Friday, 11 November 2016

Perempuan sumber kesialan : kajian hadis misoginis

Reinterpretasi Hadis perempuan pembawa sial
Hadis misoginis

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan suatu anugerah terbesar bagi kaum perempuan dari masa jahiliyah. Hukum Islam melindungi hak-hak perempuan yang pada masa jahiliyah perempuan tidak ada harganya dan bernilai ekonomi. Ini semua merupakan misi pokok Islam untuk mensejajajarkan perempuan dan laki-laki disemua aspek kehidupan.[i]
Suatu hal yang tak boleh dilupakan dan harus bersyukur yaitu datangnya Islam adalah perempuan. Betapa tidak, sebelum Islam datang, perempuan ditempatkan sebagai objek yang hampir tidak mempunyai hak-hak pribadi. Seorang perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, bahkan dirinya sendiri menjadi “harta warisan”. Ia tidak mempunyai hak-hak politik seperti halnya laki-laki. Kehadiran Islam kemudian mengangkat harkat perempuan dalam suatu posisi yang sepadan dengan kaum laki-laki.[ii]
Secara perlahan tapi pasti, kehadiran Islam mengubah pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Perempuan yang sebelumnya ditempatkan dlam posisi sebagai objek yang hampir tidak memiliki hak dan peran sosial, ditempaykan kembali pada posisi selayaknya. Bahkan dalam teks-teks agama, akan ditemukan sekian banyak hadis yang memuliakan perempuan. Dengan sendirinya, perempuan di samping sebagai objek juga lebih dipandang sebagai subjek dengan hak dan kewajibannya.[iii]
Ide-ide dan sikap-sikap negatif terhadap perempuan yang ada dalam masyarakat muslim pada umumnya berakar pada teologi. Kendatipun ada perbaikan secara statistik seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial serta politik, perempuan akan terus menerus diperlakukan dengan kasar dan diskriminasi jika landasan teologis yang melahirkan kecenderungan yang bersifat misoginisdalam tradisi Islam tidak dibongkar.[iv] Sebenarnya dalam sejarah Islam, sebuah rujukan praksis untuk masa depan lalu, terdapat pase dimana perempuan begitu di tinggikan sedemikian rupa lalu dihinakan, dan kemudian disetarakan dengan laki-laki. Sikap perempuan mengikuti gelombang garis konjungtural. Dalam hal ini Islam datang dengan kesetaraan tersebut.[v]
Rumusan Masalah
Permasalahan yang saya angkat adalah Apa makna kesialan pada hadits kesialan pada tiga tempat: kuda, perempuan, dan tempat tinggal.
Tujuan dan Signifikansi penyusunan makalah
Tujuan saya mengangkat tema hadis ini ialah untuk memberi pemaknaan atau interpretasi ulang mengenai hadis tentang kesialan pada tiga tempat: kuda, perempuan, dan tempat tinggal.
Metode Penelitian
Sumber data yang saya ambil yaitu dari kitab:
1.      Shahih Bukhari
2.      Shahih Muslim
3.      Sunan Abu Daud
4.      Sunan An-Nasa’i
5.      Sunan At-Tirmidzi
6.      Musnad Ahmad bin Hanbal
7.      Sunan Ibnu Majah
Pengumpulan Data yang saya gunakan dalam penelitian ini ialah kajian kepustakaan (Library Research) yang bersifat kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan beberapa karya tulis yang berkaitan dengan tema yang akan diteliti, baik berupa buku-buku, kitab, jurnal, atau berupa dokumen-dokumen yang dianggap relevan.
Hadis tentang kesialan pada tiga tempat daiantaranya adalah:
1.      Shahih Bukhari Juz 7 halaman 8
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ يَقُولُ: " إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ "
2.      Sunan Abu Daud juz 4 halaman 19
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الشُّؤْمُ فِي الدَّارِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ

3.      At-Tirmidzi  juz 4 halaman 423
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، وَحَمْزَةَ، ابْنَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الشُّؤْمُ فِي ثَلاَثَةٍ، فِي الْمَرْأَةِ، وَالمَسْكَنِ، وَالدَّابَّةِ.
4.      Sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 642
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ أَبُو سَلَمَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْفَرَسِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالدَّارِ
5.      Ahmad bin Hanbal juz 8 halaman 522
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا رَبَاحٌ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ: الْفَرَسِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالدَّارِ "

6.      Shahih Muslim juz 4 halaman 1746

وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، ح وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الشُّؤْمُ فِي الدَّارِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ»

7.      Sunan An Nasa’i juz 6 halaman 220

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ: الْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ، وَالدَّارِ "

Analisa Data
            Analisa data yang saya gunakan adalah pendekatan konteks dan historis dari Metode Pemahaman Yusuf Qardhawi
Kajian Pustaka
Kitab Shahih Bukhari Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari.
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al Mawardi Prima
Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam Islam
Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah
Nikmatullah, “Peran Perempuan Dalam Islam,
Syarah Muslim, jilid 14, h. 471
Tujuan Penelitian saya mengangkat tema hadis ini ialah untuk memberi pemaknaan atau interpretasi ulang mengenai hadis tentang kesialan pada tiga tempat: kuda, perempuan, dan tempat tinggal.
PEMBAHASAN
Teks Hadis
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ يَقُولُ: " إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ "
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az-Zuhry berkata telah bercerita kepadaku Salim bin ‘Abdullah bahwa Abdullah bin ‘Umar Radiallahu ‘Anhuma berkata aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kesialan itu ada pada tiga tempat: kuda, perempuan, dan tempat tinggal”. (HR. Bukhari)
Sababul Wurud:
Dalam Shahih Bukhari dan Ibnu Umar disebutkan, bahwa para sahabat menyebut-nyebut soal kesialan di depan Nabi SAW. Maka beliau menjelaskan: Jika kesialan itu menimpa sesuatu, maka ia terdapat pada tiga hal, yaitu: kuda, istri dan rumah
Demikian pula Bukhari meriwayatkan dari Sahal Ibnu Sa’ad rhadiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika kesialan itu mengenai sesuatu, maka ia terdapat pada tiga hal, yaitu: kuda, istri dan rumah.”
Keterangan Sabababul Wurud:
Kesialan disini artinya sebagai lawan dari nasib baik dan berkat. Kuda (kendaraan) yang sulit dikendalikan ketika ia berlari kencang sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Bila ditambatkan semata-mata untuk kebanggaan dan kesombongan. Istri yang tidak beranak, panjang lidah (suka ngomel). Rumah yang sempit, atau bertetangga dengan orang-orang yang suka berbuat kejahatan dan mendurhakai Allah.[vi]
Jadi, kesialan itu terjadi jika kuda yang kita punya tidak bisa dimanfaatkan karena larinya yang tidak kencang. Istri yang mandul, suka ngomel. Rumah yang sempit, tetangga yang jahat dan yang durhaka kepada Allah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sial adalah tidak mujur dan segala usahanya selalu tidak berhasil. Sedangkan kesialan adalah keadaan sial, ketidakmujuran.
Kesialan terbagi pada dua macam:
Pertama, Kesialan yang haram seperti keyakinan orang-orang jahiliah yaitu pada hal-hal tertentu yang dianggap membawa sial bahwa hal itu berpengaruh pada keadaan dan merupakan faktor kebaikan dan keburukan, sehingga menghalangi mereka dari keinginan dan tekad mereka. Imam Nawawi berkata tatkala menjelaskan segi kesyirikan thiyaroh: “Sebab mereka berkeyakinan benda tersebut berpengaruh untuk maju mundurnya suatu keinginan.[vii]
Kedua, Kesialan yang ditetapkan dalam hadits, yaitu apa yang dijumpai pada hati seseorang mempunyai rasa benci pada hal-hal tertentu ketika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan padanya. Ciri-cirinya diantaranya adalah Kesialan ini tidak muncul kecuali setelah terjadinya kemadharatan yang berulang-ulang. Seandainya seorang merasa terkena madharat dari sesuatu, maka boleh baginya untuk meninggalkannya.
Kesialan ini muncul karena adanya sifat tercela, berbeda dengan kesialan terlarang yang biasanya muncul karena sebab yang tidak jelas, seperti membatalkan bepergian karena melihat seekor burung. Dampak dari kesialan ini adalah meninggalkan, dengan tetap berkeyakinan bahwa hanya Allah saja yang menciptakan dan mengatur kebaikan dan keburukan. Kesialannya bukan karena zat benda tersebut memiliki pengaruh, melainkan karena apa yang Allah takdirkan pada benda tersebut berupa kebaikan dan kejelekan.[viii]
Syarah Hadits:
Dalam Fathul Baari Bab 47 yang bertemakan Hadis Kemalangan Kuda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ، فَفِي الفَرَسِ وَالمَرْأَةِ وَالمَسْكَنِ»
2859. Dari Sahal bin Saad, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jika ia ada pada sesuatu, maka ada pada kuda, perempuan, dan tempat tinggal.”

