MATERI KAJIAN ORIENTALIS
I
Pada masa awal orientalisme muncul hal yang mereka gemar sekali
bahas adalah mengenai masalah-masalah apologi dan polemik. Sebagaimana
W.Montgomery Watt dalam tulisannya membahas
dua permasalahan yang ia anggap menarik, pertama, mengenai kebenaran
al-qur`an?, kedua, mengenai sumber yang dipakai oleh nabi muhammad?.
Lalu William St. Sekertaris missionary society inggris mengatakan pengaruh luar
lebih banyak lagi yang menjadi sumber bagi al-qur`an.
Barat dan kritik sejarah terhadap teks al-qur`an, orientalisme
muncul disebabkan banyak motif diantaranya sebab sejarah agaama sehingga
muncullah penerapan metode historis-kritis. salah satu tokohnya adalah abraham
geiger, ia adalah seorang anggota wissenchaf des judentum yang dari
sinilah ia mengembangkan pemikirannya yang tidak puas bahkan ragu akan tradisi
yahudi, sehingga dia menjadi pelopor berdirinya yahudi liberal, geiger yang
terangkat naminya dari hasil essaynya yang berjudul apa yang telah muhammad
pinjam dari yahudi? Mencuatkan
namanya dan menjadikan dirinya sebagai Doktor pada masa itu. Abraham geiger
dalam bukunya judaisme & islam yang
ditulis dari hasil insfirasi awal dari komunitasnya wissenchaf des judentum disinilah pandangannya berkembang sehingga
muncullah formulasi metodologi dalam mengkaji teks-teks agama termasuk idenya
mengenai liberalisasi yahudi. Ia mengatakan ia mengatakan ritual yahudi seperti
“pengorbanan” tidak seharusnya dilakukan, dan itu memicu kenyaman orang-orang
zionis terhadapnya. Lalu ia juga menyebutkan dalam essaynya bahwa hukum fiqih
islam merupakan hasil derivasi dari agama yahudi. Bahkan islam dan keristen
adalah penjelmaan dari agama yahudi.
Metode historis-kritis yang diusung oleh abraham geiger terdiri
dari beberapa poin, diantaranya adaalah, banyaknya kosa kata dalam al-qur`an
berasal dari bahasa ibrani seperti taurat, tabut, jahannam, tagut, rrabani,
furqon dll. Lalu dalam metode ini juga menyatakan bahwa al-qur`an terpengaruh
oleh agama yahudi ketika menyatakan
1.
Hal
yang menyangkut keimanan dan doktrin agama
2.
Peraturan
hukum dan moral yang ada dalam al-quran itu banyak yang bersumber dari agama
yahudi.
3.
Pandangan
tentang kehidupan. Termasuk cerita-cerita dalam al-qur`an tak luput dari
pengaruh agama yahudi.
Lalu yang lebih ekstrim lagi geiger mengatakan bahwa dokterin islam
terhadap yahudi dianggap sebagai penyimpangan atau salah paham nabi muhammad
terhadap yahudi.
II
Ada beberapa tokoh yang menggunakan metodologi historis-kritis
diantaranya Abraham Geiger, Teodor Noldeke, Arthur Jeffery, W.Montgomery Watt.
Itu adalah beberapa tokoh pengguna metode historis-kritis.
