Pengertian dan Fungsi
Mutarodif dalam Al-Qur’an
Untuk dapat memahami Alquran secara tepat dan
efektif maka merupakan keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu.
Hal ini mengandung arti, seseorang pengkaji Alquran harus memahami arti kata,
maksud kalimat hingga apresiasi sastra. Kata adalah seni sehingga dalam
memahami kata harus memahami unsur intrinsik kata itu sendiri.
Muradif atau mutaradif Alquran -sebuah bagian
dalam bab tersebut- memiliki arti sinonim atau kata-kata yang searti. Namun
dalam pembahasan ini apa yang dimaksud sebagai mutaradif Alquran sebenarnya
adalah merupakan kata-kata yang seakan-akan bersinonim namun sebenarnya tidak.
Dan inilah maksud istilah yang terkandung di dalam berbagai literatur.
Muradif terjadi, biasanya, ketika ingin
memunculkan kesan dalam sebuah gaya penyampaian (hirsh ala andhimah). Namun
demikian tetap mengandung tujuan sama, dalam keadaan mutlaknya, dan
ketidaksamaan, dalam makna hakikinya. [1]
Dalam Alquran, sebenarnya konsep mutaradif itu
sangat jarang (qalil nadir) atau bahkan tidak ada sama sekali.[2]
Karena sebenarnya mutaradif yang sesungguhnya (Mutaradif At-tam) bahkan tidak
pernah ditemui di dalam Alquran maupun lughah. Apabila ditemukan pada sebagian
ulama, maka hal tersebut sangat jarang, yakni sebuah lafal yang memiliki arti
serupa dengan lafal lainnya dari berbagai sisi (min kulli jihatihi).[3]
Lafal-lafal di dalalm Alquran, diposisikan
menurut kedudukannya. maka sinonimnya tidak bisa ditempatkan pada tempat yang
lain, bagi mufasir menjaga fungsi dan
dan kepastian suatu kata adanya sinonim itu sebuah ketidak mungkinan.
Sebab pada sebuah susunan arti ada sebuah arti lain. Maka dari itu kebanyakan
golongan usuhuliyyin mencegah jatuhnya salah satu dua sinonim di tempat lain
dalam sebuah susunan. Meskipun mereka juga bersepakat diperbolehkannya dalam
makna mufrad.[4]
Menarik sekali untuk menyimak ungkapan Imam
Adz-Dzahabi dalam kitabnya:
رابعا : ان يعبروا عن
المعانى بألفاظ متقاربة لا مترادفة, فان الترادف قليل فى اللغة, ونادر او معدوم فى
القران, و قل ان يعبر عن لفظ واحد بلفظ واحد يؤدى جميع معناه. وانما يعبر عنه بلفظ
فيه تقريب لمعناه, فمثلا اذا قال واحد يؤدى جميع معناه, و انما يعبر عنه بلفظ فييه
تقريب لمعناه مثلا.[5]
Dalam Alquran sering kali pengungkapan dengan
lafal-lafal yang mutaqaribah (maknanya berdekatan) bukan mutaradifah
(sinonim). Sebab tidak adanya hal tersebut. Akan sangat jarang apabila suatu
lafal disebutkan dengan lafal yang menunjukkan makna keseluruhan. Mungkin hanya perkiraan saja.
B. Contoh-contoh Mutarodif dalam Al-Qur’an
Dalam Alquran banyak ditemukan lafal-lafal
mutaradif. Diantaranya:
1. Al-Khauf (الخوف) dan Khasyah (الخشية) (Takut).
Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi
rahasia umum jika kata al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna
ketakutannya daripada kata Al-khauf.Makna al khasyyah lebih tinggi daripada al
khauf karena al khasyyah terambil dari kata kata syajarah khasyyah artinya
pohon yang kering. Jadi arti al khasyyah ialah totalitas rasa takut. Sedangkan
al khauf terambil dari kata “naaqah khaufaa” artinya unta betina yang
berpenyakit yakni mengandung kekurangan bukan berarti sirna sama sekali. Di
samping itu alkhasyyah ialah rasa takut yang timbul agungnya pihak yang takuti
meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Dengan demikian al
khasyyah adalah al khauf atau rasa takut yang
disertai rasa hormat (ta’dzim), sedangkan al khauf adalah rasa takut
yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang
ditakuti itu hal yang kecil. Dilihat dari akar katanya al khasyyah terdiri atas
Khaa syiin dan yaa’ yang di dalam tafsirnya menujukkan sifat keagungan dan
kebesaran, asy-syaikh berarti pemimpin yang besar, dan al khaisyi berarti
pakaian yang tebal. Oleh karena itu, kata al khasyyah sering dipergunakan
berkenaan dengan hak Allah, seperti dalam ayat:
$yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$#
Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS
Fatir:28)
úïÏ%©!$# tbqäóÏk=t7ã ÏM»n=»yÍ «!$# ¼çmtRöqt±øsur wur tböqt±øs #´tnr& wÎ) ©!$# 3
(yaitu) orang-orang yang
menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada
merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. (QS al-Ahzab:39)
Adapun al-khauf dalam ayat berikut:
tbqèù$ss Nåk®5u `ÏiB óOÎgÏ%öqsù tbqè=yèøÿtur $tB tbrãtB÷sã ) ÇÎÉÈ
mereka
takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang
diperintahkan (kepada mereka). (QS an-Nahl:50)
Digunakan untuk mensifati para malaikat sesudah
menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata al khauf disini
untuk menjelaskan bahwa sekalipun para malaikat itu besar besar dan kuat tetapi
di hadapan Allah mereka lemah. Ungkapan itu kemudian disambung dengan “fauqahum”
yang berarti Allah itu di atas mereka, hal ini menunjukkan akan kebesaran-Nya.
dengan demikian terkumpullah dua unsur makna yang terkandung oleh al khasyyah
tanpa merusak arti kehebatan para malaikat, yaitu khauf dan penghormatan mereka
kepada Tuhan.[6]
2. Asy-syuh (الشح)dan al-Bukhl (البخل) (Pelit).
Arti kata asysyuhh (الشح) lebih
intens dari arti kata al-bukhl karena umumnya asy-syuhhu adalah al
bukhl atau kikir yang disertai ketamakan. Al-‘Askary juga membedakan
Al-bukhl dengan kata Adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya suatu
aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya.Contohnya:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ×öyz 3 ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka
tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS an-Nisa:128)
$tBur uqèd n?tã É=øtóø9$# &ûüÏYÒÎ/ ÇËÍÈ
Dan Dia (Muhammad) bukanlah orang
yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. (QS at-Takwir:24)[7]
3.
As-Sabil dan Ath-Thariq (Jalan)
Demikian pula “as-Sabìl” السبيل))
dan “at-Tarìq” (الطريق) yang pertama banyak
dipakai pada jalan kebaikan sedang yang kedua hampir hampir tidak pernah
dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai sifat atau idàfah yang
menunjukkan makna tersebut. Misalnya dalam ayat: (Q.S al-Ahqof: 30). Menurut
ar-Raghib dalam mufradat-nya, “as-Sabìl” adalah at-Tariq atau
jalan yang didalamnya terdapat kemudahan. Jadi lebih khusus dari “at-Thariq”.
y7Ï9ºxx.ur ã@Å_ÁxÿçR ÏM»tFy$# tûüÎ7oKó¡oKÏ9ur ã@Î6y tûüÏBÌôfßJø9$# ÇÎÎÈ
Dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas
jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang
berdosa.(QS al-An’am:55)
4. Madda dan Amadda
Demikian pula “Madda”(مدّ)dan “Amadda”(امدّ)ar-Raghib dalam menjelaskan kata “imdad”(bentuk
mashdar dari amadda) banyak dipakai pada hal-hal yang disenangi, seperti pada
ayat:
Nßg»tR÷yøBr&ur 7pygÅ3»xÿÎ/ 5Oóss9ur $£JÏiB tbqåktJô±o ÇËËÈ
Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari
segala jenis yang mereka ingini. (QS at Tur:22)
sedang madda
dipergunakan pada sesuatu yang tidak disenangi. Misalnya pada surat berikut:
x2 4 Ü=çGõ3oYy $tB ãAqà)t ßJtRur ¼çms9 z`ÏB É>#xyèø9$# #ttB ÇÐÒÈ
Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan
benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya. (QS Maryam:79)[8]
[1]
Musykilat Ziyadah Al-Mabni. Juz I, hal. 30.
[2]
Syarh Muqaddimah Tafsir. Juz 5. Hal, 10
[3]
Syarh Muqaddimah Juz.4 hal, 6..
[4]
Badruddin Muhammmad bin Abdillah az Zarkasyi, Al-burhan fi Ulum Alquran, Juz 4 Hal,
78
[5]
At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz. 3. Hal, 13
[6]
Manna Khalil Al Qattan,studi ilmu ilmu Al Qur’an(Bogor,pustaka litera
antarnusa,2012)cet 15,hlm 289-290.
[7]
Badruddin Muhammmad bin Abdillah az Zarkasyi, Al-burhan fi Ulum Alquran, Juz 4
Hal, 79.
[8]
Manna Khalil Al Qattan,studi ilmu ilmu Al Qur’an(Bogor,pustaka litera
antarnusa,2012)cet 15,hlm 290.
No comments:
Post a Comment