Friday, 11 November 2016

Membahas Kitab Hadis : urgensi dan ruang lingkupnya

A.     Urgensi dalam Mengkaji Kitab Hadis
Adapun urgensi pengkajian kitab hadis yaitu, dengan mengkaji kitab hadis maka dapat mengetahui bentuk atau jenis-jenis kitab-kitab tersebut (ada yang disusun secara shahih, ada juga yang tidak demikian. Mempelajari kitab hadis juga dapat membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwiyatkan oleh para sahabat dari Nabi SAW dan mempermudah pengecekannya.  Juga mempermudah mengetahui sanad-sanad hadis, kerena sanad-sanad itu terkumpul dalam satu tempat sehingga dapat membantu dalam penelitian ulang (takhrij) sanat-sanad hadis. Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan hadis tersebut serta bab hadis dalam sumber-sumber tersebut.[1]
B.    Definisi  Kitab Hadis
Mengenai pengertian dari kitab hadis M.M. Azami dalam bukunya mengatakan bahwa, kitab hadis adalah, kitab yang telah ditulis dan telah diteliti sanad dan matannya oleh para ahli Hadis mulai sejak  nabi saw wafat sampai masa-masa berikutnya seperti Ahmad ibn Hambal, Bukhari, Muslim dan lain-lain yang masih dikenal hingga sekarang.[2]
Ulama Muhaddisin tersebut menulis berbagai jenis kitab dalam berbagai bidang bahasannya hingga muncul yang namanya kitab Shahihan (Bukhari dan Muslim), Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan at-Tirmidzi, Abu Daud dan lain sebagainya yang nantinya menjadi bahan rujukan dari para peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin mendapatkan hujjah dari hadis nabi .
C.     Kitab Hadis Ditinjau dari Segi Kriterianya
Kitab-kitab hadis jika ditinjau dari kriterianya adalah sebagai berikut:
1.      Kitab Shahih
Kitab Shahih merupakan kitab yang di dalamnya terhimpun hadis-hadis yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis-hadis shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H) yang kemudian menamai kitabnya dengan Shahih Bukhari. Muh. Zuhri mengatan dalam bukunya bahwa al-Bukhari tersebut menjamin hadis-hadis yang ditulisnya sahih metodenya kemudian diikuti oleh sahabat yang juga menjadi muridnya yaitu Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi (204-261 H). Kedua kitab ini adalah kitab yang paling shahih. Tetapi Bukhari lebih kuat karena Bukhari dalam mengeluarkan hadis mensyaratkan dua hal, yakni: pertama, Perawi harus semasa dengan gurunya. Kedua Perawi benar-benar bertemu atau mendengar langsung dari gurunya.[3] Sedangkan Muslim tidak mensyaratkan poin yang kedua, tetapi hanya mensyaratkan yang pertama .
Kitab lain yang disusun berdararkan persyaratan shahih al-Bukhari maupun Muslim antara lain, Shahih Abu ‘Awanah, Shahih ibnu Khuzaimah (w. 311) dan shahih Ibnu Hibban(w.254) . kedua kitab Shahih tersebut dikatakan juga sebagai kitab Jami’ karena didalamnya memuat tidak kurang dari 8 topik: al-Aqidah, al-Ahkam, al-Raqaq, adab al-Tha’am wa al-Syarab, al-Tafsir, al-Tarikh wa al-Siyar, al-Qiyam wa al-Qu’ud, al-Fitan, al-Manaqib wa al-Mathalib.[4]
2.      Kitab Sunnan
Kitab Sunnan adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu' dan disusun berdasarkan bab-bab fiqih. Di antara kitab-kitab yang termasuk Sunan yang masyhur adalah Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah. Keempat kitab sunan ini masyhur dengan sebutan al-Sunnan al-Arba'ah. Bila dikatakan al-Sunan al-Tsalasah, maka maksudnya ketiga sunan yang pertama, yakni selain Sunan Ibnu Majah. Kitab Sunan ini berbeda dengan kitab Jami’ al-Shahih karena di dalamnya tidak terdapat pembahasa akidah-akidah dan sirah nabi yang sebagaimana termuat dalam kitab Jami’ al-Shahih[5]. Bila dikatakan al-Khamsah, maka yang dimaksud adalah al-Sunan al-Arba'ah dan Musnad Ahmad. Bila dikatakan al-Sittah, maka yang dimaksud adalah Shahihaini dan al-Sunnan al-Arba'ah. Kitab-kitab Sunan juga mendapat perhatian yang cukup besar dari umat islam sepanjang masa dan kerap dijadikan sebagai referensi terutama berkaitan dengan soal hukum. Masih terdapat kitab Sunan yang lain seperti Sunan al-Qubra karya Baihaqi, Sunan Dar al-Qutni dan lain-lain.[6]
3.      Kitab Musnad
Kitab musnad adalah kitab yang hadis-hadis di dalamnya disebutkan nama-nama sahabat yang lebih dahulu masuk islam atau berdasarkan nasab. Di dalam sistem ini pengatur mengatur secara sistematis (tertib) mulai nama-nama dari sahabat yang lebih utama beserta seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta sahabat yang lebih rendah derajatnya beserta hadis-hadisnya. Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a dengan menyebut seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan nama Umar r.a dengan mencantumkan seluruh hadis yang beliau riwayatkan dan seterusnya berturut-turut nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Umar dengan seluruh hadisnya. Contoh dari kriteria kitab ini adalah Musnad Ahmad Ibn Hanbal.[7]
4.      Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis  lain dan kitab tersebut mengikuti syarat kitab hadis yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah al-Mustadrak al-Hakim. Di situ al-hakim menyebutkan hadis-hadis shahih yang sesuai syarat dri Bukhari-Muslim atau salah satu syarat dari keduanya, tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadis tersebut. Disebut dengan Mustadrak karena penulisnya menemukan hadis yang “amat berharga” karena kesahihannya tetapi tidak sempat diliput oleh Bukhari dan Muslim. Kitab yang terkenal jenis ini adalah, al-Mustadrak karya Imam al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak karya Abu Dzar al-Harawi dan lain-lain.
5.    Kitab al-Muwaththa’
Secara bahasa, Muwattha’ berarti sesuatu yang dipersiapkan (al-Muhayya’) dan dimudahkan (al-Yassr). Menurut istilah ulama hadits, Muwattha’ adalah tipe pembukuan kitab hadits yang didasarkan pada klasifikasi hukum islam (abwab al-Fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadits-hadits marfu’ (disandarkan pada nabi), mauquf (disandarkan pada sahabat), maqtu’ (disandarkan pada tabi’in). Dari kata Muwattha’ timbul kesan bahwa moivasi pebukuan hadits dengan tipe ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan hadits. Kandungan kitab ini adalah hadits Nabi, fatwa sahabat, dan pendapat tabi’in. Bedasarkan definisi diatas, karateristik tipe Muwattha’:
1.      Disusun bedasarkan bab tertentu, biasanya klasifikasi hukum islam
2.      Mencantukan hadits-hadits marfu’, mauquf dan maqthu’
3.      Didalamnya terdapat hadits-hadts shhih, hasan, da’if.[8]
D.    Kitab Hadis Ditinjau dari Cara Penggunaannya
Adapun Kitab Hadis yang ditinjau dari cara penggunaannya adalah;

1.      Kitab Mu'jam
Kitab Mu'jam menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadis,negri-negri dan lain-lain menggunakan tipe mu’jam susunan, kitab mu’jam disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, sehingga penyusun mengawali pembahasan kitab mu'jamnya dengan hadis-hadis yang diterima dari A, lalu yang dari B dan seterusnya. Hal ini  untuk memudahkan dalam penelusuran hadis yang dimaksudkan.
Di antara kegunaan kitab ini yang terpenting adalah untuk mengecek seberapa banyak hadis yang dirterima periwayat dari guru-guru tertentu. Diantara kitab mu'jam yang terkenal adalah tiga buah kitab mu'jam karya al-Muhaddits al-Hafidz al-Kabir Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani (w. 360 H). Ketiga kitab mu'jam itu adalah: al-Mu'jam al-Shaghir , al-Mu'jam al-Ausath , dan al-Mu'jam al-Kabir. Satu lagi kitab mu'jam adalah Mu'jam al-Buldan. Kitab ini disusun berdasarkan nama kota. Merupakan karya dari Abi Ya'la Ahmad bin Ali al-Muslihi. Beliau wafat pada tahun 307 H.[9]
2.      Kitab Takhrij
Yaitu kitab yang disusun berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis yang terdapat didalam kitab lain. Di antara kitab takhrij yang terpenting adalah: Nahbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafidz Jamluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila'I al-Hanafi (w. 762 H). kitab ini merupakan takhrij hadis-hadis kitab al-Hidayah, sebuah kitab fikih madzhab Hanafi, yang disusun oleh ali bin Abu Bakar al-Marghinani, salah satu seorang pemuka fuqaha Hanafi (w. 593 H).
Kitab ini mengungkap secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faedah, dan mengupas setiap hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah disertai riwayat dan hadis-hadis lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkapkan pembahasan mengenai hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat dengan ulama hanafiah secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.
3.      Kitab Jarh wa Ta'dil
Lahirnya kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil merupakan jerih payah para kritikus dan kajian mereka terhadap perilaku para perawi, dilihat dari sisi diterima atau tidak diterimanya hadis mereka. Para ulama yang menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil menggunakan metode yang berbeda-beda. Ada sebagian yang hanya menulis tentang rawi-rawi yang dha’if  saja. Ada juga yang menulis rawi yang tsiqah saja, ada pula yang mengumpulkan keduanya. Diantara contoh dari kitab tersebut sebagai mana yang dikutip oleh Suryadi dalam bukunya adalah Kitab Al-Jarhu wa At-Ta’dil karya Abdurrahman ibn Abi Hatim Ar-Razi dan Mizanul I’tidal, karta imam Syamsuddin Muhammad ad-Zahabi.[10]
4.      Kitab al-Athraf
Kitab al-Athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pada kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan lengkap dan sebagian lainnya hanya menyebutkan sebagiannya. Kitab-kitab ini tidak memuat matan hadis secara lengkap dan bagian hadis pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual. Kitab ini disusun berdasarkan nama perawi pada tingkat sahabat. Diantara contoh kitab jenis ini adalah kitab Tuhfatul Ashraf Bima’rifati al-Athraf karangan al-Hafiz Jalaluddin Abu al-Yusuf ad-Dimasyqi al-Syafi’i.[11]