Pemikiran W.Montgomery Watt. Yang menarik untuk dibahas adalah
masalah kritik atas pengalaman kenabian muhammad. Menurut Watt, dari sekian pandangan, khusus nya beberapa kritik yang bersifat merugikan, perhatian orang-orang
yang berfikir negatif terhadap muhammad lebih ditumpukan pada hadits-hadits
tertentu ketimbang pada al-Qur’an
sendiri. Menurutnya, tidak masuk akal jika seorang yang menderita penyakit ayan, hysteria, atau
gangguan emosi yang tidak terkendali bisa
menjadi pemimpin aktif dalam ekspedisi-ekspedisi militer, atau pemandu
yang berpandangan luas dan tenang dari
suatu negara-kota dan suatu masyarakat keagamaan yang sedang berkembang. Dalam masalah-masalah
semacam ini prinsip yang seharusnya dipegang oleh sejarawan adalah data al-Q
ur’an dan hanya menerima hadits
sepanjang selaras hasil kajian terhadap al-Qur’an. Dengan demikian
konsepsi-konsepsi abad pertengahan sudah semestinya dikesampingkan, dan
Muhammad harus dipadang sebagai seorang
yang tulus serta telah mengemukakan secara jujur pesan-pesan yang diyakininya berasal dari Tuhan. William
Montgomery Watt beranggapan bahwa pada Muhammad terdapat kedalaman dari
imajinasi kreatif, dan gagasan-gahasan yang dilahirkan sebagian besar adalah
benar dan baik. Khususnya terdapat pada satu soal yang nampaknya tidak sehat,
gagasan bahwa wahyu atau hasil imajinasi kreatif itu lebih tinggi dari tradisi
manusia biasa sebagai sumber fakta
sejarah yang telanjang. Terdapat
beberapa ayat dalam al- Qur’an (11: 49; 3: 39; 12: 103) yang menyatakan bahwa
orang bisa mengakui bahwa imajinasi kreatif mampu memberikan interprestasi yang
baru dan lebih benar tentang suatu
peristiwa sejarah, akan tetapi membuatnya sebagai sumber dari fakta telanjang adalah
berlebih-lebihan dan tidak benar. Jadi, menurut William Montgomery Watt,
Muhammad adalah seorang yang imajinasi kreatifnya bekerja dalam tingkat yang
paling dalam dan menghasilkan gagasan-gagasan yang relevan pada pertanyaan
sentral keberadaan manusia, sehingga
agamanya mempunyai himbauan yang tersebar luas, tidak hanya pada
abadnya melainkan pada abad-abad
sesudahnya. Tidak semua gagasan-gagasan yang
didakwahkannya benar dan tidak, akan tetapi rahmat Tuhan telah memungkinkan memberikan agama yang lebih baik pada jutaan
manusia dari yang mereka punyai sebelum
“mengakui tak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”
III
Tipologi tafsir Ignaz Goldziher pendekatan yang dipakai Goldziher
adalah comparative
religion dalam mengkaji kitab suci, dan historical
otenticity dalam mengkaji
hadis. Secara spesifik, menurut Ignaz Goldziher, Islam adalah agama yang paling
memuaskan akal, dan Islam tidak bertolak belakang dengan kemajuan ilmu, karena
jika bertolak belakang, maka berarti Islam itu bertentangan dengan semangat
pembawanya. Sementara itu, Goldziher dalam memandang al-Quran mengatakan,
“Tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’)
yang diakui oleh kelompok keagamaan bahwa ia adalah teks yang diturunkan atau
diwahyukan, di mana pada masa awal peredaran teks tersebut datang dalam bentuk
kacau dan tidak pasti sebagaimana yang kita temukan dalam al-Quran.” Demikian
tanggapan Goldziher terhadap al-Quran yang menurutnya banyak perbedaan dalam
hal qira’at dan tidak konsisten dalam hal tafsirnya dan ingin mengubah susunan
ayat dan surat dalam al-Quran secara kronologis, mengoreksi bahasa al-Quran
ataupun mengubah redaksi sebagian ayat-ayatnya.
Sosok yang paling pas disebut sebagai “dedengkot” orientalis yang
mengkaji religiusitas Islam secara spesifik dan mendalami kajian spiritual secara
umum adalah Ignaz Goldziher. Dengan penuh dedikasi dan semangat pantang
menyerah Goldziher sangat pintar dan mampu memahami seluk beluk al-Quran,
bahkan sampai dengan perbedaan qira’atnya. Dengan demikian, motivasi Goldziher
dalam mengkaji dunia Islam secara umum adalah motivasi keagamaan. Alasannya
dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1. Mencemarkan aqidah Islam Dengan berbagai karyanya, Goldziher
sangat lantang dalam usaha merusak aqidah Islam dengan mengatakan Islam
cenderung lebih dekat kepada Judaisme. Menurut penulis sangat wajar jika
Goldiher berkata demikian mengingat latar belakang Goldziher yang lahir dari
darah Yahudi.
2. Meragukan al-Quran Goldziher dalam bukunya yang membahas
qira’at, dianggap telah melakukan penyimpangan yang sangat jauh, mengabaikan
petunjuk yang benar, dengan sengaja mementahkan kebenaran al-Quran.
Kemudian di tahun 1927, sejalan dengan pemikiran Goldziher,
Alphonse Mingana menyatakan “Sudah saatnya sekarang untuk melakukan studi
kritis terhadap teks al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab
suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa
Yunani.” Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan
mereka terbukti tidak asli. Terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya,
sehingga sukar dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan.
IV
Ignaz Goldziher dan otentisitas hadits Hasil kritik hadits (oleh
ulama) itu diantaranya adalah pengakuan terhadap enam kitab hadits sebagai
kitab induk. Hal ini terjadi pada tahun ketujuh Hijrah. Dalam kitabkitab itu,
sebagian ulama pada abad ketiga Hijriyah menghimpun bermacam-macam
hadits yang bercecer yang mereka nilai sebagai hadits-hadits
shahih. Prasangka buruk Goldziher terhadap as-Sunnah terlihat jelas dalam
bukunya tersebut. Dari pandanganpandangan Goldziher tentang As-Sunnah yang
telah dijelaskan di atas, jelaslah hal-hal berikut:
1. Ia berpendapat bahwa sebagian besar hadits merupakan hasil
perkembangan Islam di bidang politik dan sosial.
2. Ia berpendapat bahwa para sahabat dan tabi’in berperan dalam
pemalsuan hadits.
3. Rentang waktu dan jarak yang jauh dari masa Rasulallah SAW
membuka peluang bagi para tokoh berbagai aliran untuk membuat hadits dengan
tujuan memperkuat aliran mereka. Bahkan, tidak ada satupun aliran, baik yang
bersifat teoritis maupun praktis, yang tidak mengukuhkan pendapatnya dengan
haditshadits yang tampaknya asli dalam bidang aqidah, fiqih, atau politik.
4. Sudut pandang para kritikus dari kalangan umat Islam berbeda
dengan sudut pandang para kritikus asing (non-muslim) yang tidak menerima
kebenaran banyak hadits yang diakui benar oleh umat Islam.
5. Ia menggambarkan enam kitab hadits sebagai himpunan berbagai
macam hadits yang tercecer, yang oleh para penghimpunnya dinilai sebagai hadits
shahih.
Dalam pandangan Goldziher, perbedaan hadis dan sunnah juga tetap
dipertahankan. Ia menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu teoritis
dan sunnah adalah kompendium aturan-aturan
praktis. Satu-satunya kesamaan sifat antara keduanya adalah bahwa keduanya
berakar secara turun-temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang
muncul dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum muslim
pertama yang dipandang berwenang dan telah pula dipraktikan dinamakan sunnah
atau adat/kebiasaan keagamaan. Adapun bentuk yang memberikan pernyataan tata
cara itu disebut hadis atau tradisi.
V
Pendekatan historis adalah pendekatan yang harus melekat pada Ignaz
mengingat objek hadis dan al-Qur’an mengenai qira’at yang ia teliti merupakan
objek masa lampau yang jauh dari masanya. Pendekatan historis juga telihat saat
memetakan madzhab tafsir yang berkembang selama ini dengan melacak akar
sejarah, mencoba membuat kategori berdasarkan kronologi waktu maupun
kecenderungan dan karakteristik dari masingmasing aliran tafsir yang muncul.
