PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akhlāk, Etika dan Moral serta Objeknya.
1. Pengertian Akhlāk
Akhlāk menurut bahasa arab berasal dari kata الاخلاق ,[1]
jamak dari kata الخلق , perangai, tabiat, dan agama.[2]
menurut kamus besar bahasa indonesia kata akhlāk diartikan sebagai budi pekerti atau
kelakuan.[3]
Sedangkan Akhlāk menurut istilah, kita dapat merujuk kepada ibnu miskawaih[4]
(w. 421 H/ 1030M) dan Imam al-Ghazali[5]
(1059-1111 M). Masing masing pendapatnya sebagai berikut :[6]
Ibnu miskawaih :[7]
حال لنفس
داعية لها الى افعالها من غير فكر ولا روية
“
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan”
Imam al-Ghazali :[8]
عبارة عن هيثة فى النّفس راسخة عنها تصدر الا فعال
بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر و رؤية
“
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Keseluruhan
dari defenisi akhlāk di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan
memiliki kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya. Dan darinya definisi
tersebut kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam akhlāk yaitu:[9]
Pertama, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam
jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
kepribadinnya.
Kedua, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan
tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan,
yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal
pikirannya dan sadar.
Ketiga, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang
yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlāk
adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan.
Keempat, perbuatan akhlāk adalah perbuatan yang dilakukan dengan
sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlāk adalah
perbuatan dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin
dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Dengan bahasa
lain, ilmu ini membahas tentang diri manusia dari segi
kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dn beragam potensi yang
membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Serta juga membahas
perilaku manusia dari segi apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam
menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari perilaku buruk dan
rendah.[10]
2.
Pengertian
Etika
Etika menurut bahasa berasal dari bahasa yunani Ethos yang
secara harfiyah berarti adat kebiasaan, sedangkan menurut kamus besar bahasa
Indonesia ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentangt hak dan kewajiban moral (akhlāk)[11],
lebih menekankan pada tata-adab bukan tata-adat.[12]
Menurut istilah, cukup banyak arti yang menggambarkan hal ini, setidaknya ada 3
arti yang cukup luas dari makna bahasanya sebagai berikut :[13]
a) Etika diartikan sebagai system
nilai, yang berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
hidup atau sebagai pedoman penilaian baik buruknya prilaku manusia, baik secara
individual maupun social dalam suatu masyarakat.
b) Etika diartika sebagai kode etik, maksudnya adalah sebagai sekumpulan
norma dan nilai moral yang wajib diperhatikan oleh pemegang profesi tertentu.
c) Etika diartikan sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu yang merefleksi
yang kritis dan sistematis tentang moralitas, etika disini serupa dengan
filsafat moral.
Etika menurut Emmanuel Kant adalah perbuatan yang terlepas dari segala
kaitan, syarat dan tujuan tertentu, etika merupakan perbuatan yang dilakukan
semata-mata sebagai bagian dari tugas yang harus dilakukan manusia.[14] Sangat jelas pengertian yang diutarakan oleh kant tentang aspek
etika itu tidak terkait dengan aspek agama.
Secara istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad Amin misalnya mengartikan
etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia di dalam erbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat.[15]
Selanjutnya frankena mengatakan bahwa Etika adalah sebagai cabang
filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas,
problem moral, dan pertimbangan moral. Dari beberapa definisi di atas dapat
diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal. Pertama,dilihat dari
segi obyek pembahasannya etika membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua,
dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan
filsafat. Ketiga,dilihat dari segi fungsinnya, etika berfungsi sebagai
penilai,penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang akan dinilai baik,
buruk, mulia, terhormat,hina dan sebagainya. Keempat,dilihat dari segi
sifatnya, etika bersifat relatif berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki
perbuatan baik buruk manusia dengan memerhatikan segala tindak perbuatan
manusia sejauh dapat di ketahui oleh akal, berbeda dengan akhlāk yang bertitik
tumpu kepada ajaran (nilai-nilai) agama islam yang bersumber pada al-Qur’an dan
Hadis.
3. Pengertian Moral
Moral menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah Ajaran tentang baik buruk
yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlāk; budi
pekerti; susila.[16] Lebih mudahnya, moral berarti ide-ide yang umum
diterima tentang tindakan manusia, yang baik dan wajar, sesuai dengan ukuran
tindakan yang umumnya diterima oleh orang lain, meliputi kesatuan sosial dan
lingkungan tertentu.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau
buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam the
Advanced Leaner’s Dictionary of Current
English. Sebagai berikut:
1.
Prinsip-prinsip
yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk;
2.
Kemampuan
untuk memahami perbedaan antara benar salah;
3.
Ajaran
suatu gambaran atau tingkah laku yang baik.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dan
lainnya, kita dapat mengtakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang
sama, yaitu sama-sama membahas perbuatan
manusia untuk ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Terdapat persamaan antara etika dan moral
dalam segi pengertian kebahasaan, adapun perbedaannya yaitu, etika lebih banyak
bersifat teori, dan membahas tingkah laku perbuatan manusia secara universal,
sedangkan moral lebih praktis dan pandangan moral lebih bersifat lokal, moral
lebih menyatakan dengan ukuran tertentu, sedangkan etika menjelaskan ukuran
tersebut.[17] kalau dalam pembicaraan
etika, untuk menetukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan
tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaraan moral tolok
ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta
berlangsung di masyarakat.
4.
Hubungan
Etika, Moral, dengan Akhlāk.
Dilihat dari
fungsi dan peranannya, etika, moral, dan akhlāk sama, aitu menetukan hukum atau
nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan
baik-buruknya.
Sedangkan dilihat dari segi perbedaan antara etika, moral, dan dan akhlāk
terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk memnentukan baik dan buruk.
Jika dalam etika pendapat baik dan buruk berdasarkan akal pikiran, dan pada
moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyrakat, maka pada akhlāk
ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah al-Qur’an dan
al-Hadits.[18]
B.
Faedah
dan Urgensi (Kepentingan) Ilmu Akhlāk
Sebelum mengetahiu lebih dalam lagi tentang akhlāk,
maka kita harus mengenal
terlebih dahulu apa itu urgensi. Urgensi merupakan hal terpenting atau kepentingan. Sedangkan akhlāk
merupakan tabiat, perangai, tingkah laku dan kebiasaan. Jadi, urgensi akhlāk adalah
hal-hal yang penting atau kepentingan akhlāk.
Pentingnya akhlāk adalah untuk membentuk manusia
menjadi budi pekerti yang baik dan sopan, santun, ramah dan sebagainya.
Sebenarnya apa hal-hal yang penting dalam akhlāk? Jika kita lihat dari sudut
pandangnya maka ada beberapa hal-hal yang penting dalam akhlāk, diantaranya;
bagaimana akhlāk manusia terhadap sang pencipta (Allah), akhlāk terhadap sesama
manusia (hidup bersosial) dan akhlāk manusia terhadap alam atau lingkungan
sekitar kita.[19]
1. Akhlāk
kepada sang pencipta (Allah)
Hubungan manusia denga Allah adalah hubugan
manusia dengan khaliknya. Dalam masalah ketergantungan hidup manusia selalau
ketergantungsn kepada yang lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah kepada
sang maha kuasa, yang perkasa, yang maha bijaksana, yang maha sempurna ialah
Allah Rabbul ‘alamiin, Allah tuhan maha esa.[20]
Secara moral manusiawi, manusia mempunyai
kewajiban kepada Allah sebagai khaliknya, yang telah memberi kenikmatan yang tak terhitung
jumlahnya. Menurut hadits Rasulullah kewajiban manusia kepada Allah pada
dasarnya ada 2, yaitu;
Ø Mentauhidkan
Allah yaitu tidak mensyirikkan-Nya kepada sesuatupun
Ø Beribadat
kepadanya
Sedangkan dalam al-Qur’anul Karim kewajiban
manusia itu diformulasikan dengan:
Ø Iman
Ø Amal
sholeh
Sebagaiman tercantun dalam firman Allah surat
Al-bayinah ayat 7-8 :
إِنَّ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ خَيۡرُ ٱلۡبَرِيَّةِ
٧ جَزَآؤُهُمۡ
عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّٰتُ عَدۡنٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ
فِيهَآ أَبَدٗاۖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ ذَٰلِكَ لِمَنۡ
خَشِيَ رَبَّهُۥ ٨
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah
Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu
adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
2. Akhlāk
terhadap sesama
Terhadap sesama manusia kita juga harus
meiliki akhlāk yang baik. Sehingga dalam kehidupan satu dengan yang lainnya
kita akan dipandang oleh orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang baik
pula.
a. Akhlāk
terhadap orang tua
Ibu dan ayah adalah kedua orang tua yang
sangat besar jasanya kepada anaknya, dan mereka mempunyai tanggung jawab yang
besar terhadap anaknya tersebut, jasa mereka tidak dapat dihitung dan
dibandingkan dengan harta, kecuali mengembalikan menjadi orang merdeka sebagai
manusia mempunyai hak kemanusiaan yang penuh. Setelah menjadi budak/hamba sahaya
sesuatu keadaan yang tidak diinginkan.[21]
Seorang ayah dan ibu merupakan orang yang
penting bagi sang anak. Ayah bekerja mencari nafkah untuk menghidupkan istri
dan anaknya, sedangkan ibu melahirkan sampai bertaruh nyawanya dan kemudian
menyusui anaknya. Apakah perbuatan demikian perbuatan hang mudah? Tidak,
perbuatan demikian adalah hal yang sangat sulit. Jadi, kita sebagai anak sudah
semestinya untuk berbakti kepada kedunya dan menghormati keduanya. Dan kita
akan berdosa apabila melawan ayah dan ibu yang telah meberi kita makan dan
mebesarkan kita.
Dapat di implementasikan dalam akhlāk kita
kepada orang tua kita yaitu dengan cara :
Ø Berbuat
baik kepada ibu dan ayah, walaupun keduanya lalim
Ø Berkata
halus dan mulia kepada kedunya
Ø Berkata
lemah lembut kepada mamak dan bapak
Ø Berbuat
baik kepada ibu dan ayah yang sudah meninggal dunia (mendoakannya).
b. Akhlāk
terhadap tetangga
Kita tidak bisa hidup sendirian, dan sudah
semestinya hidup kita saling bergantung satusama lain. Tetangga adalah karib
kerabat terdekat kita. Jadi kalau dalam suatu rumah ada musibah atau hajatan
maka tetanggalah yang turun langsung untuk membantu terlebih dahulu. Dan juga
sudah semestinya agar kita berakhlāk yang baik kepada tetangga-tengga kita,
yaitu dengan cara:
Ø Berbuat
baik kepada tetangga kita
Ø Saling
bertolong menolong
Ø Tidak
meburukkan-burukkan teangga yang satu dengan tetangga yang lain
Ø Menjaga
silahruhrahmi
Demikian pentingnya menjaga hubungan baik
antara sesama tetangga ini, sehingga Rasul sempat menduga adanya hubungan kewarisa
antar sesame tetangga. Dugaan ini muncul sehubungan dengan seringnya Jibril
datang member nasehat agar selalu menjaga keharmonisan hubungan bertetangga.
Hal ini disampaikan Rasul dalam sabdanya yang artinya:
“Jibril
as sering berpesan kepadaku tentang tetangga, sehingga aku mengira dia akan
menetapkan hubungan kewarisa terhadap tetangga”, (HR.Bukhari)
Makna pentingnya yang terkandung dalam hadis
tersebut ialah adanya hubungan dekat antara sesama tetangga sebagaimana halnya
hubungan kekerabatan atau senasab. Hanya saja hubungan tetangga tidak sampai
menyebabkan terjadinya hak waris mewaris seperti yang terjadi pada hubungan
kemasyarakatan antara sesama tetangga tidak berbada dengan hubungan senasab.
Hal ini disebabkan bahwa tetangga adalah orang pertama yang berbuat baik kepada
tetangganya, baik dalam hal duka maupun suka. Tetangga lah yang lebih dahulu
mengetahui apa yang terjadi pada tetangga dekatnya sekaligus yang pertama
member pertolongan jika dibutuhkannya.[22]
c. Akhlāk
dalam bermasyarakat
Akhlāk mulia merupakan akhlāk yang berlaku dan
berlangsung diatas jalur al-Qur’an dan perbuatan NAbi Muhammad saw. Dan Allah
swt menetapkan akhlāk mulia bagi Nabi Muhammad saw. Dalam sikap dan perbuatan
seperti dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4. “dan sesungguhnya engkau
muhammad mempunyai akhlāk yang mulia”.Ayat lain yang dapat dijadikan
pedoman yang baik bagi setiap muslim yang beriman adlah surat al-Ahzab ayat 21.
Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama)
diamsayarakat terutama didalam pergaula sehari-hari baik keluarga, rumah
tangga, kerabat dan lingkungan kemasyarakatan.
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah semestinya
kita harus bertolong menolong atapun membantu. Kerena kita hidup seluputnya
tidak sendirian, kita hidup itu membutuhkan orang lain. Dalam hidup besosial
atau bermasyarakat juga kita harus berakhlāk, dalam artian disini sudah pasti akhlāk
yang baik pula.
d. Akhlāk
pergaulan laki-laki dan perempuan
Berbicaratentang masalah pergaulan laki-laki
dan perempuan dalam islam, kita tidak terlepas dari persoalan muhrim atau bukan
karena soal pergaulan adalah soal hubungan antaralaki-laki dan perempuan.
Dalam islam etika pegaulan laki-laki dan
perempuan ada aturannya, dan ada batasan-batasannya. Misalnya dalam perjalanan seorang
perempuan dan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya tidak di bolehkan, dan
hukumnya haram. Di sana harus di akui muhrimnya, untuk menjaga agar
terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan. Dan agar seorang perempuan tidak
di cap namanya jelek.[23]
e. Akhlāk
terhadap lingkungan atau alam sekitar
Manusia hidup memerlukan lingkungan karena
memang manusia hidup didalam lingkungan. Lingkungan perlu dijaga dan
diperhatikan. Kahar Mansyur mengemukakan pengertian lingkungan adalah ;
sekeliling sedangkan pengertian hidupn adalah ia trus ada, bergerak dan
bekerja. Jadi lingkungan hidup ialah keadaan sekeliling dari kehidupan manusia
dimuka bumi ini, seperti udara yang dibutuhkan untukk pernafasan, sunbgai untuk
keperluan air minum. Dan ikan-ikan yang terdapat didalamnuya bisa dimakan,
hutan untuk perlindungan, serta kayu-kayunya bermanfaat bagi keperluan untuk
mebangun rumah. Oleh sebab itu orang-orang yang beriman dianjurkan mempunyai akhlāk
terhadap lingkungan, berakhhlak terhadap lingkungan artinya memperlakukan
lingkungan hidup secara baik dan dengan sewajarnya.[24]
Berkenaan dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlāk ini,
Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut :
Tujuan mempelajari Ilmu Akhlāk dan permasalahannya menyebabkan kita dapat
menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan
lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat
zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk baik,
sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.[25]
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan
perbaikan akhlāk itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa
nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat
menerima Nur Cahaya Tuhan.[26]
Uraian di atas tersebut memberikan petunjuk bahwa Ilmu
Akhlāk berfungsi memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan
menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa perbuatan
tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang buruk. Oleh karena itu
seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria
perbuatan yang baik dan buruk itu, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui
perbuatan yang baik dan terdorong untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat
dan keuntungan darinya, atau perbuatan yang buruk dan akan terdorong untuk
meninggalkannya sehingga ia akan terhindar dari bahaya yang menyesatkannya.
Apabila suatu umat atau bangsa telah tinggi ilmunya
namun akhlāknya lenyap dari masing-masing pribadinya, maka kehidupannya akan
kacau balau, masyarakat akan jadi berantakan, sebab kekacauan dan kejahatan
tidak dapat diobati dengan ilmu saja. Perhatikan sya’ir Syauqi Bek yang
artinya:
“Sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai akhlāk yang
mulia. Apabila akhlāk (yang baik) telah hilang, maka hancurlah bangsa itu.”
Untuk menghindarkan dari kehancurannya suatu bangsa,
berikhtiar dan berdo’a agar akhlāk baik itu dikenal, difahami, dihayati dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warganya, orang tua bagi
anak-anaknya, dan para pemimpin bagi para bawahannya.[27]
Kita perhatikan firman Allah Swt dalam surat Al-Ra’du ayat 11 yang artinya:
لَهُۥ
مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا
بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ
وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ
مِن وَالٍ ١١
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka
mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki kehancuran suatu
kaum, maka tidak ada yang sanggup mencegahnya. Dan tiada pelindung mereka
selain Allah.”
Ilmu akhlāk ini diperlukan dalam rangka memberantas
penyakit kejahatan, kekejian, kemungkaran, kedzaliman, kemaksiatan, pemerasan
dan gejala-gejala keburukan lainnya yang ada pada diri manusia.
C. Hubungan Ilmu Akhlāk dengan Cabang ilmu lainnya.
Sebagai ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri, ilmu akhlāk dalam menjalankan fungsinya yang
lebih luas lagi tidak terlepas dari ilmu-ilmu lainnya, bahkan banyak yang
menjalin hubungan erat dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti diterangkan sebagai
berikut:[28]
1.
Hubungan
ilmu akhlāk dengan ilmu tasawuf
Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf menjadi tiga
bagian. Pertamatasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlāki dan
ketiga tasawuf amali. Ketiga tasawuf ini tujuannya sama yaitu
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan
tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Ketiga macam tasawuf
ini memiliki perbedaan dalam hal pendekatan yang digunakan.[29]
Hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu tasawuf yaitu ketika mempelajari
Tasawuf ternyata pula bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits mementingkan akhlāk.
Al-Qur’an dan Hadits menekankan kejujuran, persaudaraan, keadilan, tolong
menolong, murah hati, pemaaaf, sabar, baik sangka, menepati janji, disiplin,
mencintai ilmu, dan berfikiran lurus, nila-nilai ini yang harus dimiliki oleh
seorang muslim dan dimasukkan kedalam dirinya sejak kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat
menonjol, karena tasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah
seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain sebagainya. Yang semuanya itu
dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan
dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan Akhlāk.
2.
Hubungan
ilmu akhlāk dengan ilmu tauhid
Ilmu
tauhid adalah ilmu ushuluddin, ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah
dan keimanan, ilmu tauhid dapat disebut juga dengan Ilmu kalam, yang merupakan
disiplin ilmu ke Islaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang
persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan
definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.[30] sedangkan
akhlāk yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman
tidak sekedar cukup disimpan dalam hati. Melainkan harus dilahirkan dalam
perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu
sempurna, karena telah dapat direalisir.[31]
Jelaslah
bahwa akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat
kejahatan) adalah salah satu dari akhlākul mahmudah. Nabi dalam salah satu
hadits menegaskan bahwa “malu adalah salah satu cabang dari keimanan”.
Sebaliknya
akhlāk yang dipandang buruk adalah akhlāk yang menyalahi prinsip-prinsip iman.
Seterusnya sekalipun manusia perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik
tolaknya bukan karena iman maka hal itu tidak mendapatkan penilaian disisi
Allah. Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman
denganamal baiknya orang yang tidak beriman.[32]
Hubungan
antara Aqidah dan Akhlāk tercermin dalam pernyataan Rosulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Abi Hurairah r.a :
اَكْمَلُ
اْالمٌؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًااَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“orang mu’min yang sempurna imannya
adalah yang terbaik budi pekertinya”[33]
3.
Hubungan
ilmu akhlāk dengan ilmu jiwa (psikologi)
Berbicara
dalam hal relevansi dan hubungan ilmu akhlāk dengan ilmu psikologi sebenarnya
merupakan bahasan yang sangat strategis. Karena antara akhlāk dengan ilmu
psikologi memiliki hubungan yang sangat kuat dimana, objek sasaran penyidikan
psikologi adalah terletak pada domain perasaan, khayal, paham, kamauan,
ingatan, cinta dan kenikmatan.[34] Sedangkan
akhlāk sangat menghajatkan apa yang dibicarakan oleh ilmu jiwa, bahkan ilmu
jiwa adalah pendahuluan tertentu bagi akhlāk.[35]
Dengan
lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti paranan yang dimainkan dalam
perilaku manusia, karenanya dia meneliti suara hati (dhamir), kamauan (iradah),
daya ingatan, hafalan dan pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan
kecenderungan-kecenderungan (wathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja
jiwa, yang menggerakan manusia untuk berbuat dan berkata. Oleh karena itu ilmu
jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum mengadakan kajian ilmu akhlāk.[36]
Akhlāk
akan mempersoalkan apakah jiwa mereka tersebut termasuk jiwa yang baik atau
buruk. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa akhlāk mempunyai hubungan dengan
ilmu jiwa. Dimana ilmu akhlāk melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan
manusia, sedangkan ilmu jiwa meneropong dri segia apakah yang menyebabkan
terjadi perbuatan itu.
Pada
masa akhir-akhir ini, terdapat dalam ilmu jiwa suatu cabang yang disebut “ilmu
jiwa masyarakat” (social psychology). Ilmu ini menyelidiki akal manusia dari
jurusan masyarakat. Yakni menyelidiki soal bahasa dan bagaimana bekasnya
terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mudur dan bagaimana bekasnya
terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mundur dan bagaimana susunan
masyarakat. Dan bagi cabang ini memberi bekas yang langsung pada akhlāk,
melebihi dari ilmu jiwa perseorangan.[37]
4.
Hubungan
ilmu akhlāk dengan ilmu sosiologi (kemasyarakatan)
Secara
etimologis sosiologi berasal dari kata socius yang berarti ilmu
pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau di
dalam arti luas adalah “ilmu pengetahuan yang berobjek pada masalah hidup
bermasyarakat”.[38] Mempelajari
masyarakat manusia yang pertama, dan bagaimana meningkat keatas, juga
menyelidiki tentang bahasa, agama, dan keluarga, dan bagaimana membentuk
undang-undang dan pemerintahan dan sebagainya. Mempelajari semua ini menolong
untuk memberi pengertian akan perbuatan manusia dan cara menentukan hukum baik
dan buruk.
Hidup
memasyarakat dapat dipahami dalam pengertian yang luas, bisa dipahami dalam
dimensi sempit. Masyarakat dalam arti luas ialah kebulatan dari semua
perhubungan didalam hidup masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit ialah suatu
kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak semua aspeknya
tetapi dalam berbagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam
arti sempit ini tidak mempunyai arti tertentu, misalnya masyarakat mahasiswa,
masyarakat pedagang, masyarakat tani, dan lain-lain.[39]
Mempersoalkan
hubungan antara akhlāk dengan ilmu sosiologi agaknya sangat signifikan karena
ilmu akhlāk membahas tentang berbagai perilaku manusia yang ditimbulkan oleh
kehendak, yang tidak dapat terlepas dari kajian kehidupan kemasyarakatan yang
menjadi kajian ilmu sosiologi.[40] Demikianlah
karena manusia tidak dapat hidup kecuali bermasyarakat dan ia tetap menjadi
anggota masyarakat. Bukan menjadi kekuasaan kita untuk mengetahui keutamaan
seseorang dengan tidak mengetahui masyarakatnya, masyarakat mana yang dapat
membantu keutamaan atau merintanginya.[41]
5.
Hubungan
ilmu akhlāk dengan ilmu pendidikan
Antara
akhlāk dengan ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang sangat mendasar dalam hal
teoritik dan pada tatanan praktisnya. sebab, dunia pendidikan sangat besar
sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlāk seseorang. Berbagai ilmu
diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada
dirinya. Apabila siswa diberi pelajaran “Akhlāk”, pendidikan mengajarkan
bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya
dan penciptanya (Tuhan).
Dengan
demikian, posisi ilmu pendidikan strategis sekali jika dijadikan pusat
perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik.
oleh karena itu, dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan untuk bisa
dijadikan agen perubahan sikap dan perilaku manusia. Dari tenaga pendidik
(pengajar) misalnya, perlu memiliki kemampuan profesionalitas dalam bidangnya.
Unsur lain yang perlu diperhatikan adalah materi pengajaran. Apabila materi
pengajaran yang disampaikan oleh pendidik menyimpang dan mengarah keperubahan
perilaku yang menyimpang, inilah suatu keburukan dalam pendidikan dan begitu
pula sebaliknya.[42]
Lingkungan
sekolah dalam dunia pendidikan merupakan tempat bertemunya semua watak.
Perilaku dari masing-masing anak yang berlainan. Kondisi anak yang sedemikian
rupa dalam interaksi antara anak satu dengan yang lainnya akan saling
mempengaruhi juga pada kepribadian anak. Dengan demikian lingkungan
pendidikan mempengaruhi jiwa anak didik. Dan akan diarahkan kemana anak didik dan
perkembangan kepribadian.[43]
6.
Hubungan
ilmu akhlāk dengan ilmu filsafat
Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidng
kajiannya mencakup berbagai diiplin ilmu antara lain :
a)
Metafisika
:
penyelidikan dibalik alam yang nyata
b)
Kosmologi
:
penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c)
Logika
: pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat
d)
Etika
: pembahsan tentang tingah laku manusia
e)
Theodica
: pembahasan tentang ke-Tuhanan
f)
Antropologia
: pembahasan tentang manusia
Dengan demikian jelaslah bahwa etika
termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya
merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang dan
akhirnya membentuk disiplin ilmu itu sendiri dan terlepas dari filsafat.
Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai
bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai
identitas sendiri.[44]
7.
Hubungan
ilmu akhlāk dengan ilmu hukum
Pokok pembicaraan mengenai hubungan akhlāk
dengan ilmu hukum adalah perbuatan manusia. Tujuannya mengatur perbuatan
manusia untuk kebahagiaanya. Akhlāk memerintahkan untuk berbuat apa yang
berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudlarat, sedang ilmu hukum tidak,
karena banyak perbuatan yang baik dan berguna tudak diperintahkan oleh hukum,
seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perlakuan baik antara suami istri.
Demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemadlaratan tidak dicegah
oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Ilmu hukum tidak mencampuri urusan ini
karena ilmu hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang kecuali dalam hal
menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan larangannya.[45]
Terkadang untuk melaksanakan
undang-undang itu hajat mempergunakan cara-cara yang lebih membahayakan kepada
ummat, dari apa yang diperintahkan atau dicegah olh undang-undang. Demikian
pula ada keburukan-keburukan yang samar-samar, seperti mengingkari nikmat dan
berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk menjatuhkan siksaan kepada
pelakunya. Maka itu tidak dapat jatuh dibawah kekerasan undang-undang, dan
keadaanya dalam hal itu bukan seperti pencurian dan pembunuhan. Perbedaan
lainnya adalah bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari jurusan buah dan
akibatnya yang lahir, sedang akhlāk menyelami gerak jiwa manusia yang atin
(walaupun tidak menimbulkan perbuatan yang lahir) dan juga menelidiki perbuatan
yang lahir.[46]
Ilmu hukum dapat berkata : “jangan
mencuri, membunuh”, tetapi tidak dapat berkata sesuatu tentang kelanjutannya.
Sedangkan akhlāk, bersamaan dengan hukum mencegah pencurian dan pembunuhan. Akhlāk
dapat mendorong manusia untuk “jangan berfikir dalam keburukan”,”jangan
mengkhayalkan yang tidak berguna”. Ilmu hukum dpat menjaga hak milik manusia
dan mencegah orang untuk melanggarnya, tetapi tidak dapat memerintahkan kepada
sipemilik agar mempergunakan miliknya untuk kebaikan. Adapun yang memerintahkan
untuk berbuat kebaikan adalah akhlāk.[47]
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Etika, Akhlāk dan moral mempunyai objek kajian yang satu yaitu
manusia (ilmu al-insyani)[48]
, secara spesifik mengarah kepada sikap, sifat, perangai, tabiat, adab. Mengacu
kepada ketiga terma pembahasan kita, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
persamaan dan perbedaan yang cukup mendasar.
Persamaan ketiga terma diatas terdapat pada :[49]
pertama, etika, Akhlāk dan moral mengacu pada ajaran atau gambaran
tentang perbuatan tingkah laku, dan perangai yang baik. Kedua, merupakan
prinsip atau aturan hidup manusia untuk mengukur martabat dan harkat
kemanusiaan, semakin tinggi kualitas Akhlāk, etika dan moralnya maka semakin
tinggi kualitas kemanusiaannya, dan sebaliknya jika rendah kulitasnya maka
rendah kualitas kemanusiaannya. Ketiga, merupakan potensi positif yang
ada pada setiap manusia, maka diperlukan pendidikan, pembiasaan, keteladanan
serta dukungan lingkungan.
Perbedaannya terletak pada masing masing tolak ukur yang digunakan,
jika etika menggunakan tolak ukurnya akal pikiran, sedangkan Akhlāk mempunyai
pedoman ukuran menurut al-Qur’an dan hadis, moral pun demikian, tolak ukur yang
dipakainya ialah norma yang hidup dalam masyarakat.
Tingkah laku manusia yang berubah-ubah tentu membawa dampak kepada
tingkah laku manusia yang berubah-ubah pula, berdaptasi dengan lingkungan yang
baru memberikan pandangan serta sikap yang baru, tentu dalam hal ini Akhlāk,
etika, serta moral terus ada guna menjadi ukuran standaritas baik-buruk
perangai, budi serta tingkah laku. Jika etika dan moral bisa berubah sesuai
perubahan dan standarisasi yang digunakan (karena standar yang digunakan etika
merujuk pada akal, sedangkan moral bisa berubah jika norma yang hidup pada
masyarakat juga ikut berubah sesuai kebutuhan zaman) akan tetapi untuk masalah Akhlāk,
standar yang dipakai adalah standar paling baku yaitu kitab suci, jadi
sekalipun ada perubahan zaman dan sikap manusia yang berubah, standar dalam
menentukan baik-buruk tingkah laku adalah tetap, yaitu sejalan dengan koridor
yang sudah disediakan, koridor agama.
Lebih lanjut mananggapi masalah Akhlāk, dampak seseorang mempunyai Akhlāk yang baik tentunya sangat dipengaruhi dari
tingkat keagamaan yang cukup baik, hal ini dijelaskan pada makalah pada
pembahasan hubungan ilmu Akhlāk dengan ilmu akidah, seseorang yang beriman dengan
baik maka akan dibuktikan dengan ketinggian budi pekertinya, itulah isi petikan
kata-kata yang terdapat pada pembahasan.
ilmu Akhlāk pentingkah? Jawaban yang tentunya akan terjawab adalah
“iya”, karena setiap sesuatu yang baik akan membawa dampak yang baik pula, ilmu
Akhlāk dinilai baik karena merupakan sebuah sistem yang mengatur bagaimana
berprilaku, beradab, serta tabiat yang baik, baik dimata ajaran agama maupun
dimata ilmu sosial dan yang dalam hal ini interaksi antar sesama manusia.
Hubungan ilmu Akhlāk pun menjadi sangat komplek karena setiap
cabang ilmu mempunyai hubungan yang cukup erat, mulai dari tasawuf, akidah,
psikologi, ilmu tauhid, ilmu hukum, dll. Dan yang pada gilirannya mampu
memposisikan peranan Akhlāk menjadi ilmu yang harus ada pada setiap individu
manusia, karena Akhlāk berkaitan dengan segala hal.
B.
PENUTUP
Demikianlah
makalah tentang Ilmu Akhlāk : definisi, Faedah, serta hubungannya dengan
cabang ilmu lain yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah ini jauh
dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
Manẓūr, Ibnū. Lisān
al-Arab. Qahirah : Dār al-Taufīqīyyat Li al-Turāts, 2009
ali rajab, Mansyur. Ta`ammalāt fī
Falsafah al-Akhlāq, Mesir : Maktabah al-Anjalū al-Misriyah, 1961
Ar, Zahrudin, Hasanuddin Sinaga,
2004, Pengantar Studi Akhlāk. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Amin, Ahmad, 1988, Etika (ilmu akhlāk), Jakarta
: Bulan Bintang
Nasution, Ahmad Bangun, Rayani Hanum
Siregar, 2013, Akhlāk Tasawuf pengenalan, pemahaman dan pengaplikasiannya,
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam
Pembinaan Ahlaqulkarimah. Bandung : Diponegoro, 1985
Mustofa, Ahmad. Akhlāk
Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia. 1997
Soetirto, Solardja Ponco, Azas-Azas
Sosiologi, Gajah Mada.
Djatmika, Rahmat. Sistem
Ethika Islam (Akhlāk Mulia, Jakarta : Pustaka Panjimas. 1996
As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlāk. Jakarta
: Rajawali Press. 1992
Masyhur, Kahar. Membina Moral dan
Akhlāk. Jakarta : Kalam Mulia. 1987
Nata, Abuddin. Akhlāk Tasawuf.
Ed. 1-11- Jakarta : Rajawali pers. 2012
Anwar, Rosihon, Prof. Dr. M.Ag. Akhlāk
Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, 2010
Shihab, Quraish. Wawasan
Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Ummat. (Seri E-Book)
KBBI Offline, aplikasi kamus besar
bahasa indonesia
Miskawaih, Ibnu. Tahẓib al-Akhlāk
wa Tathir al-A’raq, Mesir : al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1934
al-Ghazali, Imam. Ihya’ ulūm
al-dīn. Beirut : Dar al-Fikr, t.t
--------------------- Mukhtasar
Ihya’ ulum al-Din.
Muhammad Fauqi Hajjaj Tasawuf Islam
dan Akhlāk. Jakarta: Amzah,2011
Sudarminta, J. Etika Umum :
Kajian Tentang beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Jogjakarta
: Kanisius, 2013
Muthahhari, Murtadha. Dasar-Dasar
Epistemologi Pendidikan Islam : Teori Nalar dan Pengembangan Potensi serta
Analisa Etika dalam Program Pendidikan, Jakarta : Sadra Press, 2011
Ritogga, A. Rahman. Akhlāk ,
Surabaya; Amelia Surabaya, 2005
Susanti ,Reni. . Akhlāk Tasauf. Curup; LP2
STAIN. T.t
Hawwa , Said. Dan Tazkiyatun Nafs, Intisari
Ihya’ Ulummuddin, Jakarta: Darussalam, 2005
Zahri , Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf.
Surabaya: Bina Ilmu. 1995
Nasution, Bangun, Ahmad. Siregar,
Rayani Hanum. Akhlāk Tasawuf pengenalan, pemahaman dan
pengaplikasiannya.. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013
Tim Penyusun. Pedoman Akademik
Program strata I 2012/2013 UIN syarif
Hidayatullah Jakarta,
[1] Sekalipun
berbicara tentang akhlāk, al-Qur’an tidak menggunakan/tidak ditemukan bentuk
jamaknya didalamnya, tetapi al-Qur’an menggunakan bentuk tunggalnya, hal ini
bisa dilihat didalam alquran yang tercantum dalam surah al-Qalam : 4 :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤ “Dan sesungguhnya
kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. sedangkan dalam
beberapa hadis penggunaan kata akhlāk secara utuh banyak digunakan, seumpama
hadis yang cukup masyhur seperti : انّما بعثت
لأتمم مكارم الأخلاق
“sesungguhnya
aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlāk yang mulia”. Untuk lebih jelasnya,
Lihat. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Ummat Karya
Quraish Shihab.
[3] KBBI Offline,
aplikasi kamus besar bahasa indonesia
[5] Beliau dikenal
sebagai Hujjah al-Islām (Pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela
islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dan agak lebih luas dari
Ibnu Miskawaih.
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. , Akhlāk Tasawuf ,
( Jakarta: Rajawali press, 2012) Cet. 11, h. 3
[7] Ibnu Miskawaih, Tahẓib al-Akhlāk wa Tathir al-A’raq, (Mesir
: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1934), Cet. I, h. 40
[8] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulūm al-dīn, Jilid III,
(Beirut : Dar al-Fikr, t.t), h. 56. Atau bisa dilihat juga dari Mukhtasar Ihya’ ulūm al-dīn yang juga merupakan kitab
indukan yang kami jadikan rujukan primer dalam membahas masalah akhlāk pada
makalah ini.
[10] Muhammad Fauqi
Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlāk, (Jakarta: Amzah,2011), h..
223.
[13] J. Sudarminta, Etika
Umum : Kajian Tentang beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, (Jogjakarta
: Kanisius, 2013) h. 3
[14] Murtadha
Muthahhari, Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam : Teori Nalar dan
Pengembangan Potensi serta Analisa Etika dalam Program Pendidikan, (Jakarta
: Sadra Press, 2011) h. 72
[15] Ahmad Amin, Etika
Ilmu Akhlāk, h. 3
[18] Abuddin Nata, Akhlāk
Tasawuf h. 90-97
[29] Ahmad Bangun
Nasution, Rayani Hanum Siregar. Akhlāk Tasawuf pengenalan, pemahaman
dan pengaplikasiannya. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013) Hal. 30, hal
ini juga dibahas dalam bukunya Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. , Akhlāk Tasawuf ,
h.18
[32] Amzah yaqub,Etika
Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah, h. 18
[33] Amzah yaqub,Etika
Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah, h. 18
[34] Zahrudin Ar,
Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk. (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004) h.56
[35] Ahmad amin.
Etika (ilmu akhlāk). (Jakarta : Bulan Bintang, 1988) h. 20
[36] Ahmad
Musthofa. Ahlak Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 1997) h. 22
[37] Ahmad amin. Etika
(ilmu ahlak).h.20
[38] Solardja Ponco
Soetirto. Azas-Azas Sosiologi. (Gajah Mada). h. 5
[39] Zahrudin Ar,
Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk. (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004) h.57-58
[40] Zahrudin Ar,
Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk.h. 58
[41] Ahmad amin. Etika
(ilmu ahlak).h.20
[42] Zahrudin Ar,
Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlāk.h. 59-60, rosihon juga memberikan pandangannya dalam
buku Akhlāk tasawuf nya h. 42
[43] Ahmad
Musthofa. Ahlak Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 1997) h. 109-110
[44] Amzah yaqub,Etika
Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah, h.20-21