Friday, 11 November 2016

Pengertian ETIKA, AKHLAK, dan MORAL, skripsi akhlak

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akhlāk, Etika dan Moral serta Objeknya.
1.      Pengertian Akhlāk
Akhlāk menurut bahasa arab berasal dari kata الاخلاق ,[1]  jamak dari kata الخلق , perangai, tabiat, dan agama.[2] menurut kamus besar bahasa indonesia kata akhlāk diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.[3] Sedangkan Akhlāk menurut istilah, kita dapat merujuk kepada ibnu miskawaih[4] (w. 421 H/ 1030M) dan Imam al-Ghazali[5] (1059-1111 M). Masing masing pendapatnya sebagai berikut :[6]
Ibnu miskawaih :[7]
حال لنفس داعية لها الى افعالها من غير فكر ولا روية
“ Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”  
Imam al-Ghazali :[8]
عبارة عن هيثة فى النّفس راسخة عنها تصدر الا فعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر و رؤية
“ Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”

Keseluruhan dari defenisi akhlāk di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya. Dan darinya definisi tersebut kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam akhlāk yaitu:[9]
Pertama, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah  menjadi kepribadinnya.
Kedua, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar.
Ketiga, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
Keempat, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlāk adalah perbuatan dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Dengan bahasa lain, ilmu ini membahas tentang diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dn beragam potensi yang membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Serta juga membahas perilaku manusia dari segi apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari perilaku buruk dan rendah.[10]

2.      Pengertian Etika
Etika menurut bahasa berasal dari bahasa yunani Ethos yang secara harfiyah berarti adat kebiasaan, sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentangt hak dan kewajiban moral (akhlāk)[11], lebih menekankan pada tata-adab bukan tata-adat.[12] Menurut istilah, cukup banyak arti yang menggambarkan hal ini, setidaknya ada 3 arti yang cukup luas dari makna bahasanya sebagai berikut :[13]
a)       Etika diartikan sebagai system nilai, yang berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan hidup atau sebagai pedoman penilaian baik buruknya prilaku manusia, baik secara individual maupun social dalam suatu masyarakat.
b)      Etika diartika sebagai kode etik, maksudnya adalah sebagai sekumpulan norma dan nilai moral yang wajib diperhatikan oleh pemegang profesi tertentu.
c)      Etika diartikan sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu yang merefleksi yang kritis dan sistematis tentang moralitas, etika disini serupa dengan filsafat moral.
Etika menurut Emmanuel Kant adalah perbuatan yang terlepas dari segala kaitan, syarat dan tujuan tertentu, etika merupakan perbuatan yang dilakukan semata-mata sebagai bagian dari tugas yang harus dilakukan manusia.[14] Sangat jelas pengertian yang diutarakan oleh kant tentang aspek etika itu tidak terkait dengan aspek agama.
Secara istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam erbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[15]
Selanjutnya frankena mengatakan bahwa Etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal. Pertama,dilihat dari segi obyek pembahasannya etika membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Ketiga,dilihat dari segi fungsinnya, etika berfungsi sebagai penilai,penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat,hina dan sebagainya. Keempat,dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki perbuatan baik buruk manusia dengan memerhatikan segala tindak perbuatan manusia sejauh dapat di ketahui oleh akal, berbeda dengan akhlāk yang bertitik tumpu kepada ajaran (nilai-nilai) agama islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis.

3.      Pengertian Moral
Moral menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah Ajaran tentang baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlāk; budi pekerti; susila.[16] Lebih mudahnya, moral berarti ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, yang baik dan wajar, sesuai dengan ukuran tindakan yang umumnya diterima oleh orang lain, meliputi kesatuan sosial dan lingkungan tertentu.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam the Advanced  Leaner’s Dictionary of Current English. Sebagai berikut:
1.      Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk;
2.      Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar salah;
3.      Ajaran suatu gambaran atau tingkah laku yang baik.

Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dan lainnya, kita dapat mengtakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama, yaitu  sama-sama membahas perbuatan manusia untuk ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Terdapat persamaan antara etika dan moral dalam segi pengertian kebahasaan, adapun perbedaannya yaitu, etika lebih banyak bersifat teori, dan membahas tingkah laku perbuatan manusia secara universal, sedangkan moral lebih praktis dan pandangan moral lebih bersifat lokal, moral lebih menyatakan dengan ukuran tertentu, sedangkan etika menjelaskan ukuran tersebut.[17]  kalau dalam pembicaraan etika, untuk menetukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaraan moral tolok ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta berlangsung di masyarakat.