Diskursus tentang otentisitas hadis merupakan salah satu hal yang sangat
krusial dan kontroversial dalam studi hadis. Hal ini karena perbedaannya dengan
al-Qur’an yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana
firman Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.”222 Maka
secara normatiftheologis, hadis tidak mendapatkan “garansi” akan
keterpeliharaannya dari Allah Swt. Ignaz Goldziher, sebagai orientalis yang
kritis, tak lupa menyoroti point ini
dengan menganggap negatif keberadaan hadis. Walaupun dia dikenal lebih skeptis
dari pada Alois Sprenger (kritikus hadis pertama kali) dengan karyanya “Uber Das
Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856)223
dan Sir William Munir dengan karyanya Life of Mahomet,224 namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian
ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadis tersebut. Dalam bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan hadis tertulis (kitabat
al-hadis) secara umum. Dia mengatakan bahwa
kaum Muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadis adalah ajaran lisan yang
penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut
Goldziher, penulisannya wajib dilakukan. Beberapa catatan atau pandangan
Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut : Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum
muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad
dari masa hidup Nabi.225 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadis yang
membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) lebih banyak dari pada
pelarangan hadis yang lebih mengandalkan pada hafalan. Goldziher mengemukakan
data yang mengindikasikan adanya penulisan hadis melalui periwayatan Abu
Hurairah, “Tidak ada seorang pun yang hafal lebih banyak hadis selain aku,
namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya, sedangkan aku tidak.” Satu
fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin
Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para
pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannya.
Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis
oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadis ini. Kedua, Ignaz
Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan
para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik bukan merupakan
laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan
politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir
tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi
hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang benar-benar orisinil
dari Nabi atau generasi sahabat awal.
VI
Orientalime merupakan suatu karya akademis yang ditulis oleh Edward
Said ke dalam suatu bentuk buku. Dalam buku tersebut, Edward Said dengan sangat
keras sekali mengkritik paradigma “Islam vs the West“--- “Islam melawan Barat”. Dalam karyanya tersebut dia tidak hanya
mengkritik Barat atau Islam saja, namun mengkritik kedua belah pihak. Kritik
Edward Said yang ditujukan kepada dunia Barat dalam karyanya tersebut berkenaan
dengan khususnya sikap kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat, serta
intervensi negara-negara Barat yang mengakibatkan perang di Irak yang dilakukan
oleh Amerika. Dalam pandangannya tersebut Edward Said tidak menguraikan
pemikirannya secara dogmatis dalam mengkritisi Islam-Arab dan Barat, namun dia
menguraikan pemikirannya tersebut seperti sebuah karya sastra. Said menolak
tradisi pemahaman liberal tentang humanities sebagai
keseluruhan organisasi yang murni atau pengetahuan “disinterested”. Ide, budaya, dan sejarah tidak dapat dengan serius dipelajari
tanpa kekuatan. Argumentasi Said mengambarkan dua prinsisp sumber metodologi,
yaitu Foucault dan Gramsci. Ada beberapa prinsip-prinsip Foucault yang dipakai
oleh Said: Pertama, power dan
bagaimana cara kerjanya. Ada dua cara berprinsip yaitu konsepsi pada power dan
bagaimana cara berjalannya. Seperti yang kita ketahui selama ini, Foucault
menolak konsepsi power sebagai sebuah kekuatan yang didasarkan pada represi
sederhana. Menurutnya instrumen kunci dari power adalah ”pengetahuan”. Foucault
mengembangkan sebuah argument yang berhubungan dengan segala bentuk
”pengetahuan”. Kedua, discourse. Said
mengadopsi pendapat Foucault tentang ”Discourse”—sebagai medium yang merupakan
kekuatan dan melalui tersebut dilaksanakan— “construct” objek pengetahuan.
Dalam Said, power/kekuasaan dalam orientalism mengubah “kenyataan” Timur ke
dalam diskursif “Orient”, atau lebih tepatnya menggantikan satu dengan yang
lain.
VII
Menurut edward said Orientalisme merupakan teori era
Pos-Kolonialisme, Orientalisme berasal dari kata Orient-al
dan Isme
Orient yang memaparka keadaan Asia atau timur. sedangkan Oriental
merupakan kata yang dibuat oleh Chaucer dan Mandeville dan
dipopulerkan oleh Shakespeare, Dryden, Paus, dan Byron yang digunakan oleh
mereka dalam menyebut Asia secara geografis,moral ataupun budaya. Secara
etimologi kata Orient-al dan Isme
Orient mempunyai arti “Matahari Terbit”, yang kemudian artinya
menjadi politis melalui orientalisme, yakni sebuah kajian sebuah kajian tentang
sejarah, sastra dan seni di Asia lebih jauh. Said mengatakan bahwasannya
orientalisme merupakan pandangan orang Barat tentang Timur, Barat menilai
bahwasannya Timur adalah, "representasi hasrat tersembunyi dari budaya
Barat”, selain itu menurut dia orientalisme merupakan cara Barat untuk
mendominasi, merestrukturisasi, dan memiliki kontrol atas dunia Timur. Yang itu
dalam berjalannya waktu bangsa Barat Secara ideologis dan politis,
melakukan berbagai upaya untuk menjinakkan dunia Timur lewat sastra dan
seni sejak era kolonisasi pada adab 18. Dalam upaya untuk membahas mengenai
orientalisme Said membedakannya menjadi 3 hal kata tersebut dalam
penggunaannya. Pertama, istilah tersebut
merujuk pada periode yang panjang tentang hubungan budaya dan politik antara
Eropa dan Asia. Kedua, istilah tersebut
digunakan pada studi akademik tentang bahasa dan budaya oriental, dari
awal abad 19. Ketiga, istilah tersebut
merujuk pada pandangan stereotip dari kaum Oriental, yang dikembangkan oleh
beberapa generasi penulis dan sarjana barat, serta pandangan-pandangan
prejudis (prasangka) mereka tentang oriental sebagai kriminal dan palsu.
Menurut pandangan Said Orientalisme merupakan sebuah cara yang membuat
orang-orang Eropa menilai diri mereka sendiri. Dia mengatakan bahwasannya
orientalisme adalah sebuah “latihan” bangsa Eropa dalam menguatkan budaya yang
berasal dari Eropa itu sendiri. Selama era kolonial pada abad ke 19-20 bangsa
Barat menggunakan orientalisme untuk menunjukkan Superioritas mereka terhadap
bangsa Asia yang mereka lihat sebagai bangsa yang inferior. Hal ini didasari
atas pandangan bangsa Barat sendiri yang menganggap diri mereka mempunyai
budaya yang jauh lebih unggul dari bangsa Asia dan itu sangat ditunjukkan dalam
era kolonial. Namun dalam kenyataannya Said mengatakan ada sebuah fakta empiris
yang menunjukkan bahwa superioritas bangsa Eropa terhadap bangsa Asia tidak
sepunuhnya mutlak, Said mengambil contoh dan meminta pendapat dari Robetson
yang mengetahui sejarah yang secara mendalam, ketika Negarawan Inggris
memperlihatkan superioritas mereka terhadap bangsa-bangsa Timur mereka secara
langsung akan berhadapan denga ras-ras besar di Timur bisa diambil contoh
adalah Mesir. Mesir yang mempunyai sejarah dan peradaban yang jauh lebih maju
di jama sebelum Inggris yang menurut Said hal tersebut mempunyai sebuah keunggulan
dalam melawan Superioritas bangsa Barat terhadap bangsa Timur. Namun di dalam
tulisannya kali ini, Said menyimpulkan Orientalisme mempunyai pandangan dasar
keilmuan untuk kepentingan Barat yang ingin menguasai bangsa-bangsa diluar
barat secara Ideologis dan politis serta menguasai ekonomi dan sumberdaya alam
di Timur.
VIII
Menurut edward said Istilah “We & The Others” pertama kali
diucapkan oleh James Arthur Balfour dia adalah seorang anggota parlemen Inggris
, istilah itu diucapkan ketika dia sedang berpidato di depan Majelis Rendah
Inggris. Hal itu dia sampaikan ketika membahas masalah-masalah yang berhubungan
dengan kependudukan Inggris di Mesir. Kata “We” disini merupakan sebuah istilah
yang menggambarkan bangsa Barat terutama Inggris sedangkan makna kata “The
Others” lebih menggambarkan bangsa Timur yang lebih mengarah ke Mesir. Budaya
Timur terutama Mesir dipandang oleh Barat terutama Inggris sebagai “The Others”
yang erotis, eksotis, dan fantastis, hal ini yang menurut Balfour dalam pidato
membahas perlunya adanya kependudukan yang dilakukan Inggris terhadap Mesir
karena dia menganggap bahwasannya pengetahuan Inggris mengenai Sejarah dan
budaya Mesir lebih luas daripada masyarakat Mesir sendiri. Pengetahuan yang
dimaksud oleh Bulfour adalah sebuah penilitian dan peninjaun yang dilakukan
terhadap perkembangan peradaban sebuah bangsa mulai dari asal mulanya peradaban
itu ada kemudian zaman keemasannya sampai dimana zaman itu mengalami
keruntuhannya. Dia melihat bangsa Inggris memiliki kemampuan dalam melakukan
itu yang bisa membuat Inggri memiliki dominasi dan kewenangan atas objek
pengetahuan itu. Hal ini semakin membuat Superioritas bangsa Barat terutama
Inggris dan Inferioritas Mesir semakin kentara. Pandangan Balfour yang seperti
itu didasari oleh paham orientalisme yang sedang berkembang di Eropa kala itu
yang menganggap superioritas bangsa Barat terhadap bangsa Timur yang dinilai
sebagai inferior. Said menganggap Orientalisme disini sebagai langkah politis
yang semakin mempertajam oposisi kata antara “We and The Others” artinya bangsa
barat semakin menjelaskan diri mereka sebagai bangsa Barat yang superior dan
bangsa-bangsa yang berada di Timur juga diluar Eropa dianggap sebagai bangsa
yang inferior. Hal itu semakin diperkuat atas klaim bangsa barat yang memiliki
tingkat kemampuan dalam melakukan sebuah penilitian dan peninjaun terhadap
sejarah juga kebudayaan bangsa-bangsa tersebut yang menurut mereka bangsa
tersebut bahkan tidak bisa menjelaskan kebudayaan dan sejarah mereka sendiri.
pandangan politis yang lain memperlihatkan justru akan menciptakan dan
menampilkan 2 dunia “yang saling mempunyai perbedaan” sebagai sesuatu Oposisi.
“The Others” atau orang-orang timur hidup di dunia mereka sendiri
sedangkan “We” atau orang barat-barat hidup di dunia sendiri yang dianggap
berbeda dengan “The Others”. Superioritas bangsa Barat terhadap bangsa Timur
juga bisa mengingkari otonomi negeri-negeri di Timur yang harusnya juga
dilakukan oleh bangsa-bangsa dimana mereka tinggal. Gagasan ini juga membuat
bangsa barat semakin membuat dirinya memiliki kebudayaan yang lebih tinggi
dari bangsa barat dan kolonialisasi yang mereka lakukan juga membuat
mereka lebih mengEkplorasi kekayaan bangsa-bangsa Timur baik secara budaya,
sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang mereka gunaan dalam kemajuan
Eropa sendiri.
No comments:
Post a Comment