Friday, 11 November 2016

Makalah Mutaradif

Pengertian dan Fungsi Mutarodif dalam Al-Qur’an

Untuk dapat memahami Alquran secara tepat dan efektif maka merupakan keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu. Hal ini mengandung arti, seseorang pengkaji Alquran harus memahami arti kata, maksud kalimat hingga apresiasi sastra. Kata adalah seni sehingga dalam memahami kata harus memahami unsur intrinsik kata itu sendiri.
Muradif atau mutaradif Alquran -sebuah bagian dalam bab tersebut- memiliki arti sinonim atau kata-kata yang searti. Namun dalam pembahasan ini apa yang dimaksud sebagai mutaradif Alquran sebenarnya adalah merupakan kata-kata yang seakan-akan bersinonim namun sebenarnya tidak. Dan inilah maksud istilah yang terkandung di dalam berbagai literatur.
Muradif terjadi, biasanya, ketika ingin memunculkan kesan dalam sebuah gaya penyampaian (hirsh ala andhimah). Namun demikian tetap mengandung tujuan sama, dalam keadaan mutlaknya, dan ketidaksamaan, dalam makna hakikinya. [1]
Dalam Alquran, sebenarnya konsep mutaradif itu sangat jarang (qalil nadir) atau bahkan tidak ada sama sekali.[2] Karena sebenarnya mutaradif yang sesungguhnya (Mutaradif At-tam) bahkan tidak pernah ditemui di dalam Alquran maupun lughah. Apabila ditemukan pada sebagian ulama, maka hal tersebut sangat jarang, yakni sebuah lafal yang memiliki arti serupa dengan lafal lainnya dari berbagai sisi (min kulli jihatihi).[3]
Lafal-lafal di dalalm Alquran, diposisikan menurut kedudukannya. maka sinonimnya tidak bisa ditempatkan pada tempat yang lain, bagi mufasir menjaga fungsi dan  dan kepastian suatu kata adanya sinonim itu sebuah ketidak mungkinan. Sebab pada sebuah susunan arti ada sebuah arti lain. Maka dari itu kebanyakan golongan usuhuliyyin mencegah jatuhnya salah satu dua sinonim di tempat lain dalam sebuah susunan. Meskipun mereka juga bersepakat diperbolehkannya dalam makna mufrad.[4]
Menarik sekali untuk menyimak ungkapan Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya:
رابعا : ان يعبروا عن المعانى بألفاظ متقاربة لا مترادفة, فان الترادف قليل فى اللغة, ونادر او معدوم فى القران, و قل ان يعبر عن لفظ واحد بلفظ واحد يؤدى جميع معناه. وانما يعبر عنه بلفظ فيه تقريب لمعناه, فمثلا اذا قال واحد يؤدى جميع معناه, و انما يعبر عنه بلفظ فييه تقريب لمعناه مثلا.[5]
Dalam Alquran sering kali pengungkapan dengan lafal-lafal yang mutaqaribah (maknanya berdekatan) bukan mutaradifah (sinonim). Sebab tidak adanya hal tersebut. Akan sangat jarang apabila suatu lafal disebutkan dengan lafal yang menunjukkan makna keseluruhan.  Mungkin hanya perkiraan saja.

B.     Contoh-contoh Mutarodif dalam Al-Qur’an
Dalam Alquran banyak ditemukan lafal-lafal mutaradif. Diantaranya:
1.       Al-Khauf (الخوف) dan Khasyah (الخشية) (Takut).
            Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata Al-khauf.Makna al khasyyah lebih tinggi daripada al khauf karena al khasyyah terambil dari kata kata syajarah khasyyah artinya pohon yang kering. Jadi arti al khasyyah ialah totalitas rasa takut. Sedangkan al khauf terambil dari kata “naaqah khaufaa” artinya unta betina yang berpenyakit yakni mengandung kekurangan bukan berarti sirna sama sekali. Di samping itu alkhasyyah ialah rasa takut yang timbul agungnya pihak yang takuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Dengan demikian al khasyyah adalah al khauf atau rasa takut yang  disertai rasa hormat (ta’dzim), sedangkan al khauf adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu hal yang kecil. Dilihat dari akar katanya al khasyyah terdiri atas Khaa syiin dan yaa’ yang di dalam tafsirnya menujukkan sifat keagungan dan kebesaran, asy-syaikh berarti pemimpin yang besar, dan al khaisyi berarti pakaian yang tebal. Oleh karena itu, kata al khasyyah sering dipergunakan berkenaan dengan hak Allah, seperti dalam ayat:

$yJ¯RÎ) Óy´øƒs ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$#  
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS Fatir:28)
šúïÏ%©!$# tbqäóÏk=t7ムÏM»n=»yÍ «!$# ¼çmtRöqt±øƒsur Ÿwur tböqt±øƒs #´tnr& žwÎ) ©!$# 3
(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. (QS al-Ahzab:39)
Adapun al-khauf dalam ayat berikut:
tbqèù$sƒs Nåk®5u `ÏiB óOÎgÏ%öqsù tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrãtB÷sム) ÇÎÉÈ
mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (QS an-Nahl:50)
Digunakan untuk mensifati para malaikat sesudah menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata al khauf disini untuk menjelaskan bahwa sekalipun para malaikat itu besar besar dan kuat tetapi di hadapan Allah mereka lemah. Ungkapan itu kemudian disambung dengan “fauqahum” yang berarti Allah itu di atas mereka, hal ini menunjukkan akan kebesaran-Nya. dengan demikian terkumpullah dua unsur makna yang terkandung oleh al khasyyah tanpa merusak arti kehebatan para malaikat, yaitu khauf dan penghormatan mereka kepada Tuhan.[6]

2.       Asy-syuh (الشح)dan al-Bukhl (البخل) (Pelit).
Arti kata asysyuhh (الشح) lebih intens dari arti kata al-bukhl karena umumnya asy-syuhhu adalah al bukhl atau kikir yang disertai ketamakan. Al-‘Askary juga membedakan Al-bukhl dengan kata Adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya suatu aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya.Contohnya:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ  
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS an-Nisa:128)
$tBur uqèd n?tã É=øtóø9$# &ûüÏYŸÒÎ/ ÇËÍÈ  
Dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. (QS at-Takwir:24)[7]

3.       As-Sabil dan Ath-Thariq (Jalan)
Demikian pula “as-Sabìlالسبيل)) dan “at-Tarìq” (الطريق) yang pertama banyak dipakai pada jalan kebaikan sedang yang kedua hampir hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai sifat atau idàfah yang menunjukkan makna tersebut. Misalnya dalam ayat: (Q.S al-Ahqof: 30). Menurut ar-Raghib dalam mufradat-nya, “as-Sabìl” adalah at-Tariq atau jalan yang didalamnya terdapat kemudahan. Jadi lebih khusus dari “at-Thariq”.
           
y7Ï9ºxx.ur ã@Å_ÁxÿçR ÏM»tƒFy$# tûüÎ7oKó¡oKÏ9ur ã@Î6y tûüÏB̍ôfßJø9$# ÇÎÎÈ  
Dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.(QS al-An’am:55)

4.       Madda dan Amadda
Demikian pula “Madda”(مدّ)dan “Amadda”(امدّ)ar-Raghib dalam menjelaskan kata “imdad”(bentuk mashdar dari amadda) banyak dipakai pada hal-hal yang disenangi, seperti pada ayat:
Nßg»tR÷ŠyøBr&ur 7pygÅ3»xÿÎ/ 5Oóss9ur $£JÏiB tbqåktJô±o ÇËËÈ  
Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. (QS at Tur:22)

sedang madda dipergunakan pada sesuatu yang tidak disenangi. Misalnya pada surat berikut:
žxŸ2 4 Ü=çGõ3oYy $tB ãAqà)tƒ ßJtRur ¼çms9 z`ÏB É>#xyèø9$# #ttB ÇÐÒÈ  
Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya. (QS Maryam:79)[8]



[1] Musykilat Ziyadah Al-Mabni. Juz I, hal. 30.
[2] Syarh Muqaddimah Tafsir. Juz 5. Hal, 10
[3] Syarh Muqaddimah Juz.4 hal, 6..
[4] Badruddin Muhammmad bin Abdillah az Zarkasyi, Al-burhan fi Ulum Alquran, Juz 4 Hal, 78
[5] At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz. 3. Hal, 13
[6] Manna Khalil Al Qattan,studi ilmu ilmu Al Qur’an(Bogor,pustaka litera antarnusa,2012)cet 15,hlm 289-290.

[7] Badruddin Muhammmad bin Abdillah az Zarkasyi, Al-burhan fi Ulum Alquran, Juz 4 Hal, 79.

[8] Manna Khalil Al Qattan,studi ilmu ilmu Al Qur’an(Bogor,pustaka litera antarnusa,2012)cet 15,hlm 290.

No comments:

Post a Comment