4.      Hubungan Etika, Moral, dengan Akhlāk.
Dilihat dari fungsi dan peranannya, etika, moral, dan akhlāk sama, aitu menetukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya.
Sedangkan dilihat dari segi perbedaan antara etika, moral, dan dan akhlāk terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk memnentukan baik dan buruk. Jika dalam etika pendapat baik dan buruk berdasarkan akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyrakat, maka pada akhlāk ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah al-Qur’an dan al-Hadits.[18]

B.     Faedah dan Urgensi (Kepentingan) Ilmu Akhlāk

Sebelum mengetahiu lebih dalam lagi tentang akhlāk, maka kita harus mengenal terlebih dahulu apa itu urgensi. Urgensi merupakan hal terpenting atau kepentingan.  Sedangkan akhlāk merupakan tabiat, perangai, tingkah laku dan kebiasaan. Jadi, urgensi akhlāk adalah hal-hal yang penting atau kepentingan akhlāk.
Pentingnya akhlāk adalah untuk membentuk manusia menjadi budi pekerti yang baik dan sopan, santun, ramah dan sebagainya. Sebenarnya apa hal-hal yang penting dalam akhlāk? Jika kita lihat dari sudut pandangnya maka ada beberapa hal-hal yang penting dalam akhlāk, diantaranya; bagaimana akhlāk manusia terhadap sang pencipta (Allah), akhlāk terhadap sesama manusia (hidup bersosial) dan akhlāk manusia terhadap alam atau lingkungan sekitar kita.[19]

1.      Akhlāk kepada sang pencipta (Allah)
Hubungan manusia denga Allah adalah hubugan manusia dengan khaliknya. Dalam masalah ketergantungan hidup manusia selalau ketergantungsn kepada yang lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah kepada sang maha kuasa, yang perkasa, yang maha bijaksana, yang maha sempurna ialah Allah Rabbul ‘alamiin, Allah tuhan maha esa.[20]
Secara moral manusiawi, manusia mempunyai kewajiban kepada Allah sebagai khaliknya, yang telah memberi kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Menurut hadits Rasulullah kewajiban manusia kepada Allah pada dasarnya ada 2, yaitu;
Ø  Mentauhidkan Allah yaitu tidak mensyirikkan-Nya kepada sesuatupun
Ø  Beribadat kepadanya
Sedangkan dalam al-Qur’anul Karim kewajiban manusia itu diformulasikan dengan:
Ø  Iman
Ø  Amal sholeh
Sebagaiman tercantun dalam firman Allah surat Al-bayinah ayat 7-8 :
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ خَيۡرُ ٱلۡبَرِيَّةِ ٧ جَزَآؤُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّٰتُ عَدۡنٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ ذَٰلِكَ لِمَنۡ خَشِيَ رَبَّهُۥ ٨
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
2.      Akhlāk terhadap sesama
Terhadap sesama manusia kita juga harus meiliki akhlāk yang baik. Sehingga dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan dipandang oleh orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang baik pula.
a.       Akhlāk terhadap orang tua
Ibu dan ayah adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya kepada anaknya, dan mereka mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anaknya tersebut, jasa mereka tidak dapat dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali mengembalikan menjadi orang merdeka sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang penuh. Setelah menjadi budak/hamba sahaya sesuatu keadaan yang tidak diinginkan.[21]
Seorang ayah dan ibu merupakan orang yang penting bagi sang anak. Ayah bekerja mencari nafkah untuk menghidupkan istri dan anaknya, sedangkan ibu melahirkan sampai bertaruh nyawanya dan kemudian menyusui anaknya. Apakah perbuatan demikian perbuatan hang mudah? Tidak, perbuatan demikian adalah hal yang sangat sulit. Jadi, kita sebagai anak sudah semestinya untuk berbakti kepada kedunya dan menghormati keduanya. Dan kita akan berdosa apabila melawan ayah dan ibu yang telah meberi kita makan dan mebesarkan kita.
Dapat di implementasikan dalam akhlāk kita kepada orang tua kita yaitu dengan cara :
Ø  Berbuat baik kepada ibu dan ayah, walaupun keduanya lalim
Ø  Berkata halus dan mulia kepada kedunya
Ø  Berkata lemah lembut kepada mamak dan bapak
Ø  Berbuat baik kepada ibu dan ayah yang sudah meninggal dunia (mendoakannya).
b.      Akhlāk terhadap tetangga
Kita tidak bisa hidup sendirian, dan sudah semestinya hidup kita saling bergantung satusama lain. Tetangga adalah karib kerabat terdekat kita. Jadi kalau dalam suatu rumah ada musibah atau hajatan maka tetanggalah yang turun langsung untuk membantu terlebih dahulu. Dan juga sudah semestinya agar kita berakhlāk yang baik kepada tetangga-tengga kita, yaitu dengan cara:
Ø  Berbuat baik kepada tetangga kita
Ø  Saling bertolong menolong
Ø  Tidak meburukkan-burukkan teangga yang satu dengan tetangga yang lain
Ø  Menjaga silahruhrahmi
Demikian pentingnya menjaga hubungan baik antara sesama tetangga ini, sehingga Rasul sempat menduga adanya hubungan kewarisa antar sesame tetangga. Dugaan ini muncul sehubungan dengan seringnya Jibril datang member nasehat agar selalu menjaga keharmonisan hubungan bertetangga. Hal ini disampaikan Rasul dalam sabdanya yang artinya:
“Jibril as sering berpesan kepadaku tentang tetangga, sehingga aku mengira dia akan menetapkan hubungan kewarisa terhadap tetangga”, (HR.Bukhari)
Makna pentingnya yang terkandung dalam hadis tersebut ialah adanya hubungan dekat antara sesama tetangga sebagaimana halnya hubungan kekerabatan atau senasab. Hanya saja hubungan tetangga tidak sampai menyebabkan terjadinya hak waris mewaris seperti yang terjadi pada hubungan kemasyarakatan antara sesama tetangga tidak berbada dengan hubungan senasab. Hal ini disebabkan bahwa tetangga adalah orang pertama yang berbuat baik kepada tetangganya, baik dalam hal duka maupun suka. Tetangga lah yang lebih dahulu mengetahui apa yang terjadi pada tetangga dekatnya sekaligus yang pertama member pertolongan jika dibutuhkannya.[22]
c.       Akhlāk dalam bermasyarakat
Akhlāk mulia merupakan akhlāk yang berlaku dan berlangsung diatas jalur al-Qur’an dan perbuatan NAbi Muhammad saw. Dan Allah swt menetapkan akhlāk mulia bagi Nabi Muhammad saw. Dalam sikap dan perbuatan seperti dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4. “dan sesungguhnya engkau muhammad mempunyai akhlāk yang mulia”.Ayat lain yang dapat dijadikan pedoman yang baik bagi setiap muslim yang beriman adlah surat al-Ahzab ayat 21. Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama) diamsayarakat terutama didalam pergaula sehari-hari baik keluarga, rumah tangga, kerabat dan lingkungan kemasyarakatan.
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah semestinya kita harus bertolong menolong atapun membantu. Kerena kita hidup seluputnya tidak sendirian, kita hidup itu membutuhkan orang lain. Dalam hidup besosial atau bermasyarakat juga kita harus berakhlāk, dalam artian disini sudah pasti akhlāk yang baik pula.
d.      Akhlāk pergaulan laki-laki dan perempuan
Berbicaratentang masalah pergaulan laki-laki dan perempuan dalam islam, kita tidak terlepas dari persoalan muhrim atau bukan karena soal pergaulan adalah soal hubungan antaralaki-laki dan perempuan.
Dalam islam etika pegaulan laki-laki dan perempuan ada aturannya, dan ada batasan-batasannya. Misalnya dalam perjalanan seorang perempuan dan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya tidak di bolehkan, dan hukumnya haram. Di sana harus di akui muhrimnya, untuk  menjaga agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan. Dan agar seorang perempuan tidak di cap namanya jelek.[23]
e.       Akhlāk terhadap lingkungan atau alam sekitar
Manusia hidup memerlukan lingkungan karena memang manusia hidup didalam lingkungan. Lingkungan perlu dijaga dan diperhatikan. Kahar Mansyur mengemukakan pengertian lingkungan adalah ; sekeliling sedangkan pengertian hidupn adalah ia trus ada, bergerak dan bekerja. Jadi lingkungan hidup ialah keadaan sekeliling dari kehidupan manusia dimuka bumi ini, seperti udara yang dibutuhkan untukk pernafasan, sunbgai untuk keperluan air minum. Dan ikan-ikan yang terdapat didalamnuya bisa dimakan, hutan untuk perlindungan, serta kayu-kayunya bermanfaat bagi keperluan untuk mebangun rumah. Oleh sebab itu orang-orang yang beriman dianjurkan mempunyai akhlāk terhadap lingkungan, berakhhlak terhadap lingkungan artinya memperlakukan lingkungan hidup secara baik dan dengan sewajarnya.[24]
Berkenaan dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlāk ini, Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut :
Tujuan mempelajari Ilmu Akhlāk dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.[25]

Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlāk itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur Cahaya Tuhan.[26]
Uraian di atas tersebut memberikan petunjuk bahwa Ilmu Akhlāk berfungsi memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang buruk. Oleh karena itu seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan yang baik dan buruk itu, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan terdorong untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat dan keuntungan darinya, atau perbuatan yang buruk dan akan terdorong untuk meninggalkannya sehingga ia akan terhindar dari bahaya yang menyesatkannya.
Apabila suatu umat atau bangsa telah tinggi ilmunya namun akhlāknya lenyap dari masing-masing pribadinya, maka kehidupannya akan kacau balau, masyarakat akan jadi berantakan, sebab kekacauan dan kejahatan tidak dapat diobati dengan ilmu saja. Perhatikan sya’ir Syauqi Bek yang artinya:

“Sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai akhlāk yang mulia. Apabila akhlāk (yang baik) telah hilang, maka hancurlah bangsa itu.”

Untuk menghindarkan dari kehancurannya suatu bangsa, berikhtiar dan berdo’a agar akhlāk baik itu dikenal, difahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warganya, orang tua bagi anak-anaknya, dan para pemimpin bagi para bawahannya.[27] Kita perhatikan firman Allah Swt dalam surat Al-Ra’du ayat 11 yang artinya:

لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ ١١

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki kehancuran suatu kaum, maka tidak ada yang sanggup mencegahnya. Dan tiada pelindung mereka selain Allah.
Ilmu akhlāk ini diperlukan dalam rangka memberantas penyakit kejahatan, kekejian, kemungkaran, kedzaliman, kemaksiatan, pemerasan dan gejala-gejala keburukan lainnya yang ada pada diri manusia.

C.     Hubungan Ilmu Akhlāk dengan Cabang ilmu lainnya.

Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ilmu akhlāk dalam menjalankan fungsinya yang lebih luas lagi tidak terlepas dari ilmu-ilmu lainnya, bahkan banyak yang menjalin hubungan erat dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti diterangkan sebagai berikut:[28]

1.       Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu tasawuf
Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf menjadi tiga bagian. Pertamatasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlāki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga tasawuf ini tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Ketiga macam tasawuf ini memiliki perbedaan dalam hal pendekatan yang digunakan.[29]
Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu tasawuf yaitu ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits mementingkan akhlāk. Al-Qur’an dan Hadits menekankan kejujuran, persaudaraan, keadilan, tolong menolong, murah hati, pemaaaf, sabar, baik sangka, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berfikiran lurus, nila-nilai ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim dan  dimasukkan kedalam dirinya sejak kecil.
Sebagaimana  diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena tasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain sebagainya. Yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan Akhlāk.

2.      Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu ushuluddin, ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan, ilmu tauhid dapat disebut juga dengan Ilmu kalam, yang merupakan disiplin ilmu ke Islaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.[30] sedangkan akhlāk yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak sekedar cukup disimpan dalam hati. Melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu sempurna, karena telah dapat direalisir.[31]
Jelaslah bahwa akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat kejahatan) adalah salah satu dari akhlākul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadits menegaskan bahwa “malu adalah salah satu cabang dari keimanan”.
Sebaliknya akhlāk yang dipandang buruk adalah akhlāk yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun manusia perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan karena iman maka hal itu tidak mendapatkan penilaian disisi Allah. Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman denganamal baiknya orang yang tidak beriman.[32]
Hubungan antara Aqidah dan Akhlāk tercermin dalam pernyataan Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah r.a :
اَكْمَلُ اْالمٌؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًااَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“orang mu’min yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya”[33]

3.      Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu jiwa (psikologi)
Berbicara dalam hal relevansi dan hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu psikologi sebenarnya merupakan bahasan yang sangat strategis. Karena antara akhlāk dengan ilmu psikologi memiliki hubungan yang sangat kuat dimana, objek sasaran penyidikan psikologi adalah terletak pada domain perasaan, khayal, paham, kamauan, ingatan, cinta dan kenikmatan.[34] Sedangkan akhlāk sangat menghajatkan apa yang dibicarakan oleh ilmu jiwa, bahkan ilmu jiwa adalah pendahuluan tertentu bagi akhlāk.[35]
Dengan lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti paranan yang dimainkan dalam perilaku manusia, karenanya dia meneliti suara hati (dhamir), kamauan (iradah), daya ingatan, hafalan dan pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan kecenderungan-kecenderungan (wathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan manusia untuk berbuat dan berkata. Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum mengadakan kajian ilmu akhlāk.[36]
Akhlāk akan mempersoalkan apakah jiwa mereka tersebut termasuk jiwa yang baik atau buruk. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa akhlāk mempunyai hubungan dengan ilmu jiwa. Dimana ilmu akhlāk melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan manusia, sedangkan ilmu jiwa meneropong dri segia apakah yang menyebabkan terjadi perbuatan itu.
Pada masa akhir-akhir ini, terdapat dalam ilmu jiwa suatu cabang yang disebut “ilmu jiwa masyarakat” (social psychology). Ilmu ini menyelidiki akal manusia dari jurusan masyarakat. Yakni menyelidiki soal bahasa dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mudur dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mundur dan bagaimana susunan masyarakat. Dan bagi cabang ini memberi bekas yang langsung pada akhlāk, melebihi dari ilmu jiwa perseorangan.[37]

4.      Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu sosiologi (kemasyarakatan)
Secara etimologis sosiologi berasal dari kata socius yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau di dalam arti luas adalah “ilmu pengetahuan yang berobjek pada masalah hidup bermasyarakat”.[38] Mempelajari masyarakat manusia yang pertama, dan bagaimana meningkat keatas, juga menyelidiki tentang bahasa, agama, dan keluarga, dan bagaimana membentuk undang-undang dan pemerintahan dan sebagainya. Mempelajari semua ini menolong untuk memberi pengertian akan perbuatan manusia dan cara menentukan hukum baik dan buruk.
Hidup memasyarakat dapat dipahami dalam pengertian yang luas, bisa dipahami dalam dimensi sempit. Masyarakat dalam arti luas ialah kebulatan dari semua perhubungan didalam hidup masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit ialah suatu kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak semua aspeknya tetapi dalam berbagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit ini tidak mempunyai arti tertentu, misalnya masyarakat mahasiswa, masyarakat pedagang, masyarakat tani, dan lain-lain.[39]
Mempersoalkan hubungan antara akhlāk dengan ilmu sosiologi agaknya sangat signifikan karena ilmu akhlāk membahas tentang berbagai perilaku manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, yang tidak dapat terlepas dari kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian ilmu sosiologi.[40] Demikianlah karena manusia tidak dapat hidup kecuali bermasyarakat dan ia tetap menjadi anggota masyarakat. Bukan menjadi kekuasaan kita untuk mengetahui keutamaan seseorang dengan tidak mengetahui masyarakatnya, masyarakat mana yang dapat membantu keutamaan atau merintanginya.[41]

5.      Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu pendidikan
Antara akhlāk dengan ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang sangat mendasar dalam hal teoritik dan pada tatanan praktisnya. sebab, dunia pendidikan sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlāk seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya.  Apabila siswa diberi pelajaran “Akhlāk”, pendidikan mengajarkan bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya dan penciptanya (Tuhan).
Dengan demikian, posisi ilmu pendidikan strategis sekali jika dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik. oleh karena itu, dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan untuk bisa dijadikan agen perubahan sikap dan perilaku manusia. Dari tenaga pendidik (pengajar) misalnya, perlu memiliki kemampuan profesionalitas dalam bidangnya. Unsur lain yang perlu diperhatikan adalah materi pengajaran. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh pendidik menyimpang dan mengarah keperubahan perilaku yang menyimpang, inilah suatu keburukan dalam pendidikan dan begitu pula sebaliknya.[42]
Lingkungan sekolah dalam dunia pendidikan merupakan tempat bertemunya semua watak. Perilaku dari masing-masing anak yang berlainan. Kondisi anak yang sedemikian rupa dalam interaksi antara anak satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi juga pada kepribadian anak. Dengan demikian lingkungan pendidikan mempengaruhi jiwa anak didik. Dan akan diarahkan kemana anak didik dan perkembangan kepribadian.[43]

6.      Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidng kajiannya mencakup berbagai diiplin ilmu antara lain :
a)      Metafisika             : penyelidikan dibalik alam yang nyata
b)      Kosmologi             : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c)      Logika                   : pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat
d)     Etika                      : pembahsan tentang tingah laku manusia
e)      Theodica               : pembahasan tentang ke-Tuhanan
f)       Antropologia         : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang dan akhirnya membentuk disiplin ilmu itu sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.[44]

7.      Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu hukum
Pokok pembicaraan mengenai hubungan akhlāk dengan ilmu hukum adalah perbuatan manusia. Tujuannya mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaanya. Akhlāk memerintahkan untuk berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudlarat, sedang ilmu hukum tidak, karena banyak perbuatan yang baik dan berguna tudak diperintahkan oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perlakuan baik antara suami istri. Demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemadlaratan tidak dicegah oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Ilmu hukum tidak mencampuri urusan ini karena ilmu hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang kecuali dalam hal menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan larangannya.[45]
Terkadang untuk melaksanakan undang-undang itu hajat mempergunakan cara-cara yang lebih membahayakan kepada ummat, dari apa yang diperintahkan atau dicegah olh undang-undang. Demikian pula ada keburukan-keburukan yang samar-samar, seperti mengingkari nikmat dan berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk menjatuhkan siksaan kepada pelakunya. Maka itu tidak dapat jatuh dibawah kekerasan undang-undang, dan keadaanya dalam hal itu bukan seperti pencurian dan pembunuhan. Perbedaan lainnya adalah bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari jurusan buah dan akibatnya yang lahir, sedang akhlāk menyelami gerak jiwa manusia yang atin (walaupun tidak menimbulkan perbuatan yang lahir) dan juga menelidiki perbuatan yang lahir.[46]
Ilmu hukum dapat berkata : “jangan mencuri, membunuh”, tetapi tidak dapat berkata sesuatu tentang kelanjutannya. Sedangkan akhlāk, bersamaan dengan hukum mencegah pencurian dan pembunuhan. Akhlāk dapat mendorong manusia untuk “jangan berfikir dalam keburukan”,”jangan mengkhayalkan yang tidak berguna”. Ilmu hukum dpat menjaga hak milik manusia dan mencegah orang untuk melanggarnya, tetapi tidak dapat memerintahkan kepada sipemilik agar mempergunakan miliknya untuk kebaikan. Adapun yang memerintahkan untuk berbuat kebaikan adalah akhlāk.[47]

PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Etika, Akhlāk dan moral mempunyai objek kajian yang satu yaitu manusia (ilmu al-insyani)[48] , secara spesifik mengarah kepada sikap, sifat, perangai, tabiat, adab. Mengacu kepada ketiga terma pembahasan kita, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan yang cukup mendasar.
Persamaan ketiga terma diatas terdapat pada :[49] pertama, etika, Akhlāk dan moral mengacu pada ajaran atau gambaran tentang perbuatan tingkah laku, dan perangai yang baik. Kedua, merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk mengukur martabat dan harkat kemanusiaan, semakin tinggi kualitas Akhlāk, etika dan moralnya maka semakin tinggi kualitas kemanusiaannya, dan sebaliknya jika rendah kulitasnya maka rendah kualitas kemanusiaannya. Ketiga, merupakan potensi positif yang ada pada setiap manusia, maka diperlukan pendidikan, pembiasaan, keteladanan serta dukungan lingkungan.
Perbedaannya terletak pada masing masing tolak ukur yang digunakan, jika etika menggunakan tolak ukurnya akal pikiran, sedangkan Akhlāk mempunyai pedoman ukuran menurut al-Qur’an dan hadis, moral pun demikian, tolak ukur yang dipakainya ialah norma yang hidup dalam masyarakat.
Tingkah laku manusia yang berubah-ubah tentu membawa dampak kepada tingkah laku manusia yang berubah-ubah pula, berdaptasi dengan lingkungan yang baru memberikan pandangan serta sikap yang baru, tentu dalam hal ini Akhlāk, etika, serta moral terus ada guna menjadi ukuran standaritas baik-buruk perangai, budi serta tingkah laku. Jika etika dan moral bisa berubah sesuai perubahan dan standarisasi yang digunakan (karena standar yang digunakan etika merujuk pada akal, sedangkan moral bisa berubah jika norma yang hidup pada masyarakat juga ikut berubah sesuai kebutuhan zaman) akan tetapi untuk masalah Akhlāk, standar yang dipakai adalah standar paling baku yaitu kitab suci, jadi sekalipun ada perubahan zaman dan sikap manusia yang berubah, standar dalam menentukan baik-buruk tingkah laku adalah tetap, yaitu sejalan dengan koridor yang sudah disediakan, koridor agama.
Lebih lanjut mananggapi masalah Akhlāk, dampak seseorang mempunyai Akhlāk  yang baik tentunya sangat dipengaruhi dari tingkat keagamaan yang cukup baik, hal ini dijelaskan pada makalah pada pembahasan hubungan ilmu Akhlāk dengan ilmu akidah, seseorang yang beriman dengan baik maka akan dibuktikan dengan ketinggian budi pekertinya, itulah isi petikan kata-kata yang terdapat pada pembahasan.
ilmu Akhlāk pentingkah? Jawaban yang tentunya akan terjawab adalah “iya”, karena setiap sesuatu yang baik akan membawa dampak yang baik pula, ilmu Akhlāk dinilai baik karena merupakan sebuah sistem yang mengatur bagaimana berprilaku, beradab, serta tabiat yang baik, baik dimata ajaran agama maupun dimata ilmu sosial dan yang dalam hal ini interaksi antar sesama manusia.
Hubungan ilmu Akhlāk pun menjadi sangat komplek karena setiap cabang ilmu mempunyai hubungan yang cukup erat, mulai dari tasawuf, akidah, psikologi, ilmu tauhid, ilmu hukum, dll. Dan yang pada gilirannya mampu memposisikan peranan Akhlāk menjadi ilmu yang harus ada pada setiap individu manusia, karena Akhlāk berkaitan dengan segala hal.
  
B.     PENUTUP

Demikianlah makalah tentang Ilmu Akhlāk : definisi, Faedah, serta hubungannya dengan cabang ilmu lain yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua



DAFTAR PUSTAKA

Manẓūr, Ibnū. Lisān al-Arab. Qahirah : Dār al-Taufīqīyyat Li al-Turāts, 2009
ali rajab, Mansyur. Ta`ammalāt fī Falsafah al-Akhlāq, Mesir : Maktabah al-Anjalū al-Misriyah, 1961
Ar, Zahrudin, Hasanuddin Sinaga, 2004, Pengantar Studi Akhlāk. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Amin, Ahmad, 1988, Etika (ilmu akhlāk), Jakarta : Bulan Bintang
Nasution, Ahmad Bangun, Rayani Hanum Siregar, 2013, Akhlāk Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Ahlaqulkarimah. Bandung : Diponegoro, 1985
Mustofa, Ahmad. Akhlāk Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia. 1997
Soetirto, Solardja Ponco, Azas-Azas Sosiologi, Gajah Mada.
Djatmika, Rahmat.  Sistem Ethika Islam (Akhlāk Mulia, Jakarta : Pustaka Panjimas. 1996
As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlāk. Jakarta : Rajawali Press. 1992
Masyhur, Kahar. Membina Moral dan Akhlāk. Jakarta : Kalam Mulia. 1987
Nata, Abuddin. Akhlāk Tasawuf. Ed. 1-11- Jakarta : Rajawali pers. 2012
Anwar, Rosihon, Prof. Dr. M.Ag. Akhlāk Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, 2010
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Ummat. (Seri E-Book)
KBBI Offline, aplikasi kamus besar bahasa indonesia
Miskawaih, Ibnu. Tahẓib al-Akhlāk wa Tathir al-A’raq, Mesir : al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1934
al-Ghazali, Imam. Ihya’ ulūm al-dīn. Beirut : Dar al-Fikr, t.t
--------------------- Mukhtasar Ihya’ ulum al-Din.
Muhammad Fauqi Hajjaj Tasawuf  Islam  dan Akhlāk. Jakarta: Amzah,2011
Sudarminta, J. Etika Umum : Kajian Tentang beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Jogjakarta : Kanisius, 2013
Muthahhari, Murtadha. Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam : Teori Nalar dan Pengembangan Potensi serta Analisa Etika dalam Program Pendidikan, Jakarta : Sadra Press, 2011
Ritogga, A. Rahman.  Akhlāk , Surabaya; Amelia Surabaya, 2005
Susanti ,Reni. . Akhlāk Tasauf. Curup; LP2 STAIN. T.t
Hawwa , Said. Dan Tazkiyatun Nafs, Intisari Ihya’ Ulummuddin, Jakarta: Darussalam, 2005
Zahri , Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu. 1995
Nasution, Bangun, Ahmad. Siregar, Rayani Hanum. Akhlāk Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya.. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013
Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program strata I  2012/2013 UIN syarif Hidayatullah Jakarta,




[1] Sekalipun berbicara tentang akhlāk, al-Qur’an tidak menggunakan/tidak ditemukan bentuk jamaknya didalamnya, tetapi al-Qur’an menggunakan bentuk tunggalnya, hal ini bisa dilihat didalam alquran yang tercantum dalam surah al-Qalam : 4 : وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤  Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. sedangkan dalam beberapa hadis penggunaan kata akhlāk secara utuh banyak digunakan, seumpama hadis yang cukup masyhur seperti :  انّما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق     “sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlāk yang mulia”. Untuk lebih jelasnya, Lihat. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Ummat Karya Quraish Shihab.
[2] Ibnū Manẓūr, Lisān al-Arab, (Qahirah : Dār al-Taufīqīyyat Li al-Turāts, 2009). Jld. IV, H.. 224
[3] KBBI Offline, aplikasi kamus besar bahasa indonesia
7 Beliau dikenal sebagai pakar pada bidang akhlāk terkemuka dan terdahulu dalam bahasan akhlāk.
[5] Beliau dikenal sebagai Hujjah al-Islām (Pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dan agak lebih luas dari Ibnu Miskawaih.
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. , Akhlāk Tasawuf , ( Jakarta: Rajawali press, 2012) Cet. 11, h. 3 
[7]  Ibnu Miskawaih, Tahẓib al-Akhlāk wa Tathir al-A’raq, (Mesir : al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1934), Cet. I, h. 40
[8] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulūm al-dīn, Jilid III, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t), h. 56. Atau bisa dilihat juga dari Mukhtasar Ihya’ ulūm al-dīn yang juga merupakan kitab indukan yang kami jadikan rujukan primer dalam membahas masalah akhlāk pada makalah ini.
[9] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. , Akhlāk Tasawuf , h. 4-7
[10] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf  Islam  dan Akhlāk, (Jakarta: Amzah,2011), h.. 223.
[11] KBBI Offline
[12] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Akhlāk Tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), h. 15
[13] J. Sudarminta, Etika Umum : Kajian Tentang beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, (Jogjakarta : Kanisius, 2013) h. 3
[14] Murtadha Muthahhari, Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam : Teori Nalar dan Pengembangan Potensi serta Analisa Etika dalam Program Pendidikan, (Jakarta : Sadra Press, 2011) h. 72
[15] Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlāk, h. 3
[16] KBBI Offline
[17] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Akhlāk Tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), h. 18
[18] Abuddin Nata, Akhlāk Tasawuf  h.  90-97
[19] Mansur Ali Rajab, Taammulat fi Falsafa al-Akhlāk (Mesir: Maktab al-Anjalu. 1961), h. 33
[20] A. Mustofa, Akhlāk Tasawuf (Bandung; Pustaka Setia, 1997) h. 154
[21] A. Mustofa, Akhlāk Tasawuf, h.163
[22] A. Rahman Ritogga, Akhlāk , (Surabaya; Amelia Surabaya, 2005), hal 107-108.
[23] Reni Susanti. Akhlāk Tasauf. (Curup; LP2 STAIN). Hal 173
[24] Said Hawwa Dan Tazkiyatun Nafs, Intisari Ihya’ Ulummuddin, (Jakarta: Darussalam, 2005), h. 612
[25] Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlāk)  h. 1.
[26] Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu. 1995). h. 67. 
[27] Mansur Ali Rajab, Taammulat fi Falsafa al-Akhlāk (Mesir: Maktab al-Anjalu. 1961), h. 38
[28] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Akhlāk Tasawuf, h. 39
[29] Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar. Akhlāk Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013) Hal. 30, hal ini juga dibahas dalam bukunya  Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. , Akhlāk Tasawuf , h.18
[30]  Amzah yaqub,Etika Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah,  h. 18
[31] Amzah yaqub,Etika Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah,  h. 18
[32] Amzah yaqub,Etika Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah,  h. 18
[33] Amzah yaqub,Etika Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah,  h. 18
[34] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) h.56
[35] Ahmad amin. Etika (ilmu akhlāk). (Jakarta : Bulan Bintang, 1988) h. 20
[36] Ahmad Musthofa. Ahlak Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 1997) h. 22
[37] Ahmad amin. Etika (ilmu ahlak).h.20
[38] Solardja Ponco Soetirto. Azas-Azas Sosiologi. (Gajah Mada). h. 5
[39] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) h.57-58
[40] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk.h. 58
[41] Ahmad amin. Etika (ilmu ahlak).h.20
[42] Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk.h. 59-60,  rosihon juga memberikan pandangannya dalam buku Akhlāk tasawuf nya h. 42
[43] Ahmad Musthofa. Ahlak Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 1997) h. 109-110
[44] Amzah yaqub,Etika Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah,  h.20-21
[45]  Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk. h. 61-62
[46]   Ahmad amin. Etika (ilmu ahlak).h.21-22
[47]  Zahrudin Ar, Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk. h. 62
[48] Mansyur ali rajab, Ta`ammalāt fī Falsafah al-Akhlāq, h. 18
[49]  Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Akhlāk Tasawuf, h. 19