Keterangan Hadits:
            (Bab tentang kemalangan kuda). Imam Bukhari menyebutkan hadits Sahal bin Sa’id setelah hadits Ibnu Umar merupakan isyarat bahwa pembatasan yang terdapat pada hadis Ibnu Umar tidak dapat dipahami secara zhahirnya. Sedangkan penyebutan judul bab berikutnya, yaitu Kuda itu Ada Tiga’ merupakan isyarat bahwa kemalangan yang dimaksud khusus bagi sebagian kuda. Semua ini merupakan kejelian dan ketelitian pemikiran Imam Bukhari.
Kata فِي ثَلَاثَةٍ (pada tiga). Maksudnya, ada pada tiga perkara. Demikian dikatakan oleh Ibnu Al Arabi. Dia berkata, “Pembatasan disini dinisbatkan kepada kebiasaan bukan kepada fitrah atau naluri”. Sementara itu Imam Malik dan Sufyan serta periwayat lainnya menukil tanpa menyebut lafadz ‘innama’. Akan tetapi dalam riwayat Utsman bin Umar disebutkan,
لَا عَدْوَى، وَلَا طِيَرَةَ، وَإِنَّمَا وَالشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ
(Tidak ada ‘adwa [keyakinan bahwa penyakit itu menular dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah]dan tidak pula thiyarah [sikap pesimis yang menghalangi untuk melakukan sesuatu perbuatan]dan sesungguhnya kemalangan itu ada pada tiga hal).
            Imam Muslim berkata, “Tidak seorang pun yang menyebutkan dalam hadits Ibnu Umar lafadz ‘tidak ada ‘adwa’ kecuali Ustman bin Umar”. Hal serupa terdapat pula dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang diriwayatkan Abu Daud, akan tetapi disebutkan di dalamnya, (Sekiranya ada thiyarah pada sesuatu....)
            Makna lahiriah hadits menyatakan bahwa kemalangan dan pesimis itu terdapat pada tiga perkara ini. Ibnu Qutaibah berkata, “Penjelasannya, bahwa kebiasaan masyarakat Jahiliyah adalah melakukan tathayyur, maka Nabi SAW melarang mereka untuk melakukannya seraya mengajarkan bahwa sesunggahnya thiyarah itu tidak ada. Namun, ketika mereka enggan meninggalkan kebiasaan itu, maka tersisa tiga hal di atas”.
            Ibnu Qutaibah telah memahami hadits tersebut sebagaimana makna lahiriahnya. Pernyataan ini berkonsekuensi bahwa seseorang yang menganggap sial dengan salah satu dari tiga hal tersebut niscaya akan ditimpa sesuatu yang tidak dia inginkan.[ix]
            Menurut Al Qurthubi, hal itu tidak boleh dipahami sebagaimana keyakinan kaum jahiliyah bahwa yang demikian itu dapat mendatangkan mudharat dan manfaat dengan sendirinya, karena pemahaman seperti ini tidak benar. Namun yang dia maksud ketiga hal tersebut merupakan hal yang paling banyak dijadikan manusia untuk melakukan tathayyur. Barangsiapa yang timbul sesuatu dalam hatinya maka dia perkenankan untuk meninggalkannya dan menggantinya dengan yang lain”.
            Dalam riwayat Umar Al Asqalani yakni Ibnu Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar dari bapaknya dari Ibnu Umar (seperti akan disebutkan pada pembahasan tentang nikah) disebutkan dengan lafadz, (Mereka menyebutkan tentang kemalangan, maka beliau bersabda, ‘Apabila kemalangan itu ada pada sesuatu maka ada pada....) Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, (Jika ada kemalangan yang benar....). Sedangkan dalam riwayat Utbah bin Muslim disebutkan, (Jika kemalangan itu ada pada sesuatu...). Demikian pula dalam hadits Jabir yang dikutip oleh Imam Muslim, yang selaras dengan hadits Sahal bin Sa’ad. Riwayat-riwayat ini berindikasi tidak adanya penetapan dan kepastian dalam hal ini, berbeda dengan riwayat Az-Zuhri.
            Ibnu Al Arabi berkata, “Maksudnya, jika Allah menciptakan kemalangan/kesialan pada sesuatu, maka Allah menciptakannya pada ketiga perkara tersebut”. Al Maziri berkata, “Secara garis besar, riwayat ini menyatakan jika kemalangan/kesialan itu di dalamnya.” Artinya, rasa kemalangan/kesialan dalam jiwa terhadap ketiga perkara ini lebih banyak dibandingkan hal-hal lain.[x]
            Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia mengingkari hadits ini. Abu Daud Ath-Thayalisi meriwayatkan dalam musnad nya dari Muhammad bin Rasyid dan Makhul, dia berkata, dikatakan kepada Aisyah, “Sesungguhnya Abu Hurairah RA berkata, (Rasulullah saw bersabda kemalangan itu pada tiga perkara). Dia berkata, ‘Dia tidak hafal (secara utuh), hanya saja dia masuk saat Nabi SAW bersabda, (semoga Allah membunuh orang Yahudi, mereka mengatakan bahwa kemalangan ada pada tiga perkara). Dia mendengar bagian akhir dan tidak mendengar awalnya”.
            Makhul tidak mendengar langsung riwayat ini dari Aisyah, maka statusnya munqathi’. Akan tetapi Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim meriwayatkan dari jalur Qatadah dari Abu Hassan, (sesungguhnya dua orang dari Bani Amir masuk menemui Aisyah, keduanya berkata, ‘Abu Hurairah RA berkata, “Sesungguhnya Rasulllah SAW bersabda, ‘Pesimis itu terdapat pada kuda, wanita dan tempat tinggal’. Aisyah pun sangat marah seraya berkata, ‘Beliau tidak mengatakan demikian, tetapi beliau bersabda, ‘Sesungguhnya masyarakat Jahiliyah biasa merasa pesimis karena perkara-perkara tersebut). Tidak ada makna pengingkaran Aisyah terhadap Abu Hurairah dalam masalah itu selama sahabat lain telah menukil riwayat yang serupa dengan riwayat Abu Hurairah.
            Ulama yang lain menakwilkan bahwa sabda Nabi Saw tersebut adalah untuk menjelaskan keyakinan manusia saat itu, bukan sebagai berita dari Nabi SAW yang mengakui eksitensinya. Namun redaksi hadits-hadits shahih yang telah disebutkan tidak menerima penakwilan ini.[xi]
            Ibnu Al Arabi berkata, “Pernyataan ini tidak dapat diterima, karena Nabi SAW tidak diutus untuk mengabarkan keyakinan manusia masa lalu atau yang sedang berlangsung, bahkan beliau diutus untuk mengajarkan mereka apa yang harus diyakini”.
            Adapun hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari hadits Hakim bin Muawiyah, dia berkata, (Aku mendengar rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada kemalangan, dan mungkin saja keberuntungan terdapat pada wanita, tempat tinggal dan kuda). Dalam sanadnya terdapat kelemahan disamping menyelisihi hadits-hadits yang shahih.
            Abdurrazzaq berkata dalam kitabnya Al Mushannaf dari Ma’mar, “Aku mendengar orang yang menafsirkan hadits ini mengatakan, bahwa kemalangan wanita itu jika tidak dapat melahirkan (mandul), kemalangan kuda apabila tidak digunakan berperang, dan kemalangan tempat tinggal adalah tetangga yang buruk”.
            Abu Daud meriwayatkan dalam pembahasan tetntang pengobatan dari Ibnu Al Qasim dari Malik, bahwa dia ditanya mengenai hal itu, maka dia berkata, “Berapa banyak tempat yang didiami manusia dan mereka binasa”. Al Maziri berkata, “Imam Malik memahami sebagaimana makna zhahirnya. Maksudnya, bahwa takdir Allah itu terkadang sesuai dengan kejadian yang tidak diinginkan oleh penghuni rumah, maka seakan-akan itu yang menjadi penyebab terjadinya keburukan, atau kesialan tersebut dinisbatkan kepada penghuninya bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi sekadar perluasan dari segi bahasa.”
            Ibnu Al Arabi berkata, “Imam Malik tidak bermaksud menisbatkan kemalangan/kesialan yang terjadi kepada tempat tinggal, tetapi itu hanya merupakan ungkapan tentang kebiasaan yang terjadi didalamnya, maka dia mengisyaratkan agar seseorang keluar dari tempat tinggalnya untuk menjaga keyakinannya agar tidak bergantung pada yang bathil”. Sebagian mengatakan, “Makna hadits adalah bahwa ketiga perkara ini menyiksa hati dalam waktu lama meskipun tidak disukai, karena ketiga hal itu senantiasa menyertai seseorang sebagai tempat tinggal dan pendamping, meski tanpa meyakini adanya kesialan di dalamnya. Maka hadits diatas mengisyaratkan untuk memisahkan diri dari hal-hal tersebut agar siksaan itu hilang dengan segera.”
            Hal ini sama halnya dengan perintah menghindar dari orang yang berpenyakit kusta seraya menafikan penularan penyakit tersebut. Maksudnya untuk menutup jalan menuju kerusakan sejak dini agar jika takdir itu benar terjadi, maka tidak timbul keyakinan bahwa yang demikian disebabkan penularan atau keyakinan adanya kesialan. Akibatnya, timbul apa yang dilarang untuk diyakini. Maka hadits diatas memberi isyarat untuk menjauhi hal-hal seperti itu.
Jalan keluar bagi mereka yang mengalami hal seperti itu adalah segera pindah dari tempat tinggalnya, karena jika dia tetap tinggal di tempat ini niscaya kejadian yang dialaminya mendorongnya untuk meyakini bahwa tempat itu benar-benar mendatangkan kesialang/kemalangan. Adapun riwayat yang dinukil oleh Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al Hakim dari jalur Ishaq bin Thalhah dari Anas, (Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami di suatu tempat, dan saat itu jumlah dan harta kami menjadi banyak. Kemudian kami pindah ke tempat lain maka di tempat itu (jumlah harta kami) menjadi sedikit’. Beliau bersabda, ‘Tinggalkanlah ia tempat yang buruk.).[xii] Kemudian dalam hadits Farwah bin Musaik terdapat keterangan yang mengindikasikan bahwa dialah orang yang bertanya. Hadits ini memiliki penguat dari hadits Abdullah bin Syaddad bin Al Had (salah seorang pemuka tabiin). Dia memiliki riwayat dengan sanad yang shahih sampai kepada Abdurrazzaq.
            Ibnu Al Arabi berkata: Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id melalui sanad yang munqathi’. “Tempat tinggal yang dimaksud dalam hadits itu dahulunya adalah milik Mukmil yakni Ibnu Auf”. Dia juga berkata, “Hanya saja Nabi SAW memerintahkan mereka untuk keluar dari tempat tinggal itu, karena mereka meyakini bahwa musibah yang menimpa berasal dari tempat itu, karena mereka meyakini bahwa musibah yang menimpa berasal dari tempat itu, padahal tidak demikian. Akan tetapi Allah menjadikan semua itu sesuai dengan ketetapan-Nya yang diperlihatkan. Mereka diperintah untuk keluar agar jika terjadi musibah lagi, mereka tidak berkeyakinan seperti itu terus-menerus.
            Ibnu Al Arabi berkata, “Sikap Nabi SAW yang menyifati tempat tinggal tersebut sebagai tempat yang buruk menunjukkan diperbolehkannya hal itu, dan menyebutnya sebagai tempat yang buruk karena peristiwa yang terjadi di tempat itu juga tidak dilarang selama tidak meyakini bahwa keburukan itu berasal darinya. Bahkan mencela tempat terjadinya sesuatu yang tidak disukai tidak dilarang,  meskipun hal tersebut tidak berasal darinya menurut syara’. Sebagaimna halnya pelaku maksiat dicela atas perbuatannya meskipun pada dasarnya perbuatan itu terjadi atas ketetapan Allah”.
            Al Khaththabi berkata, “Kalimat pada hadits tersebut adalah pengecualian dari yang bukan satu jenis. Maksudnya, membatalkan madzhab Jahiliyah dalam masalah tathayyur. Seakan-akan Nabi mengatakan “Jika salah seorang diantara kamu memiliki rumah yang tidak senang ditempati, atau memiliki istri yang tidak ia sukai, atau mempunyai kuda yang tidak diinginkan untuk ditungganginya, maka hendaklah ia meninggalkannya”. Al Khaththabi juga berkata, “Ada juga yang mengatakan bahwa sialnya tempat tinggal adalah dikarenakan kondisinya yang sempit dan tetangga yang buruk, sedangkan sialnya wanita itu tidak dapat melahirkan (mandul), adapun sialnya kuda adalah karena tidak dapat digunakan berperang. Sebagian lagi mengatakan bahwa maknanya adalah apa yang disebutkan dalam hadits yang dinukil melalui sanad lemah oleh ad-Dimyathi, (Jika kuda berontak maka kuda itu sial, dan jika tempat tinggal jauh dari masjid sehingga tidak terdengar suara adzan maka rumah itu sial).
            Sebagian mengatakan sabda Nabi SAW ini diucapkan pada awal mula Islam, dan setelah itu dihapus oleh firman-Nya, (Tidak ada yang menimpa daripada musibah di bumi dan tidak pula pada diri-diri kamu melainkan (tertulis) di kitab). Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Abdil Bar. Akan tetapi penghapusan suatu dalil tidak dapat ditetapkan berdasarkan kemungkinan. Terutama apabila dua dalil yang nampak bertentangan dpat dikompromikan. Terlebih lagi dalam riwayat ini telah disebutkan penafian tathayyur, kemudian ditetapkannya pada hal-hal yang telah disebutkan.
            Sebagian ulama mengatakan bahwa kemalangan/kesialan pada hadits itu dapat dipahami sebagai ketidakcocokan dan buruknya tabiat. Sama seperti yang disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dari Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad, (Termasuk kebahagiaan seseorang adalah; wanita yang shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Sementara termasuk kesengsaraan seseorang adalah; wanita yang jahat, tempat yang buruk, dan kendaraan yang buruk). Perkara ini khusus bagi sebagian hal yang disebutkan dan tidak berlaku bagi sebagian yang lain. Demikianlah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdil Barr, dia berkata, “Hal itu terjadi bagi sebagian kaum tanpa yang lain, dan semuanya berlaku atas takdir Allah.”
            Al Muhallab berkata, “Kalimat ‘kesialan itu ada pada tiga hal’ ditujukan kepada mereka yang selalu melakukan tathayyur, dan tidak mampu menghilangkannya dari dirinya. Maka dikatakan kepada mereka, ‘Itu terjadi pada hal-hal tersebut yang senantiasa menyertai seseorang dalam sebagian besar kendaraannya. Jika hal itu terjadi maka tinggalkanlah dan jangan kalian menyiksa diri karenanya. Pandangan ini didukung oleh penyebutan hadits yang dimulai dengan panafian tathayyur. Disamping itu didukung oelh dalil yang dikutip oleh Ibnu Hibban dari Anas dari Nabi SAW, (Tidak ada thiyaroh, dan thiyaroh itu hanya bagi mereka yang melakukannya, sekiranya hal itu ada maka ada pula wanita....”). akan tetapi akurasi hadits ini masih diperbincangkan, karena ia berasal dari riwayat Utbah bin Humaid dari Ubaidillah bin Abu Bakar dari Anas. Sementara Utbah diperselisihkan tentang keakuratan riwayatnya.
إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ فَفِي المَرْأَة وَالفَرَسِ وَالمَسْكَنِ
(Jika ada [kemalangan] pada sesuatu maka pada wanita, kuda dan tempat tinggal). Demikian yang terdapat pada semua naskah dan juga dalam kitab Al Muwaththa’, hanya saja pada bagian akhir ditambahkan الشُّؤْمُ يعني (yakni kemalangan/kesialan). Riwayat yang disertai tambahan telah dinukil oleh Imam Muslim. Sementara Ismail bin Umar meriwayatkan dari Malik dan Muhammad bin Sulaiman Al Harrani dari Malik dengan lafadz إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ فَفِي المَرْأَة (Jika kemalangan itu ada pada sesuatu maka ada pada wanita). Riwayat ini dikutip oleh Ad-Daruquthni. [xiii]
Selain pada bab kemalangan kuda, dalam bab nikah juga terdapat redaksi hadis yang sama yang bertema Kesialan Wanita yang harus Dihindari:
žcÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur
“Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu”. (QS. At-Taghabun [64]: 14)
Teks Hadis
عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الشُّؤْمُ فِي الدَّارِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ»

“Dari Hamzah dan Salim dua putra Abdullah bin Umar, dari Abdullah bin Umar RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Kesialan itu terdapat pada perempuan, tempt tinggal, dan kuda”[xiv]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ العَسْقَلاَنِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: ذَكَرُوا الشُّؤْمَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ الشُّؤْمُ فِي شَيْءٍ فَفِي الدَّارِ، وَالمَرْأَةِ، وَالفَرَسِ»
dari Ibnu Umar, dia berkata, “Mereka menyebutkan kesialan di sisi Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda, “Jika kesialan itu ada pada sesuatu, maka ada pada tempat tinggal, perempuan, dan kuda”
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ، فَفِي الفَرَسِ وَالمَرْأَةِ وَالمَسْكَنِ»
Dari Sahal bin Saad, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jika ia ada pada sesuatu, maka ada pada kuda, perempuan, dan tempat tinggal.”

Keterangan hadits:
(Bab Kesialan wanita yang harus dihindari). Kata asy-syu’mu (sial) merupakan lawan dari kata ‘al yumnu’ (nasab baik). Dikatakan “tasya’amtu bikadza” (aku sial dengan hal ini), dan “tayammantu bikadza” (aku bernasab baik dengan hal ini).
(قوله تعالى žcÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9
(Dan Firman Allah, “Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagi kamu). Seakan-akan beliau mengisyaratkan bahwa kesialan itu hanya terdapat sebagian perempuan dan tidak pada yang lainnya berdasarkan indikasi ayat. Lalu dia menyebutkan ini hadits Ibnu Umar melalui dua jalur dan hadits Sahal melalui jalur lain. Kedua hadits ini sudah dijelaskan secara detail pada pembahasan tentang jihad.
Pada sebagian hadits disebutkan keterangan yang mungkin menafsirkan pengertian di atas. Riwayat yang dimaksud dikutip Imam Ahmad dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari Sa’ad, yang dinisbatkan kepada Nabi SAW,
ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ "
Termasuk kebahagiaan anak keturunan Adam ada tiga: wanita yang shalihah, tempat yang bagus, dan kendaraan yang bagus. Termasuk kesengsaraan anak keturunan Adam tiga pula: wanita yang buruk, tempat tinggal yang jelek, dan kendaraan yang jelek). Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، حَدَّثَنِي خُمِيلٌ، وَمُجَاهِدٌ، عَنْ نَافِعِ بْنِ عَبْدِ الْحَارِثِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ الْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ "، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ خُمِيلٍ، عَنْ نَافِعِ بْنِ عَبْدِ الْحَارِثِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَذَكَرَ مِثْلَهُ
الْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ (kendaraan yang nyaman dan tempat tinggal yang luas). Dalam salah satu riwayat Al Hakim disebutkan,  (tiga perkara termasuk kesengsaraan: wanita yang engkau melihatnya maka dia membuatmu merasa buruk serta menyakitimu dengan lisannya, hewan yang lamban jika engkau pukul melelahkanmu dan bila engkau biarkan niscaya engkau pukul melelahkanmu dan bila engkau biarkan niscaya engkau tidak mampu menyusul sahabat-sahabatmu, dan tempat tingal yang sempit dan sedikit fasilitasnya).
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis Asma’ Inna min syaqoi al mar i fiddunya suuddari wal marati waddabbah (sesungguhnya termasuk kesengsaraan manusia di dunia adalah buruknya tempat tinggal, istri, dan hewan tunggangan). Di dalamnya dikatakan bahwa rumah yang buruk adalah sempt pekarangannya dan buruk perangai tetangganya. Buruknya hewan tunggangan adalah tidak nyaman ditunggangi dan buruk pula tabiatnya. Sedangkan buruknya istri adalah mandul dan jelek akhlaknya.[xv]
          Dari Usamah bin Zaid. Dalam riwayat Muslim dari jalur Mu’tamir bin Sulaiman, dari bapaknya, ditambahkan bersama Usamah Sa;id bin Zaid. At Tirmidzi berkata, “Kami tidak mengetahui seseorang mengatakan, Dari Sa’id bin Zaid, selain Mu’tamir bin Sulaiman.
          Ma taraktu ba’di fitnatun........... (aku tidak meninggalkan sesudahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada [fitnah] perempuan).[xvi] Jika saya membaca hadis tersebut terdapat isyarat bahwa kesialan yang dimaksud khusus pada perempuan yang menyebabkan permusuhan dan fitnah. Bukan seperti yang dipahami sebagian orang yang merasa sial dengan sebab mata kaki perempuan. Ulama pun tidak pernah mengatakan seperti ini. Barangsiapa mengatakan bahwa perempuan adalah penyebab hal itu, maka dia orang yang bodoh.





KESIMPULAN
Kesialan dalam hadits ini terjadi jika kuda yang kita punya tidak bisa dimanfaatkan karena larinya yang tidak kencang. Istri yang mandul, suka ngomel. Rumah yang sempit, tetangga yang jahat dan yang durhaka kepada Allah.
Kesialan muncul karena adanya sifat tercela. Dampak dari kesialan ini adalah meninggalkan, dengan tetap berkeyakinan bahwa hanya Allah saja yang menciptakan dan mengatur kebaikan dan keburukan. Kesialannya bukan karena zat benda tersebut memiliki pengaruh, melainkan karena apa yang Allah takdirkan pada benda tersebut berupa kebaikan dan kejelekan.
Dengan begitu kita menjadi mengerti mengapa Hadis itu berbunyi demikian. Pertama, sesungguhnya pernyataan Nabi tersebut hanya mengutip kepercayaan masyarakat arab jahiliyah saja. Kedua, pernyataan Nabi tersebut hanya didengar sepotong oleh Abu Hurairah.










DAFTAR PUSTAKA
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al Mawardi Prima, 2001), h. 127
Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Poundation, 1999), h. 12-13
Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Poundation, 1999), h. 15
Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak), h. 48-49
Nikmatullah, “Peran Perempuan Dalam Islam, h. 15
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, (Jakarta: Kalam Mulia), h. 107-108
Syarah Muslim, jilid 14, h. 471
HR. Abu Dawud: 3917
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 181





[i]               Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al Mawardi Prima, 2001), h. 127
[ii]               Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Poundation, 1999), h. 12-13
[iii]              Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Poundation, 1999), h. 15
[iv]              Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak), h. 48-49
[v]               Nikmatullah, “Peran Perempuan Dalam Islam, h. 15
[vi]              Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, (Jakarta: Kalam Mulia), h. 107-108
[vii]             Syarah Muslim, jilid 14, h. 471
[viii]             HR. Abu Dawud: 3917
[ix]              Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 181
[x]               Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 182
[xi]              Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 183
[xii]             Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 185
[xiii]             Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 189
[xiv]             Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, jilid 16, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 121
[xv]             Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, jilid 16, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 123
[xvi]             Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, jilid 16, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 124

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete