Friday, 11 November 2016

Metode Pemahaman Hadis Muhammad al-Ghazali, skripsi hadis

Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi oleh Muhammad Al-Ghazali
1.      Biografi
Muhammad Al-Ghazali lahir pada tanggal 22 september 1917 di naqla al-‘Inab, al-Bukhaira Mesir. Ia adalah seorang da`i terkenal, penulis produktif (tidak kurang dari empat puluh buku telah ditulisnya), dan mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun, di samping seorang ulama beraliran Salafi. Dua karyanya yang penuh diterbitkan oleh Mizan adalah Keprihatinan Seorang Juru Dakwah (1984) dan Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20 (1989).[1]
Menurut Muhammad al-Ghazali ada lima kriteria keshahihan hadits yaitu tiga terkait dengan sanad (periwayat harus dhabit dan adil, serta keduanya harus memiliki seluruh rawi dalam sanad) dan dua kriteria terkait dengan matan (matan hadits tidak syadz atau salah seorang atau beberapa rawinya bertentangan periwatannya dengan perawi yang lain yang lebih akurat dan lebih dapat dipercayai dan matan hadits tidak mengandung ‘illah qadihah cacat yang diketahui oleh para ahli hadits sehingga mereka menolaknya). Beliau tidak memadukkan unsur ketersambungan sanad sebagai kriteria keshahihan hadits. [2]
Menurutnya, untuk mempraktekkan kriteria itu memerlukan kerjasama atau saling sapa antara Muhaddits dengan berbagai ahli dibidangnya termasuk fuqaha, Mufassir, Ahli Ushul Fiqh, Ahli Kalam dan lainnya.[3]
2.      Metode yang digunakan
a.       Pengujian dengan Al-Qur’an
Ia mengecam keras terhadap orang yang memahami dan mengamalkan secara tekstual hadits yang shahih sanadnya namun matannya bertentangan dengan Al-Qur’an. Keyakinan ini berasal dari kedudukan hadits sebagai sumber otoritatif setelah Al-Qur’an dan tidak semua hadits dipahami secara benar oleh periwayatnya.[4] Mengkaji Al-Qur’an dengan porsi sedikit dari hadits tidak mungkin memberikan gambaran yang mendalam. Selama menyangkut kritik matan dalam pengertian memfilter matan yang shahih dhaif dan kritik matan dalam memahami hadits menggunakan metode ini.
Penggunaan metode ini adalah setiap hadits harus dipahami dalam kerangka makna yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an baik secara langsung atau tidak. Penerapan pemahaman hadits dengan metode ini dijalankan secara konsisten, sehingga banyak hadits yang shahih seperti dalam kitab Shahih Bukhari Muslim yang dianggap dhaif. Ia akan mengutamakan hadits yang sanadnya dhaif, bila kandungan maknanya sinkron dengan prinsip ajaran Al-Qur’an daripada hadits yang sanadnya shahih akan tetapi kandungan maknanya tidak sinkron dengan inti ajaran Al-Qur’an dalam persoalan kemashlahatan dan muamalah duniawiyah.[5]
b.      Pengujian dengan Hadits
Pengujian ini menggunakan matan hadits yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadits mutawatir dan hadits yang lebih shahih. Setiap hadits harus dikaitkan dengan hadits lainnya untuk menentukan suatu hukum. Kemudian hadits itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.[6]
c.       Pengujian dengan fakta historis
Hadits dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadits dengan fakta sejarah akan menjadikan hadits memiliki sandaran validitas yang kokoh, sebaliknya apabila terjadi penyimpangan antar keduanya, salah satu diantara keduanya akan diragukan kebenarannya.[7]
d.      Pengujian dengan kebenaran ilmiah
Pengujian ini diartikan bahwa setiap kandungan matan hadits tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah dan juga memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia jadi tidak masuk akal bila hadits mengabaikan keadilan. Hadits shahih apabila muatan informasinya bertentangan dengan prinsip keadilan dan prinsip hak asasi manusia dianggap tidak layak pakai.[8]
3.      Kategorisasi dalam rangka mempraktikkan hadits
a.       Pengujian dengan Al-Qur’an, Hadits, Fakta Historis dan kebenaran Ilmiah. Misalnya hadits tentang orang tua memaksa anak perempuan  untuk menikah, hadits ini mengungkap tentang hak penuh bagi orang tua untuk memaksa anak perempuannya menjalani pernikahan pada laki-laki الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها واذنها صماتها 
(seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang gadis dimintai persetujuan bapaknya atas dirinya). Dan diamnya seorang gadis itu tanda persetujuan. Hal ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan Ibn abbas dan Aisyah bahwa Nabi menyerahkan sepenuhnya kepada gadis untuk memilihnya.[9]
Mazhab Syafi’i dan Hambali memberikan hak penuh pada orang tua untuk memaksa anak perempuan meraka yang telah dewasa dengan pilihan seorang ayah, meskipun wanita itu tidak menyukainya. Al-Ghazali tidak setuju pada keduaanya, tetapi setuju dengan Mazhab Hanafi yang memberikan hak sepenuhnya kepada wanita untuk menikahkan dirinya sebagai pelaksanaan ayat Al-Qur’an yang dipahami secara langsung QS. Al-Baqarah ayat 148.[10]
b.      Pengujian Pengujian dengan Al-Qur’an, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah. Misalnya tentang hadits tentang setiap hewan yang bertaring adalah haram كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
Setiap binatang yang bertaring, diharamkan memakannya. Hadits riwayat muslim menyatakan bahwa setiap binatang yang bertaring, diharamkan memakannya. Menurut Al-Nawawi, hadits tersebut diucapkan Nabi di Madinah, sehingga me-nasakh ayat Al-Qur’an yang turun di Madinah yaitu QS. Al-An’am ayat 145. Bagi Al-Ghazali, hadits ahad tidak bisa me-nasakh ayat Al-Qur’an apalagi ayat diatas diulang sampai empat kali dalam QS. An-Nahl turun di Mekkah, QS. Al-Baqarah dan Al-Maidah  yang turun di Madinah. Secara historis, hadits itu ditolak oleh sahabat Ibn Abbas, tabi’in Al-Sya’bi dan Sa’ad bin Zubair.[11]
c.       Pengujian dengan Hadits, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah. Misalnya hadits tentang larangan wanita shalat jama’ah di masjid عن عبد الله بن سويد الأنصاري عن عمته امرأة أبي حميد الساعدي أنها جاءت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إني أحب الصلاة معك فقال قد علمت انك تحبين الصلاة معي وصلاتك في بيتك خير من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك خير من صلاتك في مسجد قومك وصلاتك في مسجد قومك خير من صلاتك في مسجدي………..
Dari Abdullah bin Suwaid Al-Anshary dari bibinya – yaitu istri Abu Humaid As-Sa’idy – bahwasannya ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat (berjama’ah) bersamamu”. Beliau menjawab : “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang shalat bersamaku. Namun shalatmu di rumahmu (bait) lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu (daar). Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku. Al-Ghazali menolak hadits itu karena bertentangan dengan ‘amaliyah Rasul yang membiarkan para wanita menghadiri shalat jama’ah bersama beliau selama sepuluh tahun dari fajar sampai Isya’. Rasul juga mengkhususkan salah satu pintu masjidnya bagi wanita. Nabi juga pernah bersabda
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.‘
(Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah). Khulafaurrasyidin juga membiarkan barisan wanita di masjid setelah wafat Rasulullah.
Menurut Al-Ghazali, larangan wanita berjamaah dimasjid juga dibenarkan apabila dibarengi dengan kemaksiatan. Pengkajian ini adalah bagaimana mensintesakan kebutuhan akan ketenangan keluarga dan kebutuhan wanita bersosialisasi di luar rumah.[12]
d.      Pengujian dengan Fakta Historis. Misalnya hadits tentang orang tua Nabi Masuk Neraka:
أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي
Seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, di manakah ayahku berada?” Nabi menjawab: “Di dalam neraka.” Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi memanggilnya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka. Menurutnya, hadits ini tidak shahih.kata abi (ayahku) dalam bahasa Aran menunjuk pada pamannya yaitu Abu Thalib yang sebelum wafatnya diajak megucapkan kalimat tauhid tetapi Abu Thalib menolak. Ayah Nabi Muhammad adalah termasuk ahl al-fatrah yang diselamatkan dari siksa dan azab.[13]
e.       Pengujian dengan kebenaran Ilmiah. Misalnya hadits tentang pengharaman mengumumkan tentang kematian seseorang, hadits Hudzaifah bin Al-Yaman yang berwasiat,
إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ
"Apabila aku mati, jangan beritahukan kepada orang lain, karena aku takut itu termasuk an-na`yu, dan aku pernah mendengar Rasulullah melarang an-na`yu.” Hadits itu melarang pengumuman tentang kematian sesorang baik di iklan, surat kabar atau media lain. Menurutnya, yang dilarang itu ketika memamerkan atau menyebut jasa yang pernah dilakukan si mayit agar menimbulkan kebanggaan baginya ataupun bagi keluarga yang ditinggalkan. Apabila hanya pemberitahuan biasa itu tidak dilarang.[14]




[1] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali
dan Yusuf al-Qardhawi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm., 23.
[2] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 78.
[3] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 78-79.
[4] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 82.
[5] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 84
[6] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 85.
[7] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 85.
[8] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 86.
[9] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 89.
[10] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 91.
[11] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 120.
[12] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 125-127.
[13] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 130.
[14] Ibid., Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif..., hlm., 133. 

No comments:

Post a Comment