Reinterpretasi
Hadis perempuan pembawa sial
Hadis misoginis
Hadis misoginis
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan suatu anugerah
terbesar bagi kaum perempuan dari masa jahiliyah. Hukum Islam melindungi
hak-hak perempuan yang pada masa jahiliyah perempuan tidak ada harganya dan
bernilai ekonomi. Ini semua merupakan misi pokok Islam untuk mensejajajarkan
perempuan dan laki-laki disemua aspek kehidupan.[i]
Suatu hal yang tak boleh dilupakan dan harus bersyukur yaitu
datangnya Islam adalah perempuan. Betapa tidak, sebelum Islam datang, perempuan
ditempatkan sebagai objek yang hampir tidak mempunyai hak-hak pribadi. Seorang
perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, bahkan dirinya sendiri
menjadi “harta warisan”. Ia tidak mempunyai hak-hak politik seperti halnya
laki-laki. Kehadiran Islam kemudian mengangkat harkat perempuan dalam suatu
posisi yang sepadan dengan kaum laki-laki.[ii]
Secara perlahan tapi pasti, kehadiran Islam mengubah pandangan
masyarakat terhadap kaum perempuan. Perempuan yang sebelumnya ditempatkan dlam
posisi sebagai objek yang hampir tidak memiliki hak dan peran sosial,
ditempaykan kembali pada posisi selayaknya. Bahkan dalam teks-teks agama, akan
ditemukan sekian banyak hadis yang memuliakan perempuan. Dengan sendirinya,
perempuan di samping sebagai objek juga lebih dipandang sebagai subjek dengan
hak dan kewajibannya.[iii]
Ide-ide dan sikap-sikap negatif terhadap perempuan yang ada dalam
masyarakat muslim pada umumnya berakar pada teologi. Kendatipun ada perbaikan
secara statistik seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial serta
politik, perempuan akan terus menerus diperlakukan dengan kasar dan
diskriminasi jika landasan teologis yang melahirkan kecenderungan yang bersifat
misoginisdalam tradisi Islam tidak dibongkar.[iv]
Sebenarnya dalam sejarah Islam, sebuah rujukan praksis untuk masa depan lalu,
terdapat pase dimana perempuan begitu di tinggikan sedemikian rupa lalu
dihinakan, dan kemudian disetarakan dengan laki-laki. Sikap perempuan mengikuti
gelombang garis konjungtural. Dalam hal ini Islam datang dengan kesetaraan
tersebut.[v]
Rumusan
Masalah
Permasalahan
yang saya angkat adalah Apa makna kesialan pada hadits kesialan pada tiga
tempat: kuda, perempuan, dan tempat tinggal.
Tujuan
dan Signifikansi penyusunan makalah
Tujuan
saya mengangkat tema hadis ini ialah untuk memberi pemaknaan atau interpretasi
ulang mengenai hadis tentang kesialan pada tiga tempat: kuda, perempuan, dan
tempat tinggal.
Metode
Penelitian
Sumber
data yang saya ambil yaitu dari kitab:
1.
Shahih Bukhari
2.
Shahih Muslim
3.
Sunan Abu Daud
4.
Sunan An-Nasa’i
5.
Sunan
At-Tirmidzi
6.
Musnad Ahmad
bin Hanbal
7.
Sunan Ibnu
Majah
Pengumpulan
Data yang saya gunakan dalam penelitian ini ialah kajian kepustakaan (Library
Research) yang bersifat kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah metode dokumentasi, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan beberapa karya
tulis yang berkaitan dengan tema yang akan diteliti, baik berupa buku-buku,
kitab, jurnal, atau berupa dokumen-dokumen yang dianggap relevan.
Hadis tentang
kesialan pada tiga tempat daiantaranya adalah:
1.
Shahih Bukhari
Juz 7 halaman 8
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ،
عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ
يَقُولُ: " إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ
وَالدَّارِ "
2.
Sunan Abu Daud
juz 4 halaman 19
حَدَّثَنَا
الْقَعْنَبِيُّ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ،
وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الشُّؤْمُ فِي
الدَّارِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ
3.
At-Tirmidzi juz 4 halaman 423
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي عُمَرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ
سَالِمٍ، وَحَمْزَةَ، ابْنَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِمَا، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الشُّؤْمُ فِي ثَلاَثَةٍ،
فِي الْمَرْأَةِ، وَالمَسْكَنِ، وَالدَّابَّةِ.
4.
Sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 642
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ أَبُو سَلَمَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ،
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ
أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "
الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْفَرَسِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالدَّارِ
5.
Ahmad bin Hanbal juz 8 halaman 522
حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا رَبَاحٌ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ: الْفَرَسِ،
وَالْمَرْأَةِ، وَالدَّارِ "
6.
Shahih Muslim juz 4 halaman 1746
وَحَدَّثَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، ح
وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «الشُّؤْمُ فِي الدَّارِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ»
7. Sunan An Nasa’i juz 6 halaman 220
أَخْبَرَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَا:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " الشُّؤْمُ فِي
ثَلَاثَةٍ: الْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ، وَالدَّارِ "
Analisa Data
Analisa data yang saya gunakan adalah pendekatan
konteks dan historis dari Metode Pemahaman Yusuf Qardhawi
Kajian Pustaka
Kitab Shahih Bukhari Ibnu Hajar Al
Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari.
Huzaemah
T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al Mawardi Prima
Dr.
Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam Islam
Riffat
Hasan, Setara di Hadapan Allah
Nikmatullah, “Peran Perempuan Dalam Islam,
Syarah Muslim, jilid 14, h. 471
Tujuan Penelitian saya mengangkat tema hadis ini ialah untuk
memberi pemaknaan atau interpretasi ulang mengenai hadis tentang kesialan
pada tiga tempat: kuda, perempuan, dan tempat tinggal.
PEMBAHASAN
Teks Hadis
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ،
عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ
يَقُولُ: " إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ
وَالدَّارِ "
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman
telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az-Zuhry berkata telah bercerita
kepadaku Salim bin ‘Abdullah bahwa Abdullah bin ‘Umar Radiallahu ‘Anhuma
berkata aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
kesialan itu ada pada tiga tempat: kuda, perempuan, dan tempat tinggal”. (HR.
Bukhari)
Sababul Wurud:
Dalam Shahih Bukhari dan Ibnu Umar
disebutkan, bahwa para sahabat menyebut-nyebut soal kesialan di depan Nabi SAW.
Maka beliau menjelaskan: Jika kesialan itu menimpa sesuatu, maka ia terdapat
pada tiga hal, yaitu: kuda, istri dan rumah
Demikian pula Bukhari meriwayatkan dari
Sahal Ibnu Sa’ad rhadiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika
kesialan itu mengenai sesuatu, maka ia terdapat pada tiga hal, yaitu: kuda,
istri dan rumah.”
Keterangan Sabababul Wurud:
Kesialan disini artinya sebagai lawan dari
nasib baik dan berkat. Kuda (kendaraan) yang sulit dikendalikan ketika ia
berlari kencang sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Bila ditambatkan semata-mata
untuk kebanggaan dan kesombongan. Istri yang tidak beranak, panjang lidah (suka
ngomel). Rumah yang sempit, atau bertetangga dengan orang-orang yang suka
berbuat kejahatan dan mendurhakai Allah.[vi]
Jadi, kesialan itu terjadi jika kuda yang
kita punya tidak bisa dimanfaatkan karena larinya yang tidak kencang. Istri
yang mandul, suka ngomel. Rumah yang sempit, tetangga yang jahat dan yang
durhaka kepada Allah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
sial adalah tidak mujur dan segala usahanya selalu tidak berhasil. Sedangkan
kesialan adalah keadaan sial, ketidakmujuran.
Kesialan terbagi pada dua macam:
Pertama, Kesialan yang haram seperti keyakinan orang-orang
jahiliah yaitu pada hal-hal tertentu yang dianggap membawa sial bahwa hal itu
berpengaruh pada keadaan dan merupakan faktor kebaikan dan keburukan, sehingga
menghalangi mereka dari keinginan dan tekad mereka. Imam Nawawi berkata tatkala
menjelaskan segi kesyirikan thiyaroh: “Sebab mereka berkeyakinan benda tersebut
berpengaruh untuk maju mundurnya suatu keinginan.[vii]
Kedua, Kesialan yang ditetapkan dalam hadits, yaitu apa yang dijumpai pada hati
seseorang mempunyai rasa benci pada hal-hal tertentu ketika terjadi sesuatu
yang tidak menyenangkan padanya. Ciri-cirinya diantaranya adalah Kesialan ini
tidak muncul kecuali setelah terjadinya kemadharatan yang berulang-ulang.
Seandainya seorang merasa terkena madharat dari sesuatu, maka boleh baginya
untuk meninggalkannya.
Kesialan ini muncul karena adanya sifat
tercela, berbeda dengan kesialan terlarang yang biasanya muncul karena sebab
yang tidak jelas, seperti membatalkan bepergian karena melihat seekor burung.
Dampak dari kesialan ini adalah meninggalkan, dengan tetap berkeyakinan bahwa
hanya Allah saja yang menciptakan dan mengatur kebaikan dan keburukan.
Kesialannya bukan karena zat benda tersebut memiliki pengaruh, melainkan karena
apa yang Allah takdirkan pada benda tersebut berupa kebaikan dan kejelekan.[viii]
Syarah Hadits:
Dalam Fathul Baari Bab 47 yang bertemakan Hadis Kemalangan Kuda:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ، فَفِي الفَرَسِ وَالمَرْأَةِ وَالمَسْكَنِ»
2859.
Dari Sahal bin Saad, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jika ia ada
pada sesuatu, maka ada pada kuda, perempuan, dan tempat tinggal.”
Keterangan
Hadits:
(Bab tentang kemalangan kuda).
Imam Bukhari menyebutkan hadits Sahal bin Sa’id setelah hadits Ibnu Umar
merupakan isyarat bahwa pembatasan yang terdapat pada hadis Ibnu Umar tidak
dapat dipahami secara zhahirnya. Sedangkan penyebutan judul bab berikutnya,
yaitu Kuda itu Ada Tiga’ merupakan isyarat bahwa kemalangan yang dimaksud
khusus bagi sebagian kuda. Semua ini merupakan kejelian dan ketelitian
pemikiran Imam Bukhari.
Kata فِي ثَلَاثَةٍ
(pada tiga).
Maksudnya, ada pada tiga perkara. Demikian dikatakan oleh Ibnu Al Arabi. Dia
berkata, “Pembatasan disini dinisbatkan kepada kebiasaan bukan kepada fitrah
atau naluri”. Sementara itu Imam Malik dan Sufyan serta periwayat lainnya
menukil tanpa menyebut lafadz ‘innama’. Akan tetapi dalam riwayat Utsman
bin Umar disebutkan,
لَا عَدْوَى، وَلَا طِيَرَةَ، وَإِنَّمَا وَالشُّؤْمُ
فِي ثَلَاثٍ
(Tidak ada ‘adwa [keyakinan bahwa penyakit
itu menular dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah]dan tidak pula thiyarah
[sikap pesimis yang menghalangi untuk melakukan sesuatu perbuatan]dan
sesungguhnya kemalangan itu ada pada tiga hal).
Imam
Muslim berkata, “Tidak seorang pun yang menyebutkan dalam hadits Ibnu Umar
lafadz ‘tidak ada ‘adwa’ kecuali Ustman bin Umar”. Hal serupa terdapat
pula dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang diriwayatkan Abu Daud, akan tetapi
disebutkan di dalamnya, (Sekiranya ada thiyarah pada sesuatu....)
Makna
lahiriah hadits menyatakan bahwa kemalangan dan pesimis itu terdapat pada tiga
perkara ini. Ibnu Qutaibah berkata, “Penjelasannya, bahwa kebiasaan masyarakat
Jahiliyah adalah melakukan tathayyur, maka Nabi SAW melarang mereka untuk
melakukannya seraya mengajarkan bahwa sesunggahnya thiyarah itu tidak ada.
Namun, ketika mereka enggan meninggalkan kebiasaan itu, maka tersisa tiga hal
di atas”.
Ibnu
Qutaibah telah memahami hadits tersebut sebagaimana makna lahiriahnya.
Pernyataan ini berkonsekuensi bahwa seseorang yang menganggap sial dengan salah
satu dari tiga hal tersebut niscaya akan ditimpa sesuatu yang tidak dia
inginkan.[ix]
Menurut
Al Qurthubi, hal itu tidak boleh dipahami sebagaimana keyakinan kaum jahiliyah
bahwa yang demikian itu dapat mendatangkan mudharat dan manfaat dengan
sendirinya, karena pemahaman seperti ini tidak benar. Namun yang dia maksud
ketiga hal tersebut merupakan hal yang paling banyak dijadikan manusia untuk
melakukan tathayyur. Barangsiapa yang timbul sesuatu dalam hatinya maka dia
perkenankan untuk meninggalkannya dan menggantinya dengan yang lain”.
Dalam
riwayat Umar Al Asqalani yakni Ibnu Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar
dari bapaknya dari Ibnu Umar (seperti akan disebutkan pada pembahasan tentang
nikah) disebutkan dengan lafadz, (Mereka menyebutkan tentang kemalangan,
maka beliau bersabda, ‘Apabila kemalangan itu ada pada sesuatu maka ada
pada....) Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, (Jika ada kemalangan
yang benar....). Sedangkan dalam riwayat Utbah bin Muslim disebutkan, (Jika
kemalangan itu ada pada sesuatu...). Demikian pula dalam hadits Jabir yang
dikutip oleh Imam Muslim, yang selaras dengan hadits Sahal bin Sa’ad.
Riwayat-riwayat ini berindikasi tidak adanya penetapan dan kepastian dalam hal
ini, berbeda dengan riwayat Az-Zuhri.
Ibnu
Al Arabi berkata, “Maksudnya, jika Allah menciptakan kemalangan/kesialan pada
sesuatu, maka Allah menciptakannya pada ketiga perkara tersebut”. Al Maziri
berkata, “Secara garis besar, riwayat ini menyatakan jika kemalangan/kesialan
itu di dalamnya.” Artinya, rasa kemalangan/kesialan dalam jiwa terhadap ketiga
perkara ini lebih banyak dibandingkan hal-hal lain.[x]
Diriwayatkan
dari Aisyah bahwa dia mengingkari hadits ini. Abu Daud Ath-Thayalisi
meriwayatkan dalam musnad nya dari Muhammad bin Rasyid dan Makhul, dia berkata,
dikatakan kepada Aisyah, “Sesungguhnya Abu Hurairah RA berkata, (Rasulullah
saw bersabda kemalangan itu pada tiga perkara). Dia berkata, ‘Dia tidak
hafal (secara utuh), hanya saja dia masuk saat Nabi SAW bersabda, (semoga
Allah membunuh orang Yahudi, mereka mengatakan bahwa kemalangan ada pada tiga
perkara). Dia mendengar bagian akhir dan tidak mendengar awalnya”.
Makhul
tidak mendengar langsung riwayat ini dari Aisyah, maka statusnya munqathi’. Akan
tetapi Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim meriwayatkan dari jalur Qatadah
dari Abu Hassan, (sesungguhnya dua orang dari Bani Amir masuk menemui
Aisyah, keduanya berkata, ‘Abu Hurairah RA berkata, “Sesungguhnya Rasulllah SAW
bersabda, ‘Pesimis itu terdapat pada kuda, wanita dan tempat tinggal’. Aisyah
pun sangat marah seraya berkata, ‘Beliau tidak mengatakan demikian, tetapi
beliau bersabda, ‘Sesungguhnya masyarakat Jahiliyah biasa merasa pesimis karena
perkara-perkara tersebut). Tidak ada makna pengingkaran Aisyah terhadap Abu
Hurairah dalam masalah itu selama sahabat lain telah menukil riwayat yang
serupa dengan riwayat Abu Hurairah.
Ulama
yang lain menakwilkan bahwa sabda Nabi Saw tersebut adalah untuk menjelaskan
keyakinan manusia saat itu, bukan sebagai berita dari Nabi SAW yang mengakui
eksitensinya. Namun redaksi hadits-hadits shahih yang telah disebutkan
tidak menerima penakwilan ini.[xi]
Ibnu
Al Arabi berkata, “Pernyataan ini tidak dapat diterima, karena Nabi SAW tidak
diutus untuk mengabarkan keyakinan manusia masa lalu atau yang sedang
berlangsung, bahkan beliau diutus untuk mengajarkan mereka apa yang harus
diyakini”.
Adapun
hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari hadits Hakim bin Muawiyah, dia
berkata, (Aku mendengar rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada kemalangan, dan
mungkin saja keberuntungan terdapat pada wanita, tempat tinggal dan kuda).
Dalam sanadnya terdapat kelemahan disamping menyelisihi hadits-hadits yang shahih.
Abdurrazzaq
berkata dalam kitabnya Al Mushannaf dari Ma’mar, “Aku mendengar orang
yang menafsirkan hadits ini mengatakan, bahwa kemalangan wanita itu jika tidak
dapat melahirkan (mandul), kemalangan kuda apabila tidak digunakan berperang,
dan kemalangan tempat tinggal adalah tetangga yang buruk”.
Abu
Daud meriwayatkan dalam pembahasan tetntang pengobatan dari Ibnu Al Qasim dari
Malik, bahwa dia ditanya mengenai hal itu, maka dia berkata, “Berapa banyak
tempat yang didiami manusia dan mereka binasa”. Al Maziri berkata, “Imam Malik
memahami sebagaimana makna zhahirnya. Maksudnya, bahwa takdir Allah itu
terkadang sesuai dengan kejadian yang tidak diinginkan oleh penghuni rumah, maka
seakan-akan itu yang menjadi penyebab terjadinya keburukan, atau kesialan
tersebut dinisbatkan kepada penghuninya bukan dalam arti yang sebenarnya,
tetapi sekadar perluasan dari segi bahasa.”
Ibnu
Al Arabi berkata, “Imam Malik tidak bermaksud menisbatkan kemalangan/kesialan
yang terjadi kepada tempat tinggal, tetapi itu hanya merupakan ungkapan tentang
kebiasaan yang terjadi didalamnya, maka dia mengisyaratkan agar seseorang
keluar dari tempat tinggalnya untuk menjaga keyakinannya agar tidak bergantung
pada yang bathil”. Sebagian mengatakan, “Makna hadits adalah bahwa ketiga
perkara ini menyiksa hati dalam waktu lama meskipun tidak disukai, karena
ketiga hal itu senantiasa menyertai seseorang sebagai tempat tinggal dan
pendamping, meski tanpa meyakini adanya kesialan di dalamnya. Maka hadits
diatas mengisyaratkan untuk memisahkan diri dari hal-hal tersebut agar siksaan
itu hilang dengan segera.”
Hal
ini sama halnya dengan perintah menghindar dari orang yang berpenyakit kusta
seraya menafikan penularan penyakit tersebut. Maksudnya untuk menutup jalan
menuju kerusakan sejak dini agar jika takdir itu benar terjadi, maka tidak
timbul keyakinan bahwa yang demikian disebabkan penularan atau keyakinan adanya
kesialan. Akibatnya, timbul apa yang dilarang untuk diyakini. Maka hadits
diatas memberi isyarat untuk menjauhi hal-hal seperti itu.
Jalan keluar
bagi mereka yang mengalami hal seperti itu adalah segera pindah dari tempat
tinggalnya, karena jika dia tetap tinggal di tempat ini niscaya kejadian yang
dialaminya mendorongnya untuk meyakini bahwa tempat itu benar-benar
mendatangkan kesialang/kemalangan. Adapun riwayat yang dinukil oleh Abu Daud
dan dinyatakan shahih oleh Al Hakim dari jalur Ishaq bin Thalhah dari
Anas, (Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami di
suatu tempat, dan saat itu jumlah dan harta kami menjadi banyak. Kemudian kami
pindah ke tempat lain maka di tempat itu (jumlah harta kami) menjadi sedikit’.
Beliau bersabda, ‘Tinggalkanlah ia tempat yang buruk.).[xii]
Kemudian dalam hadits Farwah bin Musaik terdapat keterangan yang
mengindikasikan bahwa dialah orang yang bertanya. Hadits ini memiliki penguat
dari hadits Abdullah bin Syaddad bin Al Had (salah seorang pemuka tabiin). Dia
memiliki riwayat dengan sanad yang shahih sampai kepada Abdurrazzaq.
Ibnu
Al Arabi berkata: Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id melalui sanad
yang munqathi’. “Tempat tinggal yang dimaksud dalam hadits itu dahulunya adalah
milik Mukmil yakni Ibnu Auf”. Dia juga berkata, “Hanya saja Nabi SAW
memerintahkan mereka untuk keluar dari tempat tinggal itu, karena mereka
meyakini bahwa musibah yang menimpa berasal dari tempat itu, karena mereka
meyakini bahwa musibah yang menimpa berasal dari tempat itu, padahal tidak
demikian. Akan tetapi Allah menjadikan semua itu sesuai dengan ketetapan-Nya
yang diperlihatkan. Mereka diperintah untuk keluar agar jika terjadi musibah
lagi, mereka tidak berkeyakinan seperti itu terus-menerus.
Ibnu
Al Arabi berkata, “Sikap Nabi SAW yang menyifati tempat tinggal tersebut
sebagai tempat yang buruk menunjukkan diperbolehkannya hal itu, dan menyebutnya
sebagai tempat yang buruk karena peristiwa yang terjadi di tempat itu juga
tidak dilarang selama tidak meyakini bahwa keburukan itu berasal darinya.
Bahkan mencela tempat terjadinya sesuatu yang tidak disukai tidak
dilarang, meskipun hal tersebut tidak
berasal darinya menurut syara’. Sebagaimna halnya pelaku maksiat dicela atas
perbuatannya meskipun pada dasarnya perbuatan itu terjadi atas ketetapan
Allah”.
Al
Khaththabi berkata, “Kalimat pada hadits tersebut adalah pengecualian dari yang
bukan satu jenis. Maksudnya, membatalkan madzhab Jahiliyah dalam masalah tathayyur.
Seakan-akan Nabi mengatakan “Jika salah seorang diantara kamu memiliki rumah
yang tidak senang ditempati, atau memiliki istri yang tidak ia sukai, atau
mempunyai kuda yang tidak diinginkan untuk ditungganginya, maka hendaklah ia
meninggalkannya”. Al Khaththabi juga berkata, “Ada juga yang mengatakan bahwa
sialnya tempat tinggal adalah dikarenakan kondisinya yang sempit dan tetangga
yang buruk, sedangkan sialnya wanita itu tidak dapat melahirkan (mandul),
adapun sialnya kuda adalah karena tidak dapat digunakan berperang. Sebagian
lagi mengatakan bahwa maknanya adalah apa yang disebutkan dalam hadits yang
dinukil melalui sanad lemah oleh ad-Dimyathi, (Jika kuda berontak maka kuda
itu sial, dan jika tempat tinggal jauh dari masjid sehingga tidak terdengar
suara adzan maka rumah itu sial).
Sebagian
mengatakan sabda Nabi SAW ini diucapkan pada awal mula Islam, dan setelah itu
dihapus oleh firman-Nya, (Tidak ada yang menimpa daripada musibah di bumi
dan tidak pula pada diri-diri kamu melainkan (tertulis) di kitab). Pendapat
ini dinukil oleh Ibnu Abdil Bar. Akan tetapi penghapusan suatu dalil tidak
dapat ditetapkan berdasarkan kemungkinan. Terutama apabila dua dalil yang
nampak bertentangan dpat dikompromikan. Terlebih lagi dalam riwayat ini telah
disebutkan penafian tathayyur, kemudian ditetapkannya pada hal-hal yang
telah disebutkan.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa kemalangan/kesialan pada hadits itu dapat dipahami
sebagai ketidakcocokan dan buruknya tabiat. Sama seperti yang disebutkan dalam hadits
Sa’ad bin Abi Waqqash dari Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad, (Termasuk
kebahagiaan seseorang adalah; wanita yang shalihah, tempat tinggal yang baik,
dan kendaraan yang nyaman. Sementara termasuk kesengsaraan seseorang adalah;
wanita yang jahat, tempat yang buruk, dan kendaraan yang buruk). Perkara
ini khusus bagi sebagian hal yang disebutkan dan tidak berlaku bagi sebagian
yang lain. Demikianlah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdil Barr, dia berkata, “Hal
itu terjadi bagi sebagian kaum tanpa yang lain, dan semuanya berlaku atas
takdir Allah.”
Al
Muhallab berkata, “Kalimat ‘kesialan itu ada pada tiga hal’ ditujukan
kepada mereka yang selalu melakukan tathayyur, dan tidak mampu
menghilangkannya dari dirinya. Maka dikatakan kepada mereka, ‘Itu terjadi pada
hal-hal tersebut yang senantiasa menyertai seseorang dalam sebagian besar
kendaraannya. Jika hal itu terjadi maka tinggalkanlah dan jangan kalian
menyiksa diri karenanya. Pandangan ini didukung oleh penyebutan hadits yang
dimulai dengan panafian tathayyur. Disamping itu didukung oelh dalil
yang dikutip oleh Ibnu Hibban dari Anas dari Nabi SAW, (Tidak ada thiyaroh,
dan thiyaroh itu hanya bagi mereka yang melakukannya, sekiranya hal itu ada
maka ada pula wanita....”). akan tetapi akurasi hadits ini masih diperbincangkan,
karena ia berasal dari riwayat Utbah bin Humaid dari Ubaidillah bin Abu Bakar
dari Anas. Sementara Utbah diperselisihkan tentang keakuratan riwayatnya.
إِنْ كَانَ
فِي شَيْءٍ فَفِي المَرْأَة وَالفَرَسِ وَالمَسْكَنِ
(Jika ada [kemalangan] pada sesuatu maka
pada wanita, kuda dan tempat tinggal). Demikian yang terdapat pada semua
naskah dan juga dalam kitab Al Muwaththa’, hanya saja pada bagian akhir
ditambahkan الشُّؤْمُ يعني
(yakni
kemalangan/kesialan). Riwayat yang disertai tambahan telah dinukil oleh
Imam Muslim. Sementara Ismail bin Umar meriwayatkan dari Malik dan Muhammad bin
Sulaiman Al Harrani dari Malik dengan lafadz إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ فَفِي المَرْأَة (Jika kemalangan itu ada pada sesuatu maka
ada pada wanita). Riwayat ini dikutip oleh Ad-Daruquthni. [xiii]
Selain pada bab kemalangan kuda, dalam bab
nikah juga terdapat redaksi hadis yang sama yang bertema Kesialan Wanita yang
harus Dihindari:
cÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur
“Sesungguhnya
di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu”. (QS. At-Taghabun [64]: 14)
Teks Hadis
عَنْ
حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الشُّؤْمُ
فِي الدَّارِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ»
“Dari
Hamzah dan Salim dua putra Abdullah bin Umar, dari Abdullah bin Umar RA,
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Kesialan itu terdapat pada perempuan,
tempt tinggal, dan kuda”[xiv]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ
بْنُ مُحَمَّدٍ العَسْقَلاَنِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ:
ذَكَرُوا الشُّؤْمَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ الشُّؤْمُ فِي شَيْءٍ
فَفِي الدَّارِ، وَالمَرْأَةِ، وَالفَرَسِ»
dari
Ibnu Umar, dia berkata, “Mereka menyebutkan kesialan di sisi Nabi SAW. Maka
Nabi SAW bersabda, “Jika kesialan itu ada pada sesuatu, maka ada pada tempat
tinggal, perempuan, dan kuda”
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ، فَفِي الفَرَسِ وَالمَرْأَةِ وَالمَسْكَنِ»
Dari
Sahal bin Saad, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jika ia ada pada
sesuatu, maka ada pada kuda, perempuan, dan tempat tinggal.”
Keterangan hadits:
(Bab Kesialan wanita yang harus
dihindari). Kata asy-syu’mu (sial) merupakan lawan dari kata ‘al
yumnu’ (nasab baik). Dikatakan “tasya’amtu bikadza” (aku sial dengan
hal ini), dan “tayammantu bikadza” (aku bernasab baik dengan hal ini).
(قوله تعالى cÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9
(Dan
Firman Allah, “Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagi kamu). Seakan-akan
beliau mengisyaratkan bahwa kesialan itu hanya terdapat sebagian perempuan dan
tidak pada yang lainnya berdasarkan indikasi ayat. Lalu dia menyebutkan ini
hadits Ibnu Umar melalui dua jalur dan hadits Sahal melalui jalur lain. Kedua
hadits ini sudah dijelaskan secara detail pada pembahasan tentang jihad.
Pada sebagian hadits disebutkan keterangan
yang mungkin menafsirkan pengertian di atas. Riwayat yang dimaksud dikutip Imam
Ahmad dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari Sa’ad, yang
dinisbatkan kepada Nabi SAW,
ابْنِ آدَمَ
ثَلاثَةٌ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ:
الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ،
وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ،
وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ "
Termasuk kebahagiaan anak keturunan Adam
ada tiga: wanita yang shalihah, tempat yang bagus, dan kendaraan yang bagus.
Termasuk kesengsaraan anak keturunan Adam tiga pula: wanita yang buruk, tempat
tinggal yang jelek, dan kendaraan yang jelek). Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ
أَبِي ثَابِتٍ، حَدَّثَنِي خُمِيلٌ، وَمُجَاهِدٌ، عَنْ نَافِعِ بْنِ عَبْدِ
الْحَارِثِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ
الْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ "،
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ خُمِيلٍ،
عَنْ نَافِعِ بْنِ عَبْدِ الْحَارِثِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَذَكَرَ
مِثْلَهُ
الْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ،
وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ
(kendaraan
yang nyaman dan tempat tinggal yang luas). Dalam salah satu riwayat Al
Hakim disebutkan, (tiga perkara
termasuk kesengsaraan: wanita yang engkau melihatnya maka dia membuatmu merasa
buruk serta menyakitimu dengan lisannya, hewan yang lamban jika engkau pukul
melelahkanmu dan bila engkau biarkan niscaya engkau pukul melelahkanmu dan bila
engkau biarkan niscaya engkau tidak mampu menyusul sahabat-sahabatmu, dan
tempat tingal yang sempit dan sedikit fasilitasnya).