[1]. ://http://www.facebook.com/home.php?#!/profile.php?id=1611246093. 13.00.
[2].  M.M. Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hal. 509

[3]. Muhammad Musthafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, diterjemahkan dari Buku Aslinya: Studies in Hadith Methodology and Literature, Terbitan American Trust Publication, Penerjemah A. Yamin, cet. Pertama, Pustaka Hidayah, Bandung 1992, hal. 143.
[4].  Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Tiara Wacana, Yogyakarta (Anggota IKAPI), 2003, hal. 60.
[5]. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadis, Maktabatul Ma’arif Linnasri Wattauri’, Al-Riyadl 1996, Hal. 169
[6].  M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, cet.  I, 2010, hal. 294.
[7].  M. Abdurrahman,Studi Kitab Hadis, Teras Press, Sleman, Yogyakarta, 2003, hal. 25
[8].   Idri, Studi Hadis, (Jakarta, kencana pernada media grup,2010),cet 1,hlm 115-116.
[9]. M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, cet.  I, 2010, hal. 299. Lihat Muhammad Alawy ibn Abbas, al-Manhal al-Lathif Fi Ushul al-Hadis al-Syarif, t. Th. Hal. 246.
[10].  Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis (Yogyakarta; Madani Pustaka Hikmah, 2003), hal.27-29
[11].  Abu Muhammad Abdul Mahdi ibn Abdul Qadir ibn Abdul Hadi, Metode Tahrij Hadis, Terj. Dr. S. Aqil Husain Munawwar, MA, (Dina Utama, Semarang, 1994), hal. 79 

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete