziher terhadap as-Sunnah terlihat jelas dalam bukunya tersebut. Dari pandanganpandangan Goldziher tentang As-Sunnah yang telah dijelaskan di atas, jelaslah hal-hal berikut:
1. Ia berpendapat bahwa sebagian besar hadits merupakan hasil perkembangan Islam di bidang politik dan sosial.
2. Ia berpendapat bahwa para sahabat dan tabi’in berperan dalam pemalsuan hadits.
3. Rentang waktu dan jarak yang jauh dari masa Rasulallah SAW membuka peluang bagi para tokoh berbagai aliran untuk membuat hadits dengan tujuan memperkuat aliran mereka. Bahkan, tidak ada satupun aliran, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, yang tidak mengukuhkan pendapatnya dengan haditshadits yang tampaknya asli dalam bidang aqidah, fiqih, atau politik.
4. Sudut pandang para kritikus dari kalangan umat Islam berbeda dengan sudut pandang para kritikus asing (non-muslim) yang tidak menerima kebenaran banyak hadits yang diakui benar oleh umat Islam.
5. Ia menggambarkan enam kitab hadits sebagai himpunan berbagai macam hadits yang tercecer, yang oleh para penghimpunnya dinilai sebagai hadits shahih.
Dalam pandangan Goldziher, perbedaan hadis dan sunnah juga tetap dipertahankan. Ia menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dan sunnah adalah kompendium aturan-aturan praktis. Satu-satunya kesamaan sifat antara keduanya adalah bahwa keduanya berakar secara turun-temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum muslim pertama yang dipandang berwenang dan telah pula dipraktikan dinamakan sunnah atau adat/kebiasaan keagamaan. Adapun bentuk yang memberikan pernyataan tata cara itu disebut hadis atau tradisi.

V

Pendekatan historis adalah pendekatan yang harus melekat pada Ignaz mengingat objek hadis dan al-Qur’an mengenai qira’at yang ia teliti merupakan objek masa lampau yang jauh dari masanya. Pendekatan historis juga telihat saat memetakan madzhab tafsir yang berkembang selama ini dengan melacak akar sejarah, mencoba membuat kategori berdasarkan kronologi waktu maupun kecenderungan dan karakteristik dari masingmasing aliran tafsir yang muncul. Diskursus tentang otentisitas hadis merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial dalam studi hadis. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana firman Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”222 Maka secara normatiftheologis, hadis tidak mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt. Ignaz Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadis. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadis pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856)223 dan Sir William Munir dengan karyanya Life of Mahomet,224 namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadis tersebut. Dalam bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan hadis tertulis (kitabat al-hadis) secara umum. Dia mengatakan bahwa kaum Muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadis adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher, penulisannya wajib dilakukan. Beberapa catatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut : Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.225 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadis yang membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) lebih banyak dari pada pelarangan hadis yang lebih mengandalkan pada hafalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan adanya penulisan hadis melalui periwayatan Abu Hurairah, “Tidak ada seorang pun yang hafal lebih banyak hadis selain aku, namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya, sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannya. Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadis ini. Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.
VI
Orientalime merupakan suatu karya akademis yang ditulis oleh Edward Said ke dalam suatu bentuk buku. Dalam buku tersebut, Edward Said dengan sangat keras sekali mengkritik paradigma “Islam vs the West“--- “Islam melawan Barat”. Dalam karyanya tersebut dia tidak hanya mengkritik Barat atau Islam saja, namun mengkritik kedua belah pihak. Kritik Edward Said yang ditujukan kepada dunia Barat dalam karyanya tersebut berkenaan dengan khususnya sikap kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat, serta intervensi negara-negara Barat yang mengakibatkan perang di Irak yang dilakukan oleh Amerika. Dalam pandangannya tersebut Edward Said tidak menguraikan pemikirannya secara dogmatis dalam mengkritisi Islam-Arab dan Barat, namun dia menguraikan pemikirannya tersebut seperti sebuah karya sastra. Said menolak tradisi pemahaman liberal tentang humanities sebagai keseluruhan organisasi yang murni atau pengetahuan “disinterested”. Ide, budaya, dan sejarah tidak dapat dengan serius dipelajari tanpa kekuatan. Argumentasi Said mengambarkan dua prinsisp sumber metodologi, yaitu Foucault dan Gramsci. Ada beberapa prinsip-prinsip Foucault yang dipakai oleh Said: Pertama, power dan bagaimana cara kerjanya. Ada dua cara berprinsip yaitu konsepsi pada power dan bagaimana cara berjalannya. Seperti yang kita ketahui selama ini, Foucault menolak konsepsi power sebagai sebuah kekuatan yang didasarkan pada represi sederhana. Menurutnya instrumen kunci dari power adalah ”pengetahuan”. Foucault mengembangkan sebuah argument yang berhubungan dengan segala bentuk ”pengetahuan”. Kedua, discourse. Said mengadopsi pendapat Foucault tentang ”Discourse”—sebagai medium yang merupakan kekuatan dan melalui tersebut dilaksanakan— “construct” objek pengetahuan. Dalam Said, power/kekuasaan dalam orientalism mengubah “kenyataan” Timur ke dalam diskursif “Orient”, atau lebih tepatnya menggantikan satu dengan yang lain.

VII
Menurut edward said Orientalisme merupakan teori era Pos-Kolonialisme, Orientalisme berasal dari kata  Orient-al dan Isme Orient yang memaparka keadaan Asia atau timur. sedangkan Oriental merupakan kata yang dibuat oleh Chaucer dan Mandeville dan dipopulerkan oleh Shakespeare, Dryden, Paus, dan Byron yang digunakan oleh mereka dalam menyebut Asia secara geografis,moral ataupun budaya. Secara etimologi kata Orient-al dan Isme Orient mempunyai arti “Matahari Terbit”, yang kemudian artinya menjadi politis melalui orientalisme, yakni sebuah kajian sebuah kajian tentang sejarah, sastra dan seni di Asia lebih jauh. Said mengatakan bahwasannya orientalisme merupakan  pandangan orang Barat tentang Timur, Barat menilai bahwasannya Timur adalah, "representasi hasrat tersembunyi dari budaya Barat”, selain itu menurut dia  orientalisme merupakan cara Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan memiliki kontrol atas dunia Timur. Yang itu dalam berjalannya waktu bangsa Barat Secara ideologis dan politis,  melakukan berbagai upaya untuk menjinakkan dunia Timur lewat sastra dan seni sejak era kolonisasi pada adab 18. Dalam upaya untuk membahas mengenai orientalisme Said membedakannya menjadi 3 hal kata tersebut dalam penggunaannya. Pertama, istilah tersebut merujuk pada periode yang panjang tentang hubungan budaya dan politik antara Eropa dan Asia. Kedua, istilah tersebut digunakan pada studi akademik tentang bahasa dan budaya oriental,  dari awal abad 19. Ketiga, istilah tersebut merujuk pada pandangan stereotip dari kaum Oriental, yang dikembangkan oleh beberapa generasi penulis dan sarjana  barat, serta pandangan-pandangan prejudis (prasangka) mereka tentang oriental sebagai kriminal dan palsu. Menurut pandangan Said Orientalisme merupakan sebuah cara yang membuat orang-orang Eropa menilai diri mereka sendiri. Dia mengatakan bahwasannya orientalisme adalah sebuah “latihan” bangsa Eropa dalam menguatkan budaya yang berasal dari Eropa itu sendiri. Selama era kolonial pada abad ke 19-20 bangsa Barat menggunakan orientalisme untuk menunjukkan Superioritas mereka terhadap bangsa Asia yang mereka lihat sebagai bangsa yang inferior. Hal ini didasari atas pandangan bangsa Barat sendiri yang menganggap diri mereka mempunyai budaya yang jauh lebih unggul dari bangsa Asia dan itu sangat ditunjukkan dalam era kolonial. Namun dalam kenyataannya Said mengatakan ada sebuah fakta empiris yang menunjukkan bahwa superioritas bangsa Eropa terhadap bangsa Asia tidak sepunuhnya mutlak, Said mengambil contoh dan meminta pendapat dari Robetson yang mengetahui sejarah yang secara mendalam, ketika Negarawan Inggris memperlihatkan superioritas mereka terhadap bangsa-bangsa Timur mereka secara langsung akan berhadapan denga  ras-ras besar di Timur bisa diambil contoh adalah Mesir. Mesir yang mempunyai sejarah dan peradaban yang jauh lebih maju di jama sebelum Inggris yang menurut Said hal tersebut mempunyai sebuah keunggulan dalam melawan Superioritas bangsa Barat terhadap bangsa Timur. Namun di dalam tulisannya kali ini, Said menyimpulkan Orientalisme mempunyai pandangan dasar keilmuan untuk kepentingan Barat yang ingin menguasai bangsa-bangsa diluar barat secara Ideologis dan politis serta menguasai ekonomi dan sumberdaya alam di Timur.
VIII


Menurut edward said Istilah “We & The Others” pertama kali diucapkan oleh James Arthur Balfour dia adalah seorang anggota parlemen Inggris , istilah itu diucapkan ketika dia sedang berpidato di depan Majelis Rendah Inggris. Hal itu dia sampaikan ketika membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kependudukan Inggris di Mesir. Kata “We” disini merupakan sebuah istilah yang menggambarkan bangsa Barat terutama Inggris sedangkan makna kata “The Others” lebih menggambarkan bangsa Timur yang lebih mengarah ke Mesir. Budaya Timur terutama Mesir dipandang oleh Barat terutama Inggris sebagai “The Others” yang erotis, eksotis, dan fantastis, hal ini yang menurut Balfour dalam pidato membahas perlunya adanya kependudukan yang dilakukan Inggris terhadap Mesir karena dia menganggap bahwasannya pengetahuan Inggris mengenai Sejarah dan budaya Mesir lebih luas daripada masyarakat Mesir sendiri. Pengetahuan yang dimaksud oleh Bulfour adalah sebuah penilitian dan peninjaun yang dilakukan terhadap perkembangan peradaban sebuah bangsa mulai dari asal mulanya peradaban itu ada kemudian zaman keemasannya sampai dimana zaman itu mengalami keruntuhannya. Dia melihat bangsa Inggris memiliki kemampuan dalam melakukan itu yang bisa membuat Inggri memiliki dominasi dan kewenangan atas objek pengetahuan itu. Hal ini semakin membuat Superioritas bangsa Barat terutama Inggris dan Inferioritas Mesir semakin kentara. Pandangan Balfour yang seperti itu didasari oleh paham orientalisme yang sedang berkembang di Eropa kala itu yang menganggap superioritas bangsa Barat terhadap bangsa Timur yang dinilai sebagai inferior. Said menganggap Orientalisme disini sebagai langkah politis yang semakin mempertajam oposisi kata antara “We and The Others” artinya bangsa barat semakin menjelaskan diri mereka sebagai bangsa Barat yang superior dan bangsa-bangsa yang berada di Timur juga diluar Eropa dianggap sebagai bangsa yang inferior. Hal itu semakin diperkuat atas klaim bangsa barat yang memiliki tingkat kemampuan dalam melakukan sebuah penilitian dan peninjaun terhadap sejarah juga kebudayaan bangsa-bangsa tersebut yang menurut mereka bangsa tersebut bahkan tidak bisa menjelaskan kebudayaan dan sejarah mereka sendiri. pandangan politis yang lain memperlihatkan justru akan menciptakan dan menampilkan 2 dunia “yang saling mempunyai perbedaan” sebagai sesuatu Oposisi. “The Others” atau orang-orang timur hidup di dunia mereka sendiri sedangkan “We” atau orang barat-barat hidup di dunia sendiri yang dianggap berbeda dengan “The Others”. Superioritas bangsa Barat terhadap bangsa Timur juga bisa mengingkari otonomi negeri-negeri di Timur yang harusnya juga dilakukan oleh bangsa-bangsa dimana mereka tinggal. Gagasan ini juga membuat bangsa barat semakin membuat dirinya memiliki kebudayaan yang lebih tinggi dari  bangsa barat dan kolonialisasi yang mereka lakukan juga membuat mereka lebih mengEkplorasi kekayaan bangsa-bangsa Timur baik secara budaya, sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang mereka gunaan dalam kemajuan Eropa sendiri.

No comments:

Post a Comment