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis Asma’ Inna
min syaqoi al mar i fiddunya suuddari wal marati waddabbah (sesungguhnya
termasuk kesengsaraan manusia di dunia adalah buruknya tempat tinggal, istri,
dan hewan tunggangan). Di dalamnya dikatakan bahwa rumah yang buruk adalah
sempt pekarangannya dan buruk perangai tetangganya. Buruknya hewan tunggangan
adalah tidak nyaman ditunggangi dan buruk pula tabiatnya. Sedangkan buruknya
istri adalah mandul dan jelek akhlaknya.[xv]
Dari
Usamah bin Zaid. Dalam riwayat Muslim dari jalur Mu’tamir bin Sulaiman,
dari bapaknya, ditambahkan bersama Usamah Sa;id bin Zaid. At Tirmidzi berkata,
“Kami tidak mengetahui seseorang mengatakan, Dari Sa’id bin Zaid, selain
Mu’tamir bin Sulaiman.
Ma
taraktu ba’di fitnatun........... (aku tidak meninggalkan sesudahku fitnah
yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada [fitnah] perempuan).[xvi] Jika
saya membaca hadis tersebut terdapat isyarat bahwa kesialan yang dimaksud khusus
pada perempuan yang menyebabkan permusuhan dan fitnah. Bukan seperti yang
dipahami sebagian orang yang merasa sial dengan sebab mata kaki perempuan.
Ulama pun tidak pernah mengatakan seperti ini. Barangsiapa mengatakan bahwa
perempuan adalah penyebab hal itu, maka dia orang yang bodoh.
KESIMPULAN
Kesialan dalam hadits ini terjadi jika kuda yang kita
punya tidak bisa dimanfaatkan karena larinya yang tidak kencang. Istri yang
mandul, suka ngomel. Rumah yang sempit, tetangga yang jahat dan yang durhaka
kepada Allah.
Kesialan muncul karena adanya sifat tercela. Dampak dari kesialan ini
adalah meninggalkan, dengan tetap berkeyakinan bahwa hanya Allah saja yang
menciptakan dan mengatur kebaikan dan keburukan. Kesialannya bukan karena zat
benda tersebut memiliki pengaruh, melainkan karena apa yang Allah takdirkan
pada benda tersebut berupa kebaikan dan kejelekan.
Dengan begitu
kita menjadi mengerti mengapa Hadis itu berbunyi demikian. Pertama,
sesungguhnya pernyataan Nabi tersebut hanya mengutip kepercayaan masyarakat
arab jahiliyah saja. Kedua, pernyataan Nabi tersebut hanya didengar sepotong
oleh Abu Hurairah.
DAFTAR PUSTAKA
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer,
(Jakarta: Al Mawardi Prima, 2001), h. 127
Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam
Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan dan
The Asia Poundation, 1999), h. 12-13
Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat Perempuan dalam
Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan dan
The Asia Poundation, 1999), h. 15
Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah,
(Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak), h. 48-49
Nikmatullah, “Peran Perempuan Dalam Islam, h. 15
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul
Wurud 2, (Jakarta: Kalam Mulia), h. 107-108
Syarah Muslim, jilid 14, h. 471
HR. Abu Dawud: 3917
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul
Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 181
[i] Huzaemah T. Yanggo, Fiqih
Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al Mawardi Prima, 2001), h. 127
[ii] Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat
Perempuan dalam Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender,
Solidaritas Perempuan dan The Asia Poundation, 1999), h. 12-13
[iii] Dr. Nasaruddin Umar, MA. Kodrat
Perempuan dalam Islam, (jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender,
Solidaritas Perempuan dan The Asia Poundation, 1999), h. 15
[iv] Riffat Hasan, Setara di Hadapan
Allah, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak), h.
48-49
[v] Nikmatullah, “Peran Perempuan
Dalam Islam, h. 15
[vi] Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD
Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, (Jakarta: Kalam Mulia), h. 107-108
[vii] Syarah Muslim, jilid 14, h. 471
[viii] HR. Abu Dawud: 3917
[ix] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam),
h. 181
[x] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam),
h. 182
[xi] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam),
h. 183
[xii] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam),
h. 185
[xiii] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam),
h. 189
[xiv] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, jilid 16, (Jakarta:
Pustaka Azzam), h. 121
[xv] Ibnu
Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, jilid
16, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 123
[xvi] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafidz, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari, jilid 16, (Jakarta:
Pustaka Azzam), h. 124
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete